Friday 8 May 2015

Life is A Blessing, So Be Grateful




Sudah bertahun-tahun sejak novel Moga Bunda Disayang Allah muncul di pasaran. Bahkan versi filmnya sudah dibuat setahun lalu. Namun aku tak kunjung sempat membaca atau menonton filmnya. Hingga beberapa hari terakhir, di sela-sela menyelesaikan Tugas Akhir perkuliahan, aku menyempatkan diri untuk melahap habis novel karangan Om Tere Liye ini.

Aku tidak akan lagi membahas tentang sinopsis dan sejenisnya, karena sudah pasti, kalian jauh lebih hapal. Selama proses membaca seketika ingatanku terlempar pada sebuah film yang kutonton empat tahun lalu saat masih berumur 15 tahun. Judulnya The Miracle Worker yang diangkat dari kisah hidup Helen Keller. Usai menonton film ini dulu, aku hanya punya satu kesimpulan: bagaimana bisa seseorang yang tuli, bisu, dan buta sekaligus bisa menguasai berbagai bahasa, lulus dari universitas, bahkan ia dan gurunya sudah berkeliling ke puluhan negara sebagai motivator? 
Helen kecil dan sang guru dalam film The Miracle Worker
Novel Moga Bunda Disayang Allah yang kubaca saat umurku 19 tahun ternyata memberikan pemahaman yang lebih. Saat sampai di halaman terakhir, pertanyaan seperti yang kutuliskan di paragraf dua tidak sedikit pun muncul. Kisah Melati yang punya keterbatasan seperti Hellen Keller membuatku tersadar bahwa semua yang aku miliki saat ini sungguh sebuah anugerah yang tidak ternilai. 

Selama ini kita mengeluhkan banyak hal, seperti, kenapa aku tidak dibesarkan di tengah keluarga kerajaan Inggris, jadi adiknya pangeran William? Kenapa aku gemuk seperti karung beras? Kenapa aku pendek? Kenapa bukan aku saja yang punya bibir seseksi Angelina Jolie? Kenapa aku tidak kunjung bisa keliling dunia seperti dia? Kenapa gajiku tidak kunjung menyamai gajinya Bill Gates? Hingga semua itu berujung pada sebuah pertanyaan tidak tahu diri: Di mana keadilan Tuhan?

Tiba-tiba aku teringat pada sebuah kisah yang diceritakan Bapak beberapa minggu lalu. Alkisah jaman dahulu saat Musa as masih menjalankan tugasnya sebagai utusan Tuhan di muka bumi ini, hidup dua orang laki-laki dengan dua keadaan yang berbeda. Laki-laki pertama hidup melarat di bibir pantai. Saking melaratnya ia sampai tidak punya pakaian dan sesuatu untuk dimakan. Ketika laki-laki ini bertemu Musa as, ia berterus terang tentang keadaannya. Tanpa segan ia langsung meminta Musa as agar menyampaikan keluhannya pada Tuhan, minta agar Tuhan mengganti kemiskinan dengan harta berlimpah. Musa as setuju.

Laki-laki kedua adalah kebalikan dari laki-laki pertama. Hidupnya dikelilingi oleh harta yang tidak terhitung. Saking banyaknya, laki-laki itu sampai bingung cara menghabiskannya. Hingga ia bertemu Musa as dan menyampaikan kebingungan tentang hartanya tersebut. Ia minta agar Musa as bertanya pada Tuhan, bagaimana caranya untuk menghabiskan semua harta benda yang ia punya. Dan Musa pun setuju.

Beberapa waktu kemudian, Musa as mendatangi kedua laki-laki tersebut. Pertama-tama ia datangi laki-laki kedua. Dikatakan Musa, apabila laki-laki itu ingin menghabiskan hartanya, silakan jangan syukuri semua harta tersebut. Mendengar solusi tersebut, si lelaki kaget bukan kepalang. Ia berseru, “Bagaimana aku bisa tidak menyukuri semua nikmat yang telah diberikan Tuhan? Itu tidak masuk akal! Tidak ada yang lebih durhaka dari seseorang yang tidak tahu berterima kasih pada sang pemberi. Sampai kapan pun semua harta kekayaan ini pasti akan kusyukuri.”

Usai kalimat tersebut diucapkan, entah bagaimana mekanismenya, tiada angin tiada hujan, semua yang ada di sekitar mereka berubah menjadi emas. Bahkan jika saat itu istri laki-laki tersebut ada di sampingnya, mungkin si istri juga akan berubah jadi emas!

Musa as kemudian menemui laki-laki pertama. Ia menyampaikan jawaban Tuhan atas permintaan si lelaki miskin tempo hari. Jika lelaki itu ingin kaya, ia harus bersyukur. Mendengar jawaban yang diberikan Musa as, wajah laki-laki miskin itu terheran-heran. Ia berkata, “Apa yang bisa aku syukuri? Selama ini hidupku sangat melarat, aku tidak punya pakaian, sering kelaparan, punya rumah tapi sudah reot dan tidak layak ditempati. Apa yang bisa aku syukuri, wahai Musa?”

Syahdan, tidak ada angin tidak ada hujan. Tiba-tiba saja laut yang semulai tenang bergejolak. Ombak setinggi gunung berjalan cepat dari tengah laut, berjalan seolah menjemput si lelaki miskin. Gemuruhnya mengalahkan guruh yang membinasakan kaum Soddom dan Gomorah. Tak bisa melarikan diri, akhirnya lelaki yang tak mau bersyukur itu tergulung air laut. Menjemput ajal di bawah samudra. 

“Padahal Tuhan sudah memberikan ia mata, telinga, kaki, tangan, dan organ-organ lain yang bisa digunakan untuk mencari nafkah. Bukankah semua itu adalah nikmat yang tak ternilai harganya? Bahkan untuk nikmat tubuh yang sempurna ini, ribuan ucapan syukur yang kita ucapkan setiap hari rasanya tidak sepadan!” ucap Bapak di ujung telepon. Aku mendengarkan khidmat. Entah dari mana Bapak membaca kisah ini, aku pun belum mencari referensinya. Cerita di atas kutuliskan murni berasal dari cerita Bapak. Tentu saja kalimat demi kalimatnya aku sendiri yang merangkai.

Ya, rahmat Allah selalu bercucuran pada setiap makhluk-Nya. Sebanyak tetesan hujan, bahkan lebih banyak lagi. Seluas samudra, bahkan jauh lebih luas lagi. Hanya kita saja yang tidak pandai ‘melihat’. Nikmat Allah yang luas itu selalu kita artikan jadi sempit sekali. Kita hanya menganggap nikmat Allah itu berupa uang, kekuasaan, dan ketenaran! Padahal diri kita adalah sebuah nikmat. Kehidupan itu sendiri adalah nikmat. Pantas saja jika dalam surah Ar Rahman, Allah berulang-ulang menyebut, “Maka nikmat Tuhan-Mu yang manakah yang engkau dustakan?”

Jika Helen Keller dan Melati yang buta, tuli, dan bisu bisa bersyukur dengan keadaannya, kita yang sempurna ini pasti lebih lihai lagi. Insya Allah, semoga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang bersyukur.




3 comments:

  1. Sombong pula saya yang merasa sudah cukup bersyukur nyatanya masih mengeluh ini itu terlalu melihat keatas. Oh ada satu cerita, kawan baik saya beberapa kali mengajak saya ke panti asuhan tuna grahita awal kesana rasanya mau nangis saja tidak kuat rasanya mo ngomong tidak kuasa rasanya mau bersuara melihat mereka tak berdaya, raga saya lengkap saya bisa sekolah bekerja bermain segalanya beda dg mereka, ini kenikmatan. Terimakasih pada Allahswt.

    ReplyDelete
  2. aamiin....
    suka banget sama ceritanya,Rahmat Allah itu luas ya mbk...semoga kita termasuk golongan orang2 yang selalu bersyukur aamiin

    ReplyDelete
  3. Nice story sofi :)
    Terimakasih sudah diingatkan karena aku seringkali mengeluh. Astaghfirullah...

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...