Biarkan langit tetap berwarna biru, dahan tetap
berwarna hijau, dan ladang jagung tetap berwarna kuning
Biarkan ini menjadi tanahnya kawanan burung dan
hamparan bunga-bunga
Aku ingin sebuah tempat
Yang di sana tidak ada kepedihan dan rindu dalam hati
Yang menjadi pelerai untuk saudara-saudara yang
berselisih
Aku ingin sebuah tempat
Yang di sana tidak ada kaya dan miskin, tidak ada kamu
dan aku
Yang setiap hari-hari di musim dingin, setiap orang
memiliki kaos kaki dan rumah
Aku ingin sebuah tempat
Yang di sana orang-orang hidup dengan cinta tulus dari
dalam hati
Dan jika pun ada keluhan, biarkan ia sirna dalam kematian.
—Poem by
Cahit Sıtkı
Matahari
sore ini sudah hampir hilang di balik gedung-gedung kotaku. Dari jendela kamar
yang berlapis kaca, kusaksikan semburat warna-warni yang masih tersisa. Kuning,
oranye, hingga merah. Sore ini hatiku kembali dilanda keperihan yang tidak
kuketahui alasannya. Rasa sakit ini semakin menderu tatkala aku selesai membaca
tulisan-tulisan teman blog yang baru saja pergi dan tak akan pernah menulis
lagi. Tulisannya membuatku menangis, lalu merasakan keperihan yang luar biasa.
Aku iri padanya karena ia berhasil mengungkapkan segala suasana hati melalui
bahasa-bahasa dalam tulisannya, sementara aku selalu gagal untuk menuangkan
keadaanku. Sesaat aku sempat berpikir, apakah kondisi mentalku sama dengannya?
Karena
keperihan dan kesedihan tanpa alasan ini, karena air mata yang jatuh tanpa
sebab ini, aku mencari penjelasan dari banyak tulisan. Sebagian mengatakan hal
ini wajar, namun sebagian mengatakan bahwa keadaan seperti ini masuk ke dalam
kategori mental depresi. Benarkah aku sedang depresi? Tapi aku tidak punya satu
alasan pun untuk mengatakan itu.
Sehari-hari
aktivitasku selalu padat sehingga tidak ada waktu untuk memikirkan hal-hal
tidak berguna. Aku punya teman-teman yang baik hati. Aku punya keluarga yang sangat mencintaiku.
Aku punya nilai akademis yang lumayan. Lalu di mana masalahnya?
Hingga
akhirnya, salah satu jawaban di internet yang kudapatkan berhasil membuatku
berpikir, lalu sedikit berseru , “mungkin karena ini”.
“You probably
didn't get sad without any reason; you got sad without being consciously aware of the reason.
This can happen to anybody. Often, it occurs when you make an unconscious link to something else that made you sad in the past. It is impossible for someone else to say what in particular made you sad this time; it could be any kind of sensory input. The smell of the flowers at your grandmother's funeral. Light shining through a window the way it was while you were arguing with a partner and the relationship ended. A song that was playing when you got fired. This can trigger emotion even when you don't remember having experienced it before, because those memories can still be lurking about even when you can't consciously recall them.
It could also be a recent thought or event that is making you sad, but which for some reason you don't want to acknowledge. When you use repression as a defence mechanism, the associated emotion can still come out even though the reason for it has been pushed into the background.
That assumes that this was a once-off event, in which you burst into tears, but then fully recovered and where able to move on.
If you have been breaking down regularly, and it has been going on for more than two weeks, then it may be possible that there is more to it, and it could be a Major depressive episode. If that is the case, it is going to be very hard to get through it on your own, and it is a good idea to see a doctor.”
This can happen to anybody. Often, it occurs when you make an unconscious link to something else that made you sad in the past. It is impossible for someone else to say what in particular made you sad this time; it could be any kind of sensory input. The smell of the flowers at your grandmother's funeral. Light shining through a window the way it was while you were arguing with a partner and the relationship ended. A song that was playing when you got fired. This can trigger emotion even when you don't remember having experienced it before, because those memories can still be lurking about even when you can't consciously recall them.
It could also be a recent thought or event that is making you sad, but which for some reason you don't want to acknowledge. When you use repression as a defence mechanism, the associated emotion can still come out even though the reason for it has been pushed into the background.
That assumes that this was a once-off event, in which you burst into tears, but then fully recovered and where able to move on.
If you have been breaking down regularly, and it has been going on for more than two weeks, then it may be possible that there is more to it, and it could be a Major depressive episode. If that is the case, it is going to be very hard to get through it on your own, and it is a good idea to see a doctor.”
Ya,
mungkin kesedihan ini datangnya dari kepingan-kepingan kejadian yang pernah
kualami dulu. Mungkin aku tidak bisa sempurna ‘move-on’ dari
peristiwa-peristiwa yang terlalu menyakitkan atau terlalu membahagiakan di masa
silam.
Seperti
yang pernah kuceritakan padamu, masa kecilku begitu indah, setidaknya secara
keseluruhan seperti itu. Namun beberapa hal dan peristiwa terasa begitu
menyakitkan hingga tak jarang membuatku menangisi diri sendiri. Aku kasihan
pada diriku sendiri karena ternyata peristiwa di masa lampau itu berpengaruh
pada kehidupan dan caraku bersosial di waktu sekarang. Mungkin jika waktunya
sudah tepat, bisa kuceritakan semuanya tanpa sesuatu pun yang ditutup-tutupi.
Tentang
kebahagiaan, masa kecilku juga begitu menyenangkan. Aku tumbuh bersama kawanan
burung di ladang jagung, angin yang berembus dari hutan, dan ikan-ikan yang
bersembunyi dalam lubang-lubang di parit sepanjang desa kami. Saat ke sekolah,
aku dan teman masa kecilku bersepeda bersama sambil bersenda gurau. Kami duduk
di bangku-bangku yang ada di bawah pohon rindang ketika watu istirahat. Di sana
kami tertawa lepas. Terus tertawa tanpa sibuk memikirkan hal apa yang sebainya
kukatakan. Lalu di sore hari hingga Magrib menjelang, aku dan sepupuku akan
melajukan ke sepeda menuju dermaga. Di sana kami menyaksikan laut cokelat dan
perahu-perahu nelayan dengan layar warna-warni.
Pembicaraan kami seperti tidak ada habisnya, tawa kami seperti tak mau
berhenti.
Waktu
berlalu. Keindahan dan keluguan masa kanak-kanak itu telah lenyap kini. Yang
tersisa hanyalah tempat-tempat yang sejak dulu menjadi saksi kehidupan kami.
Teman-teman masa kecilku sudah tumbuh menjadi gadis-gadis atau beberapa sudah
menjadi ibu. Tidak ada keluguan seperti dulu. Bahkan saat bertemu mereka, aku
selalu bingung dan terus berpikir, apa yang akan kami bicarakan nanti? Apa yang
harus kutanyakan padanya?
Mengenai
puisi di awal tulisan yang kucantumkan, itulah yang selalu kurindukan tiap kali
aku merasa perih. Aku menginginkan sebuah tempat yang damai, tempat yang tidak
ada perbedaan begitu senjang antara kamu dan aku, tempat dimana semua orang
bisa saling berbagi cinta dan kebahagiaan. Aku ingin keluguan dan kebahagiaan
tanpa sedikit pun ketakutan seperti dulu. Aku merindukan semua itu, dan di sisi
lain, aku ingin melepaskan segala peristiwa yang telah membuatku sangat
terluka.
Maaf
jika tulisan kali ini tidak ada manfaatnya...
foto yang paling atas keren :)
ReplyDeletepersis
ReplyDeletePersis opone, Mas Yoga?
DeleteMungkin, tempatnya
ReplyDeleteAkan lebih mudah disinggah jika
Kepedihan dan rindu
Kaya dan miskin
Ketulusan yang hanya kadang semayam
Tak perlu menjadi pemicu selisih
Mungkin :)
Love it.. its nice story..
ReplyDeleteSemakin menarik dan mendalam.. menunggu cerita2 indah lainnya...
ReplyDelete