Air
adalah kehidupan itu sendiri. Tanpa adanya air, mustahil planet bumi ini
berwujud biru dan dipenuhi hiruk-pikuk makhluk hidup yang menghuninya. Namun
tidak semua air yang mengisi bumi tersebut bisa dimanfaatkan oleh manusia untuk
menunjang keberlangsungan hidupnya, seperti untuk minum, mencuci, memasak,
mandi, dan sebagainya. Karena jumlah air bersih hanya 2, 53 % dari total air
bumi, dua pertiga dari air bersih tersebut berupa sungai es dan salju permanen
yang sulit dimanfaatkan.
Seperti
yang disebutkan dalam The World Water
Development Report dari UNESCO, bahwa sejauh ini 768 juta orang tidak
memiliki akses ke sumber air, dan 2,5 miliar tidak memiliki sanitasi yang layak.
Laporan ini juga menegaskan bahwa kebutuhan air global cenderung meningkat
sebesar 55% pada tahun 2050. Pada saat itu, lebih dari 40% dari populasi dunia
akan tinggal di daerah krisis air. Begitu seriusnya masalah ini, sehingga para ahli berpendapat bahwa pada suatu saat nanti,
akan terjadi “pertarungan” untuk memperebutkan air bersih. Sama halnya dengan
pertarungan untuk memperebutkan sumber energi minyak dan gas bumi.
Indonesia sendiri tidak terbebas dari masalah kelangkaan air
bersih, karena sekitar 119 juta rakyat Indonesia belum memiliki akses terhadap
air bersih. Penduduk Indonesia yang bisa mengakses air bersih untuk kebutuhan
sehari-hari, baru mencapai 20 persen dari total penduduk Indonesia. Itupun yang
dominan adalah akses untuk perkotaaan. Artinya masih ada 82 persen rakyat
Indonesia terpaksa mempergunakan air yang tak layak secara kesehatan.
Masalah air seperti yang dipaparkan di atas juga sangat saya
rasakan. Hal ini karena kampung halaman saya bertanah gambut. Luas lahan rawa gambut di
Indonesia diperkirakan 20,6 juta hektar atau sekitar 10,8 persen dari luas
daratan Indonesia. Dari luasan tersebut sekitar 7,2 juta hektar atau 35%-nya
terdapat di Pulau Sumatera.
Kampung halaman saya dikenal dengan nama Pulau Penyalai, masuk
dalam kawasan Provinsi Riau, dan berada di kuala Sungai Kampar. Lokasi
pulau ini bisa dikatakan strategis, namun ketika berkunjung ke sana, jangan
kaget saat mendapati nuansa pedesaan yang khas. Salah satunya adalah mandi air
tanah gambut yang berwarna cokelat seperti teh dan sangat asam. Bahkan beberapa
tahun lalu, ketika saudara saya dari kota Pekanbaru datang berkunjung, ia
memilih menghabiskan berbotol-botol air aqua untuk mandi.
Sejak
dulu hingga umur saya 13 tahun, penduduk pulau Penyalai juga memanfaatkan air
gambut untuk aktifitas memasak dan air minum. Rasanya asam bagi yang belum
terbiasa, namun bagi kami yang sehari-hari minum air tersebut, rasanya
enak-enak saja. Wajar saja sebagian besar penduduk pulau menggunakan gigi
palsu, bahkan anak-anak, karena kandungan dalam air gambut menyebabkan gigi
mudah keropos. Sedangkan air hujan ditampung penduduk dalam drum kecil dan
hanya dimanfaatkan untuk membilas pakaian.
Saat
ini keadaan sudah sedikit lebih baik, sejak adanya bantuan berupa drum besar
untuk penampungan air hujan bagi tiap-tiap rumah. Sehingga untuk aktifitas
memasak dan air minum, penduduk memanfaatkan tampungan air hujan. Namun
ternyata bantuan drum dari pemerintah tidak merata, sehingga masih banyak rumah
yang tidak bisa menampung air hujan dalam jumlah besar. Belum lagi kebiasaan suku
Apit yang terbiasa minum air tanah tanpa dimasak terlebih dahulu masih
berlangsung hingga kini. Saat musim kemarau panjang, sebagian penduduk memilih
untuk membeli air galon yang harganya mencapai 10 ribu rupiah, dan sebagian
yang lain kembali memanfaatkan air gambut.
Sebenarnya
sudah ada teknologi pengolahan air gambut menjadi air baku layak konsumsi, yaitu
instalasi pengolah air gambut (IPAG) dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI). IPAG LIPI diproduksi dengan kapasitas 60 liter per menit,
sehingga diberi nama IPAG60. Kapasitas ini mampu mencukupi kebutuhan air bersih
100 rumah tangga dan sudah diterapkan Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah,
dan Kabupaten Bengkalis, Riau. Sayangnya, Pulau Penyalai belum mengenal alat
ini sama sekali. Sedangkan untuk pembuatan teknologi filter sederhana, masyarakat
pulau Penyalai tampaknya tidak memiliki inisiatif untuk membuat karena merasa
terlalu rumit.
Kekeringan
Saat Kemarau
Dulu
masa saya kecil, sumur-sumur galian dan parit yang bersumber dari hutan tidak
dalam seperti sekarang. Jarak antara permukaan tanah dan permukaan air hanya
sekitar satu meter saja. Namun saat ini, jarak tersebut menjauh hingga mencapai
3 meter. Tali timba semakin panjang dan parit sudah jarang digunakan untuk
mencuci. Anak-anak pun tidak lagi sering berenang.
Masalah
lain adalah ketika datang musim kemarau, tidak perlu menunggu lima atau enam
bulan, cukup dua bulan saja bisa dipastikan sumur-sumur kami sudah mengering. Sehingga
perlu digali lebih dalam. Belum lagi pohon-pohon yang berubah kurus serta
daun-daunnya yang layu kemudian mengering. Setelah saya perhatikan, parit-parit
kami pun sudah mulai berlumpur (lumpur pantai). Ibu juga sempat memberi tahu,
sudah ada ikan-ikan kecil yang hidup di sungai berair asin berenang hingga ke
parit depan rumah kami. Saat saya ikut Bapak ke kebun yang berada di pinggiran
hutan, mata saya mendapati hutan yang cokelat. Semua tumbuhan hutan telah mati
terbakar saat kemarau panjang beberapa bulan lalu. Bapak mengatakan bahwa Pulau
Penyalai tidak lagi memiliki hutan. Miris saya mendengarnya.
Dalam
hati saya membenarkan satu hal, inilah mengapa air di pulau kami cepat habis di
musim kemarau. Karena tidak ada lagi hutan yang berfungsi sebagai tempat
penyimpanan air. Memang kebun-kebun penduduk Penyalai dipenuhi oleh tanaman
kelapa, namun seperti yang diketahui, kelapa memiliki akar serabut yang tidak
cukup efektif untuk menyimpan air, berbeda dengan tumbuhan hutan dengan
akar-akar tunjang yang menancap ke segala ranah tanah. Hutan jelas tidak bisa
disamakan manfaatnya dengan perkebunan kelapa.
Saya
kembali membuka file kuliah semester lalu. Di sana saya mengingat kembali
dampak negatif kekeringan, di antaranya: berkurangnya sumber air bersih,
berkurangnya kelembaban tanah, memicu keretakan tanah, keamblesan tanah,
intrusi air asin, dan meningkatkan resiko kebakaran yang meluas serta sulit
dipadamkan. Ya, hampir semua dampak negatif tersebut ternyata sudah dapat
dirasakan di pulau kecil kami.
Biopori,
Solusi Untuk Kekeringan
Itulah
sebabnya selama di kampung halaman, saya mencari-cari cara untuk sedikit
berkontribusi menangani masalah ini. Tidak perlu hal besar, pikir saya. Karena
sesungguhnya dari hal-hal sederhana yang dilakukan secara kompak dan kontinyu
justru lebih besar menfaatnya. Salah satu solusi yang coba saya praktikkan
adalah dengan pembuatan lubang biopori. Beruntung saya pernah mempelajari
Konservasi Tanah dan Air selama satu semester dari Bapak Kamir R. Brata, Dosen IPB sekaligus seseorang
yang sangat peduli terhadap lingkungan hidup. Dari beliau inilah saya
mengetahui detail pembuatan dan manfaat lubang resapan biopori.
Berbeda
dengan pemikiran umum yang berkembang saat ini dimana teknologi diidentikkan
dengan sesuatu yang canggih, rumit, serta memerlukan biaya yang besar untuk
diterapkan, Pak Kamir justru dengan brilian mengembangkan suatu teknologi yang
terlihat sederhana, murah, dan mudah dilakukan oleh setiap orang, serta multi
guna.
Biopori
sendiri adalah liang-liang yang ada di dalam tanah dan terbentuk secara alami
oleh aktifitas akar dan organisme tanah. Liang seperti inilah yang berusaha
kita buat sehingga bisa berfungsi sebagaimana liang yang terbentuk secara alami.
Lubang resapan biopori yang baru dibuat serta telah diisi sampah bisa memasukan
air sebanyak 1,5 liter hingga 16 liter per menit. Dengan adanya lubang resapan
biopori ini, air akan mudah meresap ke dalam tanah dan aliran permukaan bisa
diperkecil. Selanjutnya air yang tersimpan dalam tanah inilah yang akan
berkontribusi mengatasi kekeringan.
Cara pembuatan
lubang biopori
Alat
dan bahan:
- Bor biopori. Untuk tanah lunak dan gambut, bisa menggunakan kayu berdiameter 10 cm dengan ujung lancip.
- Cincin biopori. Berupa cincin dengan diameter 10 cm terbuat dari semen dan pecahan keramik. Berfungsi sebagai penguat bibir lubang resapan.
- Sampah organik dan air secukupnya.
- Tanah dibor menggunakan bor biopori dengan kedalaman 100 cm. Kedalaman 100 cm diperhitungkan agar tersedia cukup oksigen agar sampah yang dimasukkan segera diolah oleh organisme tanah sebelum mengalami pembusukan yang menghasilkan gas metan;
- Sampah organik dimasukkan ke dalam lubang, kemudian disiram air secukupnya;
- Cincin biopori diletakkan di bibir lubang resapan. Permukaan cincin harus sejajar dengan permukaan tanah, agar tidak menghambat aliran air menuju lubang resapan;
- Dilakukan bor ulang setelah enam bulan kemudian.
Pembuatan lubang
resapan biopori yang tidak benar
Berkali-kali
Pak Kamir menunjukkan kepada kami halaman-halaman di internet yang memuat
tentang proyek pembuatan lubang resapan biopori. Hal yang selalu dikesalkan beliau
adalah cara pembuatan lubang resapan yang tidak benar. Pemerintah memberikan
anggaran dana hingga milyaran hanya sekadar untuk membuat lubang sesederhana
ini. Bukan untuk upah tenaga kerja, pembelian bor maupun pembuatan cincin,
melainkan sebagian besar dana dihabiskan untuk membeli pipa paralon berdiameter 10 cm.
“Lubang resapan biopori cukup dimasukkan sampah saja, tidak perlu ditanam paralon sedalam 100 cm ke dalam tanah. Kalau sudah seperti ini, bukan hanya menghabiskan banyak dana, manfaatnya juga tidak bisa didapatkan. Kita membuat lubang dengan tujuan air bisa meresap ke segala sisinya, tidak hanya dari bawah. Itu fungsinya sampah organik yang dimasukkan, agar mikroorganisme membuat liang-liang ke segala sisi lubang. Kalau dipasang paralon, air hanya bisa meresap lewat permukaan bawah, bisa dibayangkan seperti apa lambatnya?” kata beliau menjelaskan. Masih teringat jelas bagaimana keresahan di wajah beliau saat menunjukkan tulisan-tulisan di internet tersebut.
Ya
memang benar apa yang beliau ucapkan tersebut. Jika dipikir sekilas saja,
tentunya kita berpikir lubang resapan yang dipenuhi sampah organik akan cepat tertutup tanah dan air tidak bisa meresap. Namun kita
melupakan satu hal, bahwa sampah organik tersebut mengundang aktivitas
organisme tanah. Sehingga akan terbentuk lubang seperti lubang alami, contohnya lubang cacing. Jadi tidak perlu khawatir air tidak bisa meresap.
Namun,
lubang resapan biopori ini pun tidak mungkin bisa bekerja maksimal
terus-menerus tanpa bantuan manusia. Kita tetap harus terus memeliharanya
dengan cara sering memasukkan sampah organik ke dalam lubang. Selama enam bulan
sekali juga dilakukan pengeboran kembali untuk mengeluarkan tanah-tanah yang
masuk. Kegiatan ini tentu tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja, melainkan
harus ada kerjasama seluruh masyarakat. Agar lubang-lubang yang dibuat bisa
dirasakan manfaatnya.
Biopori di
Sekitar Rumah
Di
kampung halaman, saya membuat dua puluh lubang di sekitar rumah. Berpesan kepada
Ibu agar menyempatkan untuk memasukkan sampah organik setiap seminggu atau dua
minggu sekali ke dalam lubang-lubang tersebut. Tidak lupa saya jelaskan manfaat
lubang biopori kepada Bapak dan Adik. Saya berharap Bapak bisa menjelaskannya
kemudian kepada warga kampung. Setidaknya, dua puluh lubang resapan yang sudah
saya buat bisa meresapkan air yang menggenang di halaman saat turun hujan. Jadi
air yang mengalir ke parit bisa berkurang jumlahnya, sebaliknya air akan
meresap ke dalam tanah dan menjadi tabungan. Sedangkan untuk wilayah rawan
banjir, lubang resapan ini sangat efektif dipilih sebagai solusi penanganan
banjir.
Apabila
pembuatan lubang resapan biopori ini mampu disosialisasikan secara luas,
kemudian segenap lapisan masyarakat mau membuat serta memeliharanya, tentunya
bersama dengan kegiatan-kegiatan pemeliharaan lingkungan lain seperti penanaman
pohon, efektif dalam penggunaan air, dan ditambah dengan teknologi, bukan hal
yang tidak mungkin kita bisa mengatasi masalah air di negara ini. Mari bersatu
menjaga dan melestarikan air untuk kehidupan Indonesia yang lebih sehat.
Tulisan ini diikut sertakan dalam lomba Anugerah Jurnalistik Aqua IV Kategori Blogger
Referensi:
http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=1471&coid=2&caid=40&gid=5
http://www.jaringnews.com/internasional/uni-eropa/58728/pbb-dunia-terancam-krisis-air-bersih-dan-energi
http://hubunganalumni.ipb.ac.id/kamir-r-brata-penemu-lubang-resapan-biopori/
http://indonesia.wetlands.org/Infolahanbasah/PetaSebaranGambut/tabid/2834/language/id-ID/Default.aspx