Matahari sudah mulai
bergerak ke ufuk Barat ketika aku dan seorang teman sampai di pelataran Monas
hari itu. Kami baru saja menaiki delman yang mengantarkan dari area parkir.
Delman dengan kuda paling gagah seantero Monas, begitu Sang Kusir—yang kuterka
masih berumur 18-20 tahun—itu berucap bangga. Aku tidak peduli itu kuda paling
gagah atau tidak karena menurutku rupa kuda itu masih sangat jauh tertinggal,
jika dibandingkan kuda para kestaria dalam film yang pernah kutonton. Mungkin
benar kuda yang gagah, tapi ia terlihat sangat kelelahan. Kuda yang malang.
Tulisan ini
sebenarnya bukan untuk mengklarifikasikan kuda, baik itu famili, ordo, ataupun
spesies. Apalagi mengarang dongeng bahwa di dunia ini ada beberapa ekor kuda poni yang bisa terbang
dengan sayap putih nan indah. Sama sekali tidak ada hubungannya.
Penjual kerak telor,
dialah yang ingin kuceritakan. Seorang laki-laki paruh baya yang terlihat jauh
lebih tua dari umurnya, berbaju motif petak-petak kusam dan tampak lebih
besar dari ukuran tubuhnya, sore itu sedang duduk menghadap kompor kecil sambil
meracik pesananku. Itu adalah kali pertama aku akan mencicipi makanan khas
orang Jakarta. Jadi wajar kalau aku memperhatikan cara laki-laki itu bekerja
seperti seorang anak kecil melihat sesuatu yang baru saja ditemuinya.
(photo was taken by me) |
Di sampingku sudah
duduk dua orang pemuda berpakaian santai dengan tanda pengenal tergantung di leher. Rupanya mereka jurnalis yang sedang mewawancarai Sang Bapak.
“Kenapa Bapak memilih jualan kerak telor?” tanya seorang wartawan, panggil saja Mas Pram.
“Bisanya ini Mas. Mau kerja berat sudah tidak mampu. Kalau muda dulu iya, masih bisa jadi buruh bangunan.” Bapak itu menjawab. Wajahnya seperti mengenang sesuatu, sementara tangannya lincah menekan-nekan kerak telor yang ada dalam panci kecil.
Si Bapak kemudian
bercerita kisah petualangannya semasa muda, ketika tubuhnya masih kuat dan
bugar untuk diajak memanjat bangunan berpuluh tingkat, bekerja di ketinggian.
Namun kini, tubuh itu tidak lagi seperti dulu. Kakinya pun sudah bergetar jika
diajak untuk mendaki gedung lagi. Pekerjaan sebagai buruh bangunan harus
dihapus dari daftar mata pencariannya.
Jakarta memang kota
tempat seribu impian digantungkan. Kota dengan gemerlap paling terang se-Nusantara.
Kota dengan segala keindahan malam dan jutaan kemudahan bisa didapatkan. Tapi
semua orang tidak akan lupa, Jakarta adalah kota yang kejam, yang siap melibas
siapa pun tanpa ampun. Dan Sang Bapak adalah salah satu korban kekejaman Ibu
Kota. Tidak ada lowongan pekerjaan yang sudi menerimanya selain buruh kasar—sementara
raganya tidak lagi mampu, tidak ada buah hati yang bisa mensubsidinya setiap
bulan, dan tidak ada keahlian apa pun yang bisa dibanggakan. Takdir akhirnya
selesai dituliskan, Sang Bapak harus berjualan kerak telor di pelataran Monumen
Nasional yang berdiri dengan jemawa. Satu-satunya keahlian yang berdasarkan
pengakuannya bisa diandalkan.
“Lalu berapa penghasilan Bapak perharinya?” Mas Pram kembali bertanya. Tidak ada wajah belas kasihan sedikit pun tergambar di wajahnya. Aku tidak tahu, apakah semua pencari berita itu harus pandai memenjarakan ekspresi atau memang sudah wataknya seperti itu.
Sebelum menjawab,
Sang Bapak menyerahkan sepiring kerak telor seukuran piring besar padaku. Oh seperti ini wujudnya, pikirku kala
itu. Taburan abon berwarna keemasan menghiasi bagian atas jajanan itu sangat
menarik. Aku mencicipinya perlahan. Enak dan gurih, hanya saja makanan itu
sulit melewati tenggorokan karena sifatnya sangat kering.
“Satu porsi saya jual 15 ribu rupiah, dan paling banyak per hari hanya terjual empat porsi. Jadi sekitar 60 ribu perhari Mas.” Ucapnya menjawab pertanyaan Mas Pram.
Aku mendesis dalam
hati. Sudahkah Sang Bapak menghitung berapa modal yang ia keluarkan? Apakah tenaganya
yang seharian duduk menunggu, memanggil pembeli, kemudian meracik menu ia
hargai dalam rupiah juga? Lalu dengan uang senilai itu, bagaimana ia bisa
menghidupi keluarganya dengan layak? Belum lagi biaya untuk membeli bahan baku
racikan kerak telor yang akan dijual esok hari. Cukupkah uang 60 ribu rupiah
sebagai penghasilan kepala keluarga di pusat Ibu Kota? Spontan aku menjawab
sendiri, itu tidak akan cukup.
“Sebenarnya tidak cukup Mas. Tapi mau bagaimana lagi. Ya dicukup-cukupkan saja.” Sambung Sang Bapak.
“Nah, kemaren kan sudah diumumkan kalau Pak Jokowi yang akan naik jadi presiden. Menurut Bapak bagaimana?” pertanyaan dari teman Mas Pram yang sejak tadi hanya menjadi pendengar.
“Saya sangat senang Mas. Bersyukur Pak Jokowi yang terpilih. Saya bisa jualan di sini saja berkat Pak Jokowi. Dia membebaskan kami pedagang kecil berjualan di area Monas, biar ada pendapatan untuk menghidupi anak-istri. Selain Pak Jokowi tidak ada yang seadil ini pada rakyat kecil, bahkan dulu saya tidak diizinkan berjualan di sini. Saya bingung bagaimana caranya mendapatkan uang walaupun seribu rupiah saja.” Sang Bapak bercerita dengan wajah sedih sekaligus bangga.
Ini adalah kali kedua
aku mendengar rakyat kecil yang memuji presiden kita—kala itu Pak Jokowi belum
dilantik. Satu orang lagi adalah tetanggaku di kampung. Aku yang selama ini
mengakui bukan menjadi bagian ‘salam dua jari’ itu pun tersentuh. Selama ini
kita dicekoki berbagai berita yang simpang-siur dan tidak tersaring. Satu pihak
dielukan, satu pihak dihempas hingga lumat. Begitu satu sama lain. Sehingga rasanya
masyarakat sulit membedakan mana yang nyata dan mana yang dongeng belaka.
Bahkan kalau boleh
jujur, hingga detik itu pun hatiku masih belum mantap. Tapi lagi-lagi buat apa
menuntut takdir yang sudah digariskan Tuhan? Jika kita lebih membuka hati dan
menghapus semua anggapan buruk, sebaliknya memandang sesuatu dengan prasangka
baik, nyatanya semuanya tidak seburuk apa yang diduga selama ini. Ada sisi
baik, ada juga buruk, itu sudah sifat alamiah manusia, bahkan seorang Nabi yang
sudah dijamin tempatnya di Jannah pun sempat berbuat khilaf. Kita tentu tidak
lupa pada kisah Adam dan Hawa ketika mereka mengunyah buah terlarang dan kisah
Yunus yang meninggalkan kaumnya. Salah dan khilaf adalah wajar, yang kurang
ajar adalah ketika seseorang sengaja mengulanginya kembali.
Hari ini semua rakyat
sibuk dengan kebahagiaan yang gegap gempita. Atmosfer kebahagiaan atas pelantikan
Bapak Negara yang baru terasa dimana-mana. Bahkan pagi tadi semua stasiun
televisi menayangkan momen serah terima jabatan secara bersamaan. Malam ini pun
dilangsungkan pesta rakyat yang dihadiri ribuan masyarakat Indonesia di area Monumen
Nasional. Semuanya datang untuk merayakan, untuk berbahagia, dan untuk
menggantungkan sejuta harapan di pundak pemimpin negara kita. Saya ikut berbahagia,
sangat berbahagia. Tidak lupa doa untuk Bapak penjual kerak telor, semoga pesta
ini membawa berkah yang berlimpah untuknya. Semoga baik hari ini, malam ini,
dan hari-hari selanjutnya, Allah membuka lebar pintu rezekinya dengan
keberkahan yang luas.
Selamat bertugas Pak
Jokowi...!
Bogor, 20 Oktober 2014
berarti dek sofi adalah pendukung lawan Pak Jokowi yaaa? hehehe, siapapun yang ditakdirkan memimpin negara tercinta ini, mari do'akan yang terbaik saja. semoga.... semoga...dan semogaaaaa...
ReplyDeleteeh, saya penasaran sama si kerak telor itu, sudah dua kali saya ke Jakarta tapi tak pernah bertemu dengan pedagang kerak telor... :))
Wah sejujurnya iya Kak.. tapi alhamdulillah udah jadi legowo. Aamiin, aamiiin, insyaAllah Kak, kita doakan saja yang terbaik. Wah sayang banget kalau belum nyobain kerak telor Kak, enak binti gurih rasanya, Sebenarnya bikin sendiri juga gampang kayaknya Kak.
DeletePak Jokowi memang merakyat. Saya harap beliau tetap sederhana dan selalu dekat dengan Rakyat. Penggalan kalimat "Aku yang selama ini mengakui bukan menjadi bagian ‘salam dua jari’ itu pun tersentuh." berarti pro Prabowo ya. Hiehiehie. Its okay. Tidak apa. Berbeda adalah hal yang wajar saja
ReplyDeleteIya Mas, semua mengakui kalau masalah itu. Wah ini saya jadi nggak enak dapat kunjungan rutin dari Mas Asep, sementara blognya Mas Asep nggak nemu. Bongkar2 google plus tapi kok nggak nemu juga. Thanks Mas!
DeleteSaya belum pernah ih nyoba kerak telor, jarang banget ke Jakarta sih :p
ReplyDeleteSubhanallah, mudah-mudahan bapak itu bisa bersyukur ya berapapun hasil kerjanya, insya Allah rezekinya bertambah.
Wah, serius Mbak Arifah belum pernah nyobain? Sekali-kali atau seumur hidup sekali harus tuh Mba :D Aamiiin ya Rabb...
Deletesehari cuma 4 porsi kaget aku bacanya. Semoga selallu diberikan rezeki ya pak
ReplyDeleteIya Mak Lidya, berdasarkan penuturannya begitu. Aamiiin...
DeleteAssalamualaikum mbak. Ini lg blogwalking nemu tulisan ini mo bagi pengalaman nyaris sama. Saya dulu sempat suka beli togegoreng di abang2 yg jualan dkt carrefour lebak bulus dpan gereja. Sambil nungguin pasanan kami (saya&kaka saya waktu itu) ngobrol dg penjualnya yg aslinya mana, brapa lama jAlan toge goreng, tentang pelanggannya. Nah soal pelanggan dia crita jualan sampai aerah bintaro dan seorang aktor sering beli jualannya. Pas saya tanya soal penghasilan, abang toge goreng jawabnya hanya "alhamdulillah cukup untuk keluarga. Alhamdulillah" saya dan kakak saa salut dg abang ini tanpa minta dikasihani tak perlu sebut nilai yg dia dapatkan perhari. Ssya mengira-ngira sama mbak saya jangan-jangan orang ini sebenarnya berpunya hanya jualan toge goreng ini iseng aja. Hehehe. Sampai saat ini slama di jakarta baru abang itu yg seingat saya penuh syukur tanpa minta dikasihani. Salut
ReplyDeleteWah, ceritanya inspiratif banget Mbak tentang abang penjual togegoreng ini. Semoga rezekinya dilancarkan Aamiiin.... salut ya sama pilihannya untuk nggak bilang berapa nominal penghasilannya. Terimakasih Mbak sudah mampir di sini.... saya juga mau silaturrahim ke rumah blognya Mbak :) salam kenal.
DeleteAku jg belum pernah makan kerak telor. Hehehehe... selamat bertugas ya Pak Jokowi, semiga bisa membawa Indonesia jadi lebih baik
ReplyDeleteHarus dicoba Mbak, setidaknya sekali seumur hidup (halah bahasanya). Aamiin... kita doakan Mbak :)
DeleteSemoga rezeki berlimpah buat pak penjual kerak telor itu ...
ReplyDelete*terharu*
Satu porsi ada berapa telur, Mbak?
ReplyDelete* Eh, cara bikin garis tepi di samping quote seperti itu bagaimana, ya?
di sini kagak ada jual kerak telor, pann pngen ngerasain juga.. :D
ReplyDeleteuntuk bapak,semoga jualan kerak teornya semakin berkah dan untuk pak jokowi, selamat bertugas....^^
ReplyDelete