Wednesday 22 October 2014

[Fiksi] Mengapa Harus Berhenti Mencintai?

Source: click here
Negara cinta memiliki agama yang berbeda dari semua agama. Untuk para pecinta, hanya Tuhan sendirilah agama merekaMevlana Jalaluddin Rumi

“Kenapa kamu selalu memilih tempat pertemuan kita di tepi selat pada waktu senja?” tanya laki-laki itu pada perempuan di sampingnya. Ini kali kedua mereka duduk bersampingan menghadap selat dengan semburat keemasan di atasnya; untuk bercerita sesuatu yang sulit diungkapkan, sulit dipahami, bahkan hingga kini dan nanti ketika percakapan mereka usai.

Gadis itu tidak seketika menjawab. Sejenak ia melemparkan pandangan pada pucuk-pucuk menara runcing yang menjelma siluet di seberang sana. Senja sudah hampir tenggelam dan warna di ufuk Barat tampak kian pekat. Burung-burung camar yang biasanya terbang rendah, menari-menari di atas air dengan sesekali menukik, kini hanya tinggal satu dua. Senja adalah panggilan bagi mereka untuk pulang, bercengkerama dalam kekhusyukan menanti esok yang lebih cerah.

“Adakah yang lebih pandai menggambarkan cinta seorang wanita yang tak tersampaikan selain senja dan selat yang hening?” perempuan itu menjawab dengan sebuah pertanyaan. Lelaki di sampingnya menarik napas lalu mengembuskannya berat.

“Sampai kapan kamu akan terus seperti ini? Berhentilah mencintaiku.” Ucap sang lelaki.

“Mengapa aku harus berhenti ketika anugerah mencintaimu tidak diberikan Tuhan pada semua wanita? Kamu lihat gadis itu.” Perempuan itu menunjuk kecil pada seorang gadis yang sedang duduk seorang diri memandang Selat seolah melihat kesedihannya sendiri. “Apakah kamu berpikir ia juga mencintaimu? Tidak, sama sekali tidak. Tuhan telah menuliskan takdirku untuk mencintaimu, lalu kenapa aku harus mengingkari? Aku tidak mampu berbuat apa-apa, bahkan ketika kamu luluh lantakkan semua harapanku, cinta ini tidak bisa pergi begitu saja.”

Laki-laki itu kembali hanya bisa diam. Aku tidak mengerti, akankah hatinya tersentuh saat mendengarkan penjelasan dari wanita di sampingnya. Atau justru semua itu tidak ubahnya senja sore itu, yang hadir sejenak, kemudian tenggelam tanpa bekas.

“Sungguh kamu hanya menyiksa dirimu sendiri. Cobalah menerima ia yang datang padamu.” Ucapnya memberi saran.

“Bagaimana aku bisa menerima, jika ia yang datang dan itu bukan dirimu, pada hakikatnya adalah tidak ada?” Perempuan itu merapatkan jaket. Angin mulai bertiup sekian kali lebih menggigit hingga menyusup ke balik kulit.

“Lalu apa yang bisa kulakukan?”

Perempuan itu menggeleng. Ia mengatakan bahwa sang lelaki tidak perlu melakukan apapun karena ia memiliki caranya sendiri untuk mencintai. Ketika para perempuan lain bisa melihat senyum di wajah lelaki yang dipujanya, perempuan itu juga bisa melihatnya pada wajahnya sendiri. Karena ketika ia menghadap cermin, ia kembali teringat bahwa perempuan yang wajahnya di dalam cermin itu sangat mencintai seorang lelaki. Lelaki yang wajahnya bahkan telah menyatu dengan wajahnya sendiri. 

Begitu pula ketika ia ingin mendengarkan suara sang lelaki, cukup baginya mendengarkan nyanyian para musisi yang sebahasa dengan lelaki itu. Lalu ketika sang perempuan menatap lanskap sebuah negeri sang lelaki, meskipun fotonya saja, itu sama artinya dengan ia menginjakkan kaki di negeri itu; menghirup aroma pepohonan di sana, merasakan gemerisik dedaunan yang berserakan di kala musimnya, dan mendengarkan percakapan orang-orang seperti di tanah sendiri.

“Mereka bilang cinta memiliki waktunya sendiri. Dua orang yang saling mencintai pun tidak dijamin akan hidup bersama bila mereka bertemu di waktu yang salah. Mevlana Rumi pernah berkata bahwa cinta adalah rumah Tuhan, dan para pecinta hidup di rumah itu. Cinta adalah milik-Nya, bagaimana bisa kita begitu egois ingin memintanya dengan paksa?” Usai berucap, wanita itu menoleh, berusaha tersenyum tipis. “Tenang saja, aku mengerti batas-batas mencintaimu, aku juga paham bagaimana harus mencintaimu. Namun ingatlah satu hal, ketika kamu meminta pada sahabat atau temanmu ‘Doakan aku’,  mereka akan membalas, ‘Aku selalu mendoakanmu’, namun kenyataanya hanya ada kemungkinan kecil namamu ada di setiap doa mereka. Tapi aku, meski tanpa diminta akan selalu menyebutmu dalam permintaanku pada Tuhan. Sungguh tidak sekali pun aku berdoa agar suatu hari kamu mengetahui cintaku kemudian juga menaruh rasa yang sama, setiap saat aku hanya mendoakan semoga Tuhan melimpahkanmu kebahagiaan dan cinta yang luas.”

“Terimakasih. Maaf aku tidak memiliki kemampuan mencintai sepertimu.”

“Tidak ada yang perlu dimaafkan, baik kamu atau diriku sendiri.”

Hanya sebatas itulah perbincangan mereka senja itu. Karena sesudah mereka kembali pada jalan masing-masing, matahari sempurna kembali ke peraduan dan gelap menyelimuti. Kerlap-kerlip kota di seberang sana hanya diam menyaksikan, saksi bahwa mereka pernah bertemu. 

Bogor, 23 Oktober 2014

12 comments:

  1. Ketika cinta tak bisa memiliki, ketika jodoh tak kunjung datang, sakitnya tuh disiniiii... hiks hiks hiks

    ReplyDelete
  2. cara mencitai dengan bentuk yang berbeda-beda ya

    ReplyDelete
  3. Replies
    1. Wah Kak Indi.... terimakasih udah mampir. Exited ih....

      Delete
  4. Duhhh saya jadi pengen crita juga nih, pas dulu teman saya cewe naksir cowo, dia bilang ke si cowo dia suka dgnya si cowo bengong kaget krn ni cewe bukan typical yg begitu ya temen cewe saya ini gak ngarepin jawaban cuma ngungkapin perasaan. Skarang masing masing dah menikah dg orang yg beda :), salut saya sama temen cewe saya ini

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah keren ceritanya... saya juga sempat baca cerita sejenis dari blognya Windy Ariestanty :))

      Delete
  5. Suka kalimat yang ini :
    Karena ketika ia menghadap cermin, ia kembali teringat bahwa perempuan yang wajahnya di dalam cermin itu sangat mencintai seorang lelaki. Lelaki yang wajahnya bahkan telah menyatu dengan wajahnya sendiri.

    Manis.... ^^

    ReplyDelete
  6. “Mereka bilang cinta memiliki waktunya sendiri. Dua orang yang saling mencintai pun tidak dijamin akan hidup bersama bila mereka bertemu di waktu yang salah."

    Hahaha...entah kenapa saya suka sekali dengan kalimat di atas. Btw, ini postingan yg menarik.

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...