Sunday 9 June 2013

Sebuah Rasa: Fantasy and Religi Movies


"Nonton, yuuukk.... Ada film bagus. Film Indonesia tapi keren  kayak film luar. Aku sudah lihat trailler-nya" Promosi seorang temanku dengan begitu semangat. Jelas sekali dari sorot matanya bahwa ia begitu tertarik dengan film tersebut. Dua temanku yang lain berteriak "Ayuuk....!".

"Genre?" Akhirnya emosiku terpancing, ikut penasaran.

"Action!" Jawabnya. Seketika aku bergidik, mencoba menelan ludah yang pahit.


Aku memutuskan tidak ikut nobar dadakan itu. Aku membayangkan film action produksi Indonesia itu kejam dan berdarah-darah.


Sekitar qobla ashar, tiga temanku itu sudah tiba di kontrakan. Mereka pun dengan suka rela me-review film tersebut tanpa diminta. Terkadang mereka menutup wajah, bergidik, hingga memberikan pujian untuk film yang baru saja selesai ditonton.

"Serem banget. Ada tentara yang mati terkena bom, perutnya terburai, isinya berjuntai merah keluar" Cerita salah satu dari mereka disertai ekspresi tegang. Aku ber-hiii panjang.


Aku memang tidak menyukai film bergenre action, karena dalam film itu semua masalah hanya bisa diselesaikan dengan kekerasan, dengan baku hantam, dengan senjata tajam. Aku tidak menyukai film bergenre action karena mereka yang menang adalah yang paling hebat yang paling kuat, tidak berbeda dengan binatang-binatang rimba. Dan dari semua itu, yang membuatku paling anti film genre ini adalah darah. Ketika pemeran dalam film tersebut tertusuk belati hingga menyembur darah segar dari mulutnya, ketika itu pula aku seperti merasakan sakit yang dirasakan sang pemeran. Tidak terbayang, jika ada sepuluh pemeran yang tertusuk belati atau tertembak kepalanya, akulah yang menampung semua sakit para pemeran itu. Akulah yang sakit bertumpuk-tumpuk. Itulah mengapa aku tidak menyukai film bergenre action.

Sebaliknya aku tergila-gila dengan film bergenre fantasi. Seperti film The Lord of The Ring karya Peter Jackson. Film yang diadopsi dari novel karya JRR.Tolkien itu terasa begitu menyentuh. Aku menyukainya karena dua hal. Pertama, karena film tersebut adalah cerita dari sebuah novel karya penulis ternama. Kedua, karena banyak pelajaran yang terselip hampir di seluruh adegan.

Dari film itu, aku jadi semakin mencintai pulau kecil kelahiranku seperti Frodo Baggins yang mencintai The Shire. The Shire adalah lembah subur dimana Frodo menghabiskan hari-harinya bersama teman-teman hobbits nya. Suasana The Shire membawaku menyusuri pulau kecilku yang jauh di sana. Dari film ini, aku menangkap sebuah persahabatan yang mengagumkan. Jujur saja, aku menangis berkali-kali saat menonton trilogi film ini. Aku kagum dengan tokoh Samwise, tukang kebun Frodo sekaligus sahabatnya. Sam tidak pernah berniat sekalipun meninggalkan Frodo meskipun tugas menghancurkan cincin itu bukan tugasnya, ia tetap menyayangi Frodo ketika sahabatnya itu menganggapnya penghianat, ia dengan kuat mendampingi Frodo hingga akhir perjuangan, hingga akhir cerita. Sam pula yang membopong Frodo mendaki bukit menuju kawah di Mordor "Aku tidak bisa membawa cincin itu Mr.Frodo, tapi aku bisa menggendongmu ke sana" Ucapan ini keluar dari bibirnya ketika Frodo lemah tak berdaya. Sam menggendong Frodo mendaki bukit berbatu tajam dengan keadaan lapar. Ya, mereka kehabisan air dan roti di tengah perjalanan. Di sanalah aku menemukan kekuatan seorang Sam. Sahabat bermain sejak kecil yang membuktikan kesetiaannya.

Film ini juga menyampaikan pesan agar manusia tak merusak alam, tak menebang hutan. Seperti Saruman yang memerintahkan para orc menumbangkan pohon-pohon sebagai bahan industri perlengkapan perang dan penciptaan pasukan orc. Hingga akhirnya kerajaan Saruman hancur akibat serangan dari pohon-pohon hutan tersebut. Pohon-pohon itu berjalan dan hidup, mereka murka karena Saruman telah merusak sebagian hutan dengan menggundulinya. Para pohon itupun membuka bendungan, menghancurkan kerajaan Saruman dengan banjir bandang.

Meskipun dengan cara magic, tapi hal ini memberikan pelajaran bagi kita. Jika kita merusak alam maka jangan marah jika nanti alam pun akan membalasnya. Mengirim banjir dan bencana. Semua balance, kok.

Film ini juga menampilkan sosok pemimpin yang memberi keteladanan. Aragorn, the king. Dia raja yang penuh kasih sayang kepada rakyat, dia juga yang pertama kali memacu kuda melawan pasukan jahat di Mordor. Ketika itu pasukan Aragorn sedikit sekali, sedangkan pasukan jahat berkerumun bak segerombolan semut mengerubungi sebutir gula. Tentu saja pasukan putih gentar. Namun Aragorn maju pertama kali dengan keberanian dan keyakinan.

Akhir film ini menampilkan perpisahan yang mengharukan. Frodo harus meninggalkan Sam. Dunia mereka tak lagi sama. Yang paling mengharukan adalah saat Frodo mengecup kening sahabatnya itu dan memberikan sebuah buku yang ditulis dengan tangannya sendiri, buku dengan judul "The Lord of The Ring by Frodo Beggins". Frodo juga menyisakan lembar-lembar kosong di akhir buku, meminta Sam melanjutkan kisah yang ditulisnya.

Bagian ini mengingatkan kita, semua akan berakhir dengan perpisahan. Tak ada yang abadi. Memang begitulah keniscayaanya.

Baik, selain film genre fantasi, aku juga suka dengan film religi. Apapun judulnya (kecuali Perempuan Berkalung Sorban). Film religi selalu menyisakan tempat dalam hati, mencharger semangat dan menginspirasi. Sebut saja film Sang Kiayi. Wah, sulit saya mengungkapkan feel yang didapat dari film ini. Menyentuh dan menguras air mata. Menceritakan keteguhan dan nasionalisme yang kuat.

At last, sekian dulu sharing-ku seputar film. For once again, it's just a feeling. Setiap orang punya rasa yang beragam, tak sama.

So, bagi yang suka film fantasi and religi, bisa juga jadi teman sharing. Hehe

1 comment:

  1. Setujuuuuuuuuu say..
    Aku juga gak suka bangett Film Action.. alasan Kamu sehati dgn ku. hehe =))
    penasaran cerita the Lord of the ring gimnaa...
    keg nya pernh deh liat trailler nya, atau mgkn prnh nnton wktu di PTR, tpi suka lupaan siik.. :D hehe
    Oke, I'll watch again :) hihihi

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...