Thursday 5 January 2017

Sebuah Penyelesaian




Ini adalah kali kedua aku menulis tentangmu. Semoga kamu membaca yang pertama. Aku sendiri tidak tahu, kenapa tiba-tiba malam ini aku teringat tentangmu, kemudian berniat untuk membuat sebuah penyelesaian yang melegakan tentang kita. Aku berharap, di sana, secara diam-diam, kamu tetap rajin berkunjung ke halaman ini dan membaca tulisanku.

Untukmu, percayalah aku sangat menghargai setiap perasaan yang dihadiahkan untukku. Sekecil apapun itu, terlebih yang besar dan istimewa. Aku tidak pernah melupakan setiap nama yang singgah dalam hidupku, tentu saja nama-nama yang memiliki niat tulus padaku. Di sini, meski hati tak bisa membersamaimu, aku selalu berdoa untukmu, untuk semua nama-nama itu. Aku mendoakan kalian, yang terbaik untuk kalian, untukmu juga. 

Aku masih mengingat tiga hari kebersamaan kita di masa training pembekalan sebelum kita dibagi di departemen masing-masing. Bukankah waktu itu kita duduk bersebelahan? Yang kusimpulkan dari tiga hari itu adalah dirimu yang sopan, selalu shalat tepat waktu, dan ramah. Hmm... meskipun bisa dikatakan kamu pemalu sekali, mungkin itu hanya berlaku untukku. Buktinya, salah satu teman kita sering bercerita tentangmu yang periang, yang tidak pernah kehabisan cerita, yang selalu melontarkan gurauan garing—namun justru itulah yang membuatnya tertawa geli.

Aku juga masih ingat saat bulan-bulan pertama perkenalan, kamu ingin bermain ke rumahku. Waktu itu aku berbohong. Kukatakan padamu bahwa aku harus menemani sepupu keluar kota, mungkin kamu bisa datang ke rumah di lain waktu. Justru aku menyarankan kamu untuk berkunjung ke rumah teman-teman perempuan yang lain. Sekarang kau tahu kan betapa aku tidak peka? Sungguh, waktu itu aku belum bisa menangkap maksudmu. Aku beranggapan kamu menilai sama diriku dan teman-teman perempuan lain. Yang perlu kamu tahu, waktu itu, dan peristiwa seperti ini acapkali berulang, adalah tentang ketakutanku untuk memberikan kesempatan. Sejauh ini, aku sengaja menutup pintu rumahku, dan hanya membuka bagi ia yang sejak awal sudah menyentuh hatiku saja. Aku kesulitan menerima saran teman-teman untuk membuka kesempatan bagi yang lain, untuk coba-coba dulu. Tidak, aku bukan tipe seperti itu. Bagiku, jika di awal aku tidak menemukan sesuatu yang menyentuh hati, maka itu tetap tidak akan ditemukan di waktu selanjutnya.

Aku adalah seseorang yang jujur, termasuk dalam hal menulis. Aku tak begitu suka dengan gaya bahasa yang membuat orang lain pusing menerjemahkan. Bagiku, menulis itu adalah sebuah kejujuran. Jadi, meskipun aku menciptakan setting di negeri antah berantah, tetap saja isi tulisan tersebut adalah kejujuran. Dan mengenai dirimu, kutegaskan di sini, bahwa bukan berarti dirimu tidak baik. Tidak sama sekali. Justru teman-teman kita selalu memuji-mujimu. Mereka semangat sekali menyatukan kita. Tapi bagaimana lagi, aku sudah berusaha menuruti nasehat mereka. Aku sudah berusaha membangun komunikasi dengan membalas semua pesan singkatmu. Hanya saja, hingga pada detik paling akhir, semuanya tetap tak berhasil. Pada titik itu pula, aku mampu membuat sebuah kesimpulan, bahwa hati setiap manusia bukanlah milik mereka. Bukti paling nyata adalah ketika akal kita menghendaki untuk mencintai seseorang, namun hati tetap kokoh menolak.

Biarpun begitu, hingga detik ini, aku masih ingat saat jam makan siang dan kita saling melihat meski terpisah beberapa baris meja. Aku masih ingat warna botol minummu. Aku juga masih ingat siapa teman-temanmu. Di ujung sana, kau selalu makan dengan kepala menunduk. Sesekali kau bicara dengan teman-temanmu. Sesekali kau melihat ke arahku. Pada mulanya, aku sama sekali tak tahu kalau kau sering melihat ke mejaku, hingga akhirnya seorang teman memberi tahu. Dan sejak itu, aku mulai memperhatikan dari kejauhan.

Aku juga masih ingat saat sesekali kamu turun ke ruang kerjaku di lantai bawah untuk instalasi sistem jaringan di perangkat baru. Kadang, aku sengaja segera keluar. Kau tahu, seluruh teman-teman satu ruang kerjaku selalu menyebut-nyebut namamu. Bahkan salah satu engineer di ruanganku membuat sebuah nyanyian yang isinya adalah namamu.

Baiklah, semua itu telah tertinggal di masa lalu. Pada akhirnya, aku telah menghapus satu-satunya media komunikasi kita. Rasanya tidak baik jika kita mempertahankan komunikasi, meski hanya sebuah komunikasi antar teman. Semua justru akan menyulitkanmu untuk melangkah dan mengambil keputusan. Akan lebih baik apabila kamu tak tahu kabar tentangku. Dengan begitu semua akan jadi lebih mudah.

Dulu kamu sempat menceritakan impian untuk membuka sebuah usaha di bidang pertanian atau peternakan, kan? Meskipun saat itu aku tertawa mendengarnya, bagaimana mungkin seorang anak teknik memiliki mimpi menjadi petani atau peternak? 

Kurasa kau hanya mencari bahan pembicaraan. Bahkan kau sampai mencari-cari informasi tentang kampusku. Soal usaha, wujudkan lah itu. Waktu itu kau juga sempat meminta pendapatku untuk memilih, kira-kira usaha apa yang sebaiknya dimulai dalam waktu dekat. Tapi hingga detik ini, aku masih belum menemukan jawaban. 

Saranku, sebaiknya kau jangan terlalu banyak berpikir. Jika ingin memulai usaha, maka mulailah. Selebihnya kau bisa menyempurnakan sambil jalan. Tidak ada yang tiba-tiba sempurna, semua butuh proses. Jadi, tak apalah bersakit-sakit di awal. Itu hal biasa. Yang kau butuhkan hanyalah tekad, niat, dan keteguhan hati. Satu lagi, semoga kau tak pernah melupakan Tuhan. Seperti yang pernah kuucapkan padamu dulu, sebaiknya kau tetap rajin bersedekah. Hal itu akan membantumu mendapatkan rejeki yang berkah. Kau tahu apa perbedaan antara rejeki yang berkah dan yang tidak? Rejeki yang berkah itu akan cukup memenuhi semua kebutuhan meskipun jumlahnya sedikit. Sebaliknya, rejeki yang tidak berkah akan selalu tidak cukup meskipun jumlahnya besar.

Baiklah, tulisan ini jadi sangat panjang. Semoga hidupmu selalu berbahagia dan dilimpahi keberkahan. Di sini aku selalu mendoakanmu, doa untuk seorang saudara yang istimewa. Semoga enam bulan kebersamaan kita tetap akan dikenang sebagai kenangan yang baik, tidak menyisakan luka ataupun kekecewaan. Tenang saja, semua takdir manusia sudah ditulis di sebuah kitab yang terpelihara. Jadi, tidak ada yang perlu dicemaskan.

1 comment:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...