Sunday 1 January 2017

(Cerpen) Kisah Cinta dari Andalusia


Hari sudah merangkak menjelang siang. Saat seorang laki-laki duduk di atas kuda putih kesayangan sambil menyusuri jalanan berkerikil di antara kebun anggur yang subur. Namanya, Ahmad Abu Walid. Seorang pengembara yang tidak jelas asal usulnya. Ia berkelana dari desa satu ke desa lain, dari negeri satu ke negeri lain. 

Laki-laki itu mengenakan topi terbuat dari sorban yang melilit di kepala. Soal rupa, usah ditanya. Hampir tidak terlihat bentuk hidung dan bibirnya karena tertutup jambang yang sangat semak dan tak terawat. Dua-tiga orang yang berpapasan selalu menatap aneh hingga kepala mereka memutar ke belakang. Ada khawatir yang menggelayut di hati para penduduk itu, takut laki-laki itu penyamun, orang jahat, atau apalah.

Ahmad Abu Walid, dibalik topi yang sudah tidak jelas warna aslinya itu ia menatap hamparan desa baru yang membentang indah di depan. Belum pernah ia memasuki sebuah desa sesegar ini. Rambatan anggur dengan buahnya yang segar bergelayutan. Petani-petani dengan pakaian indah memetik buah-buah yang telah masak, mengumpulkan ke dalam keranjang-keranjang rotan. Ia membiarkan kudanya berjalan lambat, berirama pada setiap langkah yang menapak di atas kerikil.

Kuda putih yang ia tumpangi berhenti, tentu saja atas perintah laki-laki yang menjadi tuannya. Seorang gadis memanggil-manggil. Laki-laki itu memperhatikan dari balik topi. Gadis dengan baju lusuh penuh tambalan. Topi lebar yang ia pakai pun sobek di sana sini. Wajahnya dipenuhi penyakit kulit yang memberikan kesan buruk rupa.
“Tuan, saya menjual susu domba segar. Sudikah tuan membelinya?” Tawar gadis itu sambil menunjukkan keranjang yang hanya dipenuhi lima botol susu.
Lama laki-laki menjawab. Sengaja membuat gadis itu menunggu.
“Saya akan membeli semuanya.” Ucap laki-laki itu yang membuat gadis penjual susu terperanjat kaget sekaligus bahagia. Segera ia memasukkan lima botol susu miliknya ke dalam kantung dari kulit domba, lalu menyerahkan kepada pembeli yang duduk di atas kuda. Sebagai imbalan, gadis itu menerima sepuluh keping uang Andalusia.
Laki-laki itu melanjutkan perjalanan, meninggalkan sang gadis yang memandang hingga hilang di kejauhan. Kini ia memasuki kawasan rumah-rumah penduduk desa itu. Rumah-rumah yang begitu indah dengan bunga-bunga bugenvil aneka warna yang berbunga lebat. Masing-masing rumah juga memiliki kereta kuda.

“Keindahan yang sungguh memikat.” Ucapnya tidak mampu menyembunyikan kekaguman. Ia sudah singgah di banyak negeri, melihat puluhan kastil, namun tak ada yang terlihat sesempurna ini di matanya. Di tengah kesibukan mengagumi rumah-rumah itu, sebuah kereta kuda berlalu di sampingnya. Laki-laki itu mengalihkan perhatian, mengamati wajah samar di balik tirai tipis yang terpasang di jendela kereta kuda. Wajah seorang wanita jelita. Dengan kesal laki-laki itu menghempaskan tangan di atas kepala kudanya, hingga hewan itu meringkik, karena ia tak bisa melihat wajah wanita itu dengan jelas. Meskipun begitu ia tetap duduk diam di atas kudanya, memandangi kereta kuda yang membawa si jelita hingga hilang di ujung pandangan.

Laki-laki itu tetap berjiwa pengelana. Walau desa indah itu sempurna memikat hati, ia tetap melanjutkan perjalanan. Malam harinya ia sudah berada beratus-ratus kilo dari desa indah yang ada di Andaluasia. Ia menyewa kamar dengan harga murah, sekadar untuk istirahat lalu besok kembali menyusuri jalan-jalan yang berdebu di musim panas. Ahmad baru memejamkan mata beberapa puluh menit ketika sebuah mimpi singgah dalam lelapnya. Ia melihat seorang gadis dengan kecantikan seperti para peri. Kecantikan tiada bandingan dan terlihat sangat jelas. Mata bulat bercahaya, alis hitam yang terlukis sempurna, dagu menggantung, dan bentuk wajah berbentuk bulat telur. Wanita itu juga mengenakan selendang di atas rambut, menciptakan sihir yang tidak terceritakan. “Aku di sini untuk melengkapimu, Tuan Ahmad Abu Walid.” ucap wanita itu seraya tersenyum.  Anehnya, laki-laki itu seolah tak punya suara untuk sekedar menanyakan nama si gadis. Hingga ia perlahan hilang bersama kabut yang semakin mengecil. Sambil menggapai-gapai, ia terus memanggil-manggil si gadis hingga terbangun dari mimpi. 

Mimpi yang membuatnya gundah. Wajah gadis itu masih tersisa jelas, juga suaranya yang terus terdengar. Ahmad keluar dari kamar sempit, menaiki kuda menuju puncak bebatuan. Ia pandangi malam dengan kerlip lampu desa-desa di bawah sana sambil mencoba melupakan wajah si gadis dalam mimpi. 

Pagi-pagi sekali Ahmad sudah jauh meninggalkan desa tempatnya bermalam. Begitu terus, hingga waktu membawanya ke musim panas kembali. Ia sudah memiliki uang cukup banyak di kantung, hasil dari bekerja di toko sepatu milik orang Moor. Ia bisa menggunakan uang itu untuk lima bulan perjalanan. Tapi, entah mengapa. Sejak ia melihat gadis jelita dalam mimpinya, laki-laki itu menjadi aneh. Ia memiliki kesenangan untuk selalu menatap malam, merenungkan banyak hal. Mungkinkah ia telah jatuh cinta pada gadis yang datang dalam tidurnya? Begitukah yang dilakukan setiap laki-laki apabila mereka sedang merindukan wanita pujaannya?

Entah mengapa pula, musim panas membawa angin rindu dari desa indah yang tertinggal begitu jauh di belakang. Meski sudah berulang kali mencoba menahan kata hati yang mendesak-desak, pada akhirnya Ahmad menyerah. Firasat mengatakan bahwa gadis jelita yang ada dalam mimpinya adalah gadis yang ada di balik tirai kereta kuda yang pernah ia lihat. Mungkin ini petunjuk Tuhan.

Jadilah, walau sudah beratus-ratus kilometer desa itu tertinggal di belakang. Laki-laki itu memutuskan memutar arah. Sama seperti pertama kali datang, ia tetap bersama kuda putih kesayangan. Tapi sekarang, pakaian yang ia kenakan tak sekusam dulu. Ia membeli beberapa pakaian di tengah perjalanan. Cinta membuatnya ingin terlihat lebih baik. Walau ia tak tahu, apakah cinta itu memang ada di desa yang kini didatanginya untuk kedua kali. Tak ada perubahan pada desa itu, tidak seperti dirinya yang sedikit mau berubah. Begitu juga dengan penduduk yang berpapasan dengannya. Mereka tak sekali pun mau tersenyum. Mungkin karena wajah laki-laki itu masih menyeramkan. Tapi mereka tak lagi memandangi hingga wajah mereka memutar ke belakang. Hey, itu sebuah perubahan.
“Tuan! Tuan dengan kuda putih!”
Ahmad menghentikan kudanya, masih di tempat yang sama seperti setahun yang lalu, tempat ia membeli lima botol susu domba. Laki-laki itu menunggu sang gadis mendekati kudanya sambil mengamati dari balik topi. Mencari perubahan. 

Sayang, tak ada perubahan sama sekali. Tak ada sedikit pun, gadis itu tetap berpakaian kumal dan memiliki wajah yang buruk, hal itu membuat Ahmad kecewa. Seharusnya setiap orang akan lebih baik dari waktu ke waktu.
“Saya senang Tuan kembali ke desa ini. Sudikah Tuan membeli susu-susu domba ini?” Tawar sang gadis buruk rupa sambil memperlihatkan botol-botol susu yang kini berpuluh-puluh jumlahnya. Sang laki-laki tersenyum di balik jambang lebat. Peningkatan jumlah botol susu? Hey, ini sebuah perubahan.
“Tentu saja. Saya akan membeli semuanya” Ia berseru, membuat si gadis begitu senang. Dengan cepat ia membungkus botol-botol susu dan menyerahkan kepada Ahmad. Sebagai imbalan, laki-laki itu memberi sekantung uang Andalusia.
“Ini terlalu banyak, Tuan.”
“Ambil saja.” Kata sang laki-laki lalu segera memacu kudanya berlari kencang.
“Tuan! Boleh saya mengetahui nama Anda?!!!” Teriak sang gadis.
“Ahmad Abu Walid!!!” Jawabnya terdengar samar bersama kepulan debu.
Tujuan laki-laki itu datang kembali ke desa ini belumlah terpenuhi, karena itu ia memacu cepat kudanya menuju rumah-rumah penduduk yang semakin indah, berharap bisa melihat wajah gadis jelita yang ada di dalam kereta setahun lalu. Ia menunggu di atas kudanya yang diam, mengamati setiap kereta kuda yang lewat.

Namun hingga matahari mulai merendah ke Barat, yang dinanti tak kunjung menampakkan wajah. Ia tak kecewa, terus setia menanti. Tak beberapa lama, ia melihat sosok gadis itu. Bukan lagi di dalam kereta kuda, melainkan di depan sebuah rumah. Ia terlihat begitu anggun dari kejauhan. Semakin yakinlah laki-laki itu bahwa si gadis jelita yang hadir dalam mimpinya adalah gadis yang kini dilihatnya. Gadis itu membawa keranjang di tangan lalu memetik beberapa buah apel yang merah di halaman rumah. Baru saja Ahmad berniat turun dari kuda untuk mengajak gadis itu berkenalan, si gadis sudah terlebih dahulu masuk ke dalam rumah. Dan niat itu pun urung ia lakukan.  

Saat langit Barat mulai menyemburkan warna merah, Ahmad kembali melanjutkan perjalanan. Pertemuan tadi sudah cukup sebagai bekal hingga kunjungan tahun depan. Melihat sekilas sosok gadis itu sudah cukup baginya sebagai teman perjalanan. Kali ini tidak ada lagi cerita tentang perjalanan jauh, juga tidak ada negeri-negeri baru yang sangat ingin ia lihat, karena Ahmad sudah bertekad akan bekerja keras, mengumpulkan uang, membangun rumah indah lalu melamar gadis pujaannya. 

Sejak hari itu, ia memulai usaha sebagai penjual pakaian. Satu bulan pertama, usahanya masih biasa saja. Dua bulan kemudian, ia mulai memikirkan ide-ide baru untuk desain pakaian yang dijual. Karena pengalamannya bekerja di toko sepatu, kini pada bulan keempat usaha pakaian itu sudah begitu maju. Apalagi ia pandai berbicara dalam berbagai bahasa negeri lain, semakin banyaklah pembeli yang mendatangi tokonya. Para pembeli itu berasal dari kalangan bangsawan dan orang-orang istana. 

Memasuki bulan kesepuluh, nama laki-laki itu terkenal di seluruh pelosok negeri. Kekayaan yang dimiliki tak ternilai jumlahnya. Ia sudah membangun rumah yang memiliki keindahan mengalahkan istana yang ada di negerinya. Meskipun di tengah kesibukan mengurusi usaha pakaian, ia tetaplah merasa sepi. Setiap malam matanya tertuju pada langit gelap, berbintang, bulan sabit, hingga bulan penuh. Menghitung hari agar cepat sampai pada musim panas. Hingga akhirnya, waktu membawa Ahmad kembali pada kunjungan ketiga di desa yang sudah memikat hatinya. Ia sudah menyiapkan semua yang harus disiapkan.

Hari sedang merangkak mendekati siang saat itu. Saat seorang laki-laki duduk di atas kuda putih kesayangannya. Soal rupa, tidak usah ditanya. Wajahnya sungguh tampan tanpa jambang semak seperti dulu. Pakaiannya indah tiada tara, ia lebih memesona dari pangeran-pangeran yang dimiliki seluruh negeri. Setiap penduduk yang berpapasan dengannya pasti tersenyum lebar sambil menganggukkan kepala, memberi penghormatan. Dialah Ahmad Abu Walid.

Ahmad berhenti, masih di tempat yang sama sepeti setahun dan dua tahun yang lalu. Tempat ia membeli susu domba kepada seorang gadis buruk rupa. Tapi, kali ini laki-laki itu berhenti tanpa panggilan dari sang gadis. Ia berhenti karena merasa seperti ada yang tidak sempurna pada kunjungannya kali ini. Ia diam di atas kuda, menunggu sang gadis penjual susu datang. Mungkin kali ini gadis itu terlambat. Hingga tiga jam kemudian, sang gadis belum juga menampakkan sosoknya. 

Ia memutuskan melanjutkan perjalanan menuju rumah-rumah penduduk. Hingga sampailah ia di depan rumah gadis jelita yang ia kasihi. Halaman rumah itu dipenuhi rangkaian bunga di sana-sini. Orang-orang berpasang-pasangan berdansa dengan gaun-gaun pesta yang indah. Sang laki-laki mulai memiliki firasat tidak nyaman. Ia memanggil seorang penduduk.
“Pesta apakah ini?” tanyanya.
“Pernikahan gadis tercantik desa ini. Lihatlah, mereka pasangan yang sempurna.” jawab laki-laki separuh baya yang Ahmad tanyai sambil menunjuk sepasang pengantin di tengah para tamu. Wanita jelita itu? Dia semakin jelita dengan gaun pengantin yang melekat di tubuhnya.
Mendapati kenyataan itu, bagai terhempas ke jurang rasa sakit yang mendera hati Ahmad. Semua usaha yang sudah ia lakukan seakan hancur bertumpuk di dasar jurang yang dalam. Laki-laki itu melihat sekilas pada pasangan pengantin yang ditunjuk penduduk tadi, ya... memang pasangan yang sempurna. Kini, tinggallah penyesalan yang tersisa di hatinya. Andai saja ia lebih berani setahun yang lalu. Andai saja ia tidak perlu menunggu musim panas untuk melamar gadis itu. Andai saja. Andai saja. Andai saja. 

Ia melanjutkan perjalanan tanpa semangat, memutuskan ini adalah kunjungan terakhirnya di desa itu. Tak ada lagi yang diharapkan. Ia kembali pada kesibukan mengurusi bisnis pakaian. Kini tokonya telah membuka cabang di berbagai tempat. Banyak bangsawan yang menawarkan putri mereka, namun tak satu pun bisa menarik hatinya. Ia telah memiliki segalanya, tapi tak kunjung merasa bahagia. Setiap malam ia tetap bermain dengan wajah jelita itu, membayangkannya di tengah hembusan angin malam yang datang dari lembah-lembah. Begitu terus yang dilakukan Ahmad hingga musim panas kembali datang. Aneh, rasa rindu pada desa itu kembali hadir bersama aroma musim panas, membuatnya tak mampu menepati janji. Keesokan hari, ia memacu kudanya kembali ke desa itu. Entah ada apa di sana sehingga rindu itu selalu datang. Hatinya tertambat di sana, di antara kebun-kebun anggur yang subur. 

Kembali ia berhenti sejenak di tempat ia biasa membeli susu domba. Entah kemana gadis itu. Mungkin ia telah pergi meninggalkan dunia yang menyakitkan ini. Laki-laki itu menambatkan kudanya di pagar, ia duduk merenung di bawah pohon zaitun sambil memandangi kebun-kebun. Saat resahnya benar-benar berada di ujung kesanggupan, saat itulah seorang laki-laki tua menghampiri, mengulurkan setangkai anggur masak.
“Seharusnya engkau tidak boleh bersedih karena cinta, Nak. Jangan terlalu merasa memiliki sesuatu jika kamu tidak mau merasakan sakitnya kehilangan sesuatu. Anggaplah semua yang diberikan padamu hanya titipan, perlakukan ia sebagaimana titipan, kamu merawatnya, menyayanginya sebatas titipan. Hingga jika ia pergi darimu, tak berlarut-larut lukamu. Kamu hanya bersedih karena merasa belum sempurna menjaga titipan itu. Cinta sejatinya kidung kebahagiaan yang membuatmu terus memperbaiki diri untuknya. Lepaskanlah... Jika ia adalah cinta sejati, ia akan pulang ke rumahnya pada waktu yang tepat.” Nasehat si laki-laki tua hingga membuat Ahmad meneteskan air mata tanpa sadar. Ia mengangkat kepala, ingin mengucapkan terimakasih untuk nasehat tak ternilai yang baru saja didengar. Anehnya, tak ada seorang pun di sampingnya. Laki-laki tua itu hilang seperti terbawa angin.
Maka mulai saat itu, Ahmad mulai belajar menunaikan nasehat laki-laki tua. Ia bertekad akan melepaskan cinta di hati dan menanti siapakah yang akan dititipkan kepadanya. Dengan tersenyum ia melanjutkan perjalanan. Berhenti beberapa detik di depan rumah yang mengadakan pesta setahun yang lalu. Mungkin gadis itu sedang hamil tua saat ini atau mungkin sudah memiliki seorang anak berumur dua bulan. Laki-laki itu tersenyum, mengabarkan bahwa ia telah menerima takdirnya. Ia kembali memacu kuda, menikmati perjalanan dengan melewati jalan yang berbeda dari biasa diambil. Tiba-tiba saja jiwa petualangnya kembali datang, ia rindu pada tempat-tempat baru.

Di tengah perjalanan, ia tertarik melihat sebuah restoran yang ramai. Ia turun dari kuda lalu segera masuk ke restoran yang sudah menarik perhatiannya. Semua orang yang duduk di sana memberi penghormatan padanya. Sungguh, ini adalah restoran dengan  keindahan tiada tara. Menariknya, tak hanya orang-orang berpakaian indah yang menikmati hidangan di sana, melainkan para petani dan pedagang biasa pun ramai yang singgah untuk menikmati hidangan.
“Tuan, saya senang Anda berkenan singgah kemari. Anda ingin memesan makanan apa?” Sapa seorang gadis dengan pakaian pelayan yang indah. Sang laki-laki mengenali suara itu. Suara yang sama seperti yang didengar dalam mimpi. Ia segera berdiri, memandang wajah gadis yang ada di hadapannya. Benar saja. Dialah gadis itu, gadis yang pernah dilihat dengan jelas di dalam mimpinya. Gadis yang memiliki kecantikan luar biasa.
“Siapa namamu?” Tanya sang laki-laki.
“Maryam Al Arudia.” Jawab gadis itu dengan wajah heran.
“Namaku Ahmad Abu Walid. Sudah lama  aku mencarimu.”
“Ahmad Abu Walid? Tuan, benarkah itu dirimu? Anda yang beberapa tahun lalu membeli semua susu domba yang saya jual?”
Sang laki-laki sungguh tak menyangka jika gadis yang selama ini ia rindukan adalah sang gadis penjual susu. Ia melihat kembali gadis itu dari bawah hingga ujung kepala. Gadis dari bangsa Moor dengan kain yang menutupi rambutnya, hanya wajah cantiknya yang terlihat. Memang benar, itu adalah gadis penjual susu. Kini ia tak lagi menderita penyakit kulit seperti dulu.
“Tuan Abu Walid, saya selalu menunggu kedatangan Anda. Saya ingin berterimakasih kepada Anda. Berkat uang yang Anda berikan, saya bisa membeli obat yang menyembuhkan penyakit kulit yang saya derita, lalu membangun restoran ini. Semua orang tidak lagi jijik melihat saya sehingga restoran ini cepat berkembang. Terimakasih, Tuan.”  Ucap gadis itu sambil menunduk memberi penghormatan.
“Tak perlu berterima kasih. Aku memikirkanmu sepanjang hari, Maryam.” Ucapnya berterus terang, membuat gadis itu membelalakkan mata, mencari-cari arah pembicaraan laki-laki di depannya.
Tanpa berniat membuat Maryam menunggu, Ahmad melanjutkan kalimatnya. “Aku jatuh cinta padamu. Maukah kamu menikah denganku?” Ia berucap dengan bibir bergetar dan kepala tertunduk.
Maryam menutupi wajah dengan kedua tangan, menjerit kecil. “Saya mencintai Anda sejak pertama kali memanggil Anda tiga tahun yang lalu.”
“Mengapa tidak kamu katakan hal ini sejak dulu?”
“Tidak, tidak akan saya lakukan. Saya yakin, Anda tidak akan memiliki perasaan yang sama jika saya mengatakannya saat itu. Saya merelakan Anda melanjutkan perjalanan, karena cinta sejati akan pulang ke rumahnya. Dengan begitu, saya memiliki waktu untuk memperbaiki diri. Saya yakin, semakin baik diri saya, semakin baik pula laki-laki yang akan dititipkan kepada saya hingga saya pantas untuknya dan ia pun pantas untuk saya.”
Sang laki-laki semakin mengagumi bijaknya gadis itu. Ucapannya mengingatkan kepada laki-laki tua misterius yang memberinya nasehat di kebun anggur, di bawah dahan-dahan zaitun.
“Aku laki-laki ke berapa yang datang melamarmu?” Tanya Ahmad sambil tersenyum bercanda.
“Ke-39.” Bisik Maryam malu-malu. “Tapi Anda tetap yang pertama di hati saya.” Tambahnya dengan senyuman indah.
Ke esokan harinya, digelarlah sebuah pesta pernikahan yang begitu indah. Seluruh penduduk diundang termasuk pasangan yang menikah setahun yang lalu. Pernikahan yang sempurna indah dan memberikan satu pelajaran berarti, bahwa cinta yang sejati akan datang pada mereka yang saling memantaskan diri. Di waktu yang tepat.


Ditulis sekitar 2 tahun lalu

1 comment:

  1. Masya Allah, indah sekali tulisanmu Sof... Dan ini ditulis saat kamu umur 18 tahun? Kamu berbakat banget Sof... Kirim cerpen ke Femina donk atau majalah lainnya ^^

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...