Aku pertama kali tahu tentang negara bernama Bosnia sekitar satu tahun lalu. Tepatnya saat aku giat membaca segala sesuatu tentang Turki Ustmani. Dari novel Ghazi aku tahu bahwa sekitar tahun 1300-an, khalifah Turki Ustmani memulai ekspansi ke negara-negara Semenanjung Balkan (seperti Kroasia, Serbia, dan Bosnia).
Entah bagaimana ceritanya, beberapa tulisan yang kubaca di internet ternyata membuatku jatuh cinta pada Bosnia Herzegovina, terutama kota Mostar. Salah satu puisi yang bercerita tentang penderitaan seorang gadis kecil saat perang Bosnia pecah membuatku terenyuh.
Aku semakin gencar mencari informasi tentang Bosnia.
Bosnia yang multi agama tempat Islam, Ortodoks, Katolik, dan Yahudi hidup dalam harmoni sehingga dijuluki sebagai Yerussalemnya Eropa.
Bosnia yang menyimpan catatan-catatan masa lalu tentang perang, tentang para muslimah yang diperkosa secara massal, tentang kepala para Muslim yang terpenggal tanpa dosa, tentang tangis pilu anak-anak memanggil nama ayah dan ibu yang lebih dulu menghadap Tuhan. Ah, Bosnia. Bahkan dalam mimpi pun aku akan sangat bersyukur jika bisa mengunjunginya.
Tidak banyak memang yang tahu keberadaannya, tapi percayalah, meski aku belum pernah berkunjung, Bosnia adalah negara kecil yang cantik. Bukan hanya cantik secara geografis, namun juga budaya dan sejarahnya.
Tulisan berikut merupakan cuplikan dari salah satu novel yang kutulis setahun lalu. Aku tidak percaya diri untuk mengirimkan ke penerbit. Jadi cukup disimpan untuk dibaca-baca sendiri. Semoga cukup sebagai pengantar bagi sahabat semua untuk mengenal Bosnia lebih jauh.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Lanskap of Sarajevo (pinterest) |
Pesawat Turkish Airlines yang kutumpangi mendarat
tidak begitu halus di Sarajevo International Airport, bandara terbesar
sekaligus tersibuk di Bosnia Herzegovina. Tiket yang dibelikan Ishak adalah
tiket penerbangan langsung menuju Sarajevo, tidak harus transit terlebih dahulu
di Wina, Austria. Dua jam dua menit selama penerbangan kuhabiskan dengan
memandang keluar jendela, pada awan-awan tipis yang melayang. Seolah mereka
tercipta hanya untuk terbang bebas tanpa beban. Dan jika sudah sampai waktunya,
mereka akan berubah dalam wujud lain berupa tetes hujan atau salju yang
meluncur menuju bumi, kembali menemukan sebuah kehidupan baru.
“Zdravo. Dobro jutro[1]. Welcome in Sarajevo International Airport. Thank you for chose a flight with us.”
Seorang pramugari yang
berdiri di pintu kabin melepas kepergian para penumpan, termasuk aku dan Elma.
Senyum dan bentuk wajahnya khas Turki, sangat cocok dengan seragam biru donker
yang membalut tubuhnya.
Angin musim dingin menyambut begitu kami keluar
dari pesawat. Tidak ada perbedaan yang kontras antara Turki dan Bosnia
Herzegovina, baik suhu maupun waktu yang hanya selisih satu jam saja.
Ini adalah kali pertama aku menginjakkan kaki di
sini, bandara tanah kelahiranku. Dulu selama perang 1992-1995, penerbangan umum
ditutup sementara waktu dan hanya dipakai untuk kegiatan kemanusiaan, seperti mengantarkan
bantuan-bantuan dari seluruh dunia untuk korban perang. Bandara ini baru
kembali beroperasi normal satu tahun setelah perang usai.
Elma berseru begitu kakinya menginjak lantai bandara. Aku membenarkan
dalam hati. Ya, inilah negara kita yang pernah berusaha kulupakan.
Kami berjalan mengikuti lorong yang mengantar
menuju conveyor dan petugas pemeriksaan. Aku tidak tahu pasti bagaimana
bisa paspor pemberian Ishak sama seperti aslinya, sampai-sampai petugas
imigrasi baik di Atatürk Airport maupun di bandara ini tidak menaruh curiga
sedikit pun.
“Hvala[3]” ucapku dengan bahasa Bosnia setelah petugas imigrasi laki-laki mempersilakanku melewati pintunya.
“Razumijem bosansky, just little[5].” Jawabku dengan memberikan sedikit senyuman, kemudian berlalu meninggalkan mejanya. Sengaja tidak kujawab pertanyaannya mengenai asalku, toh dia bisa membaca dari scan pasporku yang masih tampil di layar komputernya. Di sana Ishak mencantumkan kewarganegaraan Turki untukku.
Setelah Elma melewati meja
imigrasi, kami segera keluar dari bangunan bandara. Bangunan yang tidak begitu
mewah sebenarnya.
“Kau tahu, bandara ini telah menerima beberapa international award.” Seru Elma. Ia melihat kembali ke arah pintu bandara.
“Baguslah.” Aku merespon pendek.
Seperti kebanyakan bandara
internasional, pastinya di terminal keberangkatan dan kedatangan penerbangan
internasional selalu dipenuhi wajah-wajah antarbangsa. Sekumpulan turis berwajah
Cina terlihat baru keluar dari pintu exit bangunan bandara, wajah senang jelas
sekali tergambar dari wajah mereka. Aku sudah hapal dengan kebiasaan orang
Cina, mereka tidak pernah kehabisan suara. Selalu saja berisik ketika berbicara
dengan sesama mereka. Seketika mereka mengerubungi seorang laki-laki separuh
baya yang membawa kertas bertuliskan sesuatu di depan dadanya. Kemungkinan
besar ia adalah tour guide yang akan
memandu perjalanan para turis Cina itu.
Seorang laki-laki
menghampiriku. Dengan bahasa Bosnia ia menawari kami untuk naik ke taksinya.
Aku tidak mau berpikir lama, ditambah udara yang semakin menusuk tulang,
langsung saja kuterima tawarannya. Koper kecil di tanganku seketika berpindah
tangan. Supir yang kuterka berumur lima puluh itu mengangkut ke bagasi. Senyum
ramah tetap tersungging di bibir laki-laki tua itu ketika ia mempersilakan kami
masuk ke dalam taksi.
Mobil kuning yang masih
cukup bagus itu bergerak meninggalkan bandara. Salju tipis turun tapi masih
jarang-jarang. Setelah mengucapkan selamat datang dan menanyakan tujuanku,
supir tua itu mengarahkan mobilnya melewati jalan Brace Mulic, kemudian Belok kiri menuju Senada Poturka Sencija. Berdasarkan penuturannya, ada tiga rute yang bisa
ditempuh dari bandara menuju stasiun bus di tengah kota Sarajevo. Tidak ada
perbedaan jarak tempuh yang signifikan di antara ketiga rute itu. Semuanya
tidak memakan waktu lebih dari 20 menit.
Mobil terus melaju di jalanan yang tidak
begitu padat. Ada getaran halus menyusup dalam dadaku, mencipatakan keharuan
yang indah. Sarajevo, tidak pernah terbersit dalam pikiranku untuk kembali
mendatangimu, bahkan berpikir untuk melihatmu di internet pun tidak.
Kota inilah yang merekam perjalanan masa
kecilku dulu. Ketika Mustafa, Ishak, dan Jasmina menjalani hari-hari mereka
dalam satu tempat, saling mengetahui satu sama lain. Beginikah rasanya kembali?
Ketika tak ada satupun yang boleh terlewat dari setiap jengkal tanah dan apa
yang ada di atasnya. Hatiku bergetar semakin hebat, wajah kecil kami dan wajah
Ayah-Ibu membayang dalam pikiran. Betapa jauh peristiwa demi peristiwa
melemparkan kita, betapa lama tragedi itu telah memisahkan kita. Dan hari ini
aku kembali.
Kini kota ini sudah banyak berubah. Tidak ada
lagi bangunan-bangunan hancur dengan asap membumbung tinggi. Tak ada tank-tank
chetnik yang berjalan serupa monster yang mengejar mangsanya. Tak ada barisan
setan yang menembaki penduduk kami. Tak ada jeritan luka wanita dan anak-anak.
Tak ada air mata yang meleleh dari sudut mata laki-laki ketika dipisahkan dari
anak istrinya. Tak juga terdengar dentuman-dentuman yang menakutkan dari
segenap penjuru kota.
Sekarang kotaku adalah tempat yang aman, yang
indah, dan menyihir. Air mata dan darah penduduk kami yang terbunuh bertitah
pada bumi untuk menumbuhkan keindahannya.
Aku melihat bangunan di sepanjang jalan.
Beberapa bangunan seperti Masjid tetap terlihat seperti dulu, bergaya Ottoman
dengan menara-menara runcingnya. Gedung-gedung yang dulu hancur akibat perang
telah direkonstruksi kembali sedemikian rupa. Beberapa bangunan masih
mempertahankan keadaan aslinya sebagai peninggalan sejarah. Tidak bisa
dipungkiri, sejak perang 1992-1995, Bosnia identik dengan negara yang
menyeramkan karena dipenuhi sisa-sisa perang. Tidak banyak yang mengetahui
keindahannya. Bahkan sebagian orang menganggap kunjungan ke Bosnia tidak
ubahnya kunjungan ke kota kelam yang berhantu. Tetapi kini bisa kupastikan,
ketika kamu menginjakkan kaki di dalamnya, kamu akan terpukau dengan pesona
Bosnia. Pesona semenanjung Balkan.
“Jika kita terus mengikuti jalan ini, kemudian berbelok tiga kali, sampailah nantinya di jalan Zelenih Beretki. Biasanya itu adalah titik pertama Sarajevo yang dikunjungi oleh turis mancanegara.” Supir tua itu menjelaskan ketika kami melaju di jalan Zvornicka. Telunjuknya menunjuk kecil ke depan.
“Di sana memang indah. Aku sangat ingin berjalan-jalan di pinggir sungai Miljacka, lalu menyeberanginya melewati jembatan Latin dan melihat-lihat Museum Sarajevo 1878-1918. Itu akan menjadi pengalaman yang menyenangkan.” Sambung Elma dengan matanya yang berbinar.
Dulu masa kecil kami di Sarajevo, aku juga sering menyusuri sungai Miljacka dengan sepeda. Area Zelenih Beretki adalah salah satu tempat
kegemaranku untuk menghabiskan waktu libur. Jembatan Latin yang tiangnya
berbentuk lengkungan-lengkungan itu tidak pernah membosankan untuk dipandang.
Dan jika sudah lelah, aku akan masuk ke museum Sarajevo 1878-1918
atau yang dikenal dengan museum Austria-Hongaria. Disebut begitu karena
memang museum itu bercerita tentang masa kedudukan Austria-Hongaria di
Sarajevo, selama periode 1878-1918. Tempat terbunuhnya
Franz Ferdinand yang memicu perang dunia pertama pun diduga terjadi di area
itu.
Mobil meninggalkan jalan Zvornicka, berbelok
ke kiri memasuki jalan Hamdije Cemerlica. Di trotoar jalan yang mulai dilapisi
salju, tampak para wanita Bosnia yang berjalan dengan plastik-plastik belanja
di tangan. Kini para wanita Bosnia banyak yang mengenakan kerudung seperti
Jasmina. Dulu, ketika Bosnia masih berada dalam federasi Yugoslavia, semua hal
yang berbau agama tidak boleh diperlihatkan. Ibuku ber-Islam dengan baik,
tetapi ia tetap tidak bisa memakai kerudung ketika bepergian. Masjid-Masjid
sepi seperti kuburan. Keadaan itu berbanding terbalik pasca perang Bosnia,
pengalaman pahit selama periode perang sepertinya membawa para Bosnian pada
kesadaran, ditambah lagi dengan syiar Islam yang digemakan oleh para mujahidin
antar bangsa yang membantu Bosnia.
“Lihat para gadis kami, mereka cantik-cantik, bukan? Kuperhatikan, kau tidak berbeda dengan gadis-gadis negara ini, nak?” Supir tua itu memandang Elma dari kaca yang berada di kanan atas kemudinya.
Elma hanya tersipu lalu mengalihkan pandangan
kembali ke arah trotoar. Taksi terus
melaju selama beberapa menit, kemudian berhenti tepat di depan Autobuska stanica Sarajevo—terminal bus kota Sarajevo.
Setelah
membayar tarif taksi, bapak supir itu langsung memutar mobil. Ia memberikan
senyuman sebelum melajukan mobil meninggalkan kami.
Sambil
menggenggam tangan Elma, aku membawanya menuju tempat pembelian tiket, kemudian
bergegas masuk ke dalam bus. Sepuluh menit kemudian bus bergerak keluar dari
terminal. Setelah berada di badan jalan, bus melaju dengan halus meninggalkan
Sarajevo. Lanskap kota berganti dengan hamparan rerumputan cokelat yang
dilapisi salju tipis. Dua jam tiga puluh menit lagi kami akan tiba di Mostar.
Ah, Mostar.
Benarkah ada penantian di sana?
Bosnia Herzegovina saya juga selalu pengen kesana (pengen kemana mana dah hahaha) Ada masjid Istiklal ndonesia di Sarajevo, ada satu anggota parlemen australia juga berdarah Bosnia
ReplyDeleteSaya pikir, cuplikan novel di atas layak diterbitkan.
ReplyDeleteSofi... Kamu pandai sekali meramu kata dalam cerita fiksi. Aku rasa kamu harus mengembangkan cerita ini dan terbitkan. Ayo perbanyak novel yang bersetting Bosnia :)
ReplyDeleteHi Sofi, kamu seharusnya mengirim tulisan itu ke penerbit agar lebih banyak lagi pembaca merasakan apa yang kamu rasakan. Terimakasih sudah mengenalkan Bosnia padaku. :)
ReplyDeleteSaya dahulu sempat dekat dengan warga negara bosnia sof, mereka muslim yang taat sekali tetapi tetap open minded dan sangat ramah.
ReplyDeleteSuka dengan cerita kamu yang bisa bikin kita ngebayangin juga ada disana...
great linked phrase build a nice story. Love it. Thank you.
ReplyDeletelike it
ReplyDeleteBosnia itu sungguh indah sekali,wanitanya juga cantik cantik dan banyak yang muslim lagi.mungkin suatu saat nanti saya ingin liburan kesana
ReplyDeleteBosna i hercegovina je lijepa drzava puno sa lijepi zene
Volim te i nedostajes mi