Sore ini langit tampak putih, tak ubahnya
warna salju yang sejak tadi turun perlahan. Menyepuh deretan pohon-pohon
meranggas dengan ranting-rantingnya yang diam, jalan-jalan yang sepi,
kubah-kubah, serta pucuk-pucuk menara khas Ottoman yang mengerucut puncaknya.
Beberapa orang yang bersisian denganku merapatkan jaket, seolah tak akan
membiarkan angin musim dingin menyentuh kulit mereka sedikit pun.
Ini negeri orang, tetapi kenapa seperti
kutemukan separuh waktuku yang lain?
Ini tanah orang, tetapi kenapa seperti
kusentuh kembali remah-remah cintaku yang hilang?
Di sini, di depan sebuah Masjid di kota
kecil Fatsa aku berdiri, seperti kembali, seperti menemukan napas yang sempat
pergi.
Tak ada Hagia Sophia dengan Masjid Biru di
sampingnya. Tak ada sebuah jembatan yang menyambung dua benua membentang di
kota kecil ini. Tak juga ada bayang-bayang pasukan Muhammad Al-Fatih di mataku.
Aku datang kemari bukan demi semua itu, bukan demi meninggalkan jejak demi
jejak di tempat-tempat impian itu. Kedatanganku ke kota kecil ini hanya demi
sebuah ‘bukti’.
Aku ingin membuktikan bahwa masjid yang
gambarnya selalu kupandangi setiap hari benar adanya, bukan hayalan. Aku ingin
membuktikan bahwa kota kecil ini nyata wujudnya, bukan maya. Itu saja. Dan jika
diizinkan, bolehkah aku buktikan juga satu hal? Bahwa dia, yang wajahnya begitu
kukenali juga benar seorang manusia. Manusia yang hidup layaknya manusia lain,
yang memiliki hati dan bisa merasakan.
“Kenapa Fatsa? Semua orang yang datang ke
Ottoman, selalu ingin melihat Istanbul, Bursa, Cappadocia, dan Konya, bukan
kota kecil di tepi laut itu. Apa yang ingin kau lihat?”
Seorang gadis berambut pirang yang duduk
di sampingku melemparkan pertanyaannya, tadi ketika kami masih berada dalam
satu bus.
“Aku hanya ingin memastikan bahwa kota
kecil itu benar-benar ada.” jawabku dengan sedikit senyuman pias, kemudian
mengalihkan pandangan keluar jendela. Lanskap di luar sana beku.
“Begitu saja?” tanyanya kembali,
mengerutkan dahi hingga kedua alisnya bertemu.
Kuanggukkan kepalaku. Apa lagi selain itu?
aku tidak pernah berjanji dengan siapapun, tidak juga untuk mengunjungi
seorangpun. Fatsa hanya sebuah kota kecil yang lanskapnya tersimpan begitu rapi
dalam salah satu bilik di hatiku, tanpa pernah aku melihat wujudnya. Kota kecil
itu juga menyimpan seorang anak manusia yang diam-diam kukagumi, sangat
diam-diam. Dan sekarang, aku hanya ingin melihatnya. Tak berniat untuk mengubah
apapun.
“Pasti ada sesuatu yang membuatmu begitu
merindukan kota itu. Ceritakanlah padaku.”
Gadis itu menyikut lenganku, mengerjipkan
matanya. Sementara bus terus melaju, menginjak butir-butir salju yang membentuk
hamparan menyelimuti jalan. Kutarik napasku dalam, mengingat sesuatu.
“Kamu akan mencintai segala sesuatu yang
memiliki hubungan dengan sesuatu yang kamu cintai.”
“Aku tidak paham. Coba sederhanakan.”
“Kau punya seorang pacar?”
Pertanyaanku barusan terkesan tidak
nyambung, wajar saja jika ia menampakkan keterkejutannya. Namun sesaat kemudian
ia mengangguk dengan malu-malu.
“Apa lagu kesukaannya?”
“You Raise Me Up, Josh Groban!” Ia
menjawab cepat, penuh semangat. Ketara sekali dari sorot matanya yang terang.
“Kau juga menyukai lagu itu?”
“Semua yang ia suka, aku juga
menyukainya.”
“Begitulah. Cinta selalu memanggil cinta
yang lain."
Sebuah senyuman merekah dari bibirnya. Ya, cinta selalu memanggil cinta yang
lain...
Bogor, 04 April 2014