Sunday 25 August 2013

Rebloged: A Short Story From Annida Online

Siang menggelegak. Bau tanah kering terbakar menguar, berpeluk aroma aspal terpanggang. Debu melompat-lompat lincah, adu cepat dengan asap yang keluar dari knalpot-knalpot kendaraan di jalanan ibukota. Matahari rasanya hanya sejengkal di atas ubun-ubun. Kau duduk nyaman dalam Harrier hitammu yang full AC, menggengam Blackberry kesayangan. Panasnya udara di luar, kali ini tak mampu menyentuhmu.  Sebuah sms banking masuk. Kau tersenyum senang usai membacanya. Lalu mencatat schedule baru dalam daftar to do-mu. Telah tiba giliranmu melakukan tugasmu, agar dana yang diperbesar itu tampak wajar dalam laporan keuangan proyek. Kau menoleh ke arahku. Senyummu raib seketika. 


“Jangan memandangku seperti itu, please?” kau memasang wajah memelas. 

“Mengapa kau masih melakukannya?” aku bertanya masygul.


“Melakukan apa, sih? Ayolah, sekarang zaman sudah berlari sangat cepat. Kalau toh bukan aku yang melakukannya, pasti ada orang lain yang mengambilnya! Aku hanya melihat sebuah peluang.” 

“Berapa kau naikkan kali ini?”

“Hanya setengah dari kenaikan yang lalu. Orang akan menilai wajar, dong? Kan inflasi? Disetujui semua syukur, dipotong sejumlah tahun lalu juga nggak masalah,” alismu terangkat,

“Ternyata fully agreed. Aku ngga salah dong, kan sesuai prosedur?” kau terbahak,


“Kau tahu jumlahnya? Fantastis! Lebih dari satu tahun gajiku sebagai asisten bapak asisten penasehat menteri anu. Bisa kau bayangkan itu?” Matamu menerawang. Barangkali berencana akan kau apakan saja uang sebanyak itu. Aku menangis. Meraung.  Kau menoleh, menatapku kesal.

“Mengapa kau tak bisa ikut bergembira saja bersamaku?” tanyamu gusar.


“Aku tak bisa. Tak bisa!” Aku menggeleng.

“Ah, siapa bilang! Tak ada yang tak bisa di dunia ini, bro!” kau mencibir.

“Buktinya bosku sudah tak punya kawan sepertimu lagi, sudah ia penjarakan.” 

“Tapi kau tidak melakukannya padaku! Itu artinya kau masih ingin mendengar suaraku,” sepercik harapan muncul, kuusap air mataku.

“Tinggalkan perbuatan itu, please?” bujukku Kau diam sejenak, lalu menggeleng pelan.

“Sudah kepalang tanggung! Apalah artinya aku berhenti sekarang. Berhenti tidak berhenti, tetap saja kalau ketahuan aku akan masuk penjara. Tapi kau tak perlu risau, aku sudah booking seorang pengacara terkenal kalau-kalau aku dapat masalah. Ia terkenal banyak meloloskan kawan-kawanku yang ketahuan lebih dulu.”

Kudapati diriku menciut, semakin mengecil, terhimpit kata-katamu. Sekelilingku tiba-tiba menghitam, membuat batas antara kita. Kau tampak samar, macam bayangan. Inikah penjara seperti kata bosmu itu?

“Hei, tenanglah! Aku kan sudah menyumbangkan sebagian harta itu untuk orang miskin dan yatim piatu! Kau lihat liputannya di televisi dan surat kabar, kan? Lihat, aku tidak serakah! Aku mau berbagi,” kau tertawa.

Aku menatapmu pilu, terluka. Dan kau hanya membuang muka. Ah, kau benar-benar telah berubah! Alumni sebuah perguruan tinggi ternama negeri ini. Aktivis himpunan mahasiswa dan tekun menyerukan pemerintahan yang bersih dalam berbagai unjuk rasa. Ketika ada lowongan menjadi pelayan rakyat, kau pun mendaftar demi idealisme itu, menjadi perintis pejabat yang sepenuhnya memikirkan rakyat.   Kau berubah sejak reuni angkatanmu di almamater. Di sudut aula bergaya modern itu, kau lebih banyak diam mengudap kue-kue yang disediakan panitia. Cerita kawan-kawan satu angkatanmu yang bekerja di berbagai perusahaan multinasional membuatmu berkecil hati. Mereka sudah mapan. Memiliki rumah sendiri. Mobil pribadi. Karir gemilang. Malang melintang ditugaskan ke berbagai negara. Menjadi world class community. Gagah. Berkelas. Gaya hidup masa kini. Mereka semua, lima puluh sembilan dari enam puluh mahasiswa yang terdaftar di angkatanmu. Hanya kau sendiri yang jadi pelayan rakyat. Rumah tipe 21 dengan cicilan KPR 25 tahun. Berkendara sebuah vespa butut tahun 80-an. Tak pernah bisa pergi sekeluarga karena vespa itu tak kuat menanggung beratmu, istri dan tiga anakmu. Kau bahkan kalah dengan kawan-kawan wanitamu yang semuanya menjadi wanita karir dengan posisi menjanjikan.  Sungguh tak adil, desismu kala itu. Padahal kau adalah tiga besar lulusan terbaik. Cum Laude. Dengan idealisme itu kau sungguh merasa bisa menjadi pembaharu dalam jajaran penentu kebijakan publik. Namun, idealisme itu ternyata harus ditebus dengan menjadi paling miskin dalam barisan alumni. Kau sungguh merasa tertipu. Lalu begitulah awalnya, kau memutuskan untuk menyerah pada arus. Aku berteriak mencoba memanggilmu lagi. Ingin kukatakan bahwa sesungguhnya yang kulihat kau sedang menelan api neraka, bukan nikmat makanan pelepas lapar, apalagi minuman penghilang haus. Namun kau acuh, hanya memandangku sekilas, tersenyum sinis, lalu berpaling ke Blackberry-mu lagi. Terpelantinglah aku dalam sebuah penjara yang hitam kelam.

***

Setelah mengantarkan ketiga anakmu ke depan pintu masuk sekolah mereka, kau memarkirkan motor kesayanganmu yang cicilannya masih setahun lagi. Ah ya, suamimu bahkan mengira itu motor milik sopirnya.
 
“Kau harus mengingatkan suamimu!” kataku ketika kau mulai berjalan menuju ruang guru sekolah itu.

“Langkahnya sudah terlalu jauh.” Kau tampak gusar.

“Aku sudah melakukan berbagai cara untuk menariknya kembali, bahkan sejak pertama kali ia melakukannya dalam angka ratusan ribu. Ia tak mendengarku! Kini ratusan itu jadi miliaran. Angka itu lebih cantik daripada aku. Ia akan segera meninggalkan aku dan kawin dengan angka-angka itu,” kau menjawab kesal.

“Kau istrinya! Kalau bukan kau yang mengingatkannya, siapa lagi?” tuntutku.

“Kau benar sekali! Aku hanya istrinya. Bukan pemilik jiwanya!” Kau menggeleng.

“Jangan timpakan ini padaku! Aku sudah cukup pusing memutar otak supaya gajiku sebagai guru honorer cukup untuk menghidupi anak-anakku. Toh, sebentar lagi ia juga akan meninggalkan aku?” Kau berhenti melangkah.

“Kau tahu? Ada banyak wanita lain di sekelilingnya kini. Ia pikir ia sudah bisa membeli dunia,” matamu berkaca-kaca.

“Aku sudah memilih mendengarmu. Menurutimu untuk tidak menggunakan uang yang diberi suamiku karena kau bilang uang itu uang haram. Uang yang jika dimakan anak-anakku, mereka tak akan pernah jadi anak baik. Kau yang bilang begitu, kan?” Aku mengangguk.

“Terima kasih telah mendengarkan aku. Percayalah, kau tak akan pernah menyesal.”

“Kau tahu, itu sangat berat bagiku.” Kau menghela nafas, lalu melanjutkan langkahmu.

***

Berkali-kali aku mengetuk dinding hitam yang menyekatku darimu. Berteriak lantang memanggil namamu. Nama indah pemberian kedua orang tuamu. Nama yang berarti bersih, suci. Sebagaimana keinginan mereka supaya kelak kau menjadi lelaki yang berhati bersih dan suci. Namun kau teramat sibuk dengan duniamu. Tak terluang sedikitpun waktumu meski hanya untuk melirikku.  Kudapati kau tengah termangu di bangku taman belakang rumahmu malam larut itu. Asbak di sampingmu penuh dengan puluhan puntung rokok yang tak terbakar sempurna. Kau gelisah memikirkan sesuatu. Aku berseru memanggilmu, namun kau tak menggubris.  Lalu kudengar suara ketukan itu. Antara terkejut dan senang. Kau mengetuk dinding itu! Kau memanggilku! Aku gembira bukan kepalang. Asal kau tahu, ketukan dan sapamu itu meruntuhkan dinding hitam yang memisahkan kita seketika.

“Hai!” sapamu. 

“Apa kabar?” balasku.

“Kurang begitu baik.” 

“Tidak biasanya.”

“Jangan meledek!” “Ada yang bisa kubantu?” 

“Waktuku tiba juga,” katamu menggantung.  Aku celingukan, tak kulihat siapapun.

“Bukan, bukan malaikat maut maksudku,” kau meralat, tersenyum canggung.

“Ow, kau bisa menyuapnya juga agar menunda mencabut nyawamu? Sungguh luar biasa kau!” aku berdecak. Wajahmu makin kisruh.

“Berhentilah memojokkanku, please? Aku sadar aku salah, tapi mengapa aku enggan berhenti? Ini sungguh jadi candu bagiku,” kau memandang langit hitam.

“Semua sudah aku rencanakan dengan sempurna, tapi rupanya ada rencana di atas rencana yang lebih sempurna.” 

“Memang begitu,” timpalku membenarkan, mulai paham ke mana arah bicaramu.

“Ke mana pengacara sakti yang pernah kau bilang dulu? Bukankah ia selalu berhasil meloloskan kawan-kawanmu?” 

“Ternyata ia tak sesakti itu. Aku tetap terancam masuk penjara, tahunan,” kau memandangku, tak menangkap sindiranku.

“Apa saranmu?”

“Mudah, taubat! Taubat sebenar-benarnya taubat! Kau kembalikan semua yang pernah kau ambil tanpa hak. Semua. Lalu kau berjanji pada dirimu sendiri tidak akan mengulanginya lagi. Mulai dengan hidup baru. Bersih,” saranku bersemangat.

“Aku sudah tak tahu lagi mana yang benar-benar punyaku, mana yang bukan!”

“Kalau begitu kau kembalikan saja semua.”

“Mana boleh begitu!” kau mendelik.

“Bagaimana aku hidup nanti?”

“Bagaimana kau mati nanti?” timpalku cepat. Matamu terkerjap sejenak. Aku sungguh berharap jawabanku itu bisa menghentakkanmu. Menarikmu pulang ke fitrahmu. Kau menerawang langit. Malam ini tak ada satu pun bintang. Barangkali ada, namun sinarnya kalah oleh lampu-lampu penerang yang benderang menyilaukan mata. Serupa aku, suaraku kalah oleh suara lain dalam dirimu. Malam ini aku sungguh berharap kau lebih mendengarku daripada suara apapun di atas bumi ini. 

“Jika semua kukembalikan, lalu apa yang tersisa untukku?” tanyamu lirih.

“Tuhanmu, istrimu, anak-anakmu, dan aku,” jawabku yakin.

“Itu saja?”

“Itu cukup!” Kau menggeleng-geleng.

“Tak masuk akal. Tak masuk akal. Zaman begini? Zaman begini kau bilang itu saja cukup?” Kembali kau bangun sekat hitam yang baru saja kau robohkan. Kugedor-gedor sekat itu sekuat tenaga. Kau acuh. Kuteriakkan namamu berulang kali. Kau hanya melirik sekilas. Kulihat seringai sinis musuh lamaku di sudut bibirmu. Hrrrgh!

***

Kau menangis memegangi jeruji besi yang memisahkanmu dengan suamimu.

“Jangan sedih, Ma. Aku hanya lima tahun di sini. Sesudah itu aku bebas dan kita bisa menikmati kekayaan yang masih aku simpan. Mereka hanya mendendaku sedikit saja. Hartaku masih bisa menghidupi anak cucu kita hingga tujuh turunan.” Suamimu berbisik-bisik, takut terdengar sipir yang berdiri tak jauh. Ia takut sipir itu minta bagian. Bukannya mereda, tangismu justru makin keras. Suamimu jadi bingung. Responmu sungguh tak masuk di akalnya.  Kau mengeluarkan sesuatu dari tasmu.

“Kukembalikan ini padamu,” kau mengulurkan sebuah kartu ATM dan buku tabungan yang dulu pernah diberikan lelaki itu padamu, “Dan aku tidak berminat ikut menikmati harta yang masih kau simpan itu.” Suamimu terbelalak. Matanya bahkan hampir keluar saat melihat jumlah saldo yang tertera di buku tabungan itu, saldo selama sepuluh tahun menabung tanpa berkurang satu rupiah pun. Suamimu tertawa terbahak-bahak. Ia senang bukan kepalang. Hartanya bertambah banyak.

“Tadinya aku berharap kau bertaubat setelah masuk ke sini, maka aku akan bersabar  menunggumu keluar. Nyatanya tidak. Kau masih keras hati. Maaf, tapi aku tak punya pilihan. Akan aku kirim pengacara untuk mengurus perceraian kita,” kau langsung berdiri dan bergegas pergi, meninggalkan lelaki itu selamanya. Samar sempat kulihat dia yang terpenjara dalam hati suamimu. Dia menggigil hebat, karena kekuatan sucinya telah banyak memudar tergerogoti hawa nafsu lelaki itu. Rasanya ingin kutularkan sedikit kekuatanku yang makin cemerlang ini untuk membantunya menghancurkan dinding hitam yang memenjaranya. Namun aku tahu, hanya suamimu yang bisa membantunya. Atau mungkin doa-doamu yang bersambut.

***

Kau memandangi punggung istrimu lewat jeruji hingga tubuh perempuan itu lenyap di balik pintu keluar. Tanganmu gemetar menggenggam buku tabungan dan kartu ATM bernilai milyaran rupiah. Kau diselimuti heran. Tidak mengerti jalan pikiran perempuan itu.  Cahaya itu telah pergi, gumamku sedih. Padahal sempat aku berharap cahaya terang dari diri seorang perempuan yang menangis di hadapanmu tadi menyinariku, mengirimkan kekuatan suci untuk membantuku meruntuhkan dinding hitam ini. Namun lagi-lagi aku terpaksa menelan kecewa. Harapan itu semakin menipis. Entah sampai kapan aku terpenjara di sini, di hitam kelam hatimu.

Selesai.   

(Notice: I forget the title, but i hope you will be keeping the message in your heart. This story was taken from Annida-Online website.)

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...