Source: click here |
“We are not my novel, where i can create the story...”
Senja itu masih
dingin, saat langkahku baru saja meninggalkan halaman masjid berwarna krem
dengan satu menara indahnya. Tujuanku selanjutnya adalah sebuah rumah. Seorang wanita
paruh baya baru saja menunjukkan alamat rumah seseorang yang begitu ingin
kulihat, ia juga yang menjadi alasanku singgah di kota kecil ini.
“Tidak jauh dari
sini. Hanya berjarak dua rumah saja. Saat kamu menemui rumah dengan cat
berwarna biru langit, itulah dia.” ucap Ibu itu dengan bahasa yang sebenarnya
masih begitu sulit kupahami.
Kukuat-kuatkah hati
agar langkah ini tak berbalik arah. Bukankah aku datang hanya untuk
membuktikan, tanpa berniat untuk merubah apapun, lalu kenapa harus takut?
Seperti apa wajahnya?
Akankah senyumnya seindah yang selama ini kulihat? Mungkinkah hanya aku yang
mendapati sorot matanya yang kehilangan cahaya? Aku ingin menyaksikan semua
itu.
Di jalanan yang
bersepuh putih beku itu aku berdiri. Tak ada satu pun kendaraan yang melintas,
barangkali terlalu enggan menembus dinginnya puncak musim dingin di jalan yang
menggigil ini.
Aku berdiri di bawah
payung sambil menatap rumah sederhana itu lamat-lamat, pada kaca jendelanya yang
kabur. Di rumah itulah kamu kembali selepas melakukan perjalanan, tempatmu
melepas penat setiap harinya. Di rumah itu pula wanita jelita yang sejak
beberapa bulan lalu kulihat wajahnya tersenyum di sampingmu. Wanita yang setiap
hari berpikir keras, hidangan apakah yang akan ia sajikan padamu. Kemudian ia
akan memilihkan hasil masakan paling lezat untukmu dan menyisakan yang ‘keasinan’
atau yang ‘gosong’ untuk dirinya sendiri. Ah, kurasa di manapun wanita saleha
itu, pasti hal-hal seperti itulah yang akan ia lakukan untuk lelakinya.
Degup jantungku
seketika gemuruh saat kulihat seorang laki-laki keluar dari balik pintu bercat
biru itu. Dengan sigap tangannya membuka payung merah muda yang sejak tadi digenggaman. Takut kehadiranku mencurigakan, aku berjalan pada sebuah bangku
tak jauh dari badan jalan, duduk di sana seolah-olah sedang menanti jemputan. Aku
merendahkan payung hingga menutupi sebagian wajah. Dari sinilah kuamati dia
yang masih berdiri menunggu. Tak lama keluar seorang wanita semampai dalam
balutan coat tebal berwarna donker dan jilbab merah muda. Dari jarak tak kurang
dari empat puluh meter ini, aku bisa memastikan bahwa wanita itu benar-benar
jelita.
Mereka berjalan
beriringan di bawah payung merah muda meninggalkan rumah. Sayup-sayup terdengar suara mereka yang tengah membicarakan sesuatu. Tangan kanan lelaki itu
terlihat erat memeluk punggung sang wanita. Indah sekaligus menyakitkan bagiku.
Setelah aku membuktikan bahwa masjid berwarna krem itu benar adanya, kini
kembali kubuktikan, bahwa lelaki itu benar-benar ada. Ia sama seperti manusia
lainnya, bukan hanya sekadar ilusi atau imajinasi belaka. Pun tentang wanita
yang sejak beberapa bulan lalu selalu mendampingi setiap foto yang dibagikan. Mereka
benar-benar bersama.
Ketika langkah mereka
sudah tiba tak jauh dariku, kuberanikan diri untuk sedikit mengangkat payung. Mencuri
pandang pada kedua wajah itu. Hanya satu hal yang tak mampu kubuktikan, yaitu
tentang sorot mata yang kehilangan cahaya. Keduanya tampak begitu bahagia,
senyum yang lepas, seolah-olah kehidupan ini hanyalah taman yang dipenuhi
bunga.
“Lalu ceritamu hanya sampai di situ saja?” tanya gadis berambut pirang yang duduk di sampingku, tentu saja dalam bus yang membawa kami menuju Istanbul.
“Yes, you are right.”
“How about him? Is he know about your feeling?”
Aku menggeleng pelan,
mencoba tersenyum meskipun itu sangat sulit.
“We are not my novel, where i can create the story...”
Beberapa saat kami
sama-sama diam. Gadis itu masih memandangku tak percaya.
“Ketika kau menulis sebuah novel, kau bebas menentukan hati dan hidup para tokoh yang kau ciptakan. Kau buat si lelaki juga menyimpan rasa yang sama pada sang wanita yang sekian lama menanti dalam diamnya, kemudian setelah melewati berbagai rintangan, mereka akan bersama pada akhirnya. Tapi di kehidupan nyata, banyak sekali rasa yang berlayar tanpa bisa menepi di dermaga impiannya. Kau harus terus berlayar, tanpa perlu memorak-porandakan rasa lain yang telah bersatu dengan dermaganya, hingga mungkin suatu hari, kau akan bertemu dengan dermaga yang hampir sama dengan yang kauimpikan. Di sanalah kau akan berhenti. Tuhan telah menyiapkan dermaga yang tepat bagi masing-masing kita, dan kurasa, dia bukanlah dermagaku.”
Untuk Bukti [Bagian I]
enaknya buat fiksi itu bisa sesuka hati dibuat sesuai keinginan penulisnya ya
ReplyDelete