Aku sering merindukan
masa kecil, dan seperti cerita-cerita sebelumnya, aku memiliki seorang sepupu
bernama Evi Safitri yang kini bekerja di Kepulauan Riau. Kita memiliki ikatan
persaudaraan dari darah Bapak—Evi anak dari adik Bapak.
Kita tumbuh bersama di
pulau kecil Penyalai, dan kenangan saat kami berumur di bawah 10 adalah
masa-masa indah yang tak pernah habis untuk dikenang. Sedangkan ini adalah
cerita tentang sepupuku yang lain, yang juga sahabat kecilku. Namanya Hari
Setiawan, anak dari adik Ibuku. Hari lebih muda satu tahun dariku, sebab itu
pula sejak kecil dia memanggilku Mbak.
Kedekatanku dengan Hari,
sama seperti kedekatanku dengan Evi. Hanya saja Hari tinggal ratusan kilometer
dari pulau kecilku, sehingga pertemuan dengannya terjadi sekali setahun saja, saat
kami sekeluarga mudik ke rumah nenek. Hari pertama kedatanganku, biasanya Hari
masih malu-malu untuk menyapa, tapi esok harinya bisa dipastikan kami sudah
berteman akrab, seperti tahun-tahun sebelumnya.
Kita bermain
masak-masakan di antara kayu yang melintang di mana-mana saat rumah nenek
direnovasi. Membuat sarang laba-laba dari air jeruk dan kotak kaset—sekarang aku
sudah lupa bagaimana cara membuatnya, dan banyak permainan lain. Tapi satu hal
yang paling jelas kuingat, kami lebih sering bertengkar. Bukan bertengkar hebat
sampai bermusuhan, biasanya kami merebutkan nenek, kakek, paman, atau bibi.
“Itu nenekku. Kamu nggak
punya Nenek. Kamu kan cucu pungut!” seruku.
“Eh, itu Nenekku. Mbak
yang cucu pungut. Datang ke sini aja jarang-jarang.” Ia tak mau kalah, bahkan
sampai berlari ke pangkuan Nenek.
Kalau sudah begitu, Nenek
pasti akan mendekati kami berdua, menciumi bergantian, dan mengatakan kalau
kami adalah cucu-cucunya.
Pun ketika malam
lebaran, biasanya Kakek akan membelikan banyak kembang api, maka rutinitas
pertengkaran di malam lebaran kami pun dimulai. Kami saling berlomba untuk
mendapatkan kembang api terbanyak, meskipun akhirnya kami mendapatkan sama
rata.
Kini tak ada lagi
permainan seperti dulu, juga tentang pertengkaran-pertengkaran kecil kami. Kita
sudah tumbuh mendekati usia kepala dua. Jalanku dan jalannya seumpama dua
lorong di dua belantara yang berbeda, rasanya tak akan mungkin pernah bersisian
atau kembali berjalan bersama. Saat berkunjung ke rumah Nenek, Hari biasanya
hanya datang untuk menyapa. Menyalamiku, bertanya kabar, duduk sebentar, lalu
pergi entah ke mana. Lima hari aku di rumah Nenek, barangkali hanya dua kali
kita bertemu. Satu kali untuk bertanya kabar, dan dua kalinya saat hari pertama
lebaran. Padahal dulu, kami pasti akan menghabiskan lima hariku itu bersama. Pagi-pagi
sekali ia sudah datang, lalu pulang di sore atau malam hari. Bahkan terkadang
sampai menginap.
Hari sekarang tumbuh
menjadi pemuda yang menurutku sangat tampan dan atletis. Ia juga memiliki
setumpuk kepandaian seni dan olahraga yang menurutku sangat mengagumkan. Drum
band, tari, nyanyi, basket, hingga karate. Semuanya sudah menghasilkan, bahkan
di kabupaten tempatnya tinggal, rasanya tidak ada remaja yang tidak
mengenalnya. Wajahnya selalu muncul di acara festival-festival, musik show, dan
turnamen olahraga. Kalau tidak salah, dia menjuarai karate tingkat provinsi,
dan dari facebook kuketahui beberapa minggu lalu ia baru saja ke Jakarta untuk
tarian melayu di sebuah festival. Tahun lalu rasanya ia juga sudah bolak-balik
Jakarta untuk acara-acara serupa.
Kayaknya kalau soal karate emang bakat turunan Ayahnya--ini Omku |
Baiklah, aku senang melihat perkembangannya. Cucu-cucu Kakek-Nenek akhirnya tumbuh dengan baik, dengan cara dan bakatnya masing-masing. Semoga suatu hari kita bisa bertemu di perjalanan, duduk sebentar, dan menyempatkan diri untuk sekadar mengenang. Sukses selalu, Ri! Mbak doakan dari jauh.
wow..
ReplyDeleteyang muda..
yang berprestasi..
Wah.. hebat bgtt. Kakek nenek psti BANGGA punya cucu spt kalian.. :) :)
ReplyDeleteSaya kenal dengan hari mbak..
ReplyDelete