Wednesday 1 July 2015

Mostar, Benarkah Ada Penantian di Sana?


Aku pertama kali tahu tentang negara bernama Bosnia sekitar satu tahun lalu. Tepatnya saat aku giat membaca segala sesuatu tentang Turki Ustmani. Dari novel Ghazi aku tahu bahwa sekitar tahun 1300-an, khalifah Turki Ustmani memulai ekspansi ke negara-negara Semenanjung Balkan (seperti Kroasia, Serbia, dan Bosnia).

Entah bagaimana ceritanya, beberapa tulisan yang kubaca di internet ternyata membuatku jatuh cinta pada Bosnia Herzegovina, terutama kota Mostar. Salah satu puisi yang bercerita tentang penderitaan seorang gadis kecil saat perang Bosnia pecah membuatku terenyuh. 

Aku semakin gencar mencari informasi tentang Bosnia. 

Bosnia yang multi agama tempat Islam, Ortodoks, Katolik, dan Yahudi hidup dalam harmoni sehingga dijuluki sebagai Yerussalemnya Eropa.

Bosnia yang menyimpan catatan-catatan masa lalu tentang perang, tentang para muslimah yang diperkosa secara massal, tentang kepala para Muslim yang terpenggal tanpa dosa, tentang tangis pilu anak-anak memanggil nama ayah dan ibu yang lebih dulu menghadap Tuhan. Ah, Bosnia. Bahkan dalam mimpi pun aku akan sangat bersyukur jika bisa mengunjunginya.

Tidak banyak memang yang tahu keberadaannya, tapi percayalah, meski aku belum pernah berkunjung, Bosnia adalah negara kecil yang cantik. Bukan hanya cantik secara geografis, namun juga budaya dan sejarahnya.

Tulisan berikut merupakan cuplikan dari salah satu novel yang kutulis setahun lalu. Aku tidak percaya diri untuk mengirimkan ke penerbit. Jadi cukup disimpan untuk dibaca-baca sendiri. Semoga cukup sebagai pengantar bagi sahabat semua untuk mengenal Bosnia lebih jauh.

 -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Lanskap of Sarajevo (pinterest)
Pesawat Turkish Airlines yang kutumpangi mendarat tidak begitu halus di Sarajevo International Airport, bandara terbesar sekaligus tersibuk di Bosnia Herzegovina. Tiket yang dibelikan Ishak adalah tiket penerbangan langsung menuju Sarajevo, tidak harus transit terlebih dahulu di Wina, Austria. Dua jam dua menit selama penerbangan kuhabiskan dengan memandang keluar jendela, pada awan-awan tipis yang melayang. Seolah mereka tercipta hanya untuk terbang bebas tanpa beban. Dan jika sudah sampai waktunya, mereka akan berubah dalam wujud lain berupa tetes hujan atau salju yang meluncur menuju bumi, kembali menemukan sebuah kehidupan baru. 

Perangkat hiburan yang disediakan di depan kursi tidak kusentuh sama sekali. Berbeda denganku, Elma justru asik menonton film Turki yang tak kuketahui judulnya. Berkali-kali juga ia meminta minuman dan makanan ringan pada pramugari. Kurasa ia menganggap kepulangan ini sama seperti yang dilakukan  kebanyakan orang. Yang biasa dikenal dengan istilah pulang kampung. Dimana setiap hati mereka yang akan pulang kampung selalu dipenuhi bunga-bunga kebahagiaan. Bahkan harum masakan sang ibu tercium di sepanjang perjalanan mereka. Sementara aku? Ini adalah kepulangan yang tidak bisa kujelaskan. Aku senang, aku takut, dan aku yang masih berkabung.
Zdravo. Dobro jutro[1]. Welcome in Sarajevo International Airport. Thank you for chose a flight with us.”
Seorang pramugari yang berdiri di pintu kabin melepas kepergian para penumpan, termasuk aku dan Elma. Senyum dan bentuk wajahnya khas Turki, sangat cocok dengan seragam biru donker yang membalut tubuhnya. 

Angin musim dingin menyambut begitu kami keluar dari pesawat. Tidak ada perbedaan yang kontras antara Turki dan Bosnia Herzegovina, baik suhu maupun waktu yang hanya selisih satu jam saja. 

Ini adalah kali pertama aku menginjakkan kaki di sini, bandara tanah kelahiranku. Dulu selama perang 1992-1995, penerbangan umum ditutup sementara waktu dan hanya dipakai untuk kegiatan kemanusiaan, seperti mengantarkan bantuan-bantuan dari seluruh dunia untuk korban perang. Bandara ini baru kembali beroperasi normal satu tahun setelah perang usai.
Bu ülkemiz, Abi[2].”
Elma berseru begitu kakinya menginjak lantai bandara. Aku membenarkan dalam hati. Ya, inilah negara kita yang pernah berusaha kulupakan. 

Kami berjalan mengikuti lorong yang mengantar menuju conveyor dan petugas pemeriksaan. Aku tidak tahu pasti bagaimana bisa paspor pemberian Ishak sama seperti aslinya, sampai-sampai petugas imigrasi baik di Atatürk Airport maupun di bandara ini tidak menaruh curiga sedikit pun.
Hvala[3]” ucapku dengan bahasa Bosnia setelah petugas imigrasi laki-laki mempersilakanku melewati pintunya.
“Da li govorite bosansky? Odakle ste?[4]” Wajah petugas itu terlihat semangat
“Razumijem bosansky, just little[5].” Jawabku dengan memberikan sedikit senyuman, kemudian berlalu meninggalkan mejanya. Sengaja tidak kujawab pertanyaannya mengenai asalku, toh dia bisa membaca dari scan pasporku yang masih tampil di layar komputernya. Di sana Ishak mencantumkan kewarganegaraan Turki untukku.
Setelah Elma melewati meja imigrasi, kami segera keluar dari bangunan bandara. Bangunan yang tidak begitu mewah sebenarnya.
“Kau tahu, bandara ini telah menerima beberapa international award.” Seru Elma. Ia melihat kembali ke arah pintu bandara.
“Baguslah.” Aku merespon pendek.
Seperti kebanyakan bandara internasional, pastinya di terminal keberangkatan dan kedatangan penerbangan internasional selalu dipenuhi wajah-wajah antarbangsa. Sekumpulan turis berwajah Cina terlihat baru keluar dari pintu exit bangunan bandara, wajah senang jelas sekali tergambar dari wajah mereka. Aku sudah hapal dengan kebiasaan orang Cina, mereka tidak pernah kehabisan suara. Selalu saja berisik ketika berbicara dengan sesama mereka. Seketika mereka mengerubungi seorang laki-laki separuh baya yang membawa kertas bertuliskan sesuatu di depan dadanya. Kemungkinan besar ia adalah tour guide yang akan memandu perjalanan para turis Cina itu.

Seorang laki-laki menghampiriku. Dengan bahasa Bosnia ia menawari kami untuk naik ke taksinya. Aku tidak mau berpikir lama, ditambah udara yang semakin menusuk tulang, langsung saja kuterima tawarannya. Koper kecil di tanganku seketika berpindah tangan. Supir yang kuterka berumur lima puluh itu mengangkut ke bagasi. Senyum ramah tetap tersungging di bibir laki-laki tua itu ketika ia mempersilakan kami masuk ke dalam taksi.

Mobil kuning yang masih cukup bagus itu bergerak meninggalkan bandara. Salju tipis turun tapi masih jarang-jarang. Setelah mengucapkan selamat datang dan menanyakan tujuanku, supir tua itu mengarahkan mobilnya melewati jalan Brace Mulic, kemudian Belok kiri menuju Senada Poturka Sencija. Berdasarkan penuturannya, ada tiga rute yang bisa ditempuh dari bandara menuju stasiun bus di tengah kota Sarajevo. Tidak ada perbedaan jarak tempuh yang signifikan di antara ketiga rute itu. Semuanya tidak memakan waktu lebih dari 20 menit.
Mobil terus melaju di jalanan yang tidak begitu padat. Ada getaran halus menyusup dalam dadaku, mencipatakan keharuan yang indah. Sarajevo, tidak pernah terbersit dalam pikiranku untuk kembali mendatangimu, bahkan berpikir untuk melihatmu di internet pun tidak. 

Kota inilah yang merekam perjalanan masa kecilku dulu. Ketika Mustafa, Ishak, dan Jasmina menjalani hari-hari mereka dalam satu tempat, saling mengetahui satu sama lain. Beginikah rasanya kembali? Ketika tak ada satupun yang boleh terlewat dari setiap jengkal tanah dan apa yang ada di atasnya. Hatiku bergetar semakin hebat, wajah kecil kami dan wajah Ayah-Ibu membayang dalam pikiran. Betapa jauh peristiwa demi peristiwa melemparkan kita, betapa lama tragedi itu telah memisahkan kita. Dan hari ini aku kembali.
 
Makam para penduduk sipil yang menjadi korban perang 1992-1995 (pinterest)
Kini kota ini sudah banyak berubah. Tidak ada lagi bangunan-bangunan hancur dengan asap membumbung tinggi. Tak ada tank-tank chetnik yang berjalan serupa monster yang mengejar mangsanya. Tak ada barisan setan yang menembaki penduduk kami. Tak ada jeritan luka wanita dan anak-anak. Tak ada air mata yang meleleh dari sudut mata laki-laki ketika dipisahkan dari anak istrinya. Tak juga terdengar dentuman-dentuman yang menakutkan dari segenap penjuru kota.

Sekarang kotaku adalah tempat yang aman, yang indah, dan menyihir. Air mata dan darah penduduk kami yang terbunuh bertitah pada bumi untuk menumbuhkan keindahannya.
 
Masjid bergaya Ottoman di Sarajevo (pinterest)
Aku melihat bangunan di sepanjang jalan. Beberapa bangunan seperti Masjid tetap terlihat seperti dulu, bergaya Ottoman dengan menara-menara runcingnya. Gedung-gedung yang dulu hancur akibat perang telah direkonstruksi kembali sedemikian rupa. Beberapa bangunan masih mempertahankan keadaan aslinya sebagai peninggalan sejarah. Tidak bisa dipungkiri, sejak perang 1992-1995, Bosnia identik dengan negara yang menyeramkan karena dipenuhi sisa-sisa perang. Tidak banyak yang mengetahui keindahannya. Bahkan sebagian orang menganggap kunjungan ke Bosnia tidak ubahnya kunjungan ke kota kelam yang berhantu. Tetapi kini bisa kupastikan, ketika kamu menginjakkan kaki di dalamnya, kamu akan terpukau dengan pesona Bosnia. Pesona semenanjung Balkan.
“Jika kita terus mengikuti jalan ini, kemudian berbelok tiga kali, sampailah nantinya di jalan Zelenih Beretki. Biasanya itu adalah titik pertama Sarajevo yang dikunjungi oleh turis mancanegara.” Supir tua itu menjelaskan ketika kami melaju di jalan Zvornicka. Telunjuknya menunjuk kecil ke depan.
“Di sana memang indah. Aku sangat ingin berjalan-jalan di pinggir sungai Miljacka, lalu menyeberanginya melewati jembatan Latin dan melihat-lihat Museum Sarajevo 1878-1918. Itu akan menjadi pengalaman yang menyenangkan.” Sambung Elma dengan matanya yang berbinar.
Sungai Miljacka yang membelah kota (pinterest)
Dulu masa kecil kami di Sarajevo, aku juga sering menyusuri sungai Miljacka dengan sepeda. Area Zelenih Beretki adalah salah satu tempat kegemaranku untuk menghabiskan waktu libur. Jembatan Latin yang tiangnya berbentuk lengkungan-lengkungan itu tidak pernah membosankan untuk dipandang. Dan jika sudah lelah, aku akan masuk ke museum Sarajevo 1878-1918 atau yang dikenal dengan museum Austria-Hongaria. Disebut begitu karena memang museum itu bercerita tentang masa kedudukan Austria-Hongaria di Sarajevo, selama periode 1878-1918. Tempat terbunuhnya Franz Ferdinand yang memicu perang dunia pertama pun diduga terjadi di area itu.
 
Sarajevo in winter (pinterest)
Mobil meninggalkan jalan Zvornicka, berbelok ke kiri memasuki jalan Hamdije Cemerlica. Di trotoar jalan yang mulai dilapisi salju, tampak para wanita Bosnia yang berjalan dengan plastik-plastik belanja di tangan. Kini para wanita Bosnia banyak yang mengenakan kerudung seperti Jasmina. Dulu, ketika Bosnia masih berada dalam federasi Yugoslavia, semua hal yang berbau agama tidak boleh diperlihatkan. Ibuku ber-Islam dengan baik, tetapi ia tetap tidak bisa memakai kerudung ketika bepergian. Masjid-Masjid sepi seperti kuburan. Keadaan itu berbanding terbalik pasca perang Bosnia, pengalaman pahit selama periode perang sepertinya membawa para Bosnian pada kesadaran, ditambah lagi dengan syiar Islam yang digemakan oleh para mujahidin antar bangsa yang membantu Bosnia.
“Lihat para gadis kami, mereka cantik-cantik, bukan? Kuperhatikan, kau tidak berbeda dengan gadis-gadis negara ini, nak?” Supir tua itu memandang Elma dari kaca yang berada di kanan atas kemudinya.
Elma hanya tersipu lalu mengalihkan pandangan kembali ke arah  trotoar. Taksi terus melaju selama beberapa menit, kemudian berhenti tepat di depan Autobuska stanica Sarajevo—terminal bus kota Sarajevo. 

Setelah membayar tarif taksi, bapak supir itu langsung memutar mobil. Ia memberikan senyuman sebelum melajukan mobil meninggalkan kami. 

Sambil menggenggam tangan Elma, aku membawanya menuju tempat pembelian tiket, kemudian bergegas masuk ke dalam bus. Sepuluh menit kemudian bus bergerak keluar dari terminal. Setelah berada di badan jalan, bus melaju dengan halus meninggalkan Sarajevo. Lanskap kota berganti dengan hamparan rerumputan cokelat yang dilapisi salju tipis. Dua jam tiga puluh menit lagi kami akan tiba di Mostar.

Ah, Mostar. Benarkah ada penantian di sana?


[1] Halo. Selamat pagi
[2] Inilah negara kita
[3] Thanks
[4] Apakah kamu berbicara dalam bahasa Bosnia? Darimana asalmu?
[5] Aku mengerti bahasa Bosnia sedikit

8 comments:

  1. Bosnia Herzegovina saya juga selalu pengen kesana (pengen kemana mana dah hahaha) Ada masjid Istiklal ndonesia di Sarajevo, ada satu anggota parlemen australia juga berdarah Bosnia

    ReplyDelete
  2. Saya pikir, cuplikan novel di atas layak diterbitkan.

    ReplyDelete
  3. Sofi... Kamu pandai sekali meramu kata dalam cerita fiksi. Aku rasa kamu harus mengembangkan cerita ini dan terbitkan. Ayo perbanyak novel yang bersetting Bosnia :)

    ReplyDelete
  4. Hi Sofi, kamu seharusnya mengirim tulisan itu ke penerbit agar lebih banyak lagi pembaca merasakan apa yang kamu rasakan. Terimakasih sudah mengenalkan Bosnia padaku. :)

    ReplyDelete
  5. Saya dahulu sempat dekat dengan warga negara bosnia sof, mereka muslim yang taat sekali tetapi tetap open minded dan sangat ramah.

    Suka dengan cerita kamu yang bisa bikin kita ngebayangin juga ada disana...

    ReplyDelete
  6. great linked phrase build a nice story. Love it. Thank you.

    ReplyDelete
  7. Bosnia itu sungguh indah sekali,wanitanya juga cantik cantik dan banyak yang muslim lagi.mungkin suatu saat nanti saya ingin liburan kesana


    Bosna i hercegovina je lijepa drzava puno sa lijepi zene

    Volim te i nedostajes mi

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...