Friday 14 August 2015

Memancing di Jembatan Teluk Bunga Ros



Adikku kini sudah tumbuh menjadi remaja. Tubuhnya sama seperti aku, selalu lebih tinggi dibandingkan teman-teman lainnya. Umurnya masih 14 tahun kurang 2 bulan, tapi tingginya sudah melebihi aku. Padahal saat aku berangkat ke Bogor tahun lalu, dia masih setinggi pundakku. Tidak bisa dibayangkan setinggi apa dia setelah tamat SMP nanti. Waktu ambil foto di atas, aku sadar kalau adikku sekarang bukan lagi bocah kecil seperti beberapa tahun lalu. Pantas saja saat aku memarahinya, dia pun mendiamkanku hingga dua hari. Soal pakaian, selera adikku pun sudah tidak seperti dulu lagi. Dia tidak suka celana berbahan jins, dan lebih senang dengan kaos polos atau kemeja.

Usai sekolah, terkadang adikku dan teman-temannya pergi memancing di jembatan. Tidak terlalu sering juga, biasanya ada musim tersendiri. Jika air pasang besar (sekitar pertengalan bulan kalender Hijriah), musim memancing pun akan dimulai. Jembatan selalu dipenuhi anak-anak hingga orang dewasa yang datang dari kota kecamatan.

Ikan yang biasa didapatkan dari aktivitas memancing di pulauku antara lain: ikan sembilang (sejenis lele yang hidup di laut), ikan kurau, pari, gonjeng, dan udang. Ada banyak ikan buntal yang menghabiskan umpan pancing, tapi jarang sekali ada yang mau mengambil ikan tersebut untuk dibawa pulau. Ketika ada buntal yang terpancing, biasanya akan dibunuh begitu saja daripada nanti umpan pancing ia makan lagi.

Beberapa minggu lalu, usai shalat Zuhur, aku sengaja ikut adikku ke jembatan. Saat itu tidak sedang musim pancing, jadi jembatan cukup lengang. Hanya ada beberapa anak suku Asli dan Jawa yang iseng melempar kail di sana. Adikku sendiri tidak datang ke sana dengan tujuan utama memancing. Dia hanya ingin mengajakku melihat jembatan yang baru direkontruksi, dan daripada di sana cuma menganggur, adikku sekalian bawa pancing katrolnya.

Di pulau Penyalai tempatku tinggal, beberapa desa memang punya jembatan sendiri-sendiri. Fungsi jembatan di sini banyak sekali, mengingat transportasi antar pulau tidak bisa menggunakan motor atau mobil. Harus pakai sampan, pompong, atau speed boat. Jembatan juga digunakan untuk bongar-muat barang-barang dagangan, hingga memuat hasil panen seperti beras dan kelapa. 

Wilayah pulau Penyalai memang tidak luas. Untuk mengililinginya hanya dibutuhkan waktu satu hari saja. Meskipun kecil, tanah di pulau tidak satu jenis. Bagian Timur hingga desa-desa yang ada di belakang desaku, masyarakatnya bertanam padi. Kalau kamu datang ke sini, dijamin akan tercengang lihat betapa luasnya ladang padi di pulauku, karena sepanjang mata memandang yang terlihat hanya padi. Bahkan di Jawa saja sudah tidak ada ladang seluas itu. Berkunjung ke daerah ladang, sebaiknya menunggu waktu padi hampir dipanen. Pemandangan di sana bisa berlipat-lipat lebih cantik. Setiap panen raya, selalu ada acara besar yang didatangi pejabat pemerintahan, seperti bupati, gubernur, bahkan isunya tahun ini bapak presiden yang akan datang. 




Tadi kan bagian Barat, sekarang bagian Timur yang tanahnya tidak cocok untuk ditanami padi. Di sini rata-rata bertani kelapa dan jagung. Kebun di sini luas-luas. Para petani hidupnya sederhana saja. Nah di bagian Barat ini pula, ada beberapa bagian yang jadi sumber makanan laut untuk masyarakat pulau. Contohnya desa Tanjung Selukup dan desa Teluk Bunga Ros (khusus masyarakat yang tinggal di tepi laut). Yang kusebutkan nomor dua tadi adalah desaku sendiri dengan jembatan tempat adikku memancing. Tidak jauh dari jembatan itu, berdiri banyak rumah nelayan warna putih yang dibangun pemerintah.

Hasil utama selat di pulau Penyalai umumnya adalah udang, ikan biang, ikan gonjeng, patin laut, debok, ubur-ubur, dan rebon. Sesekali ada juga nelayan yang berhasil menangkap ikan pari dan lobster (di sini biasa disebut udang galah). Tidak ada ikan budidaya di sini, jadi nelayan hanya mengandalkan laut seutuhnya. Ikan atau udang ditangkap menggunakan jaring dan gombang (jaring yang ditancap-tancap di laut). Saat musim melaut, selat di depan pulau akan dipenuhi sampan-sampan nelayan, lengkap dengan layar warna-warni. Sayang, saat aku ke jembatan kemaren tidak sedang musim ikan. 

Untuk areal pantai, di sana juga menghasilkan rama-rama (bentuknya seperti kalajengking, warna seperti udang merah, rasanya mirip-mirip lobster). Teknik mencari rama-rama ini dikenal dengan merujak, yaitu dengan menginjak-nginjak lubang rama-rama yang sebelumnya sudah dipenuhi air. Beberapa saat kemudian kita akan melihar rama-rama keluar dari lubang. Jika ingin makan rama-rama, suku-suku lain bisa membelinya dari suku Asli yang sudah jitu merujak rama-rama. Jarang sekali aku melihat orang dari suku Jawa atau Melayu main-main di pantai untuk merujak rama-rama.

Kalau mau lihat suasana pulau Penyalai secara langsung, monggo datang saja ya ke sini.

2 comments:

  1. kirain merujak sambil makan rujak, hehe
    bagus banget pemandangannya :)

    ReplyDelete
  2. rama rama yang udah dimasak lemparin sini haha

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...