"Ih, seram sekali orang-orang itu. Pasti mereka adalah para laki-laki yang suka menelantarkan anak istri, terus membuat markas untuk menge-bom tempat-tempat yang menurut mereka penuh maksiat!!!" begitulah kalimat berintonasi jijik yang melintas di kepalaku, ketika jejala pandangku menangkap segerombol laki-laki. Semuanya mengenakan jubah panjang bewarna putih, jenggot lebat sedada, dan sorban yang menutupi kepala mereka.
Mereka berjalan dari Masjid ke Masjid dan menginap di Masjid.
Berlebihan! Begitu keterbatasan akalku telah menyimpulkan, bahkan terkesan menghujat. Mereka hanya membuat Islam terkesan kolot dan menakutkan. Itulah alasan yang membuat dadaku selalu bergemuruh keresahan saat berjumpa dengan orang-orang 'berlebihan' itu.
Coba lihat! Ustadz-ustadz yang sering nangkring di televisi, mereka juga berdakwah, tapi pakaian dan jenggot mereka tetap enak dipandang. Baju koko mereka aneka model dan warna, peci mereka pun cantik. Apalagi para ustadz kondang itu tampan-tampan. Pokoknya ketika mereka berceramah, mata tak akan rela melengah barang sekedip pun.
Itu adalah aku beberapa waktu yang lalu. Tapi kini, aku bersyukur karena perlahan aku mulai merubah pradugaku yang asal-asalan itu.
Hampir dua bulan aku di kampung halaman. Dan selama itu pula pengetahuanku tentang orang-orang 'berlebihan' itu semakin tumbuh. Dari Bapaklah pengetahuan itu mengucur bagai air hujan. Bapak pun ternyata bagian dari mereka. Bapak menyebut mereka, orang-orang yang khuruj fi sabilillah atau orang-orang yang keluar di jalan Allah.
Memang, Bapakku tidak berjenggot tebal dan berjubah, tapi ia sudah beberapa kali 'keluar' selama tiga hari. Dalam waktu tiga hari itu, mereka mengadakan ta'lim [membaca kitab-kitab ta'lim, seperti: Hayyatu Sahabah, Fadhilah Amal, Fadhilah Sedekah, dll], membicarakan masalah agama, dan memiliki tujuan utama untuk menghidupkan sholat jamaah di Masjid.
Khuruj fi sabilillah ini dibagi menjadi beberapa waktu. Ada yang tiga hari, 40 hari dan empat bulan. Bahkan ada yang satu tahun. Sesuai dengan kemampuan dan niat. Rute-nya pun sesuai kemampuan dan niat, bisa Masjid antar kampung, Masjid antar kota, Masjid antar provinsi, hingga Masjid antar negara.
Bapak bilang, mereka adalah orang-orang yang rela berpayah-payah demi menegakkan kembali syariat, lillahita'ala. Demi mendapatkan rahmat-Nya. Karena hanya dengan rahmat Allah-lah, seseorang akan meraih Jannah.
Mereka rela bermalu ria dengan mengetuk pintu setiap rumah penduduk, mengajak setiap penghuninya sholat berjamaah di Masjid. Lalu apakah pantas aku membenci orang-orang seperti itu?
Mereka berdakwah dari satu tempat ke tempat lain dengan mengorbankan harta mereka, bukan meminta ongkos dari masyarakat, apalagi menunggu diundang. Apakah masih layak aku membenci mereka?
"Tapi mereka menelantarkan anak istri!"
Siapa bilang? Itu hanya dakwaan orang yang melemahkan Islam. Mereka sudah meninggalkan harta yang cukup untuk anak-istri. Kalaupun tidak, istri mereka adalah wanita saleha. Yang mengikhlaskan sang suami berdakwah di jalan Allah. Mereka ikhlas dalam susah dan nestapa di dunia.
Kita tentu tidak pernah lupa dengan kisah Khadijah istri Rasulullah saw. Apakah dia seorang istri yang bersantai di rumah sedang sang suami berjuang menyampaikan risalah? Apakah dia seorang istri yang merengek ketika di rumahnya tidak ada yang bisa digunakan untuk mengobati lapar? Tidak. Khadijah adalah istri yang selalu tegak di belakang sang Rasul. Ia gagah ketika Rasulullah gundah. Ia sabar ketika Rasulullah gentar. Ia korbankan seluruh hartanya di jalan Allah. Ia hidup dalam susah hingga akhir hayatnya, ia wafat di pengasingan. Begitulah Khadijah, salah satu dari empat wanita sebaik-baik di dunia. Dan aku yakin, istri-istri para laki-laki yang khuruj fi sabilillah, adalah Khadijah-Khadijah yang juga dirindu Jannah. Mereka menyadari, bahwa dunia tidaklah cukup jika digunakan untuk menikmati kebersamaan. Mereka korbankan kesenangan dunia, demi Jannah. Di sanalah kelak mereka memiliki waktu yang panjang untuk selalu bersama dalam suka cita.
Satu hari yang lalu, ketika aku dan Bapak pulang dari silaturrahim ke rumah teman, kami berpapasan dengan dua laki-laki India. Bapak tahu mereka. Karena seminggu yang lalu, Bapak ikut menyambut kedatangan mereka di pelabuhan Penyalai. Jumlah mereka delapan orang. Semuanya dari India. Kata Bapak, mereka khuruj satu tahun. Sebelum ke pulau ini, mereka berdakwah di Tanjung Balai Karimun. Di sini, mereka menetap sesaat di Masjid Mutmainah yang ada di kecamatan.
Satu hari yang lalu, empat orang di antara mereka berkunjung ke Masjid di desaku. Dan siang itu--dua di antaranya--kembali ke kecamatan. Dua orang itulah yang berpapasan dengan kami. Mereka masing-masing dibonceng oleh jamaah di pulau ini, yang juga sahabat Bapak.
Siang itu hujan tak terlalu lebat, jadi ketika berpapasan, kami tidak berhenti. Hanya saling menyapa. Pada waktu yang singkat itulah, mataku sempat menangkap wajah jamaah India yang tersenyum pada Bapak. Kutebak umurnya masih 30-an. Berjubah dan berjenggot sedada. Aneh, tidak ada lagi rasa takutku seperti dulu. Aku justru menemukan wajah yang damai. Hampir air mataku menetes setelah melihat wajah-wajah itu. Andai wajahku bisa memancarkan kasih sayang dan kesejukan seperti mereka. Ah, aku terlalu banyak berselubung dosa.
Ya Allah, Mungkin, begitulah wajah ahli Surga.
Beberapa hari yang lalu, sepulang dari menghadiri ta'lim para ulama India itu, Bapak bercerita. Ketika bersalaman dengan jamaah, para ulama itu memeluk mereka, seperti saudara yang lama tak bertemu. Bapak berkali-kali bilang, air matanya selalu menetes apabila mengingat keramahan para ulama India itu. Meskipun mereka tak bisa berbahasa Indonesia, rasanya semua jamaah di pulau ini adalah keluarga mereka.
"Subhanallah, nak. Bapak seperti mendapat kiriman angin dari kehidupan zaman Rasulullah. Saling mengasihi. Bapak rasa, begitu juga kasih sayang yang kelak ada di Jannah. Di mana-mana selalu dipenuhi ucapan salam, dan apabila mereka berbicara hanya membicarakan tentang agama" ucap Bapak padaku.
Lalu tadi pagi, Bapak menceritakan pengalamannya malam tadi, ketika sholat berjamaah di Masjid. Yang menjadi imam adalah salah satu ulama India itu. Seorang hafidz 30 juz Alquran.
"Dia membaca doa sambil menangis sesenggukan, pun ketika membaca surah dalam sholat"
Aku tercenung. Merekalah yang pantas menerima Jannah. Kelak mereka akan memasuki Jannah tanpa hisab, mereka terbang melintasi pagar-pagar Jannah yang indah, hingga para malaikat terheran-heran dibuatnya.
Masih banyak yang ingin kutulis, namun karena keterbatasanku, aku mencukupkannya dulu sampai di sini. InsyaAllah jika ada kesempatan, aku kembali melanjutkannya.
"Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong agama Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu" (QS. Muhammad:7)
Sabda Rasulullah saw: "Tidak akan beriman seseorang sampai dia memiliki sifat kasih sayang kepada sesamanya" para sahabat r.anhum berkata, "Ya Rasulullah, kami semua telah memiliki rasa kasih sayang." Rasulullah saw. bersabda, "Yang dimaksud mengasihi itu bukan sekedar kasih sayang terhadap sahabat karib saja, tetapi kasih sayang kepada seluruh ummat"
"Orang yang berpegang teguh dengan sunnahku pada zaman yang telah rusak, maka ia akan mendapatkan pahala seratus mati syahid" (HR.Baihaqi dari Ibnu Abbas r.a)
"Dengan cucuran air matamu, karena kedua mata senantiasa menangis takut kepada Allah, tidak akan tersentuh api neraka untuk selamanya" (HR. Al Ashfahani)
(Referensi: Kitab Khuruj Fi Sabilillah, oleh An Nadhr Muhammad Ishaq Shahab)
No comments:
Post a Comment