Just a little
story about DIM SUM
“A people without the
knowledge of their past history, origin, and culture, ia like a tree without
roots.”—Marcus Garve
Mungkin dim sum bukanlah
tentang makanan pribumi, namun sebenarnya—meskipun tidak mutlak sama—sejak
kecil aku sudah terbiasa dim sum bersama keluarga, atau bahasa gaulnya
‘ngeteh’. Dalam bahasa Kanton dim sum memiliki arti ‘menyentuh hati’. Dim sum
sudah dikenai sebagai makanan populer di kalangan masyarakat Cina sejak ribuan
tahun lalu. Kebiasaan dim sum konon bermula pada periode Jalur Sutra (Asia Tengah
ke Cina) dan Dinasti Han (206 SM) hingga Dinasti Yuan (Abad 14 M). Ketika itu
para petani, buruh dan pedagang yang berbisnis di sepanjang Jalur Sutra kerap
mampir di kedai teh pinggir jalan untuk minum teh di pagi hari.
Aku
sendiri mengenal dim sum baru beberapa minggu lalu, tepatnya saat perjalanan ke
Macau bersama MGTO dan VIVA. Awalnya aku hanya berpikir pagi itu kami akan
sarapan dengan menu Cina. Ternyata oh ternyata ini menu Cina yang tidak biasa...
Cerita
dimulai saat kedatangan kami di Grand Emperor Hotel. Setelah dibuat terkesima
oleh dua orang penjaga pintu yang berseragam merah dan topi bulu khas prajurit
Inggris—wajahnya juga bule, lagi-lagi 78 kg emas asli yang dipajang di lantai
lobi membuat kami takjub. Kapan lagi bisa menginjak emas, kalau bukan saat itu.
Dirasa
hasil jepretan sudah cukup, Pak Alan mengarahkan kami menuju lantai sekian,
saatnya dim sum di Restoran Dim Sum Grand Emperor Hotel. Pelayan wanita
berwajah Cina dalam balutan seragam putih mengantarkan kami ke ruangan privat,
mempersilakan kami duduk. Selain meja makan dan kursinya, ruangan tersebut juga
menyediakan satu set sofa. Kami menunggu sambil memotret sana-sini. Lima menit
kemudian, si pelayan meletakkan cangkir-cangkir mungil di hadapan masing-masing
kami. Ia kemudian menuangkan teh dari sebuah poci putih dan lucu. Seandainya
poci itu bisa kubawa pulang, pikirku.
Pelayan
itu pergi. Kupikir ia mengambil makanan lain, eh ternyata tidak. Mengikuti
yang lain, aku juga menyeruput teh tersebut. Sebenarnya lidahku tidak begitu
cocok dengan teh Cina itu, namun secepat kilat aku memaklumi, mungkin teh mahal
memang rasanya tawar dan pahit dan aku belum terbiasa (haha). Selang sepuluh
menit, si mbak pelayan datang lagi sambil membawa sepiring menu. Ada semacam mi
laksa, dan beberapa jenis makanan lain dalam satu piring untuk bersembilan.
Kami menghabiskannya secepat kilat. Wajah heran si pelayan sama sekali tidak
kami pedulikan.
Menu
selanjutnya datang tidak begitu lama, kali ini lebih menarik. Karena setiap
masing-masing kami mendapat tiga makanan mungil, setidaknya tidak perlu bagi-bagi
lagi. Sausnya juga ada dua jenis dalam satu wadah mungil bersekat. Saat aku mengambil
saus tomat untuk makan mi (yang kubilang sejenis laksa tadi), si pelayan
buru-buru mencegah.
“This for this, and this for this.” Ucapnya sambil menunjuk saus dan makanan mungil bergantian. Aku mengangguk, sok mengerti.
Mi
sejenis laksa itu rasanya enak. Belum pernah aku makan mi seperti itu
sebelumnya, justru menurutku rasanya mirip rumput laut. Tiga buah makanan
mungil itu pun enak, kalau di Indonesia mungkin namanya gorengan. Tapi di sana
dikemas lebih apik dan rasanya pun tidak bisa ditebak. Satu hal yang membuatku
sebal sendiri, mereka semua makan menggunakan chopstick alias supit, sementara
aku tidak bisa. Walau sudah ribuan kali Ibuku mengajari, tetap saja aku hanya
bisa menggunakan supit untuk makan mi. Kuperhatikan, mereka bisa mengambil
makanan mungil menggunakan dua kayu itu, sedangkan makanan mungilku selalu saja
jatuh. Bahkan saat aku mengambil tumis pak choy pun gagal. Akhirnya aku
mengalah, dan memilih makan menggunakan sendok biasa.
Setelah
tiga buah makanan mungil lenyap, selanjutnya muncul satu piring bebek peking
yang kutebak dimasak menggunakan kecap. Dagingnya kenyal dan enaknya jauh
dibandingkan rasa bebek peking yang selama ini kumakan. Tanpa tulang pastinya.
Ada semacam daun parteseli kering di samping-sampingnya. Bahkan menurut kami,
daun gorengnya pun enak.
Dim sum ditutup dengan buah semangka, dan kami pun beranjak meninggalkan Grand
Emperor Hotel. Itulah tadi dim sum, saat ini sudah ada sekitar 2.000 jenis
macam dim sum. Sebuah restoran besar dim sum biasanya menyajikan sekitar 100
jenis dim sum. Tertarik mencoba?
Taipa dan Rumah
Peninggalan Portugis
Deretan
rumah sederhana itu kini telah menjadi museum, dulunya mereka adalah rumah para
jenderal Portugis. Di pelatarannya terdapat deretan pohon dan kursi-kursi yang
menghadap danau, sayang danau tersebut dipenuhi enceng gondok. Ada beberapa
pekerja yang sedang sibuk membersihkan, entah danau itu ingin disulap jadi apa
lagi oleh pemerintah Macau. Mereka membangun hotel dalam air pun masih
mungkin-mungkin saja.
Di
samping kanan, seharusnya ada taman dengan aneka bunga. Sayangnya saat kami ke
sana, taman itu baru ditanami, itu artinya belum ada bunga yang tumbuh apalagi
mekar. Sayang sekali.
“Iya Sofi. Dulu waktu aku ke sini, bunganya banyak banget...” Una memberi tahu dengan semangat.
Padahal
aku suka bunga, rasanya kalau sudah bertemu makhluk warna-warni itu semua
masalah lenyap sesaat. Tak apalah, semoga di masa depan aku bisa kembali
berkunjung saat bunganya sedang bermekaran.
Dinner at Galaxy
Hotel
Setelah
mengunjungi Taipa, rombongan selanjutnya menuju City of Dream. Di sana kami
berkeliling lobi Hard Rock, mengunjungi Site Visit di SOHO, menyaksikan Dragon
Treasure dan The House of Dancing Water (ceritanya kutulis si sini). Sekitar
tujuh malam, bus melaju menuju Galaxy, bangunan hotel termewah yang di awal
tulisan sudah kuceritakan.
Itu
bukan sebuah hotel, melainkan istana sebuah dinasti. Jika ia ada di jaman dulu,
tentu Napoleon Bonaparte sudah memindahkannya ke Prancis (sotoy, haha). To be
honest, itu memang hotel yang menakjubkan bagiku.
Begitu
usai menyaksikan Diamond Show gratis di lobinya yang super jumbo dan mewah, Pak
Alan mengajak kami menuju Gosto Restaurant. Tidak hanya restoran saja yang berderet
di dalam Galaxy, outlet-outlet mahal pun bertebaran di mana-mana. Bahkan hotel
ini juga memiliki bioskop sendiri.
Sebagai
makanan pembuka, ada sup tomat dengan telur ceplok (seperti kita memasak telur
dalam mi rebus), udang merah seukuran remote televisi, dan octopus salad.
Karena alergi udang, aku memilih aman dengan makan sup tomat dan octopus saja.
Menu di Gosto Galaxy Hotel (Dok.pribadi kecuali foto udang, that's Alex's picture) |
“Ha, ini telur ceritanya?” Mas Fahmi berseru heran. Diangkatnya sendok yang berisi potongan telur, ia perhatikan.“Hehe...ternyata benar telur.” Ucapnya lagi.
Setelah
piring-piring diangkat, selanjutnya pelayan yang cakep berwajah bule
mengantarkan main menu.
“This is Africa Chicken, Madam...” ia memberi tahu.
Aku
mencobanya, dan ternyata cukup enak. Bumbunya masuk ke lidah Indonesia, pedasnya
sedikit kurang, namun asinnya pas. Dagingnya sangat lembut. Semakin sempurna
dengan potongan kentang bakar. Alhamdulillah,
makan malam ketiga kami di Macau sama. Sama-sama enak dan memuaskan.
Sebagai
menu penutup, mereka menyajikan satu gelas biscuit mousse. Lapisan paling atas
adalah biskuit, mousse, oreo, mousse lagi, dan paling bawah ada saus mangga
(sumber material lapisan: instagramnya Una). Rasa setiap lapisannya yang
berbeda-beda memberikan sensasi yang tidak bisa dijelaskan, apalagi saat
berpadu dengan saus mangga di dalam mulut. Inilah dia dessert nomor satu yang
paling enak selama aku di Macau. Tertarik mencoba?
Macau Government Tourist Office Representative in Indonesia
Twitter: @macauindonesia
Facebook: MGTO Indonesia
Website: http://id.macautourism.gov.mo/
Macau Government Tourist Office Representative in Indonesia
Twitter: @macauindonesia
Facebook: MGTO Indonesia
Website: http://id.macautourism.gov.mo/
Wih, seru amaaat, kagum aku, dirimu bisa sampai sana :) Keren2 ya makanannya, hehe.. Aku pikir tuh Dim Sum asli nama makanan yang kaya siomay itu loh, ternyata artinya lebih luas dari itu ya..
ReplyDeleteah jadi pengen kesana setelah baca artikel ini
ReplyDelete