"Sungguh, sedekah memiliki pengaruh yang luar biasa untuk menolak berbagai macam bencana, sekalipun pelakunya adalah seorang pendosa, zalim. atau bahkan kafir. Allah akan menghilangkan berbagai macam bencana dengan perantaraan sedekah tersebut".
Aforisme diatas adalah dari Syaikh kita Ibn Qoyyim Al Jauziyah, aku menemukanya disudut notebook coklatku, buku catatan yang terisi penuh dengan hadist, Ayat Al qur'an dan catatan penting saat kuliah atau hal-hal lain. Ucapan Syaikh besar diatas membuatku termenung, betapa dahsyatnya pengaruh sedekah sehingga bisa menolak berbagai macam bencana. Dan satu hal yang lebih mengagumkan hal itu berlaku untuk semua manusia tak terkecuali mereka yang setiap harinya bergumul dengan dosa. Wallahu'alam...
Aku kembali melihat diriku, selama ini aku terlalu egois sehingga tidak mau memikirkan mereka yang berkekurangan disekitarku, atau yang lebih sederhanaya lagi aku sering membuang muka saat ada peminta-minta yang menghampiriku. Sedekah adalah jual beli yang dilakukan dengan Allah SWT, lalu mengapa aku sering merasa sayang untuk mengulurkan sedikit bantuan untuk mereka? aku tau, selama ini aku disibukkan oleh fikiranku sendiri. Aku merasa bahwa aku ini seorang pelajar, uang saja masih meminta dari orang tua jadi tak harus bersedekah. Aku tak berfikir alangkah baiknya jika aku menyisihkan sedikit uang jajanku untuk mereka. Ingatanku kembali melayang ke waktu beberapa bulan lalu, saat aku masih menjalani hari-hari matrikulasi, aku dan 19 temanku yang juga Mahasantri penerima scholarship PBSB (Program Beasiswa Santri Berprestasi) ditempatkan di wisma YPI (Yayasan Pendidikan Islam) milik Kementrian Agama RI di Ciawi, Bogor. Diwisma itu begitu dekat dengan pasar ciawi, jadi setiap sore menjelang berbuka kami akan berkeliling pasar membeli berbagai camilan untuk berbuka. Setiap aku melewati trotoar Toko-toko, aku selalu menemukan seorang ibu-ibu dengan pakaian lusuh duduk bersimpuh disudut trotoar, ia menengadahkan tangan pada semua orang yang melewatinya tak terkecuali padaku dengan sorot pandangan yang penuh harap. Dan seperti biasa aku pasti pura-pura tak melihatnya. Aku beranggapan bahwa ibu itu sehat, kenapa ia tidak bekerja saja. Intinya aku menganggapnya wanita pemalas. Aku tak mau berfikir positif padanya. Sekarang aku baru menyesal telah memupuskan harapanya padaku waktu itu. Kenapa aku tak berfikir bahwa ia adalah wanita yang tiada pilihan ditengah sulitnya hidup di tengah perkotaan?
Aku akan mengutip sebuah kisah dari satu buku berjudul "Sejuta Pelangi", kisah yang menggambarkan kekayaan hati seorang penjual kelontong di atas kursi roda. Begini kisahnya:
Sore yang teduh. Gerimis dan bau tanah basah. Senja yang sempurna. Tepat pukul 16.57 aku berjalan melewati jalan setapak yang biasa kulalui sepulang kuliah. Tak lama lagi aku akan sampai di sebuah jalan besar menuju rumahku. Sore kali ini memang berbeda, sebab gerimis datang bersama teduh Matahari yang beranjak pergi meninggalkan bumi.
Di kejauhan, tampak seorang kakek tua renta bersandar di tepi trotoar yang akan kulewati. Cukup lama aku mengamatinya dari kejauhan. Jelas sekali ia kelaparan. Keriput di wajahnya menceritakan luka yang berkepanjangan.
" Ah...Dimana keluarganya, anaknya?" Tanyaku dalam hati
Aku mulai merogoh sakuku sekiranya ada uang receh yang bisa kuberikan kepadanya. Memang tak banyak, karena biasanya uang receh yang tersisa dikantongku adalah sisa membayar angkutan umum.Aku hanya menemukan empat keping uang logam 500 Rupiah.
"Ah...ini pasti cukup" Pikirku. Toh, dia sama seperti pengemis lainya di pinggir jalan, Dan uang 2 Ribu Rupiah selalu cukup untuk seorang pengemis.
Ketika tepat berada disampingnya, aku memasukkan koin logam kedalam sebuah peci yang kakek itu gunakan untuk menadah uang. Tanpa melihat lagi, aku langsung berjalan pergi.
"Dia pasti senang mendapat tambahan uang" Pikirku
Baru beberapa langkah aku berjalan, dari tikungan muncul seorang bapak paruh baya. Dia duduk di atas kursi roda yang begitu usang. Ketika kuperhatikan lagi, subhanallah, bapak itu memangku sesuatu! barang dagangan yang dia pangku dengan bambu diatas kursi rodanya. Diikatkanya bambu tersebut pada kursi rodanya dan dia mulai menjajakan daganganya.
"Kelontong, ember, sapu, kain pel.."
"Sapu lidinya, dek..." Sapanya ketika menghampiriku
Saat itu aku bisa melihatnya dengan jelas, Bapak itu lumpuh tapi Ia tetap berdagang, mencari nafkah tanpa menggadaikan harga diri. Sikapnya membuatku kagum bercampur haru melihatnya. Kau tahu apa yang lebih mengejutkanku lagi? Bapak itu menghampiri pengemis yang tadi kuberi uang receh, lalu ia mengeluarkan uang dari sakunya sebesar 20 Ribu Rupiah, dan memberikan kepada pengemis itu seraya berkata, " Bapak belu makan kan? ini uang buat bapak makan, sisanya untuk bapak sarapan besok."
GLEK...!!!
Kakiki terpaku, kaku menyaksikan peristiwa itu. Hatiku tertampar, aku malu! bagaimana bisa seorang pedagang kelontong keliling yang cacat itu, tulus memberikan uang sebegitu berlipatnya dari jumlah yang kuberikan, kepada seorang pengemis. Padahal, mungkin ia lebih membutuhkanya, karena mungkin hanya uang selembar itu yang ia miliki. Lalu aku? Aku sudah merasa cukup dengan hannya memberi 2 ribu Rupiah, padahal didompetku masih ada 2 lembar uang 50 ribu dan 2 lembar uang 20 ribu.
Aku kalah...aku kalah peduli, kalah tulus, kalah ikhlas,kalah memberi dari seorang pedagang kelontong yang cacat.
Hari itu Allah menamparku dengan cara yang paling halus...
Begitulah kisahnya, semoga bisa diambil hikmahnya...
Aku teringat pada suatu sore yang hampir mendekati maghrib, aku baru pulang kuliah dengan menumpang sebuah angkutan umum. Hari itu ada praktikum di kampus IPB dramaga, jadi membutuhkan waktu lama untuk sampai di kosan. Dari balik jendela, aku melihat seorang ibu paru baya duduk didepan sebuah trotoar. Pakaiannya lusuh, dan yang lebih menyentuh hatiku ia tengah memberikan susu formula pada anaknya yang masih bayi, di sampingnya duduk seorang anak laki-laki yang kuperkirakan berumur 7 Tahun. Ya Allah.... dimana suaminya? mengapa begitu tega menelantarka anak dan istrinya sebegitu menyedihkan. Betapa hari-hari mereka dipenuhi dengan lara yang berkepanjangan. Anak nya yang pertama itu pasti ingin jajan dan mainan seperti anak laki-laki lainya, pasti ia juga ingin bersekolah. Aku teringat adikku... aku bersyukur aku dan adikku berada dalam keluarga yang utuh dengan seorang ayah yang begitu menyayangi kami.
Membahas tentang sedekah, ada sebuah pertanyaan yang muncul dibenakku.
"Apakah semua sedekah harus dengan finansial?"
Allah maha pemberi hidayah, ditengah kebingunganku itu Ia mengirimkan jawaban melalui sebuah Hadist Rasulullah SAW yang tertulis di bagian pojok sebuah halaman Notebook ku.
"Setiap anggota tubuh manusia mempunyai kesempatan untuk bersedekah tiap hari. Yaitu, mendamaikan orang-orang yang berselisih adalah sedekah, menolong orang naik kendaraan adalah sedekah, setiap langkah yang anda lakukan untuk pergi shalat adalah sedekah, dan menyingkirkan sesuatu yang membahayakan di jalan umum adalah sedekah".(HR.Muslim)
Hmm...Begitu rupanya, jadi tidak ada alasan bagi setiap manusia untuk tidak bersedekah. Begitu banyak peluang bagi kita mendapatkan pahala sedekah setiap harinya tanpa perlu memiliki banyak uang. Tapi, begitu banyak mereka yang terus mencari-cari alasan dengan dalih tak punya uang, hidup yang serba kekurangan dan sebagainya. Satu garis besar yang bisa kuambil dari hadist di atas adalah SEDEKAH TIDAK HARUS BERBENTUK UANG.
Bogor, 25 September 2012
Salam kenal...
ReplyDeleteiya. thanks udah mampir :)
ReplyDelete