Sumber klik di sini |
Hidayah...
Ia terkadang memang datang mengejutkan. Meretas sangka dan dugaan. Seperti engkau, teman.
Aku mengenalmu sejak kita sama-sama memulai mengeja huruf dan angka. Sekolah Dasar. Sejak waktu itu pula, aku mengenalmu sebagai sosok tak ber-Tuhan. Aku tak bisa menemukan nama yang tepat sesuai kamus bahasa Indonesia, untuk kepercayaan dan suku yang kau anut sejak lahir itu. Yang kutahu, bahasamu hanya bisa kujumpai di pinggiran Riau saja. Budaya sukumu pun tak ada kudapati di pulau Jawa, bahkan di Pekanbaru juga tidak. Begitu asing. Barangkali aku boleh menyamakan sukumu itu dengan suku-suku di pedalaman Papua.
Kau juga berlebaran, yaitu pada malam 27 di bulan Ramadhan. Tapi, baru-baru ini kutahu, bukan hitungan tahun Islam yang kau ikuti, melainkan kalender Cina. Ya, hanya selisih sehari-dua hari saja.
Sudahlah, lupakan tentang sukumu. Kita bercerita hikayat yang baru-baru saja. Selama kurang lebih dua tahun terakhir.
Ya, meskipun aku mengenalmu sejak kecil, tapi kita tidak berteman akrab. Apalagi setelah aku melanjutkan ke MTs dan aliyah di Pesantren. Tak pernah kita berkirim pesan barang sekali pun.
Dan, semua berawal dari lebaran idul fitri 2012 kemaren. Kau menjemputku untuk jalan-jalan ke rumah temanku di Pesantren dulu, yang ternyata juga teman akrabmu. Tidak masalah. Aku tidak menyoalkan engkau yang atheis, tak juga menyoalkan engkau yang bersuku asing itu. Kau tahu, ayahku seorang Imam Masjid. Tentu saja tak enak pandangan masyarakat jika anak seorang Imam berboncengan dengan laki-laki sepertimu, yang tak ber-Tuhan. Tapi, aku mengabaikan semuanya. Aku tak bermaksud macam-macam. Aku juga tak bermaksud memaksamu agar tertarik pada Islam. Aku hanya ingin menyambung utas pertemanan kita yang pernah buyar. Dan tentu saja, agar aku bisa bersilaturrahim ke rumah temanku yang berada di kecamatan itu.
Oh iya, aku juga paham betul, Islam mengatur pergaulan antara kaum Adam dan Hawa dengan detail. Memang sebenarnya tak baik jika aku berboncengan sepeda motor denganmu. Ya, salahku juga tidak menjelaskan hal ini padamu dulu.
Lupakan saja tentang hal itu. Kita bercerita tentang dirimu saja. Setuju?
Sepanjang perjalanan kau berkisah tentang perkuliahan yang kau ambil. Kau menjadi mahasiswa di salah satu Universitas Islam di Pekanbaru sana. Katamu, kau bahkan tak diperbolehkan keluar kelas saat mata kuliah Pendidikan Agama Islam diuraikan sang dosen. Kau juga satu kontrakan dengan mahasiswa muslim.
Aku hanya menanggapi dengan tawa. Tak ada sedikit pun aku menjelaskan tentang Islam padamu. Aku berusaha menjadi pendengar yang netral. Tentu saja selama yang kau ucapkan masih berada di garis yang wajar (red: tidak menjelekkan Islam).
Kemaren, idul fitri 2013, kau kembali datang ke rumahku. Kali ini bersama seorang kakak kelasku di Pesantren dulu (seorang mualaf). Selanjutnya, kita bersama-sama bersilaturrahim ke rumah teman Pesantrenku itu dan juga rumah guru-guru SD kita. Lagi-lagi sepanjang perjalanan kita membicarakan banyak hal. Tentang dosenmu yang selalu bertanya padamu "Kapan masuk Islam?" dan selalu kau balas dengan senyum malu-malu. Tentang beberapa teman satu sukumu yang belum lama ber-Islam, namun sayang, hanya karena ingin menikahi seorang muslimah. Kukatakan padamu
"Jangan sampai kamu begitu, ya. Kalau memang suatu saat kamu tertarik pada agamaku, jangan hanya karena wanita. Melainkan karena pengetahuan dan keinginan hati.", kau pun mengangguk, memberi senyuman paham.
Kisah edisi lebaran selesai. Kita selanjutnya berkomunikasi via sms. Namun, karena ponselku yang memang jarang kuisi pulsa, aku jadi jarang membalas sms remeh-temeh seperti "Lagi ngapain?", "Selamat malam," dan sejenisnya. Terkadang kau menelepon dan kita membahas banyak hal. Terkadang kau menanyakan keadaan mushola di samping rumahku atau tentang anak-anak mengaji.
Jelang sebulan setelah 1 Syawal, kau meneleponku di suatu siang.
"Assalamualaikum" ucapmu yang membuatku sejenak terdiam. Dengan heran dan ragu aku menjawab "Salam". Aku cukup kaget dengan salam yang kau ucapkan karena selama ini kau selalu membuka percakapan dengan ucapan "selamat malam", "selamat siang" dan sapaan sejenisnya. Tapi kenapa kali ini kau menggunakan ucapan salam penuh doa itu?
Pertanyaanku terjawab ketika engkau melanjutkan kata.
"Sof, Alhamdulillah aku udah muslim sekarang. Seminggu yang lalu aku cepet-cepet balik ke Pekanbaru untuk khitan, alhamdulillah ada keluarga yang mau merawatku selama masa penyembuhan." katanya terdengar riang. Aku tak mampu berkata-kata. Sungguh. Rasanya waktu berhenti ketika itu. Kuucapkan alhamdulillah berkali-kali.
"Orangtuamu mengizinkan?" tanyaku
"Alhamdulillah mereka tidak mempermasalahkan. Bapak bilang, selagi hal itu baik untukku, kerjakanlah..."
"Syukurlah, tapi ingat ya kamu masih berada di garis star. Masih banyak yang harus dikerjakan. Banyak baca buku dan bertanya pada orang yang paham. Oke?"
"Iya, Sof. Aku tahu soal itu." jawabmu mantab.
Teman, aku bangga padamu. Selamat datang di rumahmu kembali. Rumah Islam yang sejatinya kau telah memasukinya. Fitrahnya kau adalah muslim. Setiap orang tualah yang menjadikan anak-anak mereka Yahudi atau Nasrani, atau tak ber-Tuhan sepertimu.
Hei, kau tahu? Ayah dan Ibuku seketika mengucap "alhamdulillah" mendengar berita tentangmu ini. Mereka berdecak kagum. Ada juga raut percaya-tak percaya di wajah mereka. Tapi Ayah bilang padaku, insya Allah kamu akan menjadi muslim yang saleh. Alasan Ayah ada dua hal. Pertama, kamu hidup di lingkungan kampus dan kamu mahasiswa. Dua hal itu adalah poin besar yang akan membawamu menghayati Islam. Di kampus kamu berkumpul dengan orang-orang berwawasan luas, dosen-dosen, dan tentu buku-buku yang mudah didapatkan. Dan kau tahu sendirilah, pola pikir seorang mahasiswa biasanya lebih luas dalam menerjemahkan sesuatu. Kedua, karena kamu ber-Islam karena kemauan hati. Ini akan menjadi internal motivator bagimu untuk terus mendalami Islam. Semoga...
Beberapa bulan lalu, ketika perjalanan pulangku ke Bogor, kau kembali berkali-kali mengirim pesan. Menanyakan tentang penerbanganku dari Batam, hingga sudah sampai di mana busku ketika itu. Aku menjawab semua pertanyaanmu, tak lupa kutanyakan perkembangan pengetahuan Islam-mu. Kau pun memberi tahu bahwa kau sudah hapal bacaan salat, sekarang sedang belajar mengaji. Aku senang mendengarnya. Kau berjuang sungguh-sungguh. Semoga kau mampu mendekap hidayah itu dengan jiwa ragamu, teman.
Ah, karena menuliskan tentangmu, tiba-tiba aku ingin tahu kabarmu kini. Sudah hampir sebulan kita tak berkomunikasi. Tapi kemaren, aku ada melihat fotomu di facebook, fotomu dengan baju koko di samping ukiran kaligrafi. Kau benar-benar terlihat seperti seseorang yang baru.
Sekali lagi selamat, ya...
Semoga kau selalu dalam lindungan dan kasih sayang-Nya. Aamiiin...
Bogor, 8 Oktober 2013
No comments:
Post a Comment