Dulu, aku juga sering naik di depan sepeda Ibu seperti ini |
Bunda,
Saat kami bayi, engkau orang terakhir tidur setelah dunia lelap,
bahkan boleh jadi tidak tidur, agar kami bisa nyenyak.
Dan engkau pula yang pertama kami lihat saat terjaga.
Bunda,
Saat kami kanak-kanak, engkau orang terakhir yang putus rasa sabarnya,
bahkan boleh jadi tidak pernah, walau orang2 lain telah jengkel setengah mati
Dan engkau pula yang pertama membesarkan hati.
Bunda,
Saat kami gagal, engkau orang terakhir yang berputus asa,
bahkan boleh jadi tidak pernah, meski seluruh dunia sudah berhenti berharap
Dan engkau pula yang pertama menghibur.
Bunda,
Saat kami sakit, engkau orang terakhir yang bertahan menemani,
bahkan boleh jadi tidak pernah pergi, meski sekitar telah kembali sibuk
Dan engkau pula yang pertama berbisik kabar kesembuhan.
Bunda,
Saat kami ragu2, engkau orang terakhir yang hilang keyakinan,
bahkan boleh jadi tidak pernah pergi, meski sekitar telah menyerah
Dan engkau pula yang pertama berbisik tentang janji-janji.
Walaupun,
Saat kami besar, boleh jadi engkau orang terakhir yang kami hubungi,
bahkan boleh jadi tidak pernah, karena alasan sibuk atau apalah
Walaupun,
Saat kami bahagia, boleh jadi engkau orang terakhir yang tahu,
bahkan boleh jadi benar2 amat terlambat, karena alasan tidak sempat atau apalah
Bunda,
Di antara bisik doa-doa-mu, sungguh terselip beribu nama kami
Dan boleh jadi itulah yang membawa kami hingga seperti hari ini
Engkau orang terakhir yang akan berhenti mendoakan kami,
bahkan boleh jadi tidak pernah berhenti, hingga akhir hayat.
Dan sungguh, Engkau pula orang pertama yang mengucapkan kata Amin bagi kami.
Saat kami bayi, engkau orang terakhir tidur setelah dunia lelap,
bahkan boleh jadi tidak tidur, agar kami bisa nyenyak.
Dan engkau pula yang pertama kami lihat saat terjaga.
Bunda,
Saat kami kanak-kanak, engkau orang terakhir yang putus rasa sabarnya,
bahkan boleh jadi tidak pernah, walau orang2 lain telah jengkel setengah mati
Dan engkau pula yang pertama membesarkan hati.
Bunda,
Saat kami gagal, engkau orang terakhir yang berputus asa,
bahkan boleh jadi tidak pernah, meski seluruh dunia sudah berhenti berharap
Dan engkau pula yang pertama menghibur.
Bunda,
Saat kami sakit, engkau orang terakhir yang bertahan menemani,
bahkan boleh jadi tidak pernah pergi, meski sekitar telah kembali sibuk
Dan engkau pula yang pertama berbisik kabar kesembuhan.
Bunda,
Saat kami ragu2, engkau orang terakhir yang hilang keyakinan,
bahkan boleh jadi tidak pernah pergi, meski sekitar telah menyerah
Dan engkau pula yang pertama berbisik tentang janji-janji.
Walaupun,
Saat kami besar, boleh jadi engkau orang terakhir yang kami hubungi,
bahkan boleh jadi tidak pernah, karena alasan sibuk atau apalah
Walaupun,
Saat kami bahagia, boleh jadi engkau orang terakhir yang tahu,
bahkan boleh jadi benar2 amat terlambat, karena alasan tidak sempat atau apalah
Bunda,
Di antara bisik doa-doa-mu, sungguh terselip beribu nama kami
Dan boleh jadi itulah yang membawa kami hingga seperti hari ini
Engkau orang terakhir yang akan berhenti mendoakan kami,
bahkan boleh jadi tidak pernah berhenti, hingga akhir hayat.
Dan sungguh, Engkau pula orang pertama yang mengucapkan kata Amin bagi kami.
Puisi di atas adalah puisi yang kuambil dari status facebook nya Bang Tere Liye dan merupakan sebuah puisi dari Novelnya yang berjudul 'Moga Bunda Disayang Allah'. Cobalah baca barang sekali dua kali lagi, ada haru dan rindu yang menyusup dalam dada, ya rindu kepada ibunda.
Untuk aku yang bertahun-tahun hidup jauh dari orangtua tentu merasakan sekali betapa puisi ini seolah mewakili segala yang ada dalam rongga dada, semua rindu tentang ibu yang selama ini menggumpal dan semakin menyesak rasanya. Ibu, dialah satu-satunya wanita di Dunia ini yang mencintai kita dengan sempurna, sebuah cinta yang sempurna tanpa mengharap apa-apa. Adakah wanita lain yang sesempurna Ibu dalam mencintaimu? Adakah wanita yang terus menerus mendo'akanmu bahkan disaat engkau lupa berdo'a untuk dirimu sendiri? tak ada sahabat, dialah satu-satunya.
Sudah beberapa bulan aku tidak pulang kampung, bukanya aku tak mau tapi dikarenakan masalah finansial yang setelah kuhitung-hitung tidak akan cukup. Jadi, daripada aku meminta uang ke Orangtua, lebih baik aku tahan keinginanku untuk pulang. Hari ini, saat aku menuliskan kalimat demi kalimatku di sini, rasa rindu itu terasa begitu kuat. Aku merindukan mereka nun jauh di Sumatra sana, di tepian Sumatra lebih tepatnya. Terbayang suasana kampungku yang sederhana sekali, wajah ibu tersenyum meski aku tau saat itu ia sangat lelah. Ibuku belum pernah melihat suasana kota sama sekali, masuk Mall apalagi. Kebun kelapa adalah kota baginya, dengan kebun kelapa itu dia menggantungkan harapan untuk masa depan anak-anaknya, aku dan adikku.
Ibu, seperti janjiku dulu sewaktu aku akan berangkat ke Kota Hujan ini, Aku tak pernah melupakanya. Aku hanya butuh sedikit waktu untuk mempersembahkanya padamu, juga pada Bapak dan adik. Keras memang hidup jauh darimu, terkadang aku bingung untuk melangkah, tak jarang aku ikut terseret arus yang datang begitu laju. Aku bersyukur lahir dari rahimmu, dari sepasang pasangan yang sederhana di ujung sana karena dengan begitu aku bisa mensyukuri nikmat dari-Nya.
Bogor, 7 Februari 2013
No comments:
Post a Comment