Friday 29 January 2016

Kenapa Hagia Sophia Begitu Istimewa Bagiku?


Hari ini aku sibuk di kantor. Selama 8 jam bekerja, aku hanya mampu menghasilkan 2 buah desain pakaian dan 1 hijab. Tapi bukan kuantitas yang dikejar. Aku percaya, karya yang dikerjakan dengan hati, insya Allah juga akan sampai di hati para penikmatnya.

Seperti desain hijab yang berhasil diselesaikan, aku menambahkan print Hagia Sophia di salah satu sisinya. Tidak begitu ketara memang, karena harus bersatu dengan motif lainnya. Tapi nanti, meskipun hanya melihat hijab itu sekilas saja, kamu pasti bisa langsung menebak bahwa ada gambar Hagia Sophia di sana. Dan secara spontan kamu juga akan tahu bahwa hijab itu berasal dari Turki (seandainya yang kamu lihat adalah produk asli).

Hmm, setelah penjabaran di atas, tidakkah kamu ingin bertanya, kenapa aku menambahkan Hagia Sophia? Kenapa bukan tulip, gelas teh, baklava, atau menara-menara Blue Mosque?

Alasannya karena bagiku Hagia Sophia adalah yang teristimewa. Ia adalah simbol dari 3 kota, 3 peradaban, dan 3 kejayaan. Mulai dari Byzantium, Konstatinopel, dan Istanbul. Memasuki Hagia Sophia berarti mengijinkan pikiran kita untuk terbang melintasi waktu, kembali menyaksikan sejarah dan peristiwa-peristiwa silam.

Di Hagia Sophia, aku sering berdiam diri hingga bermenit-menit. Melihat keindahan arsitektur dan ukiran-ukiran di dalamnya, aku jadi membayangkan seperti apa sulitnya orang-orang terdahulu menyelesaikan pembangunannya?
Ah, Hagia Sophia, ia selalu membuatku takjub lagi dan lagi.

Pantas saja jika Richard Tillinghast menyebut Hagia Sophia dalam bukunya, “Once inside, I take off my hat. I am standing in a building that is a millennium and a half old. I want nothing to obstruct my vision, as I look up into the dome, which the ancients saw as being suspended from heaven on a golden train”

Yang membuat Hagia Sophia semakin istimewa, karena aku punya sebuah pengalaman berkesan saat kunjungan yang ke sekian.

Hari itu bulan Desember 2014, tepat di musim dingin. Tanpa ditemani siapa pun, aku melangkahkan kaki menuju Hagia Sophia. Udara begitu menggigit, bahkan coat tebal yang kupakai seperti tak mampu menahan dinginnya.

“Oh, ozur dilerim.” Seorang lelaki paruh baya menabrakku dari belakang, seketika ia memohon maaf, dan langsung mengeloyor masuk ke dalam.

Aku hanya mendengus. Sepertinya lelaki itu sedang mabuk. Lihat saja dari jalannya yang sempoyongan dan tak tentu arah. Tapi kenapa di tengah kondisinya yang seperti itu, ia masih saja ngotot berkunjung ke tempat ini?

Entahlah. Tiba-tiba saja aku tertarik untuk mengikuti langkahnya. Ia terus berjalan melewati pilar-pilar tinggi, menyibak kerumunan turis, berkeliling, lalu keluar, dan berakhir duduk di salah satu sudut halaman. Selama di dalam, lelaki ini benar-benar hanya mengelilingi ruangan dengan langkah kaki yang goyah.

“Kau terganggu jika aku duduk di sini?” tanyaku menunjuk lantai beton di sampingnya.

Ia menengadah. Matanya yang layu itu mengamati sejenak, kemudian memberi isyarat dengan dagu, “Ini tempat publik. Semua orang boleh duduk di mana pun dia mau. Kau suka berbasa-basi ternyata.” Ia berkata cukup panjang. Sedikit membuatku malu.

“Aku akan melakukan apapun untuk menjawab rasa penasaranku. Termasuk berbasa-basi.” Kataku sambil duduk di sampingnya.

Lelaki itu menerawang. Rambutnya yang dipotong cepak itu sudah memutih sebagian. Tapi kharisma di wajahnya tidak pudar sedikit pun.
“Ada apa dengan Hagia Sophia? Apa kesalahan bangunan ini sehingga membuatmu begitu menderita?” Aku bertanya.
Ia menarik napas berat. Jaket tebal berwarna abu-abu ia rapatkan. “Sepuluh tahun lalu, putriku hilang di sini. Ia masih berumur 5 tahun.” Ucapnya dengan suara bergetar.

Kulihat wajahnya. Ada embun yang mengambang dalam matanya yang tajam. Aku cukup kaget. Tidak menyangka ia mengalami peristiwa sepahit itu.

Belum sempat aku membuka suara, lelaki itu melanjutkan cerita, “Namanya Aysila. Ia punya rambut cokelat, mata biru, dan pipi seperti roti yang tengah mengembang. Dia putriku satu-satunya. Kami tinggal di Trabzon, dan Istanbul menjadi kota impian semua anak di sana, termasuk Aysila.

“Ia terus mengajakku berkunjung ke sini. Sejak ia lahir, memang baru sekali aku membawanya melihat Hagia Sophia. Itupun saat ia masih berumur 3 tahun. Itulah mengapa ia sangat ingin melihat bangunan ini. Tapi aku tak punya waktu. Pekerjaan telah menyita segalanya.

“Hingga akhirnya, pada tanggal 29 Desember 2005, aku baru punya waktu mengajak Aysila ke Istanbul. Itu pun karena aku mengikuti sebuah konferensi di salah satu hotel di sini. Istriku tidak ikut saat itu. Di saat yang sama dia harus melakukan perjalanan bisnis ke Jerman. Hanya aku dan Aysila.

“Sebelum berkunjung ke sini, ia minta dibelikan dondurma (es krim) di Emononu. Dia menghabiskan dua buah es krim dengan sangat lahap. Ketika kami tiba di halaman ini, dia memintaku untuk memotretnya.” Laki-laki itu menghapus sesuatu di mata, kemudian ia menunjukkan layar ponsel padaku.

Seorang gadis kecil bertopi wol dan jaket berwarna pink tengah tersenyum lebar. Giginya yang seperti gigi kelinci itu tampak berderet indah, serta rambut cokelat berombak membingkai wajah mungilnya. Oh, gadis kecil yang jelita. Ia seumpama malaikat yang dikirim Allah ke bumi.

“Kau lihat senyumnya? Sekarang kau percaya padaku kan, bahwa Aysila benar-benar cantik dan menggemaskan.”

Aku mengangguk. Tidak ada yang menyanggah tentang hal itu.

“Selanjutnya kami masuk ke dalam. Aysila terlihat semakin riang. Ia tidak peduli betapa penuh sesaknya Hagia Sophia. Sambil jari-jari mungilnya menunjuk ke sana ke mari, ia terus berceloteh, menceritakan hal-hal yang ia ketahui dari sekolah tentang bangunan ini. Hingga, sebuah panggilan telepon menghentikan langkahku,”

Laki-laki itu menarik napas berat. Lalu kembali bercerita,

“Aku mengambil ponsel yang bergetar dalam saku celana. Ternyata telepon dari salah satu rekan bisnis. Dia memberi tahu mengenai sebuah masalah yang mengancam usaha kami.

“Panik. Kaget. Khawatir. Itulah yang kurasakan. Karena di sana begitu bising, aku berjalan mencari tempat yang lebih lapang agar bisa mendengar suara di telepon dengan jelas. Aku melupakan Aysila.

“Selama 10 menit pembicaraan di telepon, Aysila tidak sedikit pun melintas dalam pikiranku. Hingga ketika telepon itu berakhir, aku merasakan seperti ada yang hilang. Ya, Aysila yang hilang. Dia tidak lagi ada di sampingku, tidak juga di 5 meter, 10 meter, atau 20 meter dariku. Hagia Sophia yang penuh sesak tiba-tiba berubah hening. Aku terus berlari ke sana ke mari, dan Aysila tidak terlihat sedikit pun. Sore itu aku menghubungi polisi. Mereka membantuku dengan cepat. Namun hingga Hagia Sophia ditutup, tidak ada seorang anak pun yang tertinggal di sana. Polisi bilang, kemungkinan besar Aysila diculik.

“Kau tahu betapa menyesalnya aku saat itu? Rasanya langit di atas ini luruh menimpaku. Rasanya aku ingin Tuhan mencabut nyawaku saat itu juga.”

Aku menoleh padanya. Ada air mata yang mengambang di matanya yang biru. “Lalu istrimu?”

“Kami bercerai beberapa waktu kemudian. Wanita itu sempat dirawat di Rumah Sakit Jiwa selama beberapa bulan akibat frustasi. Setelah ia sembuh, ia minta cerai dan aku tidak bisa menahannya.” Kini suara lelaki itu terdengar sangat lemah.

Aku meletakkan tanganku yang terbungkus kaos di atas tangannya, “Aku tidak tahu siapa namamu. Aku juga tidak mengenalmu sebelumnya. Tapi percayalah, setelah mendengar ceritamu, kini aku juga bisa merasakan apa yang kau rasakan. Mungkin aku belum pernah mengalami kehilangan yang sama persis denganmu, tapi setidaknya aku mengalami dalam bentuk lain.”

“Kau tahu? Aku begitu menyayangi Ayahku melebihi apapun. Ayah yang selama ini kukenal adalah lelaki hebat. Dia super heroku, guru sepedaku, juga idolaku. Hingga kemudian, aku mengetahui bahwa ayah berselingkuh dan menghamili wanita lain. Sejak itu aku memutuskan hubungan dengannya. Aku tidak lagi punya Ayah.”

“Percayalah, aku seorang anak dan akan kuberi tahu kau satu hal, aku lebih bangga memiliki seorang Ayah yang mungkin pernah lalai namun kemudian menyesal sepertimu, dibandingkan Ayah seperti Ayah kandungku. Dia tidak pernah menyesal, tidak pernah mencoba meneleponku, tidak pernah mencariku. Percayalah, di mana pun Aysila saat ini, dia sangat bangga padamu. Aysila pasti merindukanmu.”

Lelaki itu meletakkan satu tangannya yang lain di atas tanganku. “Dari mana kau tahu Ayahmu tidak pernah menyesal?” ia bertanya.

“Aku pernah berkata padanya, ‘Jika kau ingin kembali kupanggil Ayah, ceraikan wanita selingkuhanmu itu. Tinggalkan dia dan kembali pada Ibu,’ tapi dia tidak pernah melalukannya. Dia pilih hidup bersama wanita itu.”

“Kau tahu?” lelaki itu berkata, memandang ke dalam mataku, “Jika aku menjadi Ayahmu, aku juga akan melakukan seperti yang dia lakukan. Dengan meninggalkan wanita itu dan bayinya, berarti aku telah mengulangi kesalahan yang pernah kulakukan padamu dan Ibumu. Lelaki yang baik adalah yang belajar dari pengalaman. Percaya padaku, Ayahmu sangat menyesal. Penyesalan itu jauh lebih besar dari yang kau bayangkan. Tapi lelaki, mereka lebih banyak tercipta dengan kekuatan dibandingkan air mata. Namun bukan berarti lelaki tidak bisa menangis karena penyesalan. Mereka juga menangis. Saat sendirian, atau sebatas tangisan di dalam hati.”

Saat itu juga aku menangis. Wajah Ayah melintas dan tersenyum padaku.

***
The Golden Diamonds

Hingga sekarang aku masih menjalin komunikasi dengan lelaki paruh baya itu. Namanya Mirza. Seringkali saat ia berkunjung ke Istanbul, kami menyempatkan waktu untuk makan bersama atau jalan-jalan mengelilingi kota ini. Meskipun aku sudah memperkenalkan diri dengan nama Elsa, dia tetap kukuh memanggilku Aysila. Dia sudah seperti Ayah bagiku. Tidak pernah disangka sebelumnya aku akan mendapatkan saudara di negara sejauh ini.

Ya, itulah tadi sepotong cerita tentangku dan Hagia Sophia. Itulah mengapa aku menempatkannya sebagai bangunan paling istimewa di antara bangunan lain di Turki ini.

Agar kamu lebih akrab dengan Hagia Sophia, berikut beberapa fakta tentangnya yang harus kamu ketahui:
  • Orang Turki memanggilnya dengan sebutan Aya Sofia
  • Hagia Sophia memiliki arti ‘The Church of Holy Wisdom’
  • Kaligrafi di dalamnya terbuat dari kayu yang ditambahkan pada abad ke-19
  • Hagia Sophia berfungsi sebagai gereja selama 916 tahun
  • Hagia Sophia berganti menjadi Masjid sejak tahun 1453 dan terus digunakan sebagai tempat ibadah ummat Islam selama 482 tahun
  • Pada tahun 1935, Hagia Sophia resmi berfungsi sebagai museum Republik Turki.
  • Hagia Sophia masuk ke dalam lis UNESCO World Heritage
  • Di musim dingin, Hagia Sophia buka setiap hari dari pukul 09.00 hingga 17.00. Sedangkan pada musim panas, jam tutupnya sampai pukul 19.00. Dan pada hari-hari tertentu, ia baru buka pada pukul 13.00.
  • Tempat penjualan tiket ditutup satu jam lebih cepat dari jadwal. Misal jika kamu ingin masuk pukul 11.00, kamu harus datang paling lambat pukul 10.00.
  • Harga tiket untuk orang dewasa sekitar 30 lira, sedangkan anak di bawah 12 tahun tidak dikenakan biaya.
  • Pada waktu-waktu tertentu, antrian masuk bisa sangat lama, bahkan sampai 40 menit atau 1 jam. Pastikan kamu memiliki Istanbul Tourist Pass, sehingga bisa masuk dengan mudah tanpa antri.

Sudah siap untuk berkunjung ke Hagia Sophia?

Kunjungi web resmi Hagia Sophia (http://ayasofyamuzesi.gov.tr/)



2 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...