Source: click here |
Tulisan ini
sebenarnya adalah ungkapan dari berbagai pertanyaan yang sering kupertanyakan
pada diri sendiri, dan sering tak menemukan jawaban terang. Terlebih sebentar
lagi insya Allah aku akan pulang kampung untuk libur panjang. Semua inspirasi dari
tulisan ini adalah cerita tetangga-tetangga di kampung, dan ada juga cerita
dari saudaraku sendiri. Setiap di rumah, pasti desas-desus tentang
masalah-masalah tetangga datang setiap hari, dari penjual kue keliling, penjual
sayur, penjual tempe, di warung, ditambah agenda Ibu-Ibu yang sering mampir ke
rumah untuk sekedar ngerumpi siang.
Tahun lalu, berita
paling marak yang selalu membuatku tak habis pikir adalah tentang kekasih di ujung
telepon. Ya, Si A janda dua anak menikah dengan laki-laki yang dikenalnya dari
telepon. Sang lelaki yang dulunya mengaku memiliki ini dan itu, ketika datang
ternyata hanya membawa baju di badan. Ganteng juga tidak. Anehnya Si A tetap
menerimanya, bersedia dinikahi, dan kini mereka hidup bersama di rumah sang wanita.
Lelaki itu bekerja mengelola kebun milik si wanita. Setidaknya lelaki itu sudah
menunjukkan itikad baik dengan sungguh-sungguh menikahi, itu saja sudah dihargai
seluruh penduduk kampung. Daripada kejadian sebelumnya, kasus yang sama—masih si
A juga, namun bedanya si lelaki hanya numpang hidup, istilah kumpul kebo.
Untungnya penduduk setempat segera ambil langkah cepat dengan cara mengusir
laki-laki pendatang itu keluar kampung.
Kisah dua, adalah
tentang Si B yang dalam perkiraanku memiliki usia antara 55-60 tahun. Sudah punya
dua orang cucu. Dan uniknya, masih juga tertarik dengan kekasih di ujung
telepon. Memang kisahnya tidak menyebar ke segala penjuru desa, karena
barangkali Si B ini malu untuk mengumbarnya, sadar diri juga. Lalu bagaimana
aku tahu? Tidak lain karena Si B ini adalah sahabat Bibikku, curhatnya ke
Bibikku, dan pastinya Bibikku akan bercerita pada keluargaku.
Ceritanya, suatu hari
Si B melacak nomor di ponsel, eh ternyata nyambung ke nomor seorang laki-laki.
Si lelaki inipun seorang duda. Ngakunya duda keren yang mapan, tinggalnya di
kota Batam. Secara gitu ya, nenek janda kesepian yang selama ini hidup berat di
desa ditaksir sama duda keren, mungkin hatinya langsung berbunga-bunga. Impian
hidup di kota dengan harta berlimpah barangkali menari-menari di pelupuk mata.
Hingga setelah sekian bulan, Kakek itu mengajak Si Nenek ini ketemuan di pulau
Tanjung Batu. Kalau dari pulauku, harus naik boat 2 jam dulu baru sampai di
Tanjung Batu. Simpelnya, Tanjung Batu ini pulau yang letaknya di antara pulau
kami dan pulau Batam. Di sanalah pertemuan direncanakan antara kedua sejoli ini.
Si Nenek pun dengan
uang pas-pasan berangkat ke Tanjung Batu dengan membawa cucu perempuannya yang
kayaknya masih berumur 5 tahunan. Apakah pertemuan itu berakhir bahagia seperti
dalam film-film?
Sedih memang
mengetahui pertemuan itu memiliki ending yang menyedihkan. Setelah melihat
wajah Si Nenek, ternyata Si Kakek tidak menyukainya. Ia bilang, walaupun
dirinya sudah tua, tapi Si Nenek jauh lebih tua lagi. Tidak serasi. Seandainya
mereka jadi beneran, Si Kakek merasa dirinya seperti brondongnya Tante-Tante.
Walhasil, Si Kakek memberi ongkos pulang Si Nenek seratus ribu rupiah. Aku
berpikir, akankah Si Nenek merasakan patah hati layaknya yang dirasakan kaum
muda? Entahlah...
Cerita ketiga
datangnya dari salah satu sepupuku sendiri, panggil saja Si C. Sudah menikah
sekitar sepuluh tahun lalu dengan laki-laki mapan, ganteng pula. Sayangnya mereka
tak kunjung dikaruniai buah hati hingga akhirnya memutuskan adopsi anak
perempuan tiga tahun lalu. Dan cerita ini terjadi sekitar empat atau lima tahun
lalu, sebelum mereka mengadopsi anak. Malangnya, aku baru tahu cerita ini
setahun lalu. Lagi-lagi dari Bibikku, yang di sini perannya sebagai Ibu kandung
Si C.
Suatu hari ponsel Si
C menerima sms dari nomor tak dikenal. Percakapan awal sih hanya seputar
tanya-jawab tentang metode salah nomor si lelaki di ujung telepon. Tapi entah
mengapa, semakin lama hubungan itu semakin akrab. Si C suka curhat, terima
telepon kalau sang suami sedang tidak berada di rumah, dan sms berlusin-lusin
setiap harinya.
Barulah beberapa bulan
kemudian, saat Si C akan mengunjungi keluarga adiknya yang juga sudah
berkeluarga di Tanjung Pinang, ia menyempatkan diri untuk membuat agenda
ketemuan dengan Si Lelaki. Dimana? Di Batam, karena memang Si Lelaki tinggalnya
di sana. Sepupuku yang memang cantiknya luar biasa itu berdandan senecis dan
secantik mungkin. Pokoknya dia akan membuat Si Lelaki terkesan pada pandangan
pertama.
Waktu yang ditentukan
tiba. Mereka janjian di sebuah Dermaga yang cukup padat. Sambil menelepon
lelaki itu, Si C memberi tahu warna pakaian yang ia kenakan. Hingga...beberapa
saat kemudian seorang laki-laki berpenampilan mengejutkan menyapanya. Tampan
dan neciskah?
Haha...jujur aku
menertawakan sepupuku itu habis-habisan tahun lalu. Ibu dan Bibikku sendiri tertawa
sampai menangis. Laki-laki itu kurus dan hitam, rambutnya gimbal, pakai sandal
jepit, kaos oblong yang kusam, dan jins bolong-bolong. Kata sepupuku, laki-laki
itu dipangkatin sampai pangkat sejuta pun, masih belum bisa setara dengan
ketampanan dan kenecisan suaminya sendiri. Sekadar basa-basi, mau tidak mau
sepupuku menyempatkan diri untuk sekadar bersalaman dan ngobrol satu-dua
kalimat. Habis itu dia langsung tancap naik boat menuju Tanjung Pinang dan
ganti kartu.
“Aku suka kesal sama
Mas, Bu. Bukannya aku nggak tahu kalau setiap tugas ke luar, Mas itu jalan sama
perempuan lain. Dia juga sering menghubungi wanita lain. Hanya aku diam-diam
saja, memilih pura-pura nggak tahu. Aku ngeladenin laki-laki ini bukan karena
pengen selingkuh, aku hanya pengen ngebalas suamiku. Biar dia tahu bagaimana
rasanya dikhianati. Biar dia cemburu.” Kalimat ini diulang oleh Bibikku dalam
penuturannya pada kami.
Itulah tiga cerita
yang bisa kutuliskan malam ini, masih ada beberapa kisah serupa yang insya
Allah bakal aku tuliskan lain waktu. Kisah-kisah yang sebenarnya selalu
membuatku berpikir, sebenarnya bagaimana cinta itu? Kok bisa dua orang yang
bahkan belum saling mengetahui wajah masing-masing sudah saling suka? Lalu
seperti kisah Si B, bagaimana bisa dia jatuh cinta lagi sementara usianya sudah
serenta itu? Bukankah lebih baik ia mencurahkan segenap cinta kasih untuk
cucu-cucunya daripada mengurusi laki-laki antah-berantah?
Sedangkan untuk kasus
sepupuku, bingung juga mau menanggapi bagaimana. Barangkali jika aku berada di
posisinya, mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama. Ya, aku paham itu
semua tanpa didasari niat berselingkuh atau cinta, hanya sekadar berharap suami
akan merasa cemburu, lalu menyadari bahwa ia begitu mencintai kita, dan
perempuan-perempuan di luar sana bukan siapa-siapa. Kurasa begitu.
Aku tidak pandai berkomentar kalau urusan seperti ini. Hanya pengen berbagi cerita yang kutahu saja. Sanking banyaknya kisah seperti ini, perselingkuhan, remaja hamil di luar nikah, perseteruan antar keluarga, di kampung sana, sampai-sampai aku pernah bilang ke Bapak-Ibu, mau mondok di pesantren kilat saja liburan tahun ini. Malas pulang karena kuping dan kepalaku rasanya semakin penuh. Hanya saja, aku kangen rumah, kangen Bapak, Ibu dan Adikku. Kangen masakan Ibu. Kangen shalat di Musola samping rumah. Kangen ngajarin anak-anak tetangga ngaji. Itulah yang membuat kampung halamanku selalu tampak istimewa dan selalu memanggilku untuk pulang. Semua kasus yang terjadi di sana barangkali adalah cara Tuhan untuk mendewasakan hamba-Nya yang mau berpikir dan mengambil pelajaran. Semoga ada manfaatnya...
Aku tidak pandai berkomentar kalau urusan seperti ini. Hanya pengen berbagi cerita yang kutahu saja. Sanking banyaknya kisah seperti ini, perselingkuhan, remaja hamil di luar nikah, perseteruan antar keluarga, di kampung sana, sampai-sampai aku pernah bilang ke Bapak-Ibu, mau mondok di pesantren kilat saja liburan tahun ini. Malas pulang karena kuping dan kepalaku rasanya semakin penuh. Hanya saja, aku kangen rumah, kangen Bapak, Ibu dan Adikku. Kangen masakan Ibu. Kangen shalat di Musola samping rumah. Kangen ngajarin anak-anak tetangga ngaji. Itulah yang membuat kampung halamanku selalu tampak istimewa dan selalu memanggilku untuk pulang. Semua kasus yang terjadi di sana barangkali adalah cara Tuhan untuk mendewasakan hamba-Nya yang mau berpikir dan mengambil pelajaran. Semoga ada manfaatnya...
jadi inget duluu jaman SMP pernah kenalan sama penelpon salah sambung -,- untung ga berkelanjutan
ReplyDeleteUdah lama banget ya Mbak.... syukurlah kalau gak berkelanjtan, apalagi waktu itu masih SMP.
Deletehi dear,
ReplyDeleteplease visit and follow me, i'll folback (:
www.nabilaariani.blogspot.com
aku lagi merayu anakk yang besar untuk nanti mau pesantren nih
ReplyDeleteWah, macam-maca ya cerita yang berkaitan dengan telepon. Cerita kedua menurutku yang paling miris :((
ReplyDeleteCerita si nenek mengharukan; yang terakhir ada lucunya, he-he. Ditunggu kisah selanjutnya :)
ReplyDelete