Moskow, 09 Mei 2013
Minus 23 derajat.
Aku merapatkan palto,
membenarkan letak topi bulu yang membungkus kepala. Uap dingin menguar dari
setiap napas yang kuembuskan, membentuk kepulan pekat. Kupercepat langkah ke
arah Stadion Olimpiski, lalu berbelok ke kiri menuju jalan Durova.
Permadani putih yang kuinjak gemeretak, berirama seiring injakan sepatuku.
Akhirnya, sampai juga aku di
bangunan berwarna biru toska dengan bulan sabit di ujung kubahnya. Masjid Agung
Moskow. Masjid yang mengingatkan bahwa masih ada Islam di negeri Lenin ini.
Tujuanku kemari bukan
untuk salat, karena sekarang belum masuk waktu asar. Aku hanya ingin mencari
penjanggal perut di kantin yang terletak pada bagian timur areal masjid ini.
Ya, karena sudah pasti kehalalannya.
Aku mengambil tempat di
pojok kantin, dekat dengan jendela. Memesan sepiring plof dan secangkir teh
panas.
Ruangan ini cukup hangat
dengan pemanas ruangan yang dipasang di bawah jendela. Aku membuka topi.
Merapikan rambut dengan jemari. Memandang keluar dari jendela. Ah, Rusia
benar-benar beku di puncak musim dingin.
Mataku menerawang. Kegelisahan
yang menggelayut batin akhir-akhir ini kembali meruak. Sudah setahun aku
menjadi muslim, salat sudah tidak lagi kutinggal-tinggalkan, namun entah
mengapa aku merasa masih ada yang kurang. Bukan, bukan Islam yang mulia ini
yang kumaksud ada yang kurang. Melainkan, aku. Aku yang masih
setengah-setengah.
Kulirik rambut yang
tergerai lurus ke samping dadaku. Rambut yang indah, begitu pujian yang selalu
kuterima. Dan karena rambut ini pula, sebuah majalah fashion ternama menerimaku
sebagai model mereka. Rambut inilah yang menghidupiku.
Plof dan teh yang kupesan datang.
Segera saja kuraih cangkir putih gading yang masih mengepul. Kuhirup aromanya
dalam-dalam, membiarkan hangatnya menjalar ke seluruh saraf-saraf.
"Dabro dent1...!" Sebuah suara merdu mengejutkan,
memerintahkan kepalaku menengadah. Kulihat seorang wanita berwajah Rusia telah
berdiri di hadapanku dengan seulas senyum. Ia meminta izin untuk duduk di kursi
yang ada di depanku.
"Silakan..."
kataku pelan diiringi senyum.
Ia kemudian memesan
semangkok sup borsh dan juga secangkir teh. Belum ada pembicaraan apapun di antara
kami. Aku memandangi teh yang sejak tadi belum juga kuseruput. Sesekali mencuri
pandang ke arah wanita jelita itu. Ada kagum yang menyumpal hatiku. Bukan,
bukan kagum pada parasnya yang jelita, melainkan pada selembar kain bewarna
krem yang membalut wajahnya. Begitu indah, begitu damai, begitu santun...
Apa karena tanpa kain yang
membalut wajahku ini, aku merasa belum ber-Islam dengan sempurna? Aku masih
mengingat jelas isi surah Al Azhab ayat 59 yang dibacakan Ainee Fatma—putri kecil
Syaikh yang membimbingku—tentang kewajiban berhijab bagi muslimah. Tapi, kurasa
terlalu seram belantara resiko yang harus kuterobos, jika aku berhijab. Waktuku
masih panjang, Tuhan pasti memahaminya.
"Kak tibya zavut2?" Ia bertanya, mengulurkan
tangannya yang terselubung kaos putih tebal. Barangkali ia sadar jika diam-diam
aku mengamati.
"Minya zavut Aeva3. Kamu?"
"Aku Ayse, Ayse
Omarov." jawabnya sebelum melepas jabatan tangan kami.
"Hey, kau tahu, aku
kagum padamu, di negara ini kamu berani memutuskan untuk memakai selembar kain
itu." ucapku jujur sambil menunjuk kecil pada kerudungnya. Kulihat ia
tersenyum. Matanya berbinar.
"Ketika aku berani
mengucap persaksian pada Allah swt dan Muhammad saw, maka saat itu pula aku
harus berani melaksanakan semua yang diperintahkan agama ini, Aeva. Termasuk
memakai kain ini. Aku yakin segala yang diperintahkan-Nya tidak ada yang
bertentangan dengan fitrah manusia." katanya menjelaskan sebelum
menyuapkan sesendok sup hangat ke mulutnya.
Aku menggeleng pelan.
Kulemparkan jaring pandangku ke luar jendela, menembus kaca yang terselimut
kabut. Satu-dua orang berpalto tebal tampak berjalan menembus salju yang
semakin tinggi. Batinku bergejolak. Apa aku ini pengecut? Sehingga tak berani
menjalankan keputusan sendiri.
"Aku menjadi muslim
setahun yang lalu, Ayse. Tapi aku belum berani mengenakan kain itu. Aku takut
kehilangan pekerjaanku. Kau tahu sendirilah susahnya seorang wanita berhijab
mendapatkan pekerjaan di sini. Jika aku memakai hijab, apa jadinya
hidupku?"
"Jika kamu tetap
tidak memakai hijab, lalu apa jadinya matimu, Aeva?" ia membalas
pertanyaanku dengan pertanyaan yang menghempas jantungku.
Apa jadinya matiku? Mati?
Iya, semua memang akan mati. Lalu apa hubungannya mati dengan hijab?
Bodoh! Hijab itu
kewajiban. Pastinya aku tahu hukum seseorang yang meninggalkan kewajiban. Dosa.
Dan dosa itu neraka. Kalaupun amalanku yang lain sempurna, aku akan tetap
mencicip api neraka karena satu kewajiban kutinggalkan.
Neraka?
Iya. Rambutku yang katanya
indah ini akan diikat di petala neraka. Tubuh terpanggang. Gosong. Hitam.
Sangit. Lalu, segerombol gagak buas datang mematuki kepalaku, menarik sejumput
demi sejumput rambutku dengan serakah, hingga semua tercabut, menyisakan merah
yang meruah di tempurung kepala. Merah yang licin dan amis. Lalu tak lama,
rambutku tumbuh kembali, dan sekawanan gagak buas itu pun kembali menyerang.
Begitu terus.
Sakit. Sakit. Sakit. Sakit
yang tak kunjung habis.
Aku meringis.
"Kamu baik-baik
saja?" Suara Ayse menyadarkan. Sambil berusaha tersenyum, memberi tahu
bahwa aku tidak apa-apa.
"Dulu, aku bekerja di
sebuah perusahaan ternama, Aeva. Gajiku sama dengan gaji seorang presiden di
negara berkembang. Tapi seminggu setelah aku ber-Islam dan memutuskan berhijab,
aku dipecat tanpa alasan. Awalnya aku sedih. Aku bingung dengan tuntutan hidup
yang serba mahal. Namun, aku tak pernah berpikir untuk putar haluan, Aeva.
Tekadku mengunci mati navigasi di jalan Islam sudah bulat. Aku hidup prihatin
selama bertahun-tahun. Hingga akhirnya, Allah menunjukkan janji-Nya. Aku
dipertemukan dengan laki-laki muslim yang mapan, suamiku kini." ceritanya
dengan mata yang bersahabat. Ia kembali tersenyum di akhir kalimatnya, seperti
membayangkan lagi sesuatu yang paling indah dalam hidupnya.
"Aku masih bimbang,
Ayse. Mungkin hijab tidak akan menjadi masalah bagi muslimah di negara-negara
mayoritas muslim. Mereka bebas menjadi designer,
artis, model, pengusaha, presenter, dan lain-lain. Tak jadi masalah. Tapi ini
Rusia, Ayse. Jangankan untuk mendapatkan pekerjaan, untuk sekadar jalan-jalan
di Stary Arbat saja, kita sudah disangka manusia jahat. Belum lagi kemungkinan
menjadi sasaran kambing hitam ulah para mafia anti-Islam. Itu semua terlalu
berat, Ayse." aku melenguh.
Jemariku memainkan sendok,
mengaduk-aduk perlahan teh yang masih penuh. Aku menyeruputnya sedikit. Kulihat
Ayse memandangku dalam. Ada beling di matanya. Yang berkilat. Yang akan meleleh
tertahan.
"Aku paham
kegelisahanmu, Aeva. Aku pun pernah mengalaminya. Namun, jika tidak dari
sekarang, kapan lagi? Coba kamu tanyakan, tanyakan baik-baik, bukan pada orang
lain, tapi pada dirimu sendiri. Dengan uang yang mengalir mudah, semua
keinginan duniawi kau tunaikan, apakah kau sempurna bahagia?"
Aku menunduk. Sempurna
bahagia? Ya, aku bahagia. Sepatu mahal, tas kelas pertama, pakaian indah,
apartemen mewah, makanan lezat, semua kudapat dengan mudah. Apa lagi?
Ya sekilas memang tak ada
yang kurang. Namun...
Setelah satu barang mahal
berhasil kubeli, aku senang. Tapi beberapa waktu kemudian, aku bosan. Aku ingin
barang yang lain lagi. Begitu terus. Tak pernah puas. Dan akhirnya, semua itu
memang tak membuatku sempurna bahagia. Ya, dunia tak akan pernah membuatku
sempurna bahagia. Lalu kenapa terus kukejar?
"Jika karena hijab
kamu kehilangan pekerjaanmu, itu artinya Allah telah menyiapkan pekerjaan lain
yang lebih baik bagimu. Jika kamu mati karena menjadi korban para mafia,
mengapa cemas? Kamu mati sebagai syahidah. Itu mulia sekali. Aeva, Allah
sendiri yang meminta muslimah berhijab, Dia tidak mungkin menyia-nyiakan
muslimah yang menjalankan perintah-Nya. Jangan iri pada wanita-wanita yang
mampu gemilang dengan auratnya, kamu akan lebih gemilang dengan hijab yang
membalut wajahmu. Insya Allah, Allah
akan meluaskan jalanmu. Aku dan kamu, juga muslimah lain di negeri beku ini,
akan sama-sama membuktikan bahwa dengan hijab ini kita tetap berkarya. Berkarya
tidak harus besar, Aeva. Tak harus terkenal. Percayalah...kita tetap akan
berkarya, karya yang direstui-Nya." Ayse menggenggam tanganku. Kini air
matanya telah meleleh. Aku menemukan kehangatan dari cahaya matanya. Kehangatan
persaudaraan yang indah.
Ya Allah, sedamai inikah
jannah-Mu? Dimana setiap insan saling berkasih sayang atas nama-Mu. Bukan kasih
sayang yang membabi buta seperti kehidupanku semasa jahilliyah dulu.
"Mama." Suara
bening seseorang membuyarkan penghayatan kami. Mataku segera menanangkap
seorang bocah laki-laki dengan palto berwarna cokelat muda. Ia berlari
menghambur dalam pelukan Ayse. Aku memandang heran.
"Aeva, ini Ismael,
putraku. Ismael, ayo jabat tangan Kakak itu..."
Aku sedikit kaget. Ayse
sudah memiliki anak laki-laki sebesar ini. Bermata cokelat. Lucu dan menggemaskan.
Kami bersalaman. Aku tak tahan untuk tidak menjawel pipi empuknya.
"Umurnya 8 tahun,
Aeva. Alhamdulillah, ia sudah hapal
seluruh isi Alquran. Inilah karyaku, Aeva. Aku mencurahkan perhatianku untuk
suami dan anakku. Menjadi Ibu dan guru yang baik bagi Ismael. Itu semua sudah
lebih dari cukup. Kamu bisa membayangkan, andai semua Ibu mampu mendidik
anak-anaknya ber-Islam dengan benar, para Ibu akan mengubah peradaban, Aeva.
Karena betapa banyak kejelekan yang akan terganti oleh generasi saleh-saleha itu.
Itu sebuah karya besar, Aeva. Karya berhadiah surga."
Aku tersenyum. Tak juga
mengatakan untuk segera berhijab padanya. Kuajak dia menghabiskan menu yang
sejak tadi menjadi saksi percakapan kami. Ismael ikut memesan semangkuk sup
borsh dan teh panas.
"Spasiba balshoi, Ayse. Da svidaniya4." ucapku
sambil memeluk Ayse di akhir pertemuan. Aku harus mengejar metro menuju stasiun
Oktyaberskaya, selanjutnya menggunakan bus listrik ke Universitas Negeri
Moskow. Ada kuliah jam 03.00 p.m yang harus kuikuti.
***
Pukul 05.13 p.m waktu
Moskow. Setelah salat asar di salah satu ruang kosong kampus, aku memutuskan
menuju pelataran Leninsky Gori. Itu adalah tempat yang paling kusukai, di mana
aku bisa merenung sambil melihat keindahan Moskow dari Timur hingga Barat. Aku
membenarkan letak tas punggungku. Memilih duduk di sebuah bangku di ujung
pelataran. Dari sini aku menyaksikan kanal Moskow membeku di bawah sana.
Beberapa orang yang berselubung palto hanya tampak sebesar ibu jari. Aku
menarik napas. Meluaskan pandangan. Mataku menangkap sesosok wanita yang duduk
di sudut pelataran. Kurasa ia pun tengah menikmati winter dari atas sini. Tak
mampu kutahan hati ini untuk tak mendekatinya.
"Dabro dent ..." Sapaku dengan senyum mengembang. Ia tampak
kaget karena suaraku yang menguar tiba-tiba. Tapi sesaat kemudian ia tersenyum.
Manis sekali.
"Hey, aku suka
kerudungmu. Kau terlihat secantik para tsarina." ucapku tanpa basa-basi.
Sekali lagi ia tersenyum.
"Spasiba balshoi. Setiap wanita kan memang cantik. Rambutmu juga
cantik." ucapnya menimpali. Matanya berbinar. Sangat indah berpadu dengan
kerudung berwarna lembayung yang dikenakannya.
"Ah, kamu menyindir,
ya? Rambut ini memang indah di mata manusia, tapi tidak di mata-Nya," Aku
menunjukkan telunjukku ke atas.
"Kamu muslimah?"
Aku mengangguk. Lalu
kuceritakan padanya tentang pekerjaanku dan alasanku belum memakai kerudung. Ia
mendengarkan khidmat.
"Ya, aku mengerti.
Tapi memang itulah resikonya. Kau lihat saja pada Alquran surah Al-baqarah ayat
214, semua orang akan melalui ujian, Tuhan sudah memberi tahu." ucapnya
sambil menepuk bahuku. Aku menunduk.
"Ceritakan padaku
kisahmu. Semoga bisa semakin meneguhkanku."
Ia diam sejenak.
Melemparkan pandangan jauh ke depan.
"Aku memakai kerudung
ini sejak setahun tiga bulan lalu. Ya, kerudung ini sebagai bukti tingginya
peradaban manusia, teman. Jika nenek moyang manusia hanya berpakaian untuk
menutupi bagian-bagian tertentu saja, maka peradaban tertinggi harusnya
berpakaian tertutup. Aku ingin menjadi salah satu dari manusia berperadaban
tinggi itu.
"Selain itu, sebelum
aku berkerudung dahulu, aku pernah hampir diperkosa dan oleh teman laki-lakiku
sendiri. Hampir saja laki-laki itu menusukku karena aku mencoba lari dan
berteriak-teriak. Yah, kurasa, karena saat itu aku suka memakai pakaian yang
terbuka. Temanku sendiri yang mengakui, jika pakaianku itu pasti akan memancing
syahwat siapa pun yang melihatku. Sejak itu aku takut, rasanya aku ingin
menutupi seluruh tubuh ini."
Selanjutnya ia bercerita,
setelah memutuskan berhimar, jabatannya sebagai asisten salah seorang profesor
di MGU, dicopot. Tentu saja dengan alasan yang tidak masuk akal.
"Kapan kamu
bersyahadat?" tanyaku menyambung penjelasannya.
Wajahnya seketika memerah.
Ia mengalihkan pandangannya pada lanskap yang membentang di bawah sana. Tak
lama, ia tersenyum, tanpa menoleh ke arahku.
"Kau doakan saja
semoga hatiku bisa teguh." ucapnya pelan. Aku terbelalak. Maksudnya?
"Aku masih Ortodoks,
teman. Kerudung ini kukenakan bukan berarti aku muslimah. Aku hanya ingin
kerudung ini menutupi diriku, tentunya dari mata-mata jahat. Masalah ber-Islam,
awalnya aku tak berpikir ke sana. Namun kerudung ini justru menjadi gerbang
bagiku untuk mengenal dan mempelajari Islam lebih dalam. Aku mempelajari
Alquran. Dari sanalah aku mendapatkan informasi yang benar tentang Islam, sama
sekali tidak seperti informasi media massa yang kutelan selama ini. Malam Jumat
minggu ini aku akan bersyahadat di Masjid Balsoi Tatarski dekat KBRI.
Datanglah, kawan. Jadilah saksi atas kemenanganku."
Aku membisu. Air mata
hangat meleleh lembut di sudut kedua mataku.
Apa lagi yang kutunggu? Seorang wanita Ortodoks
saja memilih berhimar, karena ia tahu manfaatnya. Sementara aku? Berkali-kali
Alquran kukhatamkan, berpuluh kajian Islam kuhadiri, beberapa nasihat wanita
muslimah kudengarkan, tapi aku terus menunda-nunda memenuhi kewajiban.
Aku harus segera
melaksanakan kewajibanku. Tak boleh menunda lagi.
Tapi bagaimana dengan
pekerjaan dan masa depanmu, Aeva?
***
Moskow, 02 September 2013
"Aeva! Dabroye utra. Kak dela5?"
Seorang anak berteriak, bertanya padaku. Aku menoleh ke arahnya.
Sekawanan anak-anak laki-laki lucu dengan pakaian musim panasnya.
"Dabroye utra. Alhamdulillah, ya vso kharasyo6. Bagaimana
dengan kalian?" Aku bertanya kembali
dengan melambaikan tangan.
Mereka kor menjawab 'secerah
hari ini', lalu kembali berlarian di atas rumput, kaki-kaki mungil mereka
beradu cepat memasukkan bola pada gawang yang dijaga seorang anak berkulit
hitam.
Aku melanjutkan langkah,
menyusuri jalanan yang diapit deretan bunga musim semi. Kerudung cokelat yang
kukenakan berkibar. Satu-dua orang yang berpapasan menatap aneh, bahkan kepala
mereka bergerak mengikuti siluetku. Aku sudah terbiasa dan aku tak peduli sama
sekali.
Sudah empat bulan aku
mengenakan kerudung di bumi Rusia. Anak-anak selalu menyuruk takut apabila
melihatku, takut aku seorang wanita kejam seperti doktrin yang mereka telan
tentang muslim. Orang-orang menatapku aneh, teman-temanku menjauh, dan beberapa
yang mengenalku dari majalah, selalu berkomentar,
"Sayang
sekali..."
"Ah, rambut indahmu
kau sia-siakan dengan menutupinya seperti itu."
"Wah,
bodohnya..."
Aku mendongak, tersenyum
pada dahan-dahan bereozka yang bergoyang. Aku damai sekarang...
Ya, aku telah kehilangan
pekerjaanku sebagai model. Sedih. Tapi kesedihan itu tak sebanding dengan
kedamaian yang kucecap kini. Sekarang aku mengajar kelas bahasa Jerman di
Sekolah Indonesia Moskow (SIM). Beberapa anak-anak yang menyapaku tadi adalah
sebagian dari murid-muridku.
Di pekerjaan baru ini, gajiku
memang tak seberapa. Namun, aku bertekad untuk terus mendidik anak-anak di SIM
dengan penuh kasih sayang dan kelemah lembutan, agar kelak anak-anak itu akan
menceritakan pada dunia, bahwa wanita berhijab itu penuh kasih sayang dan
kelemah lembutan, seperti guru kelas bahasa Jerman mereka. Inilah karyaku
dengan hijab ini. Hijab yang kini begitu kucintai, serupa para tsarina
mencintai mahkotanya.
1Selamat
siang (pukul 12.00-18.00)
2Siapa
namamu?
3Namaku
Aeva
4Terimakasih,
Aisye. Sampai berjumpa lagi
5Selamat
pagi. Apa kabar?
6Selamat
pagi. Alhamdulillah saya baik-baik saja
Diselesaikan pada 7 Syawal 1435 H di Penyalai, Riau
Ayo bukukan dalam novel karya zhanzabila. Ceritanya bagus sofi, menginspirasi :) pinter banget bikin cerpennya. Berhijab itu cantik damai indah segalanya deh
ReplyDeleteMenarik kali ceritanya, Mbak. Oh, ya. Plof itu jenis makanan apa?
ReplyDelete