Dari Coloane Macau,
Kulihat China Daratan
Ini adalah catatan hari kedua di
Macau, kota kecil yang menyimpan sejarah panjang. Kota kecil ini juga merupakan
bagian ‘Jalan Sutra’ yang dulu ramai disinggahi oleh kapal-kapal pemuat sutra
dari Roma. Di sini semua orang akan dibuat bingung pada dua hal, China yang ada
di Eropa, atau Eropa yang ada di China?
“Yang ada di hadapan kita sekarang ini adalah China Daratan. Termasuk bangunan seperti kuil yang di sana itu.” Pak Alan menjelaskan.
Setelah mengambil beberapa foto di
Lord Stow’s Bakery and Cafe, menunggu Alex membeli dua kotak egg tart, kami
langsung menuju kursi-kursi di tepi laut kecil. Menikmati egg tart sambil
memandangi lanskap perbukitan hijau di seberang laut, ditemani angin
sepoi-sepoi sambil mendengarkan percakapan para penduduk lokal, itu adalah perpaduan yang
tidak bisa kulupakan.
Pegang tangan kirinya cuma saat difoto aja lho ya... (Menghadap Cina Daratan dari Colone) Dok.pribadi |
Wujud Lord Stow's Bakery yang mungil (Dok.pribadi) |
Rasa egg tart yang dibeli dari Lord
Stow’s Bakery sangat jauh berbeda dengan egg tart yang sebelumnya kumakan di
hotel. Pak Alan bilang itu karena resep yang dimiliki Lord Stow’s Bakery masih
asli dan turun-termurun dari nenek buyutnya dulu. Egg tart khas Portugis yang
kami lahap hari itu terasa begitu lembut, manis dan gurihnya pas, sangat cocok
menemani waktu santai. Lord Stow’s Bakery sendiri adalah kedai kue yang homey,
mungil, dan sederhana. Bangunannya tidak terlihat menonjol di antara bangunan
lain, namun selalu ramai pembeli. Di sana juga menjual aneka kue lainnya,
seperti croissant. Satu buah egg tart dihargai 8 HKD atau MOP.
Hfffff...duduk di tepi pulau Coloane
seperti menguapkan segala
lelah. Jauh di bagian kanan, seberang laut, mataku menangkap sebuah bangunan
khas Cina yang tertutup kabut. Bangunan itu memberi kesan misterius, persis
seperti dalam film. Semakin mengagumkan lagi saat Pak Alan memberi tahu
bangunan itu berdiri di China Daratan, artinya bukan daerah Administratif Macau
lagi.
Angin sejuk menerbangkan kerudung yang
kupakai. Ingin rasanya duduk berlama-lama di sana. Mungkin karena kenyamanan
itulah beberapa warga lokal juga duduk-duduk di sana. Mereka berpakaian rapi
dan saling bercerita dalam bahasa Kanton yang tak kuketahui maknanya. Rasanya
hidup mereka begitu tenang di desa Coloane tersebut.
Selanjutnya, Pak Alan mengajak kami
melanjutkan perjalanan. Hanya dengan melangkah beberapa puluh meter, kami sudah
sampai di sebuah gereja berwarna kuning. Tidak besar memang, namun gaya
Eropanya sayang untuk dilewatkan kamera. Aku sempat masuk juga, tentu saja
hanya untuk melihat seperti apa interiornya. Seingatku, itu adalah kali pertama
aku masuk ke dalam rumah ibadah umat Kristen.
Saat yang lain masih sibuk berfoto-foto, aku meninggalkan gereja tersebut. Jalan di tepi laut rasanya lebih menarik hati. Aku menyusurinya sendiri. Tampak dua orang remaja bermata sipit asik berfoto-foto jauh di depan sana. Melihat betapa rapi dan lengangnya jalan kecil itu, aku sempat bertanya, kemanakah orang-orang desa ini pergi? Mobil-mobil yang diparkir membanjar justru membuat pemandangan jadi lebih indah. Tak ada kemacetan di sana, dan itulah yang membuatku kagum.
Rasa Portugis di
Miramar Restaurant
Restoran ini dibangun jauh dari
keramaian. Sepanjang perjalanan dari Coloane, mataku hanya disuguhi pepohonan
dan laut. Untuk sampai di pelatarannya, bus harus berbelok ke sebuah jalan yang
tidak begitu lebar. Nama Miramar sendiri mengingatkanku pada Laut Marmara yang
ada Turki, itulah sebabnya aku mati-matian mengingatnya agar tidak salah saat
mengucapkan.
Kursi-kursi berwarna merah berbaris
rapi mengelilingi meja, mereka memenuhi seluruh ruangan restoran, dan hanya
dipisahkan space sempit satu sama lain. Botol-botol wine berjejer rapi pada
rak-rak di dekat pintu menuju bagian belakang—arah menuju toilet.
“Your name Mira? Are you Indonesian?” tanya Alex pada pelayan wanita yang sejak tadi melayani meja kami.
“No, i came from Thailand.” Jawabnya sambil tersenyum malu-malu, tidak menyangka akan ditanyai begitu.
“Oh, i think you are Indonesian. And we came from Indonesia. We are invited by Macau Goverment Tourist Office for explore this city.” Alex menjelaskan dengan bahasa Inggrisnya yang lancar jaya.
“I see. Because you are too bussy capturing our foods...” katanya sambil menunjuk kamera-kamera kami.
Ya memang benar, itulah kebiasaan
masing-masing kami setiap kali berhadapan dengan makanan selama di Macau. Sibuk
sendiri-sendiri, saling menarik piring berisi makanan, dan tubuh miring ke sana
sini agar menemukan angle yang pas.
Siang itu, udang bersantan yang sudah dikupas
menjadi menu utama. Ada juga sejenis bubur yang dicampuri udang, rebus sayuran,
es buah, ayam goreng, kentang goreng, dan octopus salad. Sebenarnya nama-nama
menu itu tidaklah sesederhana yang kusebutkan, cita rasanya pun berbeda. Aku hanya
tidak mencatat nama-nama makanan yang mereka sajikan. Satu hal yang sudah
pasti, semua makanan di sana dimasak dengan bumbu Portugis.
Wuih, bisa melihat masakan dan makanan Macau di edisi ini. Ngiler liat kerangnya, hehehe
ReplyDeleteHaha...aku malah gak bisa makan udangnya mbak :( alergi :( Jadi ngiler sendiri.
Deleteajak donk mbak kalo jalan
ReplyDeletemacau ... kapan aku bisa kesana hhehehe
ReplyDeleteistimewa bgt tempatnya
ReplyDelete