Monday 14 September 2015

Cerpen: Suatu Ketika di Indonesia

Sumber: Boon Restaurant and Cafe instagram

"Igor, selama menjalankan misi, negara mana yang paling kau suka?"

Aku selalu senang mendapati pertanyaan ini. Pertanyaan yang membuat diriku seolah menemukan oase di tengah gurun. Pertanyaan yang sering dilontarkan pada seorang agen internasional yang sudah melalang buana sepertiku. Jujur saja, aku selalu memancing tetua tertinggi, kolega maupun anak buahku untuk meluncurkan pertanyaan ini. Jawabannya, tentu bukan Prancis dengan keromantisannya, bukan Inggris dengan pesona para bangsawannya, bukan USA dengan gedung-gedung pencakar langitnya, dan tentu saja bukan , melainkan....

"Indonesia!" Aku pasti menjawab jelas dan bangga! Of course, negara itu. Negara yang dulu selalu membuatku tertawa terbahak-bahak karena tingkah dan jiwa orang Indonesia, yang katanya berpenduduk muslim terbesar di dunia itu. Negara yang membuatku merasa menjadi the king of the winner, lalu bisa seenaknya mencibir mereka. Misiku sebagai agen perusak akhlak muslim, berjalan tanpa usaha keras di sana.

Seperti waktu itu. Ini bukan misi, tapi aku memang benar-benar sedang mencari kesenangan. Kisah itu bermula dari sebuah pub terkenal—tapi legal. Seperti kebiasaanku di Moskow, aku pun akan memesan vodka martini tiga botol sekaligus, menenggak gelas demi gelas sambil mataku berkeliaran mencari wanita yang tepat. 

Itu dia! A pretty woman with brown skin yang dengan dress malam berwarna merah. Kulihat, ia tengah khusyuk masyuk menikmati sebotol alkohol di seberang tempatku duduk. Kepala wanita itu mengangguk-angguk mengikuti hentakan musik yang berdentum-dentum. Aku mendekatinya, membisikkan sesuatu. Sejenak ia tampak mengamatiku, lalu mengangguk sambil tersenyum menggoda. Semudah itu? Ya! Banyak wanita di sini yang tergila-gila pada laki-laki sepertiku, yang berkulit putih, postur ideal, dan bermata biru . Aku kemudian mengajaknya ke sebuah hotel berbintang. Skenario berjalan lancar hingga esok hari. Saat matahari telah tinggi.
Kulihat wanita itu masih nyenyak di balik selimut tebal. Antara sadar dan tidak, aku berdiri terhuyung-huyung, menuju meja dan menelepon restoran hotel. Aku meminta pelayan mengantarkan cokelat panas dan roti panggang dengan stik daging asap. 
"Hi, girl. Wake up!" Aku menarik selimutnya. Melihat aku sudah duduk di bar kecil kamar itu, ia segera beranjak. Wajahnya tampak pucat. Ada lingkaran hitam di sekitar matanya. Wajar saja, sebelum zina, aku mengajaknya menghabiskan berbotol-botol vodka bloody mary, padahal ia sudah mabuk berat sejak di pub.
"C'mon, Take a breakfast." Aku meletakkan piring di hadapannya sambil mengerjipkan sebelah mata. Kuberikan senyuman terindah sebagai penghargaan ia sudah merelakan malamnya untukku. Ia tidak langsung mencomot makanan itu. Wajahnya tiba-tiba berubah cemas memandangi makanan yang ada di hadapannya.
"Sorry, i must go home..." Ia menyodorkan piring berisi stik itu padaku, lalu mencoba berdiri dengan susah payah sambil memegangi kepala.
"Why?"
"I don't eat pork. Sebagai Muslim, aku tidak boleh makan daging babi. It’s haram." Jawabnya seolah dia wanita paling suci yang taat sejagat raya.
Hah, apa aku tidak salah dengar?

Aku justru tertawa lebar setelah wanita itu meninggalkan kamar. Baru kusadari, ternyata... She is a moslem. Kupikir tak ada muslim Indonesia yang senang hang-over sepertiku. Dia kira ajaran agamanya sesederhana itu? Ia pikir hanya dengan tidak memakan makanan haram, dia sudah menjalankan agamanya? So, how about alcohol, revealing dress, and adultery? 

Di hari yang lain, aku berkenalan dengan seorang laki-laki. Dia adalah sopir sekaligus guide-ku selama di Jawa Barat. Ketika perjalanan dari Bandung menuju Bogor, dari dalam mobil, aku mendengar azan asar berkumandang dari sebuah masjid.
"Are you a moslem?" tanyaku sekadar ingin tahu.
Ia mengangguk mantap. Selanjutnya tanpa diminta, ia dengan bangga bercerita bahwa dirinya muslim sejak lahir. Bahkan kakeknya seorang imam besar di Jawa Timur, mereka menyebutnya Kiayi.
"So, tidak salat Asar?" Aku berpura-pura bertanya, menanti jawaban sambil mengamati wajahnya dari kaca spion.
"Perjalanan masih empat jam lagi, Sir. Dalam Islam, saya dikategorikan sebagai musafir. Salatnya nanti saja digabung.” Jawabnya dengan wajah paling benar dan menganggap orang asing sepertiku paling tolol soal agamanya.
Musafir? Memangnya perjalanannya sekarang ini dengan pesawat, karena harus terjun payung terlebih dahulu untuk menemukan masjid. Setahuku, di pesawat pun tetap bisa salat sambil duduk. Sedangkan sekarang, jelas-jelas Masjid begitu banyak, apa salahnya ia memintaku singgah sebentar. Empat jam lagi sudah masuk waktu isya. Barangkali ia mau menggabung salat Asar, Magrib dan Isya sekaligus. Aku hanya geleng-geleng kepala, walaupun seharusnya aku senang. Memang pekerjaanku di negara ini tak perlu kerja keras. Karena mereka—sebagian besar—udah hang dari jalan Tuhan dengan sendirinya. 

Tiga hari selanjutnya, aku berbincang dengan seorang remaja yang sedang antre membeli tiket pertandingan sepak bola. Salah satu klub ternama mau mengorbankan sedikit kesempatan untuk bermain dengan timnas Indonesia. Tentu saja, aku ikut membantu terlaksananya big match ini. Aku dan agenku yang mengusahakan hiburan di malam Ramadhan untuk Indonesia. Tentu, banyak advantage yang kami dapatkan. Masjid akan kehilangan peminat dan mereka akan semakin mencintai klub sepak bola melebihi segalanya. Hanya sepak bola yang mampu membahagiakannya, no else. 
"Hey, boy! Kamu tampak senang sekali" sapaku sambil menepuk pundak remaja itu.
"Oh tentu. This is my favorite club" jawabnya tanpa memandangku. Ia terlalu sibuk memandang ke meja tiket.
"Siapa pemain favoritmu?"
"My prince Ronaldo" Ia kemudian bercerita penuh semangat tentang pemain favoritnya itu,  seolah Ronaldo adalah pamannya.
"Oh great, boy. Kau muslim?" tanyaku tiba-tiba. Remaja itu tidak tampak kaget dengan pertanyaanku. Ia justru tampak bangga dengan menjawab,
"Tentu, Indonesia memiliki muslim terbesar di dunia".
"Okay, i know. Do you know anything about Muhammad?"
"Ya, dia seorang nabi dan Rasul" jawabnya dengan wajah tak berselera.
" I'm interested to know  Muhammad's story. Kau bisa menceritakan kisahnya?"
Kudengar ia melenguh sebal sebelum memulai kalimatnya.
"Ayahnya Abdulloh, Ibunya Maimunah. Dia seorang nabi dan rasul yang lahir di kota Mekkah. Ah, hanya itu yang kuingat. Kisahnya ada di buku pelajaran SD. Lagipula, aku tak berminat. Kalau kau ingin tahu kisahnya, kau beli saja bukunya. Kau tidak lihat, aku sedang antre tiket pertandingan. Aku tak mau gagal melihat idolaku berlaga hanya karena menjawab pertanyaanmu itu."
Aku menjawab "Oke, i hope you enjoying this match, boy." lalu melangkah mundur.
Aku tersenyum tipis. Bahkan nama ibu Muhammad yang ia sebutkan saja salah, bagaimana mungkin ia bisa mengidolakan Sang Rasul?

Aku tersenyum miris mengingat pengalamanku selama di Indonesia. Itu hanya tiga, perlu 1000 halaman untuk menceritakan yang lain. Indonesia memang negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, tapi kenyataanya sebagian besar adalah muslim pesakitan. Aku memandang cakrawala dari bibir pantai Costa De Sol dengan haru. Matahari cukup cerah hari ini, dan sekarang langit telah berubah warna. Sunset

"Kita siap-siap sholat maghrib, yuk.." Seorang wanita—berhijab, berbisik padaku. Namanya Arin, wanita Jawa yang kunikahi dua tahun lalu, di Indonesia. Aku tersenyum padanya, lalu mengangguk. Kugenggam tangan istriku meninggalkan pantai, mencari tempat yang tepat untuk melaksanakan sholat magrib. Pekerjaanku sebagai agen perusak akhlak muslim justru mengantarkanku pada hidayah Allah swt.

Ditulis sekitar 2 tahun lalu

1 comment:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...