“Aku mau
meninggalkan Jakarta sejenak buat ngelupain Abimanyu, juga buat ngilangin
stres.” Ucapku pada Ulfa, teman yang menelepon malam hari begini hanya untuk
bertanya keberadaanku.
Saat itu aku
sudah duduk di pesawat yang akan membawaku ke Macau dari bandara Kuala Lumpur.
Tak ada seorang pun yang tahu kalau pagi tadi aku bertolak dari Jakarta menuju
negeri Jihan, termasuk temanku yang sedang berbicara di ujung telepon ini.
“Kamu senangkah bisa kuliah di pulau Jawa?” tanyaku pada
Gerson, salah satu dari 35 adik tingkat yang baru datang dari Indonesia Timur.
Yang ditanya tersenyum, lebih kepada cengengesan sejenak.
Logat yang kupakai mengikuti logat mereka mungkin terkesan lucu, atau mungkin
membuat geli.
“Senang Kakak. Kita seperti pergi ke lain negara.”
Ya, aku membenarkan jawaban Gerson barusan. Kuperhatikan
dalam beberapa waktu terakhir, hal-hal sepele di sini ternyata bagi mereka
adalah sesuatu yang begitu spesial. Sesuatu yang wah. Contohnya ketika mereka
pulang kuliah cepat, selalu saja berucap girang, “Horeee pulang cepat. Bisa
main ke pasar kita.”
Status-status facebook mereka pun tidak kalah lucunya.
Bagi kita, biasanya memasang status check in bila sedang berada di
tempat-tempat mewah atau diimpikan banyak orang, misal bandara, restoran mahal,
atau Eiffel. Namun tidak dengan mereka, kebanyakan status mereka berbunyi,
“Senang—di pasar”.
Salah satu temanku pernah menelepon salah satu dari adik
tingkat kami, lalu menanyakan lokasi.
“Kami sedang di pasar Kakak.” jawab sang adik tingkat.
“Kalian ngapain rajin ke pasar?” temanku bertanya heran.
Sepengetahuannya, baru sehari lalu adik-adik baru kami itu pergi ke pasar.
“Kita mau fotokopi Kakak.” Jawabnya polos.
Seketika temanku menepuk jidat. Berpuluh-puluh tempat
fotokopi di area kampus, tapi tetap saja mereka memilih pergi ke pasar. Dan
sejak itulah aku menyadari satu hal, mungkin apa yang menurut kami tak lagi
manarik, bagi mereka adalah sesuatu yang sangat istimewa.
Kembali pada percakapanku dengan Gerson. Ia tiba-tiba
bertanya padaku, “Kakak punya cita-citakah?”
Pertanyaan yang lucu. “Tentu saja. Salah satunya, Kakak
ingin ke Timur. Jika kamu bilang saat ini seperti berada di negara lain, maka
Kakak akan bilang bahwa Kakak ingin berkunjung ke negaramu.”
“Benarkah Kakak? Tapi mereka bilang Timur hanya diisi
oleh pohon sagu dan penduduknya makan papeda yang katanya mirip lem kantor
pos.”
“Tapi kalian juga punya surga bukan?”
“Raja Ampat kah?”
Aku mengangguk senang. “Gerson pernah ke sana?”
“Pernah beberapa kali. Dan memang Kakak harus ke sana
suatu hari nanti.” ucapnya sungguh-sungguh.
Aku bisa merasakan bahwa kalimat itu berasal dari
hatinya. Jarang sekali ada orang Indonesia yang bangga dan berucap begitu yakin
mengenai ikon di daerah asalnya. Dan kalimat Gerson itu membuatku semakin
yakin, bahwa salah satu agenda wajib dalam hidupku adalah berkunjung ke Timur,
ke Raja Ampat.
Jika ingin melihat Surga, pergilah ke Raja Ampat
Source: click here
"Seandainya Kakak ke sana, apa yang tidak bisa didapatkan dari tempat lain?" tanyaku “Gugusan pulau-pulau, laut yang biru, karang, pasir
putih, dan warna-warni makhluk laut. Jangan pernah bilang Kakak sudah melihat
semua itu dengan sempurna, kecuali Kakak melihatnya di Raja Ampat.” Gerson menjawab dengan mata seperti membayangkan sesuatu.
Ya, nama Raja Ampat memang sudah familiar di telingaku
satu tahun terakhir. Tepatnya setelah membaca tulisan Windy Ariestanti saat
mengajar menulis penduduk Misool. Dalam tulisannya Windy bercerita tentang ia
yang sampai bersujud di pasir akibat tawa yang berlebihan. Saat ia
memerintahkan peserta pelatihan untuk menuliskan ‘cabai’, justru diganti dengan
‘rica’. Sesaat Windy menolak, memberi penjelasan bahwa rica harus diganti cabai
ketika menuliskannya dalam bahasa Indonesia. Seorang peserta bernama Balif maju
dan berkata, “Cabai dan rica itu sama pedasnya. Kenapa harus diributkan?”. Aku
ikut tertawa saat membaca tulisan Windy tersebut dan sejak itu pula aku giat
mencari informasi seputar gugusan pulau yang sering disebut-sebut sebagai The Last Paradise tersebut. Bahkan beberapa video di youtube pun menjadi sasaran
untuk menuntaskan rasa penasaranku.
Usai menuntaskan sekian video, hanya ada satu kata yang
bisa kuucapkan. Wonderful. Wajar saja beberapa traveler mengaku sempat
meneteskan air mata begitu tiba di sana, tidak menyangka bahwa tempat seindah
itu ada di negara kita, Indonesia.
“Segala macam mimpi indah Kakak tentang laut dan isinya
akan terwujud saat tiba di sana.” Ah Gerson kembali membuat keinginanku
meluap-luap.
Aku tahu hal itu, Kepulauan Raja Ampat yang terdiri atas
empat pulau terbesarnya yaitu Pulau Waigeo, Pulau Misool, Pulau Salawati, dan Pulau Batanta memang menjadi impian semua pecinta laut, dan
kurasa tak ada manusia yang tidak mencintai laut. Meskipun tidak bisa menyelam,
setidaknya senang kala memandangi biru alami yang tercipta dari laut.
Source: click here
Bukan hanya tentang birunya yang memikat, Raja Ampat juga
tercatat memiliki lebih dari 540 jenis karang keras (75% dari total jenis di
dunia), lebih dari 1.000 jenis ikan karang, dan 700 jenis moluska. Tidak salah jika penelitian Dr. Gerald
Allen asal Australia menetapkan Raja Ampat sebagai greatest
biodiversity ever registered. Tidak hanya itu, Raja Ampat juga kaya akan
hamparan padang lamun, hutan mangrove, dan pantai tebing berbatu yang
menakjubkan.
“Kakak, saya tidak berbohong ini. Berkali-kali sudah saya
ke sana, tapi kalau Kakak ajak saya ke sana lagi, sekarang pun saya mau. Kakak
pernah nonton film-film fantasikah? Macam Harry Potter, Avatar, dan lain-lain?”
“Pastilah. Itu semua film kesukaan Kakak. Kenapa? Gerson
belum pernah menontonkah?”
“Bukan Kakak. Tapi saya cuma ingin kasih tahu, perasaan
haru Kakak ketika melihat Hoghwarts di antara kabut atau ketika melihat Avatar
Hallelujah Mountain, seperti itulah harunya ketika sampai di antara gugusan
pulau di Raja Ampat. Bedanya, yang ini nyata dan benar-benar ada di depan mata
Kakak. Pasti menangislah itu.” ceritanya bangga. Ia mengernyit, seolah-olah
mengejekku.
“Ya, nanti Kakak pasti akan ke sana.” Dalam hati aku
melanjutkan dengan kata, “Insya Allah...”
“Saya ikut ya Kakak...” sambung Gerson cepat.
Kali ini giliran aku yang mengernyit untuk mengejeknya.
Nuansa Keramahan, Musik, dan Tarian
Selain keindahan alam yang merupakan salah satu maha
karya Tuhan, Raja Ampat juga semakin eksotis oleh aneka ragam budaya
masyarakatnya. Aku sempat bertanya pada Gerson tentang ramah tidaknya penduduk
di sana, yang ada jawaban adik tingkatku itu justru penuh candaan.
“Semua orang Papua memang ramah-ramah Kak, seperti aku
ini. Kalau Kakak ke sana pasti akan disambut seperti artis, lengkap dengan
upacara adat tujuh hari tujuh malam.”
Meskipun terkesan berlebihan, soal keramahan kurasa
Gerson tidak sedang berbohong. Rata-rata orang Papua memang sangat ramah.
Selain itu mereka juga lucu. Jangankan saat mereka bergurau, logat bicara saja
sudah membuat kita tidak bisa menahan tawa.
Lalu di Raja Ampat, keramahan khas masyarakat Papua pun
akan menjadi penyambutan yang menyegarkan bagi para wisatawan. Keramahan dan
kebahagiaan mereka akan semakin menjadi-jadi apabila wisatawan datang membawa
pinang atau permen. Buah tangan yang sangat sederhana bukan? Kemudian pinang
itu akan dimakan sambil mengobrol santai diselingi main lempar mob, yaitu
permainan saling melontarkan cerita atau istilah-istilah lucu.
Penduduk lokal Raja Ampat diwarnai oleh dua agama besar
yaitu Islam dan Kristen. Bahkan dalam satu kelurga terkadang memiliki keyakinan
yang berbeda. Meskipun begitu, keduanya berjalan harmonis penuh kerukunan.
Gerson kembali bercerita, memanas-manasiku lebih
tepatnya. “Saya jamin, sesampai di sana Kakak akan menari-nari saat mendengar
musik khas orang kami.”
Foto source: Barry Kusuma, click here.
Ya, aku pernah menonton tari-tarian orang Papua itu di youtube.
Dimana penari wanita mengenakan pakaian dengan perpaduan warna-warna terang
berkontras tinggi seperti merah, hijau terang, kuning tua dan biru terang.
Sedangkan penari laki-laki kebanyakan bertelanjang dada dan untuk menutupi
bagian pinggang ke bawah biasanya menggunakan pakaian dari bahan sabut, anyaman
daun kelapa, bulu dan kulit binatang,
tergantung dari jenis tarian yang dibawakan. Ada pula kaum pria yang
tampil menggunakan penutup aurat khas Papua yaitu koteka. Dan yang pasti baik
penari pria maupun wanita akan tampil lengkap dengan aksesoris dan rias wajah
khas dan eksotis yang hanya bisa kita jumpai dalam seni tradisional khas Papua.
Mereka dengan pakaian dan tata rias yang khas itu
biasanya akan lincah menarikan tarian upacara adat maupun penyambutan seperti
Tarian Wor, Main Moun, Tarian Batpo, Tarian Yako dan kesenian Suling Tambur.
Lalu diiringi oleh alat musik perkusi khas Papua yang bernama tifa, gong
(mambokon) dan tambur (bakulu). Alat musik bersenar seperti gitar dan tiup seperti
seruling dari kerang laut juga sering digunakan untuk mengiringi tarian. Waw,
sungguh seperti sedang menonton film.
Cara mereka menangkap ikan adalah pertanda tiadanya
kerakusan
Hidup di pulau-pulau yang tidak begitu besar dengan laut
yang mengepung, tentu menjadi latar belakang yang tepat mengapa penduduk Raja Ampat
hobi menangkap ikan. Makanan pokok mereka yang lengket dan terbuat dari pati
sagu kurasa turut menjadi salah satu latar belakangnya. Pernah satu kali aku
mencicipi papeda, dan itu sama sekali tidak ada rasanya. Ia akan terasa enak
hanya bila disajikan bersama aneka masakan berbahan baku ikan yang dimasak
berkuah. Jadi, tanpa ikan, menu makan mereka dirasa ada yang kurang.
Meskipun mereka hobi menangkap ikan, jangan disamakan
mereka dengan para nelayan yang menangkap ikan dengan segala macam cara demi tangkapan
yang sebesar-besarnya. Orang Raja Ampat mengerti cara untuk bersimbiosis
mutualisme dengan kekayaan alam mereka. Mereka memiliki budaya sasi yang sering
dipakai untuk menangkap jenis ikan yang mempunyai nilai jual tinggi, beberapa
jenis siput atau kerang, dan lobster.
“Apa Kakak? Budaya Sasi? Itu semacam tradisi yang mana
kami tidak diperbolehkan menangkap ikan-ikan tertentu, lobster, siput atau
kerang-kerangan dalam jangka waktu tertentu. Biasanya satu tahun. Tujuannya
agar para makhluk laut itu punya rentang waktu untuk berkembang biak. Jadi ikan
kami tidak akan sampai habis, apalagi punah.” Garson menjelaskan.
Selain budaya Sasi, cara lain mereka untuk menangkap ikan
disebut bacigi. Yaitu menangkap ikan tanpa menggunakan umpan. Cara ini bisa
digunakan di area perairan yang memiliki ikan padat. Cukup dengan menurunkan
kail, maka ikan-ikan itu sudah menempel di mata kail. Tidak bisa dibayangkan
jika aku yang menjumpai perairan dengan ikan padat seperti itu, pasti sudah
kujaring sekaligus, lalu menjualnya ke pasar.
Lihatlah perbedaan pemikiranku dengan mereka. Dan hal ini
membuatku bisa memberikan kesaksian mengenai masyarakat Raja Ampat, mereka
adalah masyarakat yang paling menghargai lingkungan hidup. Bagi mereka, ketika
alam memberikan banyak keuntungan bagi manusia, maka sudah menjadi kewajiban
manusia untuk berbuat baik kepada alam. Sementara kita yang setiap saat
dikelilingi teknologi dan segala macam ilmu pengetahuan tidak kunjung peka akan
hal itu. Penduduk Raja Ampat memberikan teladan bagi kita agar tidak menjadi
parasit bagi alam yang mengambil keuntungan sebesar-besarnya hingga
membuat sang alam perlahan penyakitan lalu binasa.
Jadi, seperti apa rute menuju Raja Ampat?
“Kakak bisa ambil penerbangan ke Sorong. Biasanya singgah
dulu di Makassar ganti pesawat. Dari Bandara Domine Eduard Osok di Sorong
lanjut ke pelabuhan, kemudian naik kapal rakyat menuju ibu kota Raja Ampat, Waisai,
Pulau Waigeo. Untuk keperluan menyelam atau berlayar ke pulau-pulau Raja
Ampat, Kakak bisa sewa perahu penduduk sana. Gampanglah itu asal ada duit aja
Kak.”
Percakapanku dengan Gerson berakhir setelah beberapa
kalimat lagi. Sepanjang perjalanan kembali ke kost, hatiku dipenuhi perasaan
yang berbeda. Jika biasanya tempat-tempat di luar negeri terus berkelebat dalam
kepalaku, kali ini untuk pertama kalinya aku memiliki impian besar untuk
mengunjungi sebuah tempat di negeriku sendiri.
Seorang filsuf, St. Augustine, pernah berkata, “The world
is a book and he who doesn’t travel only reads one page.” Dan aku tidak mau
menjadi seorang pembaca yang hanya menamatkan satu halaman buku yang telah disediakan.
Menurutku perjalanan bukanlah tentang seberapa keren tempat yang kita kunjungi,
atau seberapa jauh daratan dan lautan yang kita sebrangi. Karena perjalanan
adalah seberapa besar kita menemukan kebahagiaan di luar kampung halaman.
Tulisan ini diikut sertakan dalam lomba Artikel Raja Ampat oleh Indonesia.travel
Mulailah proses
kesuksesan Anda dengan menanyakan apa yang Anda inginkan, dan menginginkan apa
yang Anda tanyakan.
Rasanya aku kembali sedih saat menemukan kalimat di atas di sebuah halaman web. Menanyakan apa yang Anda inginkan. Hampir semua orang yang mengenalku, orangtua dan sanak keluarga tau kalau aku ingin menjadi seorang penulis, novelis dengan karya-karya yang dikenal semua orang. Dan untuk meraih semua itu, tentu tidak bisa jika aku hanya bermalas-malasan, mengingat menulis adalah pekerjaan yang sifatnya bebas, no contract. Selain belajar menulis dengan kegiatan menulis itu sendiri, aku juga punya keinginan untuk mengikuti pelatihan kepenulisan yang diadakan penerbit besar.
Kesempatan itu datang. Awal tahun 2014, aku coba-coba ikut mendaftar event Kampus Fiksi, yaitu pelatihan penulisan yang diselenggarakan penerbit Diva Press. Hanya ada 20 orang peserta yang diterima pada setiap angkatannya. Aku? Setelah mengirimkan salah satu karyaku, menunggu proses seleksi, akhirnya namaku keluar sebagai salah satu peserta. Keberangkatan ke Yogya ditetapkan pada bulan September. Kala itu tidak pernah menyangka jika situasi di bulan September akan sesulit ini untukku membuat keputusan, jadi wajar saja kalau aku tersenyum senang dan menanti datangnya bulan ini.
Awal perkenalan dengan Diva Press tepatnya akhir 2012, karena menjadi follower mereka serta owner-nya di tweeter. Selalu kubaca setiap ocehan-ocehan mereka, apapun itu. Mulai dari tips menulis, info lomba karya fiksi, kuis berhadiah buku, hingga hal-hal yang terkadang hanya bersifat have fun. Untuk tweeter Pak Edi—sang Owner—aku pun tidak mau ketinggalan. Dari sana pula kemudian aku tahu perjuangan Pak Edi membangun Diva Press hingga sebesar kini. Menerbitkan buku sendiri, kemudian menjajakannya sendiri, naik turun bus, menurutku tidak sesulit yang berhasil kubayangkan. Karena aku yakin semua itu jauh lebih sulit dan tidak bisa dibayangkan. Apalagi di tahun 90-an buku tidak setenar sekarang.
Ini adalah film yang diangkat dari salah satu novel terbitan Diva Press
Lalu kini, semua perjuangan itu terbayar sudah. Mimpi dan cita-cita Pak Edi tertunaikan sudah. Diva Press menjadi sebuah penerbit ternama, karyanya tak terhitung, karyawan banyak, dan tentu saja finansial yang didapatkan juga berlimpah. Uang tidak lagi menjadi mimpi besar Pak Edi, sebaliknya ia ingin sesuatu yang bisa ia lakukan untuk ‘melahirkan’ Edi-Edi yang lain. Ia ingin menyalurkan ilmu dan kekuasaannya sebagai pemilik sebuah penerbitan ternama, bisa memunculkan penulis-penulis sukses baru. Akhirnya, lahirlah sebuah pelatihan dengan nama KAMPUS FIKSI.
Suasana Kampus Fiksi yang kunanti-nanti (source: click here)
Semua yang terpilih mengikuti event ini hanya perlu membayar biaya transportasi dari rumahnya sendiri menuju stasiun Yogya. Selebihnya terima bersih. Mereka akan dijemput, tempat tinggal disediakan, makan disajikan, ilmu dituangkan seboros-borosnya selama dua hari, ditambah bimbingan menulis tanpa batasan waktu. Maksudnya, sepulang dari pelatihan tersebut, peserta tetap dibimbing untuk melahirkan sebuah karya. Pun saat karya tersebut layak diterbitkan, Diva Press akan menjadi penerbit pertama yang siap untuk menerbitkannya. Kurang apa lagi?
Bertemu teman berbagai daerah dengan hobi yang sama? Adakah yang lebih membahagiakan dari hal ini? (source: click here)
Dan aku termasuk salah satu dari mereka yang beruntung itu. Namun sayangnya, kesempatan itu tidak kuambil.
Bodoh? Atau pengecut?
Dua pertanyaan yang tidak bisa kupilih. Karena terkadang aku merasa memiliki keduanya. Malam itu, 10 September 2014 sebelum pukul 00.00 kepalaku terus berpikir. Bahkan aku sampai duduk di tangga yang gelap seorang diri, sibuk bertanya pada diriku sendiri. Apabila lewat dari jam tersebut aku belum mengirimkan scan surat pernyataan kesediaan hadir, maka surat undangan Kampus Fiksi untukku dinyatakan hangus.
“Haruskah kukirim surat pernyataan kesediaan hadir di acara tanggal 27-28 nanti?”
Sebagai tambahan, kuberi tahu bahwa tanggal 27, 28 tersebut adalah hari Sabtu dan Minggu.
Email undangan
Setelah mengucapkan bismillah dan mati-matian berusaha menghibur diri sendiri, akhirnya kuputuskan untuk tidak mengirim apapun. Kenapa?
Ada dua alasan yang membuatku sulit untuk menggadaikan salah satunya. Yang pertama adalah karena aku malu minta ongkos Bogor-Yogya pada Bapak. Belum ada satu bulan aku kembali ke Kota Hujan, sudah sekian juta uang Bapak kuhabiskan untuk ongkos dan biaya hidup di sini. Apalagi living cost beasiswaku entah kapan akan cair. Lalu jika aku minta uang ongkos, ditambah biaya hidupku beberapa bulan ke depan, berapa juta lagi yang harus dikeluarkan Bapak? Sementara aku sendiri tahu, keuangan Bapak pasca lebaran ini tidak begitu baik.
“Ngopo koe ora kirim surate? Penulis itukan cita-citamu. Ini kesempatan bagus. Siapa tahu jadi jalan untukmu. Bapak bisa kalau hanya sekadar membiayaimu ke Yogya.” Ucap Bapakku di ujung telepon ketika aku meneleponnya di pagi hari tanggal 11.
Mataku sudah berkaca-kaca saat itu. Kukatakan padanya bahwa aku tidak mau Bapak sampai berhutang hanya untuk membiayaiku ke sana ditambah untuk biaya hidupku beberapa bulan ke depan. Namun Bapak meyakinkan bahwa dia bisa, semua orang punya rezekinya masing-masing, terlebih untuk seseorang yang memiliki niat untuk menimba ilmu.
Kuceritakan pula pada Bapak, alasan keduaku tidak mengirimkan surat kesediaan hadir tersebut karena perkuliahan. Sebelum Ujian Tengah Semester, kampusku hanya memperbolehkan mahasiswa tidak hadir (baik itu sakit, izin , maupun tanpa keterangan) sebanyak 2 kali per mata kuliah (mereka bilang maksimal 2 kali, tapi kalau sudah 2 kali tidak hadir, akibatnya cekal ujian. Jadi, sebenarnya hanya 1 kali kesempatan). Dan beberapa waktu lalu pihak Wardah Cosmetic sudah mengumumkan aku sebagai salah satu pemenang lomba menulis yang mereka adakan, dengan hadiah Travel in Style ke Malaysia dan Hongkong. Mereka sudah menghubungiku, namun belum memberi tahu waktu keberangkatan.
Seandainya aku berangkat ke Yogya pada Sabtu-Minggu tanggal 27-28, lalu kemudian keberangkatanku ke Malaysia dan Hongkong juga jatuh pada hari Sabtu dan Minggu (tanggal bukan masalah), itu artinya aku akan memiliki 2 keterangan tidak hadir per mata kuliah yang masuk di hari Sabtu. Bisa dipastikan aku tidak bisa mengikuti ujian.
Ya, penulis memang impianku. Tapi aku tahu, orangtuaku tidak akan pernah bangga jika demi semua itu, aku justru mengabaikan kuliah. Bapak membiayai ongkos keberangkatanku pulang-pergi adalah agar aku kuliah di sini.
“Apa nggak lebih baik ke luar negerinya saja yang dikorbankan?” tanya Bapak lagi.
“Pelatihan Kampus Fiksi ini adalah kesempatan yang tidak mungkin datang dua kali, tapi ke Malaysia dan Hongkong juga kesempatan yang aku tidak tahu apakah akan datang lagi atau tidak. Semua sudah kuputuskan tadi malam Pak. Semoga ini keputusan terbaik. Bapak tenang saja, jangan cemas. Insya Allah ada kesempatan lain, hanya saja bukan sekarang waktu yang tepat. Aku akan tetap belajar menulis dari mana saja.”
Suatu saat, kamu juga akan menemukan situasi seperti ini kawan, di mana kamu begitu sulit untuk membuat keputusan. Namun percayalah bahwa segala sesuatu terjadi untuk sebuah alasan tertentu, bahkan ketika kita tidak cukup bijak untuk melihatnya.
Mungkin selama ini para sahabat blogku hanya tau kalau aku suka dengan bahasa Turki. Berusaha belajar sendiri meskipun sulitnya setengah pingsan. Dan walhasil karena nggak konsisten, sampai sekarang bahasa Turkiku masih bisa dibilang nol besar.
Namun siapa yang tau kalau ternyata aku juga suka bahasa Inggris. Setiap kali pulang kampung, selalu kuobrak-abrik kembali buku-buku bahasa Inggris semasa SMA, kemudian mempelajari kembali. Nggak lupa juga kupinjam my brother's grammar book plus dibantu kamus digital di ponsel.
Soal reading, aku nggak ada masalah serius, baik itu cara pengucapan maupun skimming for the main idea. Kesulitan terbesarku dalam berbahasa Inggris yaitu saat speaking, listening dan writing. Rasanya semua vocabs yang pernah kuhapal hilang begitu aja ketika ingin digunakan. Pun saat mendengar, aku harus membesarkan lubang telinga dan kening berlipat.
Semuanya error. Dan itu membuatku sangat kesal pada diri sendiri, seolah-olah semua usaha nggak membuahkan hasil sesuai yang kuharapin.
Contoh yang nggak pernah kulupakan, mengenai betapa jeleknya speaking ability-ku yaitu ketika mengunjungi Singapura dan Malaysia beberapa bulan lalu.
Muka jelek tanpa editing. Yang penting orang India-nya aja yaa, biar emak-emak gak masalah ;D
--------000--------
Cerita pertama terjadi pada pagi hari di sebuah Hotel X Singapura (lupa namanya). Kebiasaan di rumah kalau keluar nggak perlu bawa-bawa kunci, di Hotel pun kuperlakukan sama. Saat keluar kamar, aku lupa membawa key card, dan akibatnya kamar nggak bisa dibuka dan so pasti aku nggak bisa masuk. Mau nggak mau aku harus meminta key card yang baru pada petugas resepsionis.
Gemeteran. Dag dig dug. Itulah yang kurasain sejak di dalam lift hingga ke depan meja resepsionis. Belum lagi saat mendapati tampang petugas yang jaga sangat nggak bersahabat. Laki-laki setengah baya berkemeja rapi, rambut klimis, terlihat sibuk di mejanya.
“Hmm...morning Sir. I lost my key card, so may i ask another key card?”
Di tulisan ini susunan kalimatnya jauh lebih baik dari apa yang berhasil kuucapkan saat itu. Bukan hanya soal grammar, ternyata pengucapanku juga mirip dengungan lebah. Sampai-sampai sang petugas meminta mengulang kalimat yang kuucapkan. Oh...rasanya malu banget dan makin gemeteran. Perasan kemampuan bahasa Inggris-ku nggak parah-parah amat deh.
Akupun mengulangi kalimat tersebut.
“Tell me the number of your room Madam.” Pintanya tanpa menatapku sedikit pun. Sebal! Apalagi mata si petugas hanya memandangi komputer di depannya dengan jari menunggu nomor yang akan kusebutkan.
“Hmm...” hampir lima detik aku berpikir. Nomor kamarku adalah 810, dan sekadar untuk men-translate angka 8 ke dalam English aja aku kesulitan. “Eight ten, Sir...”
“Sorry?” ia memandangku aneh. “I don’t understand.” Kepalanya menggeleng. Memintaku mengulangi. Dan yang bikin aku makin down, wajah si petugas itu terlihat sangat jengkel padaku.
Duh, saat itu rasanya langit-langit Hotel seperti runtuh menimpaku. Untuk kembali membuka mulut kayaknya berat banget. Mungkin sangking merahnya wajahku saat itu sampai kelihatan pucat.
“Eight...” aku melukis angka 8 di udara, ia mengangguk paham. Selanjutnya telunjukku melukis angka 1 dan 0 sambil menyebut ‘Ten’.
“O...eight one zero.” Ia berkata seraya mengangguk. Tangannya mengetikkan sesuatu di keyboard.
Oh my God! Kenapa tadi nggak sedikit pun ZERO muncul dalam kepalaku? Padahal sering aku baca tulisan ataupun judul kelas motivasi “From Zero to Hero”.
“Hey Sofi, bahasa Inggris-nya 0 itu zero! Masak lupa sih! Bikin malu aja!” Hujatku dalam hati.
Si petugas memberikan key card baru, aku langsung tancap gas meninggalkan meja resepsionis itu dengan keringat bercucuran. Orang-orang yang berhasil keluar dari ruang eksekusi mati pun masih kalah menyedihkan dibanding keadaanku saat itu.
--------000--------
Sedangkan di Malaysia, tepatnya di sebuah kedai minuman dingin yang ada di pojok pelataran Batu Cave, aku baru menyadari sepenuhnya kalau listening ability-ku sungguh nggak pantas dipuji (siapa juga yang mau kasih pujian).
Saat itu ketiga rekan perjalananku sedang berjuang menaiki ratusan tangga menuju gua di atas bukit. Aku memilih nunggu di pelataran aja, karena sepatu yang kukenakan hari itu bikin kakiku sakit banget. Setelah keliling-keliling pelataran, keluar masuk toko India tanpa membeli apapun, akhirnya aku kehausan juga. Dengan PD-nya aku melenggang masuk ke kedai penjual minuman dingin. Kulkas besar itu kubuka dengan sangat mudah, lalu sedetik kemudian sudah kugenggam sebotol minuman (rasa air kelapa, kalau nggak salah).
Pelataran Batu Cave
“This Sir.” Kutunjukkan botol minuman tersebut pada penjual berwajah India. Ya, selama di Malaysia, kemana pun mata memandang aku selalu mendapati wajah orang India. Bahkan tour guide kami pun orang India. Tapi, jangan membayangkan sosok Arjuna dalam Mahabarata atau Jalal Akbar dalam Jodha Akbar dulu ya, karena yang mirip cuma hidungnya doang. Hiks... jangankan mirip Arjuna, mirip Bima pun susah-susah gampang nemuinnya. Biar begitu, kelihatannya mereka ramah-ramah kok.
Maaf, ini Jalal Akbar! Bukan si penjual minuman dingin dan sama sekali nggak mirip. Hihi
“Four ringgit Madam.” Ucapnya. Wah, kalau dirupiahkan jadi 14.000. Untung aja di negara orang, kalau di Indonesia harga air semahal ini, mending deh minum air keran.
Dengan santai kukeluarkan lembaran 5 ringgit Malaysia. Kemudian membalikkan badan, berniat untuk segera meninggalkan kedai tersebut.
“Sorry Madam!” panggil si penjual yang membuatku menoleh ke belakang. Ada apa? Kali aja dia mau minta pin BB.
“This your 1 ringgit.” Ia berkata sambil mengulurkan lembaran 1 ringgit.
Ternyata aku lupa kembaliannya. Bukan lupa sih, melainkan ketika si penjual itu bilang ‘four ringgit’ tadi, justru yang kutangkap adalah 5 ringgit. Bingung antara four dan five. Duh, pelajaran anak Play Group padahal.
Jleb...speechless! Kedai itu seketika berubah gelap di mataku, hening, dan aku nggak tau bagaimana harus berekspresi.
Cari aman dan untuk menutupi rasa malu, akhirnya aku menerima uang kembalian tersebut lalu melenggang keluar gitu aja. Tanpa ekspresi atau sepatah kata pun. Sampai di pelataran, aku berakting seolah-olah menikmati tempat tersebut, seperti nggak ada kejadian apapun sebelumnya. Wajah tanpa dosa memang pilihan yang cerdas.
Nah, itulah tadi dua pengalamanku seputar bahasa Inggris. Buruk dan nggak ada yang menyenangkan. Tapi nggak apalah, lucu juga kalau diingat lagi. Selain itu juga bisa menjadi pemacu semangat biar aku lebih serius lagi belajar English. Dan semester ini ada mata kuliah bahasa Inggris. Dosennya wanita 52 tahun yang masih cantik plus segar layaknya wanita umur 40 tahun. Beliau menyelesaikan S1 dan S2 di Australia. How lucky i am. Semoga bisa membantuku untuk menguasai bahasa Inggris baik lisan maupun tulisan yaa. Aamiiin... Doa yang sama buatmu yang juga lagi berjuang buat menguasai English :)
Yang ingin kutanyakan,
Do you have any horrible or funny experiences with English?
Siang itu sangat
panas. Setelah mengunjungi Taman Boneka dan Anjungan Sulawesi (lupa Sulawesi
mananya), aku dan seorang temanku bernama Rifa duduk di kaki lima gedung yang menghadap Tugu Pancasila. Itu adalah kali pertama aku
menginjakkan kaki di TMII, sebenarnya sebuah kunjungan nebeng. Rifa harus
menemani Paman (paket komplit: bawa istri, anak umur 2 tahun dan adik sang
istri) berkeliling Jakarta, jadi mau nggak mau akupun ikut. Tentu banyak
gratisannya (red—dibayarin).
Merasa tahu diri,
kami berdua pun memilih menunggu, sementara keluarga sang paman naik
kereta gantung (Skyway—kalau di Genting) untuk menikmati TMII dari ketinggian.
Kan mahal tuh tiketnya, daripada ngabisin budget Sang Paman yang mau liburan
bersama keluarga, mending kita memisahkan diri aja. Alasan tentu super banyak,
bilang sudah sering naik Skyway-lah, capek jalanlah, pengen beli es-lah, de es
be yang intinya cuma satu ‘sayang keluar duit’. Hehe
Di tengah
ketermenungan kami berdua itulah, datang sepasang muda-mudi yang kemudian duduk
sekitar tujuh depa di depan kami. Sang wanita mengenakan rok hitam lebar, baju
lebar, plus kerudung lebar juga. Sedangkan sang laki-laki mengenakan celana
bahan warna hitam plus kemeja. Kalau kamu sering main ke Masjid Kampus, pasti
sangat familiar dengan gerak-gerik dan cara berpakaian mereka, ala aktivis
ROHIS banget.
Tapi bukan hal
tersebut yang membuat mereka menarik perhatianku, karena akupun suka dengan
gaya anak-anak Rohis, terkesan adem. Melainkan keduanya duduk sangat dekat
sehingga aku menyimpulkan mereka adalah pasutri muda. Mustahil, sepasang Adam
dan Hawa yang berpenampilan seperti mereka jalan berdua dan duduk sedekat itu
jika belum ada ikatan yang sah.
Duduk bersebelahan,
bergandengan tangan, bercengkerama ria, saling pandang. Ah, pasti seperti itu
yang sering kita bayangkan perihal pasangan muda. Namun pasangan yang ini
sangat berbeda. Sejauh pengamatanku, ditambah antena pendengaran yang sengaja
kupertajam untuk tujuan ‘nguping’, mereka hanya diam. Barangkali hanya satu
atau dua patah saja yang keluar. Menariknya, di space tak sampai sepuluh senti
antara keduanya itu terdapat kumpulan bunga krisan kuning, terbungkus rapi
dalam plastik bunga dan ditambah pita merah jambu. Sang bunga tergeletak begitu
saja, menjadi saksi kebisuan mereka.
“Fa, lihat itu.” Aku
memberi kode pada temanku agar ikut melihat.
“Sejak tadi mereka hanya diam. Sibuk dengan ponsel masing-masing. Bahkan seringkali
masing-masing dari mereka tersenyum, bukan karena saling bercengkerama, tapi
karena ada sesuatu yang menarik dari layar ponselnya. Mereka sibuk
sendiri-sendiri. Atau apa mungkin mereka ngobrol via chatt BBM?”
Temanku hanya
tersenyum. Memandangi beberapa saat kemudian kembali pada ponselnya. Sementara
aku sendiri? Sungguh, hatiku seperti berkelana ke masa depan. Membayangkan diri
ini menjadi sang wanita. Menikah dengan laki-laki sedingin itu, jarang bicara,
dan matanya seperti kehilangan cinta. Istri di samping seperti kalah menarik
dibandingkan status teman di media sosial. Ternyata nih setelah aku baca dari sebuah sumber, istilah untuk seseorang yang lebih memilih gadget ketimbang memperhatikan pasangannya disebut phubbing, berasal dari kata snubbing (mengejek). Bahkan sebuah hasil survei menyebutkan 45% orang selingkuh karena kekasih terlalu asik main smartphone. Duh!
Kembali pada cerita tentang aku yang seketika berteriak jauh di dalam hati, mengatakan aku tidak akan sanggup menjalani kehidupan pasca nikah seperti pasangan yang kulihat. Bukan seperti
itu pernikahan yang kuimpikan. Namun barangkali, Allah ingin menegurku saat
itu, mengingatkanku agar jangan memiliki ekspekstasi tinggi tentang kehidupan
setelah menikah. Semuanya memang sudah berusaha maksimal untuk menemukan yang
terbaik, tapi siapa yang bisa memastikan?
“Ya
Allah, nikahkanlah aku dengan lelaki yang shalih yang menyejukkan hatiku
(tenang dipandang) dan aku pun membahagiakan hatinya, wahai Dzat yang Mahaluhur
dan mulia.”
Setelah hampir
setengah jam, kami berdua beranjak meninggalkan kaki lima bangunan.
“Selamat siang.” Sebuah
sapaan membuatku menoleh seketika.
Oh
my God! Could you guess who?
Dia adalah pemuda
Negro yang fisiknya...nggak perlu deh aku jabarin panjang lebar. Pernah nonton
di televisi kan? Nah, nggak jauh beda kok.
Senyumnya ramah. Aku hanya
membalas ‘selamat siang’ lirih. Benar-benar tanpa senyuman, kemudian berlalu
begitu saja.
Kenapa di saat aku
membayangkan perihal jodoh, malah pemuda Negro yang datang? Pertanda apa?
Hehe... We never know what will happen in
the future. But, Turkishman still be number one in my heart at this time
(nyengir).
Kisah Sejoli Kedua
Usai mengelilingi
TMII, perjalanan selanjutnya adalah Ancol. Sama seperti TMII, ini adalah
kunjugan pertamaku ke Ancol. Sungguh kasihan...
Cerita dimulai saat
kami masuk ke dalam gedung Sea World (kali ini bayar setengah harga,
setengahnya lagi dibayarin). Banyak ikan-ikan cantik pastinya, berasa jalan-jalan
di bawah laut. Adem juga di sana. Dan yang lebih spesial banyak orang asing di
sana. Bule-bule ganteng bawa kamera sampai saudagar minyak dari Timur Tengah
yang bawa paket combo keluarga juga ada.
Begitu selesai
keliling-keliling, pose-pose nempel di aquarium, akhirnya kelelahan juga dan
memilih duduk di lantai berundak yang menghadap aquarium super jumbo, banyak
karang dan bener-bener mirip laut. Sampai-sampai ada beberapa penyelam di sana,
asik aja mereka selfie dalam air. Terus kita jadi penontonnya. Mau ikutan
nyelam, eh masak harus bayar 500 ribu. Lagi-lagi sayang duit!
Saat itulah mataku
menangkap sepasang muda-mudi berwajah Arab. Laki-lakinya tinggi jangkung dengan
jambang tipis dan bergaya maskulin gitulah. Sedangkan si wanita berpakaian
tertutup (bukan abaya), maksudnya pakai baju kaos panjang dan celana panjang
plus pashmina hitam. Cantik udah pasti. Hidungnya yang mancung itu aja udah
bisa bikin mata laki-laki Indonesia sebesar globe di ruang kepala sekolah. Belum
lagi maskara yang membuat matanya terkesan punya sihir. Ah, pokoknya pasangan
yang ideal banget.
Terus aja aku
mengamati mereka dari kejauhan. Para penyelam yang salto-jungkir balik, pakai
gaya bebek sampai gaya ikan kekurangan oksigen pun kalah menarik dibanding
keromantisan mereka. Bukan romantis pakai peluk-pelukkan di depan umum seperti
pasangan yang ada di pojok lain, karena aku menyimpulkan kedekatan mereka ini
seperti dua orang sahabat atau kakak-adik. Atau jangan-jangan memang iya?
Tapi rasanya mustahil
mereka sahabatan atau saudara kandung, ‘cause
i saw their chemistry clearly. Saling bergantian mengambil gambar, selfie
berdua, jalan beriringan sambil melihat foto-foto hasil bidikan, tertawa lepas,
dan kalau salah satu dari mereka dirasa kurang cocok posenya, satu yang lain akan
memberi tahu sebelum membidikkan kamera.
Sepertinya jangankan
di Sea World, mereka jalan-jalan di hutan dan semak belukar pun kalau bisa
seasik itu, tetap bikin iri makhluk lain, minimal orang utan. Wajar aja kalau
spontan hatiku berteriak kegirangan, aku ingin kehidupan rumah tanggaku nanti
seperti pasangan itu. Kamu juga maunya begitu kan? Jadi pertanyaannya, sahabat semua pilih cerita sejoli pertama atau kedua?