Sunday, 31 August 2014

Menabung Air melalui Lubang Resapan Biopori

Air adalah kehidupan itu sendiri. Tanpa adanya air, mustahil planet bumi ini berwujud biru dan dipenuhi hiruk-pikuk makhluk hidup yang menghuninya. Namun tidak semua air yang mengisi bumi tersebut bisa dimanfaatkan oleh manusia untuk menunjang keberlangsungan hidupnya, seperti untuk minum, mencuci, memasak, mandi, dan sebagainya. Karena jumlah air bersih hanya 2, 53 % dari total air bumi, dua pertiga dari air bersih tersebut berupa sungai es dan salju permanen yang sulit dimanfaatkan.

Seperti yang disebutkan dalam The World Water Development Report dari UNESCO, bahwa sejauh ini 768 juta orang tidak memiliki akses ke sumber air, dan 2,5 miliar tidak memiliki sanitasi yang layak. Laporan ini juga menegaskan bahwa kebutuhan air global cenderung meningkat sebesar 55% pada tahun 2050. Pada saat itu, lebih dari 40% dari populasi dunia akan tinggal di daerah  krisis air. Begitu seriusnya masalah ini, sehingga para ahli berpendapat bahwa pada suatu saat nanti, akan terjadi “pertarungan” untuk memperebutkan air bersih. Sama halnya dengan pertarungan untuk memperebutkan sumber energi minyak dan gas bumi.

Indonesia sendiri tidak terbebas dari masalah kelangkaan air bersih, karena sekitar 119 juta rakyat Indonesia belum memiliki akses terhadap air bersih. Penduduk Indonesia yang bisa mengakses air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, baru mencapai 20 persen dari total penduduk Indonesia. Itupun yang dominan adalah akses untuk perkotaaan. Artinya masih ada 82 persen rakyat Indonesia terpaksa mempergunakan air yang tak layak secara kesehatan.


Air Gambut di Kampung Halaman


Pulau Penyalai di peta
Masalah air seperti yang dipaparkan di atas juga sangat saya rasakan. Hal ini karena kampung halaman saya bertanah gambut. Luas lahan rawa gambut di Indonesia diperkirakan 20,6 juta hektar atau sekitar 10,8 persen dari luas daratan Indonesia. Dari luasan tersebut sekitar 7,2 juta hektar atau 35%-nya terdapat di Pulau Sumatera.

Dermaga Pulau Penyalai (sumber foto: dokumentasi pribadi)
Kampung halaman saya dikenal dengan nama Pulau Penyalai, masuk dalam kawasan Provinsi Riau, dan berada di kuala Sungai Kampar. Lokasi pulau ini bisa dikatakan strategis, namun ketika berkunjung ke sana, jangan kaget saat mendapati nuansa pedesaan yang khas. Salah satunya adalah mandi air tanah gambut yang berwarna cokelat seperti teh dan sangat asam. Bahkan beberapa tahun lalu, ketika saudara saya dari kota Pekanbaru datang berkunjung, ia memilih menghabiskan berbotol-botol air aqua untuk mandi.

Sejak dulu hingga umur saya 13 tahun, penduduk pulau Penyalai juga memanfaatkan air gambut untuk aktifitas memasak dan air minum. Rasanya asam bagi yang belum terbiasa, namun bagi kami yang sehari-hari minum air tersebut, rasanya enak-enak saja. Wajar saja sebagian besar penduduk pulau menggunakan gigi palsu, bahkan anak-anak, karena kandungan dalam air gambut menyebabkan gigi mudah keropos. Sedangkan air hujan ditampung penduduk dalam drum kecil dan hanya dimanfaatkan untuk membilas pakaian.

Drum dari pemerintah untuk penampungan air hujan (sumber foto: dokumentasi pribadi)
Saat ini keadaan sudah sedikit lebih baik, sejak adanya bantuan berupa drum besar untuk penampungan air hujan bagi tiap-tiap rumah. Sehingga untuk aktifitas memasak dan air minum, penduduk memanfaatkan tampungan air hujan. Namun ternyata bantuan drum dari pemerintah tidak merata, sehingga masih banyak rumah yang tidak bisa menampung air hujan dalam jumlah besar. Belum lagi kebiasaan suku Apit yang terbiasa minum air tanah tanpa dimasak terlebih dahulu masih berlangsung hingga kini. Saat musim kemarau panjang, sebagian penduduk memilih untuk membeli air galon yang harganya mencapai 10 ribu rupiah, dan sebagian yang lain kembali memanfaatkan air gambut.

Sebenarnya sudah ada teknologi pengolahan air gambut menjadi air baku layak konsumsi, yaitu instalasi pengolah air gambut (IPAG) dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). IPAG LIPI diproduksi dengan kapasitas 60 liter per menit, sehingga diberi nama IPAG60. Kapasitas ini mampu mencukupi kebutuhan air bersih 100 rumah tangga dan sudah diterapkan Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, dan Kabupaten Bengkalis, Riau. Sayangnya, Pulau Penyalai belum mengenal alat ini sama sekali. Sedangkan untuk pembuatan teknologi filter sederhana, masyarakat pulau Penyalai tampaknya tidak memiliki inisiatif untuk membuat karena merasa terlalu rumit.


Kekeringan Saat Kemarau

Dulu masa saya kecil, sumur-sumur galian dan parit yang bersumber dari hutan tidak dalam seperti sekarang. Jarak antara permukaan tanah dan permukaan air hanya sekitar satu meter saja. Namun saat ini, jarak tersebut menjauh hingga mencapai 3 meter. Tali timba semakin panjang dan parit sudah jarang digunakan untuk mencuci. Anak-anak pun tidak lagi sering berenang.

Parit di depan rumah (sumber foto: dokumentasi pribadi)
Masalah lain adalah ketika datang musim kemarau, tidak perlu menunggu lima atau enam bulan, cukup dua bulan saja bisa dipastikan sumur-sumur kami sudah mengering. Sehingga perlu digali lebih dalam. Belum lagi pohon-pohon yang berubah kurus serta daun-daunnya yang layu kemudian mengering. Setelah saya perhatikan, parit-parit kami pun sudah mulai berlumpur (lumpur pantai). Ibu juga sempat memberi tahu, sudah ada ikan-ikan kecil yang hidup di sungai berair asin berenang hingga ke parit depan rumah kami. Saat saya ikut Bapak ke kebun yang berada di pinggiran hutan, mata saya mendapati hutan yang cokelat. Semua tumbuhan hutan telah mati terbakar saat kemarau panjang beberapa bulan lalu. Bapak mengatakan bahwa Pulau Penyalai tidak lagi memiliki hutan. Miris saya mendengarnya.

Belukar yang terbakar (sumber foto: dokumentasi pribadi)
Dalam hati saya membenarkan satu hal, inilah mengapa air di pulau kami cepat habis di musim kemarau. Karena tidak ada lagi hutan yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan air. Memang kebun-kebun penduduk Penyalai dipenuhi oleh tanaman kelapa, namun seperti yang diketahui, kelapa memiliki akar serabut yang tidak cukup efektif untuk menyimpan air, berbeda dengan tumbuhan hutan dengan akar-akar tunjang yang menancap ke segala ranah tanah. Hutan jelas tidak bisa disamakan manfaatnya dengan perkebunan kelapa.

Saya kembali membuka file kuliah semester lalu. Di sana saya mengingat kembali dampak negatif kekeringan, di antaranya: berkurangnya sumber air bersih, berkurangnya kelembaban tanah, memicu keretakan tanah, keamblesan tanah, intrusi air asin, dan meningkatkan resiko kebakaran yang meluas serta sulit dipadamkan. Ya, hampir semua dampak negatif tersebut ternyata sudah dapat dirasakan di pulau kecil kami.


Biopori, Solusi Untuk Kekeringan

Itulah sebabnya selama di kampung halaman, saya mencari-cari cara untuk sedikit berkontribusi menangani masalah ini. Tidak perlu hal besar, pikir saya. Karena sesungguhnya dari hal-hal sederhana yang dilakukan secara kompak dan kontinyu justru lebih besar menfaatnya. Salah satu solusi yang coba saya praktikkan adalah dengan pembuatan lubang biopori. Beruntung saya pernah mempelajari Konservasi Tanah dan Air selama satu semester dari Bapak Kamir R. Brata, Dosen IPB sekaligus seseorang yang sangat peduli terhadap lingkungan hidup. Dari beliau inilah saya mengetahui detail pembuatan dan manfaat lubang resapan biopori.

Pak Kamir saat mengisi praktikum (sumber foto: dokumentasi pribadi)
Berbeda dengan pemikiran umum yang berkembang saat ini dimana teknologi diidentikkan dengan sesuatu yang canggih, rumit, serta memerlukan biaya yang besar untuk diterapkan, Pak Kamir justru dengan brilian mengembangkan suatu teknologi yang terlihat sederhana, murah, dan mudah dilakukan oleh setiap orang, serta multi guna.

Lubang resapan biopori (sumber: klik di sini)
Biopori sendiri adalah liang-liang yang ada di dalam tanah dan terbentuk secara alami oleh aktifitas akar dan organisme tanah. Liang seperti inilah yang berusaha kita buat sehingga bisa berfungsi sebagaimana liang yang terbentuk secara alami. Lubang resapan biopori yang baru dibuat serta telah diisi sampah bisa memasukan air sebanyak 1,5 liter hingga 16 liter per menit. Dengan adanya lubang resapan biopori ini, air akan mudah meresap ke dalam tanah dan aliran permukaan bisa diperkecil. Selanjutnya air yang tersimpan dalam tanah inilah yang akan berkontribusi mengatasi kekeringan.


Cara pembuatan lubang biopori

Alat dan bahan:
  • Bor biopori. Untuk tanah lunak dan gambut, bisa menggunakan kayu berdiameter 10 cm dengan ujung lancip.
  • Cincin biopori. Berupa cincin dengan diameter 10 cm terbuat dari semen dan pecahan keramik. Berfungsi sebagai penguat bibir lubang resapan.
  • Sampah organik dan air secukupnya.

Cara membuat:


Langkah pembuatan lubang resapan biopori (sumber foto: dokumentasi pribadi)
  • Tanah dibor menggunakan bor biopori dengan kedalaman 100 cm. Kedalaman 100 cm diperhitungkan agar tersedia cukup oksigen agar sampah yang dimasukkan segera diolah oleh organisme tanah sebelum mengalami pembusukan yang menghasilkan gas metan;
  • Sampah organik dimasukkan ke dalam lubang, kemudian disiram air secukupnya;
  • Cincin biopori diletakkan di bibir lubang resapan. Permukaan cincin harus sejajar dengan permukaan tanah, agar tidak menghambat aliran air menuju lubang resapan;
  •  Dilakukan bor ulang setelah enam bulan kemudian.


Pembuatan lubang resapan biopori yang tidak benar

Berkali-kali Pak Kamir menunjukkan kepada kami halaman-halaman di internet yang memuat tentang proyek pembuatan lubang resapan biopori. Hal yang selalu dikesalkan beliau adalah cara pembuatan lubang resapan yang tidak benar. Pemerintah memberikan anggaran dana hingga milyaran hanya sekadar untuk membuat lubang sesederhana ini. Bukan untuk upah tenaga kerja, pembelian bor maupun pembuatan cincin, melainkan sebagian besar dana dihabiskan untuk membeli pipa paralon berdiameter 10 cm.
“Lubang resapan biopori cukup dimasukkan sampah saja, tidak perlu ditanam paralon sedalam 100 cm ke dalam tanah. Kalau sudah seperti ini, bukan hanya menghabiskan banyak dana, manfaatnya juga tidak bisa didapatkan. Kita membuat lubang dengan tujuan air bisa meresap ke segala sisinya, tidak hanya dari bawah. Itu fungsinya sampah organik yang dimasukkan, agar mikroorganisme membuat liang-liang ke segala sisi lubang. Kalau dipasang paralon, air hanya bisa meresap lewat permukaan bawah, bisa dibayangkan seperti apa lambatnya?” kata beliau menjelaskan. Masih teringat jelas bagaimana keresahan di wajah beliau saat menunjukkan tulisan-tulisan di internet tersebut.
Ya memang benar apa yang beliau ucapkan tersebut. Jika dipikir sekilas saja, tentunya kita berpikir lubang resapan yang dipenuhi sampah organik akan cepat tertutup tanah dan air tidak bisa meresap. Namun kita melupakan satu hal, bahwa sampah organik tersebut mengundang aktivitas organisme tanah. Sehingga akan terbentuk lubang seperti lubang alami, contohnya lubang cacing. Jadi tidak perlu khawatir air tidak bisa meresap.

Namun, lubang resapan biopori ini pun tidak mungkin bisa bekerja maksimal terus-menerus tanpa bantuan manusia. Kita tetap harus terus memeliharanya dengan cara sering memasukkan sampah organik ke dalam lubang. Selama enam bulan sekali juga dilakukan pengeboran kembali untuk mengeluarkan tanah-tanah yang masuk. Kegiatan ini tentu tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja, melainkan harus ada kerjasama seluruh masyarakat. Agar lubang-lubang yang dibuat bisa dirasakan manfaatnya.


Biopori di Sekitar Rumah

Di kampung halaman, saya membuat dua puluh lubang di sekitar rumah. Berpesan kepada Ibu agar menyempatkan untuk memasukkan sampah organik setiap seminggu atau dua minggu sekali ke dalam lubang-lubang tersebut. Tidak lupa saya jelaskan manfaat lubang biopori kepada Bapak dan Adik. Saya berharap Bapak bisa menjelaskannya kemudian kepada warga kampung. Setidaknya, dua puluh lubang resapan yang sudah saya buat bisa meresapkan air yang menggenang di halaman saat turun hujan. Jadi air yang mengalir ke parit bisa berkurang jumlahnya, sebaliknya air akan meresap ke dalam tanah dan menjadi tabungan. Sedangkan untuk wilayah rawan banjir, lubang resapan ini sangat efektif dipilih sebagai solusi penanganan banjir.


Apabila pembuatan lubang resapan biopori ini mampu disosialisasikan secara luas, kemudian segenap lapisan masyarakat mau membuat serta memeliharanya, tentunya bersama dengan kegiatan-kegiatan pemeliharaan lingkungan lain seperti penanaman pohon, efektif dalam penggunaan air, dan ditambah dengan teknologi, bukan hal yang tidak mungkin kita bisa mengatasi masalah air di negara ini. Mari bersatu menjaga dan melestarikan air untuk kehidupan Indonesia yang lebih sehat.


Tulisan ini diikut sertakan dalam lomba Anugerah Jurnalistik Aqua IV Kategori Blogger


Referensi:
http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=1471&coid=2&caid=40&gid=5
http://www.jaringnews.com/internasional/uni-eropa/58728/pbb-dunia-terancam-krisis-air-bersih-dan-energi
http://hubunganalumni.ipb.ac.id/kamir-r-brata-penemu-lubang-resapan-biopori/
http://indonesia.wetlands.org/Infolahanbasah/PetaSebaranGambut/tabid/2834/language/id-ID/Default.aspx

21 comments:

  1. perlu juga nih sepertinya di sekitar rumahku tiap rumah punya lubang seperit ini

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ayo Mbak bikin juga, bisa mengatasi genangan air di sekitar rumah.

      Delete
  2. Solusi banget nih mak lubang biopri, aku juga lagi mempelajari pingin buat juga di rumahku

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bersyukur saya bisa belajar dari pakar biopori langsung Mak.

      Delete
  3. tulisan yang sangat bermanfaat dan inspiratif sekali dek sofy. Biopori memang langakh paling jitu untuk mencegah kekeringan air, menyuburkan tanah dan tanaman. Mari bersama kita lestarikan air bersih dan sehat, menabung air mulai dari hal - hal yang sederhana dan tidak membuang air seenaknya saja. :)) semoga beruntung ya :))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya bener banget Kak Aida. Hanya cara pembuatannya aja yg masih banyak salah. Terimakasih Kak....

      Delete
  4. Di daerah saya enggak ada biopori seperti itu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Di daerah yg mana Ma? yg di Timur Tengah apa yg di Jawa?

      Delete
  5. Sukses Lombanya yaaa...menabung air di mulai dari sekarang yuuk...

    ReplyDelete
  6. Lubang biopori memang solusi utk masalah air ya mak. Good luck utk kontes ini ya mak.

    ReplyDelete
  7. Penasaran dengan biopori itu, jadi ingin mencoba membuatnya di rumah :)
    Eh tapi bisa nggak ya untuk rumah model lama, yang sudah belasan tahun dibangun.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Asalkan rumahnya berdiri di atas tanah, insya Allah bisa Mbak... :)))

      Delete
  8. Lubang resapan biopori terlihat sederhana ya mbak?. Aku jadi ingat sungai di kampung halaman ku yang juga telah tercemar... kuning keruh dan abrasi yang parah karena hutan-hutan telah ditebang. setiap tahunnya banjir badang datang. Huh alam menjadi tua dan tak terawat karena ulah kita ya mbak...

    Goodluck untuk lombanya, juga untuk usaha yang mbak lakukan di Pulau Penyalai.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masalah air memang kian memprihatinkan Mbak. Thanks yaa Mbak :)))

      Delete
  9. Baru tau sekitar sepertiga tanah gambut Indonesia ada di pulau Sumatra.
    Banyak juga ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya... aku juga baru tau waktu cari2 referensi buat lomba ini. Thanks yaa

      Delete
  10. bermanfaat banget Ilmu ini Sob, bs diterapkan jg di kampungku untuk mewanti-wanti adanya musim kemarau. :)
    bersyukur bgt sofy bs kuliah dgn jurusan yg cocok untuk aplikasi dikmpung sofy.
    semoga pulau penyalai bs menciptakan suatu perubahan yg positif yaah.. :)

    good Luck always for your planning.. :) keep amazing thinking

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih ya shob. semoga kamu bisa ikut nerapin juga.... keep amazing juga yaa... love you....

      Delete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...