Assalamualaikum...
Taraaaa...kembali lagi pengen nulis-nulis hal-hal menarik dalam waktu beberapa minggu terakhir. Hmm, kali ini seputar kelas bahasa Turki yang udah tiga kali pertemuan kuikuti..
Nah, ceritanya, pada hari Sabtu, 07 September 2013 kemaren, tiba-tiba aja Profesor Bintoro [Ketua Program Keahlianku] ngajakin seluruh anak-anak PK PPP [Program Keahlian Produksi dan Pengembangan Pertanian Terpadu] kumpul pada jam 14.00 di ruang biasa [ruang milik PK PPP], yang terletak di belakang masjid Al Ghifari. Peuh... meski capek, aku cukup antusias buat datang, coz semenjak lebaran id aku belum ada bertemu pak Bin. Ceritanya, kangen.
Ok. we were on time! (karena kalau sempat keduluan pak Bin, kita bisa disuruh push up di depan kelas). Beberapa menit kemudian, masuklah sesosok profesor sekaligus guru besar IPB, dengan gayanya yang seperti biasa (sangat sederhana). Eh, tapi kali ini beliau gak sendiri. Beliau bersama seorang laki-laki [yang gak bisa kutebak berapa umurnya, siapa istrinya, dan berapa jumlah anaknya, eh]. But, aku seketika mampu menyimpulkan, laki-laki yang bersama pak Bin bukanlah orang asli Indonesia.
Spontan kelas menjadi sepi senyap, wajah kami bertanya-tanya. Who was he?
Setelah pembukaan sebentar, pak Bin segera mengenalkan tuh laki-laki kepada kami. Oow berkewarganegaraan Turkmenistan rupanya. Dan dia mampu menguasai lima bahasa, yaitu Rusia, Inggris, Turki, Turkmenistan, dan Indonesia. Lebih kerennya lagi, dia bakal mengajar kelas bahasa Turki di PK kami selama satu semester. Dua kali pertemuan per minggu. Dan ini gratis. Ah, pasti pak Bin yang sudah mengurusnya. Entah anggaran dana dari mana, yang jelas pak Bin memang kuakui sangat perhatian dengan mahasiswa-mahasiswa yang ada di bawah tanggung jawabnya.
But, mengapa harus Turkish? Pak Bin bilang, karena tidak banyak non turkish yang bisa berbahasa Turki. Kalau orang Indonesia bisa berbahasa Inggris, itu mah udah seperti keharusan, tapi kalau bahasa Turki, ini nilai plus. Siapa tahu, beberapa di antara kami kelak bisa melanjutkan pendidikan ke Turki, karena sekarang pemerintah Turki menyediakan banyak beasiswa untuk masyarakat timur. Tidak seperti beberapa waktu lalu, pemerintah Turki yang lama hanya melirik para pelajar dan mahasiswa dari barat.
Ah, apapun alasannya, aku memang sudah jatuh cinta dengan Turki jauh-jauh waktu sebelumnya. Tentu saja, aku senang, and benar-benar niat buat belajar.
Aku tertarik pada Turki, berawal dari pameran benda-benda dari Topkapi museum di gedung MTQ Pekanbaru, tiga tahun yang lalu. Selain itu, ketertarikanku juga karena keindahan Turki beserta sejarah emas Islam di tanah bekas ibu kota imperium Romawi Timur itu.
Tentang keindahan Turki pada masa lalu, Napoleon Bonaparte mengatakan "If the earth were a single state, Constatinople would be its capital..."
Subhanallah, kebayang donk betapa indahnya Konstatinopel kala itu, hingga seorang panglima terkenal dari Prancis mengatakan ketakjubannya seperti itu. Tidak hanya Napoleon, seorang penjelajah asal Rusia abad ke-14, Stephen Novgorod, menulis "Adapun Hagia Sophia, pikiran manusia tidak akan dapat menceritakan atau mendeskripsikan keindahannya".
Hagia Sophia? Eh, ada cuilan namaku di dua kata itu, hehe. Iya, bangunan yang awalnya sebuah gereja, selanjutnya menjadi masjid, dan sekarang menjadi museum. Dari buku dan foto, aku melihat betapa toleransi dua agama begitu kental terlihat di Hagia Sophia, lingkaran-lingkaran besar bertuliskan lafaz Allah dan Muhammad terpasang bersama patung-patung bunda Maria.
Why? Karena setelah Konstatinopel berada dalam kekuasaan muslim, dan Hagia Sophia dijadikan Masjid, pemimpin Islam tidak seketika menyapu bersih patung-patung simbol Kristen di sana, melainkan hanya menutupinya dengan semen tipis. Pemimpin Muslim di sana tahu benar cara untuk menghargai karya peradaban sebelumnya.
Selain Hagia Sophia, aku pun tertarik pada Selat Bosphorus. Selain karena keindahannya dengan kapal-kapal yang berlayar di atasnya, selat ini menyimpan sejarah, menjadi saksi sejarah kaum muslimin yang membuat seluruh dunia berdecak kagum.
Masih ingat kan kejadian pada 20 April 1453, ketika Muhammad Al Fatih memerintahkan pasukannya memindahkan 72 kapal perang dari Selat Bosphorus menuju selat tanduk dalam waktu 1 malam? Bayangkan, mereka bukan memindahkan kapal-kapal itu melalui jalan air, tapi melintasi perbukitan Galata yang jauhnya 1,5 km.
Waw! Sampai-sampai Yilmaz Oztuna dalam bukunya Osmanli Tarihi, menceritakan bahwa salah seorang ahli sejarah tentang Byzantium, mengatakan:"Kami tidak pernah melihat dan tidak pernah mendengar sebelumnya, sesuatu yang sangat luar biasa seperti ini. Muhammad Al Fatih telah mengubah bumi menjadi lautan dan dia menyeberangkan kapal-kapalnya di puncak-puncak gunung sebagai pengganti gelombang-gelombang lautan. Sungguh kehebatannya jauh melebihi apa yang pernah dilakukan oleh Alexander The Great.". [jadi deg-degan membayangkannya]. Tentang sejarah ini, untuk lebih detail, ada baiknya baca buku "Muhammad Al Fatih" karya Ust. Felix Y. Siauw.
|
Rute pemindahan 72 kapal perang |
|
Nah, teman. Betapa bangganya kan jika kita bisa menyaksikan secara langsung tempat-tempat bersejarah. Selat Bosphorus yang kita lihat sekarang adalah Selat Bosphorus yang juga dilihat Al Fatih dan tentara muslimin dahulu, tetap sama. Begitu juga dengan Selat Tanduk dan perbukitan Galata. Itu semua memiliki keromantisan tersendiri, jika kita mampu menyaksikan saksi sejarah itu. That's the point, guys!
Wah, kalau bercerita tentang keindahan Turki, kayaknya bisa sejilid tebal buku. Masih banyak tempat-tempat yang menyimpan sejarah lainnya, seperti Masjid Sultan Ahmet yang memesona, apalagi kalau dilihat across the sea. Hua...bahkan aku punya video singkat tentang Istanbul. Romantis dan terasa seperti hidup di masa lalu.
|
Sultan Ahmet Mosque |
|
Oke, kita kembali pada bahasa Turki. Menurut cerita tutor kami itu dan didukung dari buku yang pernah kubaca, dulunya bahasa Turki [selama kekhalifahan Ottoman] merupakan percampuran tata bahasa dan vocabs bahasa Arab dan bahasa Persia dalam alfabet Persia. Lalu pada tahun 1928, ketika sistem pemerintahan Turki berubah menjadi Republik, Mustafa Kemal menetapkan alfabet latin untuk mencanangkan bahasa Turki sebagai bahasa resmi negara. Jadi, bahasa Turki yang sekarang sudah banyak mengalami perubahan dari bahasa Turki terdahulu. Pun, banyak unsur-unsur dari bahasa Prancis dan Jerman yang masuk.
Tutor kami bilang sih, belajar bahasa Turki itu jauh lebih mudah dari belajar bahasa Inggris. Dan aku setuju! Walaupun ada beberapa alfabet yang masih kaku kuucapkan, tapi aku merasa susunan kalimat bahasa Turki lebih sederhana. Walaupun ada penambahan-penambahan yang beda-beda setiap vokal akhir yang digunakan. Misal, aku mau mengatakan "kamu sehat?", turkinya menjadi "iyi misin?", tapi kalau aku mau bilang "dia sehat?", jadinya "iyi mi?". Lain lagi, kalau mau tanya "Kamu senang?", jadinya "Mutlu musun?", dst...
Memang sih, sebagian teman ada yang malah sebal dengan kewajiban dari pak Bin ini [maksudnya, wajib ikut kelas bahasa Turki], bahkan terkadang aku juga males, mereka menganggap tak ada gunanya dan mengurangi waktu istirahat. Menurutku sih, wajar-wajar aja. Bagi orang-orang yang tak terlalu suka membaca buku dan dan tulisan-tulisan popular di internet, memang susah menumbuhkan ketertarikan. Barangkali sama dengan aku beberapa tahun silam, saat nama Turki pun masih asing.
Wah, maaf sekali tidak bisa membagi beberapa kosa kata bahasa Turki di sini, masalahnya pengaturan ponselku tidak ada masukan bahasa Turkinya. Iya, guys, kalau mau nulis dalam bahasa Turki, tidak bisa menggunakan masukan bahasa Indonesia, coz alfabetnya beda.
Okay, apa lagi ya? Sedikit membahas tentang tutor kami yang asli Turki aja, ya?
Ceritanya, bapak [pantes belum ya dipanggil bapak] itu lahir di Rusia. Lalu pindah ke Turki. Sekolah di Turki [masuk SMA Internasional paling bergengsi di sana], kemudian ditawari mengajar bahasa Turki di Indonesia sambil mengambil Teknik Informatika di Bandung.
Kalau tidak salah ingat, beliau sudah 7 tahun di Indonesia, bahasa Indonesianya sudah lancar [meski ada satu-dua kosa kata Turki yang beliau tidak tahu terjemahan Indonesianya], bahkan terkadang beliau mengucapkan kosa kata Sunda, seperti "atos?", "mangga", dll.
Beliau sempat sedih karena banyaknya bahasa yang digunakan di Indonesia, "Wah, berarti kalaupun saya bisa berbahasa Indonesia, saya juga tidak mengerti apa yang orang Sunda atau Jawa ucapkan?". Beliau juga mengatakan kalau ia betah tinggal di Indonesia karena pemandangannya yang warna-warni on the whole time.
"Tidak seperti di Turki, saat winter, warna-warni hanya terlihat dari baju-baju orang." Ceritanya dengan logat yang khas. Yang aku suka dari beliau yaitu ketika beliau tertawa, beliau akan menutup sebagian bawah wajahnya dengan buku. Satu orang teman kelas [panggilannya Gadis] yang paling hobi membuat beliau tak mampu menahan tawa, seperti ketika Gadis ingin mengatakan "suka-suka gue", dia mengatakan "suka-suka benim" [turkish: benim=saya]. Selain kebiasaan menutupi sebagian wajah, beliau juga menghadiahkan minuman dingin atau cokelat untuk teman-teman yang mau maju menulis di papan tulis.
Eh, sudah panjang sekali tulisanku...
Kapan-kapan, kalau ada yang menarik lagi dari kelas bahasa Turkiku, insya Allah akan kutuliskan kembali.
Doakan aku cepet bisa berbahasa Turki, ya...
Thanks for reading ^_^ ting! :-)