Sunday, 31 August 2014

Menabung Air melalui Lubang Resapan Biopori

Air adalah kehidupan itu sendiri. Tanpa adanya air, mustahil planet bumi ini berwujud biru dan dipenuhi hiruk-pikuk makhluk hidup yang menghuninya. Namun tidak semua air yang mengisi bumi tersebut bisa dimanfaatkan oleh manusia untuk menunjang keberlangsungan hidupnya, seperti untuk minum, mencuci, memasak, mandi, dan sebagainya. Karena jumlah air bersih hanya 2, 53 % dari total air bumi, dua pertiga dari air bersih tersebut berupa sungai es dan salju permanen yang sulit dimanfaatkan.

Seperti yang disebutkan dalam The World Water Development Report dari UNESCO, bahwa sejauh ini 768 juta orang tidak memiliki akses ke sumber air, dan 2,5 miliar tidak memiliki sanitasi yang layak. Laporan ini juga menegaskan bahwa kebutuhan air global cenderung meningkat sebesar 55% pada tahun 2050. Pada saat itu, lebih dari 40% dari populasi dunia akan tinggal di daerah  krisis air. Begitu seriusnya masalah ini, sehingga para ahli berpendapat bahwa pada suatu saat nanti, akan terjadi “pertarungan” untuk memperebutkan air bersih. Sama halnya dengan pertarungan untuk memperebutkan sumber energi minyak dan gas bumi.

Indonesia sendiri tidak terbebas dari masalah kelangkaan air bersih, karena sekitar 119 juta rakyat Indonesia belum memiliki akses terhadap air bersih. Penduduk Indonesia yang bisa mengakses air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, baru mencapai 20 persen dari total penduduk Indonesia. Itupun yang dominan adalah akses untuk perkotaaan. Artinya masih ada 82 persen rakyat Indonesia terpaksa mempergunakan air yang tak layak secara kesehatan.


Air Gambut di Kampung Halaman


Pulau Penyalai di peta
Masalah air seperti yang dipaparkan di atas juga sangat saya rasakan. Hal ini karena kampung halaman saya bertanah gambut. Luas lahan rawa gambut di Indonesia diperkirakan 20,6 juta hektar atau sekitar 10,8 persen dari luas daratan Indonesia. Dari luasan tersebut sekitar 7,2 juta hektar atau 35%-nya terdapat di Pulau Sumatera.

Dermaga Pulau Penyalai (sumber foto: dokumentasi pribadi)
Kampung halaman saya dikenal dengan nama Pulau Penyalai, masuk dalam kawasan Provinsi Riau, dan berada di kuala Sungai Kampar. Lokasi pulau ini bisa dikatakan strategis, namun ketika berkunjung ke sana, jangan kaget saat mendapati nuansa pedesaan yang khas. Salah satunya adalah mandi air tanah gambut yang berwarna cokelat seperti teh dan sangat asam. Bahkan beberapa tahun lalu, ketika saudara saya dari kota Pekanbaru datang berkunjung, ia memilih menghabiskan berbotol-botol air aqua untuk mandi.

Sejak dulu hingga umur saya 13 tahun, penduduk pulau Penyalai juga memanfaatkan air gambut untuk aktifitas memasak dan air minum. Rasanya asam bagi yang belum terbiasa, namun bagi kami yang sehari-hari minum air tersebut, rasanya enak-enak saja. Wajar saja sebagian besar penduduk pulau menggunakan gigi palsu, bahkan anak-anak, karena kandungan dalam air gambut menyebabkan gigi mudah keropos. Sedangkan air hujan ditampung penduduk dalam drum kecil dan hanya dimanfaatkan untuk membilas pakaian.

Drum dari pemerintah untuk penampungan air hujan (sumber foto: dokumentasi pribadi)
Saat ini keadaan sudah sedikit lebih baik, sejak adanya bantuan berupa drum besar untuk penampungan air hujan bagi tiap-tiap rumah. Sehingga untuk aktifitas memasak dan air minum, penduduk memanfaatkan tampungan air hujan. Namun ternyata bantuan drum dari pemerintah tidak merata, sehingga masih banyak rumah yang tidak bisa menampung air hujan dalam jumlah besar. Belum lagi kebiasaan suku Apit yang terbiasa minum air tanah tanpa dimasak terlebih dahulu masih berlangsung hingga kini. Saat musim kemarau panjang, sebagian penduduk memilih untuk membeli air galon yang harganya mencapai 10 ribu rupiah, dan sebagian yang lain kembali memanfaatkan air gambut.

Sebenarnya sudah ada teknologi pengolahan air gambut menjadi air baku layak konsumsi, yaitu instalasi pengolah air gambut (IPAG) dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). IPAG LIPI diproduksi dengan kapasitas 60 liter per menit, sehingga diberi nama IPAG60. Kapasitas ini mampu mencukupi kebutuhan air bersih 100 rumah tangga dan sudah diterapkan Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, dan Kabupaten Bengkalis, Riau. Sayangnya, Pulau Penyalai belum mengenal alat ini sama sekali. Sedangkan untuk pembuatan teknologi filter sederhana, masyarakat pulau Penyalai tampaknya tidak memiliki inisiatif untuk membuat karena merasa terlalu rumit.


Kekeringan Saat Kemarau

Dulu masa saya kecil, sumur-sumur galian dan parit yang bersumber dari hutan tidak dalam seperti sekarang. Jarak antara permukaan tanah dan permukaan air hanya sekitar satu meter saja. Namun saat ini, jarak tersebut menjauh hingga mencapai 3 meter. Tali timba semakin panjang dan parit sudah jarang digunakan untuk mencuci. Anak-anak pun tidak lagi sering berenang.

Parit di depan rumah (sumber foto: dokumentasi pribadi)
Masalah lain adalah ketika datang musim kemarau, tidak perlu menunggu lima atau enam bulan, cukup dua bulan saja bisa dipastikan sumur-sumur kami sudah mengering. Sehingga perlu digali lebih dalam. Belum lagi pohon-pohon yang berubah kurus serta daun-daunnya yang layu kemudian mengering. Setelah saya perhatikan, parit-parit kami pun sudah mulai berlumpur (lumpur pantai). Ibu juga sempat memberi tahu, sudah ada ikan-ikan kecil yang hidup di sungai berair asin berenang hingga ke parit depan rumah kami. Saat saya ikut Bapak ke kebun yang berada di pinggiran hutan, mata saya mendapati hutan yang cokelat. Semua tumbuhan hutan telah mati terbakar saat kemarau panjang beberapa bulan lalu. Bapak mengatakan bahwa Pulau Penyalai tidak lagi memiliki hutan. Miris saya mendengarnya.

Belukar yang terbakar (sumber foto: dokumentasi pribadi)
Dalam hati saya membenarkan satu hal, inilah mengapa air di pulau kami cepat habis di musim kemarau. Karena tidak ada lagi hutan yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan air. Memang kebun-kebun penduduk Penyalai dipenuhi oleh tanaman kelapa, namun seperti yang diketahui, kelapa memiliki akar serabut yang tidak cukup efektif untuk menyimpan air, berbeda dengan tumbuhan hutan dengan akar-akar tunjang yang menancap ke segala ranah tanah. Hutan jelas tidak bisa disamakan manfaatnya dengan perkebunan kelapa.

Saya kembali membuka file kuliah semester lalu. Di sana saya mengingat kembali dampak negatif kekeringan, di antaranya: berkurangnya sumber air bersih, berkurangnya kelembaban tanah, memicu keretakan tanah, keamblesan tanah, intrusi air asin, dan meningkatkan resiko kebakaran yang meluas serta sulit dipadamkan. Ya, hampir semua dampak negatif tersebut ternyata sudah dapat dirasakan di pulau kecil kami.


Biopori, Solusi Untuk Kekeringan

Itulah sebabnya selama di kampung halaman, saya mencari-cari cara untuk sedikit berkontribusi menangani masalah ini. Tidak perlu hal besar, pikir saya. Karena sesungguhnya dari hal-hal sederhana yang dilakukan secara kompak dan kontinyu justru lebih besar menfaatnya. Salah satu solusi yang coba saya praktikkan adalah dengan pembuatan lubang biopori. Beruntung saya pernah mempelajari Konservasi Tanah dan Air selama satu semester dari Bapak Kamir R. Brata, Dosen IPB sekaligus seseorang yang sangat peduli terhadap lingkungan hidup. Dari beliau inilah saya mengetahui detail pembuatan dan manfaat lubang resapan biopori.

Pak Kamir saat mengisi praktikum (sumber foto: dokumentasi pribadi)
Berbeda dengan pemikiran umum yang berkembang saat ini dimana teknologi diidentikkan dengan sesuatu yang canggih, rumit, serta memerlukan biaya yang besar untuk diterapkan, Pak Kamir justru dengan brilian mengembangkan suatu teknologi yang terlihat sederhana, murah, dan mudah dilakukan oleh setiap orang, serta multi guna.

Lubang resapan biopori (sumber: klik di sini)
Biopori sendiri adalah liang-liang yang ada di dalam tanah dan terbentuk secara alami oleh aktifitas akar dan organisme tanah. Liang seperti inilah yang berusaha kita buat sehingga bisa berfungsi sebagaimana liang yang terbentuk secara alami. Lubang resapan biopori yang baru dibuat serta telah diisi sampah bisa memasukan air sebanyak 1,5 liter hingga 16 liter per menit. Dengan adanya lubang resapan biopori ini, air akan mudah meresap ke dalam tanah dan aliran permukaan bisa diperkecil. Selanjutnya air yang tersimpan dalam tanah inilah yang akan berkontribusi mengatasi kekeringan.


Cara pembuatan lubang biopori

Alat dan bahan:
  • Bor biopori. Untuk tanah lunak dan gambut, bisa menggunakan kayu berdiameter 10 cm dengan ujung lancip.
  • Cincin biopori. Berupa cincin dengan diameter 10 cm terbuat dari semen dan pecahan keramik. Berfungsi sebagai penguat bibir lubang resapan.
  • Sampah organik dan air secukupnya.

Cara membuat:


Langkah pembuatan lubang resapan biopori (sumber foto: dokumentasi pribadi)
  • Tanah dibor menggunakan bor biopori dengan kedalaman 100 cm. Kedalaman 100 cm diperhitungkan agar tersedia cukup oksigen agar sampah yang dimasukkan segera diolah oleh organisme tanah sebelum mengalami pembusukan yang menghasilkan gas metan;
  • Sampah organik dimasukkan ke dalam lubang, kemudian disiram air secukupnya;
  • Cincin biopori diletakkan di bibir lubang resapan. Permukaan cincin harus sejajar dengan permukaan tanah, agar tidak menghambat aliran air menuju lubang resapan;
  •  Dilakukan bor ulang setelah enam bulan kemudian.


Pembuatan lubang resapan biopori yang tidak benar

Berkali-kali Pak Kamir menunjukkan kepada kami halaman-halaman di internet yang memuat tentang proyek pembuatan lubang resapan biopori. Hal yang selalu dikesalkan beliau adalah cara pembuatan lubang resapan yang tidak benar. Pemerintah memberikan anggaran dana hingga milyaran hanya sekadar untuk membuat lubang sesederhana ini. Bukan untuk upah tenaga kerja, pembelian bor maupun pembuatan cincin, melainkan sebagian besar dana dihabiskan untuk membeli pipa paralon berdiameter 10 cm.
“Lubang resapan biopori cukup dimasukkan sampah saja, tidak perlu ditanam paralon sedalam 100 cm ke dalam tanah. Kalau sudah seperti ini, bukan hanya menghabiskan banyak dana, manfaatnya juga tidak bisa didapatkan. Kita membuat lubang dengan tujuan air bisa meresap ke segala sisinya, tidak hanya dari bawah. Itu fungsinya sampah organik yang dimasukkan, agar mikroorganisme membuat liang-liang ke segala sisi lubang. Kalau dipasang paralon, air hanya bisa meresap lewat permukaan bawah, bisa dibayangkan seperti apa lambatnya?” kata beliau menjelaskan. Masih teringat jelas bagaimana keresahan di wajah beliau saat menunjukkan tulisan-tulisan di internet tersebut.
Ya memang benar apa yang beliau ucapkan tersebut. Jika dipikir sekilas saja, tentunya kita berpikir lubang resapan yang dipenuhi sampah organik akan cepat tertutup tanah dan air tidak bisa meresap. Namun kita melupakan satu hal, bahwa sampah organik tersebut mengundang aktivitas organisme tanah. Sehingga akan terbentuk lubang seperti lubang alami, contohnya lubang cacing. Jadi tidak perlu khawatir air tidak bisa meresap.

Namun, lubang resapan biopori ini pun tidak mungkin bisa bekerja maksimal terus-menerus tanpa bantuan manusia. Kita tetap harus terus memeliharanya dengan cara sering memasukkan sampah organik ke dalam lubang. Selama enam bulan sekali juga dilakukan pengeboran kembali untuk mengeluarkan tanah-tanah yang masuk. Kegiatan ini tentu tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja, melainkan harus ada kerjasama seluruh masyarakat. Agar lubang-lubang yang dibuat bisa dirasakan manfaatnya.


Biopori di Sekitar Rumah

Di kampung halaman, saya membuat dua puluh lubang di sekitar rumah. Berpesan kepada Ibu agar menyempatkan untuk memasukkan sampah organik setiap seminggu atau dua minggu sekali ke dalam lubang-lubang tersebut. Tidak lupa saya jelaskan manfaat lubang biopori kepada Bapak dan Adik. Saya berharap Bapak bisa menjelaskannya kemudian kepada warga kampung. Setidaknya, dua puluh lubang resapan yang sudah saya buat bisa meresapkan air yang menggenang di halaman saat turun hujan. Jadi air yang mengalir ke parit bisa berkurang jumlahnya, sebaliknya air akan meresap ke dalam tanah dan menjadi tabungan. Sedangkan untuk wilayah rawan banjir, lubang resapan ini sangat efektif dipilih sebagai solusi penanganan banjir.


Apabila pembuatan lubang resapan biopori ini mampu disosialisasikan secara luas, kemudian segenap lapisan masyarakat mau membuat serta memeliharanya, tentunya bersama dengan kegiatan-kegiatan pemeliharaan lingkungan lain seperti penanaman pohon, efektif dalam penggunaan air, dan ditambah dengan teknologi, bukan hal yang tidak mungkin kita bisa mengatasi masalah air di negara ini. Mari bersatu menjaga dan melestarikan air untuk kehidupan Indonesia yang lebih sehat.


Tulisan ini diikut sertakan dalam lomba Anugerah Jurnalistik Aqua IV Kategori Blogger


Referensi:
http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=1471&coid=2&caid=40&gid=5
http://www.jaringnews.com/internasional/uni-eropa/58728/pbb-dunia-terancam-krisis-air-bersih-dan-energi
http://hubunganalumni.ipb.ac.id/kamir-r-brata-penemu-lubang-resapan-biopori/
http://indonesia.wetlands.org/Infolahanbasah/PetaSebaranGambut/tabid/2834/language/id-ID/Default.aspx

Saturday, 2 August 2014

Cerpen Islami Terbaik: Pesona Hijab di Negeri Tsarina



Moskow, 09 Mei 2013
Minus 23 derajat.       

Aku merapatkan palto, membenarkan letak topi bulu yang membungkus kepala. Uap dingin menguar dari setiap napas yang kuembuskan, membentuk kepulan pekat. Kupercepat langkah ke arah Stadion Olimpiski, lalu  berbelok ke kiri menuju jalan Durova. Permadani putih yang kuinjak gemeretak, berirama seiring injakan sepatuku.

Akhirnya, sampai juga aku di bangunan berwarna biru toska dengan bulan sabit di ujung kubahnya. Masjid Agung Moskow. Masjid yang mengingatkan bahwa masih ada Islam di negeri Lenin ini.

Tujuanku kemari bukan untuk salat, karena sekarang belum masuk waktu asar. Aku hanya ingin mencari penjanggal perut di kantin yang terletak pada bagian timur areal masjid ini. Ya, karena sudah pasti kehalalannya.

Aku mengambil tempat di pojok kantin, dekat dengan jendela. Memesan sepiring plof dan secangkir teh panas.

Ruangan ini cukup hangat dengan pemanas ruangan yang dipasang di bawah jendela. Aku membuka topi. Merapikan rambut dengan jemari. Memandang keluar dari jendela. Ah, Rusia benar-benar beku di puncak musim dingin.

Mataku menerawang. Kegelisahan yang menggelayut batin akhir-akhir ini kembali meruak. Sudah setahun aku menjadi muslim, salat sudah tidak lagi kutinggal-tinggalkan, namun entah mengapa aku merasa masih ada yang kurang. Bukan, bukan Islam yang mulia ini yang kumaksud ada yang kurang. Melainkan, aku. Aku yang masih setengah-setengah.

Kulirik rambut yang tergerai lurus ke samping dadaku. Rambut yang indah, begitu pujian yang selalu kuterima. Dan karena rambut ini pula, sebuah majalah fashion ternama menerimaku sebagai model mereka. Rambut inilah yang menghidupiku.

Plof dan teh yang kupesan datang. Segera saja kuraih cangkir putih gading yang masih mengepul. Kuhirup aromanya dalam-dalam, membiarkan hangatnya menjalar ke seluruh saraf-saraf.

"Dabro dent1...!" Sebuah suara merdu mengejutkan, memerintahkan kepalaku menengadah. Kulihat seorang wanita berwajah Rusia telah berdiri di hadapanku dengan seulas senyum. Ia meminta izin untuk duduk di kursi yang ada di depanku.

"Silakan..." kataku pelan diiringi senyum.

Ia kemudian memesan semangkok sup borsh dan juga secangkir teh. Belum ada pembicaraan apapun di antara kami. Aku memandangi teh yang sejak tadi belum juga kuseruput. Sesekali mencuri pandang ke arah wanita jelita itu. Ada kagum yang menyumpal hatiku. Bukan, bukan kagum pada parasnya yang jelita, melainkan pada selembar kain bewarna krem yang membalut wajahnya. Begitu indah, begitu damai, begitu santun...

Apa karena tanpa kain yang membalut wajahku ini, aku merasa belum ber-Islam dengan sempurna? Aku masih mengingat jelas isi surah Al Azhab ayat 59 yang dibacakan Ainee Fatma—putri kecil Syaikh yang membimbingku—tentang kewajiban berhijab bagi muslimah. Tapi, kurasa terlalu seram belantara resiko yang harus kuterobos, jika aku berhijab. Waktuku masih panjang, Tuhan pasti memahaminya.

"Kak tibya zavut2?" Ia bertanya, mengulurkan tangannya yang terselubung kaos putih tebal. Barangkali ia sadar jika diam-diam aku mengamati.

"Minya zavut Aeva3. Kamu?"

"Aku Ayse, Ayse Omarov." jawabnya sebelum melepas jabatan tangan kami.

"Hey, kau tahu, aku kagum padamu, di negara ini kamu berani memutuskan untuk memakai selembar kain itu." ucapku jujur sambil menunjuk kecil pada kerudungnya. Kulihat ia tersenyum. Matanya berbinar.

"Ketika aku berani mengucap persaksian pada Allah swt dan Muhammad saw, maka saat itu pula aku harus berani melaksanakan semua yang diperintahkan agama ini, Aeva. Termasuk memakai kain ini. Aku yakin segala yang diperintahkan-Nya tidak ada yang bertentangan dengan fitrah manusia." katanya menjelaskan sebelum menyuapkan sesendok sup hangat ke mulutnya.

Aku menggeleng pelan. Kulemparkan jaring pandangku ke luar jendela, menembus kaca yang terselimut kabut. Satu-dua orang berpalto tebal tampak berjalan menembus salju yang semakin tinggi. Batinku bergejolak. Apa aku ini pengecut? Sehingga tak berani menjalankan keputusan sendiri.

"Aku menjadi muslim setahun yang lalu, Ayse. Tapi aku belum berani mengenakan kain itu. Aku takut kehilangan pekerjaanku. Kau tahu sendirilah susahnya seorang wanita berhijab mendapatkan pekerjaan di sini. Jika aku memakai hijab, apa jadinya hidupku?"

"Jika kamu tetap tidak memakai hijab, lalu apa jadinya matimu, Aeva?" ia membalas pertanyaanku dengan pertanyaan yang menghempas jantungku.

Apa jadinya matiku? Mati? Iya, semua memang akan mati. Lalu apa hubungannya mati dengan hijab?

Bodoh! Hijab itu kewajiban. Pastinya aku tahu hukum seseorang yang meninggalkan kewajiban. Dosa. Dan dosa itu neraka. Kalaupun amalanku yang lain sempurna, aku akan tetap mencicip api neraka karena satu kewajiban kutinggalkan.

Neraka?

Iya. Rambutku yang katanya indah ini akan diikat di petala neraka. Tubuh terpanggang. Gosong. Hitam. Sangit. Lalu, segerombol gagak buas datang mematuki kepalaku, menarik sejumput demi sejumput rambutku dengan serakah, hingga semua tercabut, menyisakan merah yang meruah di tempurung kepala. Merah yang licin dan amis. Lalu tak lama, rambutku tumbuh kembali, dan sekawanan gagak buas itu pun kembali menyerang. Begitu terus.

Sakit. Sakit. Sakit. Sakit yang tak kunjung habis.

Aku meringis.

"Kamu baik-baik saja?" Suara Ayse menyadarkan. Sambil berusaha tersenyum, memberi tahu bahwa aku tidak apa-apa.

"Dulu, aku bekerja di sebuah perusahaan ternama, Aeva. Gajiku sama dengan gaji seorang presiden di negara berkembang. Tapi seminggu setelah aku ber-Islam dan memutuskan berhijab, aku dipecat tanpa alasan. Awalnya aku sedih. Aku bingung dengan tuntutan hidup yang serba mahal. Namun, aku tak pernah berpikir untuk putar haluan, Aeva. Tekadku mengunci mati navigasi di jalan Islam sudah bulat. Aku hidup prihatin selama bertahun-tahun. Hingga akhirnya, Allah menunjukkan janji-Nya. Aku dipertemukan dengan laki-laki muslim yang mapan, suamiku kini." ceritanya dengan mata yang bersahabat. Ia kembali tersenyum di akhir kalimatnya, seperti membayangkan lagi sesuatu yang paling indah dalam hidupnya.

"Aku masih bimbang, Ayse. Mungkin hijab tidak akan menjadi masalah bagi muslimah di negara-negara mayoritas muslim. Mereka bebas menjadi designer, artis, model, pengusaha, presenter, dan lain-lain. Tak jadi masalah. Tapi ini Rusia, Ayse. Jangankan untuk mendapatkan pekerjaan, untuk sekadar jalan-jalan di Stary Arbat saja, kita sudah disangka manusia jahat. Belum lagi kemungkinan menjadi sasaran kambing hitam ulah para mafia anti-Islam. Itu semua terlalu berat, Ayse." aku melenguh.

Jemariku memainkan sendok, mengaduk-aduk perlahan teh yang masih penuh. Aku menyeruputnya sedikit. Kulihat Ayse memandangku dalam. Ada beling di matanya. Yang berkilat. Yang akan meleleh tertahan.

"Aku paham kegelisahanmu, Aeva. Aku pun pernah mengalaminya. Namun, jika tidak dari sekarang, kapan lagi? Coba kamu tanyakan, tanyakan baik-baik, bukan pada orang lain, tapi pada dirimu sendiri. Dengan uang yang mengalir mudah, semua keinginan duniawi kau tunaikan, apakah kau sempurna bahagia?"

Aku menunduk. Sempurna bahagia? Ya, aku bahagia. Sepatu mahal, tas kelas pertama, pakaian indah, apartemen mewah, makanan lezat, semua kudapat dengan mudah. Apa lagi?

Ya sekilas memang tak ada yang kurang. Namun...

Setelah satu barang mahal berhasil kubeli, aku senang. Tapi beberapa waktu kemudian, aku bosan. Aku ingin barang yang lain lagi. Begitu terus. Tak pernah puas. Dan akhirnya, semua itu memang tak membuatku sempurna bahagia. Ya, dunia tak akan pernah membuatku sempurna bahagia. Lalu kenapa terus kukejar?

"Jika karena hijab kamu kehilangan pekerjaanmu, itu artinya Allah telah menyiapkan pekerjaan lain yang lebih baik bagimu. Jika kamu mati karena menjadi korban para mafia, mengapa cemas? Kamu mati sebagai syahidah. Itu mulia sekali. Aeva, Allah sendiri yang meminta muslimah berhijab, Dia tidak mungkin menyia-nyiakan muslimah yang menjalankan perintah-Nya. Jangan iri pada wanita-wanita yang mampu gemilang dengan auratnya, kamu akan lebih gemilang dengan hijab yang membalut wajahmu. Insya Allah, Allah akan meluaskan jalanmu. Aku dan kamu, juga muslimah lain di negeri beku ini, akan sama-sama membuktikan bahwa dengan hijab ini kita tetap berkarya. Berkarya tidak harus besar, Aeva. Tak harus terkenal. Percayalah...kita tetap akan berkarya, karya yang direstui-Nya." Ayse menggenggam tanganku. Kini air matanya telah meleleh. Aku menemukan kehangatan dari cahaya matanya. Kehangatan persaudaraan yang indah.

Ya Allah, sedamai inikah jannah-Mu? Dimana setiap insan saling berkasih sayang atas nama-Mu. Bukan kasih sayang yang membabi buta seperti kehidupanku semasa jahilliyah dulu.

"Mama." Suara bening seseorang membuyarkan penghayatan kami. Mataku segera menanangkap seorang bocah laki-laki dengan palto berwarna cokelat muda. Ia berlari menghambur dalam pelukan Ayse. Aku memandang heran.

"Aeva, ini Ismael, putraku. Ismael, ayo jabat tangan Kakak itu..."

Aku sedikit kaget. Ayse sudah memiliki anak laki-laki sebesar ini. Bermata cokelat. Lucu dan menggemaskan. Kami bersalaman. Aku tak tahan untuk tidak menjawel pipi empuknya.

"Umurnya 8 tahun, Aeva. Alhamdulillah, ia sudah hapal seluruh isi Alquran. Inilah karyaku, Aeva. Aku mencurahkan perhatianku untuk suami dan anakku. Menjadi Ibu dan guru yang baik bagi Ismael. Itu semua sudah lebih dari cukup. Kamu bisa membayangkan, andai semua Ibu mampu mendidik anak-anaknya ber-Islam dengan benar, para Ibu akan mengubah peradaban, Aeva. Karena betapa banyak kejelekan yang akan terganti oleh generasi saleh-saleha itu. Itu sebuah karya besar, Aeva. Karya berhadiah surga."

Aku tersenyum. Tak juga mengatakan untuk segera berhijab padanya. Kuajak dia menghabiskan menu yang sejak tadi menjadi saksi percakapan kami. Ismael ikut memesan semangkuk sup borsh dan teh panas.

"Spasiba balshoi, Ayse. Da svidaniya4." ucapku sambil memeluk Ayse di akhir pertemuan. Aku harus mengejar metro menuju stasiun Oktyaberskaya, selanjutnya menggunakan bus listrik ke Universitas Negeri Moskow. Ada kuliah jam 03.00 p.m yang harus kuikuti.

***


Pukul 05.13 p.m waktu Moskow. Setelah salat asar di salah satu ruang kosong kampus, aku memutuskan menuju pelataran Leninsky Gori. Itu adalah tempat yang paling kusukai, di mana aku bisa merenung sambil melihat keindahan Moskow dari Timur hingga Barat. Aku membenarkan letak tas punggungku. Memilih duduk di sebuah bangku di ujung pelataran. Dari sini aku menyaksikan kanal Moskow membeku di bawah sana. Beberapa orang yang berselubung palto hanya tampak sebesar ibu jari. Aku menarik napas. Meluaskan pandangan. Mataku menangkap sesosok wanita yang duduk di sudut pelataran. Kurasa ia pun tengah menikmati winter dari atas sini. Tak mampu kutahan hati ini untuk tak mendekatinya.

"Dabro dent ..." Sapaku dengan senyum mengembang. Ia tampak kaget karena suaraku yang menguar tiba-tiba. Tapi sesaat kemudian ia tersenyum. Manis sekali.

"Hey, aku suka kerudungmu. Kau terlihat secantik para tsarina." ucapku tanpa basa-basi. Sekali lagi ia tersenyum.

"Spasiba balshoi. Setiap wanita kan memang cantik. Rambutmu juga cantik." ucapnya menimpali. Matanya berbinar. Sangat indah berpadu dengan kerudung berwarna lembayung yang dikenakannya.

"Ah, kamu menyindir, ya? Rambut ini memang indah di mata manusia, tapi tidak di mata-Nya," Aku menunjukkan telunjukku ke atas.

"Kamu muslimah?"

Aku mengangguk. Lalu kuceritakan padanya tentang pekerjaanku dan alasanku belum memakai kerudung. Ia mendengarkan khidmat.

"Ya, aku mengerti. Tapi memang itulah resikonya. Kau lihat saja pada Alquran surah Al-baqarah ayat 214, semua orang akan melalui ujian, Tuhan sudah memberi tahu." ucapnya sambil menepuk bahuku. Aku menunduk.

"Ceritakan padaku kisahmu. Semoga bisa semakin meneguhkanku."

Ia diam sejenak. Melemparkan pandangan jauh ke depan.

"Aku memakai kerudung ini sejak setahun tiga bulan lalu. Ya, kerudung ini sebagai bukti tingginya peradaban manusia, teman. Jika nenek moyang manusia hanya berpakaian untuk menutupi bagian-bagian tertentu saja, maka peradaban tertinggi harusnya berpakaian tertutup. Aku ingin menjadi salah satu dari manusia berperadaban tinggi itu.

"Selain itu, sebelum aku berkerudung dahulu, aku pernah hampir diperkosa dan oleh teman laki-lakiku sendiri. Hampir saja laki-laki itu menusukku karena aku mencoba lari dan berteriak-teriak. Yah, kurasa, karena saat itu aku suka memakai pakaian yang terbuka. Temanku sendiri yang mengakui, jika pakaianku itu pasti akan memancing syahwat siapa pun yang melihatku. Sejak itu aku takut, rasanya aku ingin menutupi seluruh tubuh ini."

Selanjutnya ia bercerita, setelah memutuskan berhimar, jabatannya sebagai asisten salah seorang profesor di MGU, dicopot. Tentu saja dengan alasan yang tidak masuk akal.

"Kapan kamu bersyahadat?" tanyaku menyambung penjelasannya.

Wajahnya seketika memerah. Ia mengalihkan pandangannya pada lanskap yang membentang di bawah sana. Tak lama, ia tersenyum, tanpa menoleh ke arahku.

"Kau doakan saja semoga hatiku bisa teguh." ucapnya pelan. Aku terbelalak. Maksudnya?

"Aku masih Ortodoks, teman. Kerudung ini kukenakan bukan berarti aku muslimah. Aku hanya ingin kerudung ini menutupi diriku, tentunya dari mata-mata jahat. Masalah ber-Islam, awalnya aku tak berpikir ke sana. Namun kerudung ini justru menjadi gerbang bagiku untuk mengenal dan mempelajari Islam lebih dalam. Aku mempelajari Alquran. Dari sanalah aku mendapatkan informasi yang benar tentang Islam, sama sekali tidak seperti informasi media massa yang kutelan selama ini. Malam Jumat minggu ini aku akan bersyahadat di Masjid Balsoi Tatarski dekat KBRI. Datanglah, kawan. Jadilah saksi atas kemenanganku."

Aku membisu. Air mata hangat meleleh lembut di sudut kedua mataku.

Apa lagi yang kutunggu? Seorang wanita Ortodoks saja memilih berhimar, karena ia tahu manfaatnya. Sementara aku? Berkali-kali Alquran kukhatamkan, berpuluh kajian Islam kuhadiri, beberapa nasihat wanita muslimah kudengarkan, tapi aku terus menunda-nunda memenuhi kewajiban.

Aku harus segera melaksanakan kewajibanku. Tak boleh menunda lagi.

Tapi bagaimana dengan pekerjaan dan masa depanmu, Aeva?

***

Moskow, 02 September 2013

"Aeva! Dabroye utra. Kak dela5?" Seorang anak berteriak,  bertanya padaku. Aku menoleh ke arahnya. Sekawanan anak-anak laki-laki lucu dengan pakaian musim panasnya.

"Dabroye utra. Alhamdulillah, ya vso kharasyo6. Bagaimana dengan kalian?"  Aku bertanya kembali dengan melambaikan tangan.

Mereka kor menjawab 'secerah hari ini', lalu kembali berlarian di atas rumput, kaki-kaki mungil mereka beradu cepat memasukkan bola pada gawang yang dijaga seorang anak berkulit hitam.

Aku melanjutkan langkah, menyusuri jalanan yang diapit deretan bunga musim semi. Kerudung cokelat yang kukenakan berkibar. Satu-dua orang yang berpapasan menatap aneh, bahkan kepala mereka bergerak mengikuti siluetku. Aku sudah terbiasa dan aku tak peduli sama sekali.

Sudah empat bulan aku mengenakan kerudung di bumi Rusia. Anak-anak selalu menyuruk takut apabila melihatku, takut aku seorang wanita kejam seperti doktrin yang mereka telan tentang muslim. Orang-orang menatapku aneh, teman-temanku menjauh, dan beberapa yang mengenalku dari majalah, selalu berkomentar,

"Sayang sekali..."

"Ah, rambut indahmu kau sia-siakan dengan menutupinya seperti itu."

"Wah, bodohnya..."

Aku mendongak, tersenyum pada dahan-dahan bereozka yang bergoyang. Aku damai sekarang...

Ya, aku telah kehilangan pekerjaanku sebagai model. Sedih. Tapi kesedihan itu tak sebanding dengan kedamaian yang kucecap kini. Sekarang aku mengajar kelas bahasa Jerman di Sekolah Indonesia Moskow (SIM). Beberapa anak-anak yang menyapaku tadi adalah sebagian dari murid-muridku.

Di pekerjaan baru ini, gajiku memang tak seberapa. Namun, aku bertekad untuk terus mendidik anak-anak di SIM dengan penuh kasih sayang dan kelemah lembutan, agar kelak anak-anak itu akan menceritakan pada dunia, bahwa wanita berhijab itu penuh kasih sayang dan kelemah lembutan, seperti guru kelas bahasa Jerman mereka. Inilah karyaku dengan hijab ini. Hijab yang kini begitu kucintai, serupa para tsarina mencintai mahkotanya.

1Selamat siang (pukul 12.00-18.00)
2Siapa namamu?
3Namaku Aeva
4Terimakasih, Aisye. Sampai berjumpa lagi
5Selamat pagi. Apa kabar?
6Selamat pagi. Alhamdulillah saya baik-baik saja

 Diselesaikan pada 7 Syawal 1435 H di Penyalai, Riau



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...