Malam itu bulan sudah tidak tampak lagi di langit
desaku. Beberapa hari lagi bulan sabit akan segera menampakkan diri di
pucuk-pucuk kelapa. Bulan Syawal. Ya, tepat malam lebaran, aku bersungut-sungut
menggesekkan setrika yang tak kunjung panas di atas baju koko adikku. Sejak
tadi kukatakan pada Ibu kalau setrika listrik milik kami harus segera diganti
dengan yang baru, tapi dari dapur Ibu hanya menjawab pendek, ‘Iyo, sesok’.
Selang tak begitu lama, kudengar ponsel milik
Bapak berbunyi. Nada panggilan masuk. Karena Bapak sedang takbiran keliling,
jadi Ibu yang mengangkatnya. Aku sama sekali tidak mendengar pembicaraan Ibu di
telepon, dan aku pun tidak penasaran ingin tahu. Mungkin orang yang belum bayar
zakat fitrah dan menanyakan apakah Bapak ada di rumah, pikirku. Hingga beberapa
menit kemudian, kepala Ibu sudah melongok di pintu.
“Anaknya teman Bapakmu. Dulu dia manggil Ibu: bibi. Sekarang sudah ganti jadi manggil Ibu.” Ucap Ibu memberi tahu dengan wajah tidak nyaman.
Aku tahu siapa yang Ibu maksud ‘anaknya teman
Bapakmu’ itu. Tanpa berniat menanyakan apa saja yang dia bicarakan di telepon,
Ibu menyambung kalimatnya, “Dia bilang tahun ini tidak bisa pulang karena kontraknya
belum habis. Mungkin tahun depan.” Setelah berkata, Ibu seperti menunggu
responku. Tapi karena aku diam saja, dia segera kembali ke dapur.
“Mau pulang kek, tidak pulang kek. Siapa peduli? Lagipula kenapa dia harus menelepon orang tuaku?” gerutuku dalam hati. Hanya karena telepon itu, setrika di tanganku langsung terasa seperti bara api (Lebai, sumpah!). Rasanya ingin memarahi orangnya langsung, tapi untuk mencari nomornya di ponsel orangtuaku saja rasanya malas.
Cerita tentang ‘anaknya teman Bapakmu’ itu sebenarnya
sudah kuketahui sejak satu tahun lalu, ketika ayahnya mendatangi Bapakku untuk
menawarkan sebuah perjodohan. Alhamdulillah Bapakku bukan tipe orangtua yang
suka memaksakan kehendak. Aku jadi ingat sama teman dekatku yang keluarganya
menganut paham perjodohanisme garis
keras. Pernah dia tidak sengaja nyimpan foto pacarnya, begitu ketahuan si
ibu, langsung ditampar sampai tubuhnya jatuh ke lantai. Bukan karena si ibu
melarang dia pacaran berlandaskan larangan dalam Islam, tapi karena ibunya tidak
mau dia punya pacar yang dipilih sendiri. Maunya si ibu yang mencari kandidat,
kalau ada yang pas, maka pernikahan akan diselenggarakan. Aku pernah tidak bisa
berhenti tertawa, sekaligus prihatin bin kasihan, saat temanku itu cerita
Ibunya mengenalkannya pada seorang dokter yang usianya sudah hampir kepala
empat. Bagaimana pun jalan hidupnya nanti, semoga teman baikku itu mendapatkan
lelaki terbaik yang bisa membahagiakannya di dunia dan akhirat. Aamiiin...
Untuk kasusku sendiri, dengan baik-baik Bapak
katakan pada si ayah lelaki tersebut, bahwa sekarang sudah bukan jamannya lagi
perjodohan seperti dulu, ketika mereka sama-sama muda.
“Anak muda sekarang sudah pandai mencari pasangannya masing-masing.” Kata Bapak.
Tapi, meskipun perjodohan itu tidak pernah mencapai
kesepakatan, teman Bapakku plus anak lelakinya itu masih saja menganggap kalau
perjodohan di antara kami terjadi. Aku sudah berulang kali bilang pada Bapak
agar tidak mengangkat telepon dari mereka. Namun Bapak merasa tidak enak karena
sudah kenal akrab dengan si ayah lelaki tersebut. Bahkan terkadang si lelaki
yang tidak pernah kulihat wujudnya itu mengirimi pulsa ke ponsel Bapak dan
Ibuku dari Malaysia sana.
Dia pernah datang ke rumahku, di saat yang sama
aku sedang di Bogor. Jadi kami tidak pernah bertemu sekali pun. Terkadang Bapak
sedikit menyindir cerita perjodohan yang tidak disetujuinya itu, tapi aku tak
pernah merespon. Aku juga tidak berhasrat untuk kenal laki-laki tersebut lebih
jauh. Menanyakan ciri-cirinya saja aku malas. Bukan aku terlalu sombong, tapi
memang selama ini aku hanya mengenal para lelaki cukup sebatas teman. Semuanya
kuperlakukan sama. Tidak begitu dekat, tidak juga begitu jauh. Kecuali sepupuku
yang satu kelas. Aku sering memasang display picture BBM bersamanya, karena dia
adalah saudaraku, sudah kuanggap seperti kakak kandung. Untuk lelaki yang tidak
pernah bersinggungan langsung denganku di kehidupan nyata, sementara dia tidak
memiliki satu inner beauty pun, aku
pilih malas mencari lebih jauh
.
Melalui Ibu, si lelaki ‘Anaknya teman Bapakmu’ itu
pernah meminta alamat facebook, dan waktu itu aku berikan tanpa rasa curiga
sedikit pun. Tidak tahunya dia punya rencana lain yang terkesan memaksakan. Tidak
hanya dia, si ayah pun selalu cerita pada orang-orang kalau Bapak dan Ibuku adalah
besannya.
Aku memang tidak pernah tahu seperti apa dirinya, tapi aku sudah paham betul tipikal lelaki yang tumbuh dan dewasa di pulau ini hingga beberapa pulau di dekatnya. Aku kurang suka pada lelaki yang tidak shalat lima waktu, juga pada lelaki yang tidak memiliki perencanaan untuk masa depannya (Perencanaan untuk kehidupannya sendiri dan bermanfaat bagi orang lain).
Aku memang tidak pernah tahu seperti apa dirinya, tapi aku sudah paham betul tipikal lelaki yang tumbuh dan dewasa di pulau ini hingga beberapa pulau di dekatnya. Aku kurang suka pada lelaki yang tidak shalat lima waktu, juga pada lelaki yang tidak memiliki perencanaan untuk masa depannya (Perencanaan untuk kehidupannya sendiri dan bermanfaat bagi orang lain).
Satu hal lagi, orang sini masih akrab dengan
praktek perdukunan. Desas-desus yang merebak di seluruh desa memberi tahu kalau
beberapa pasangan di sini berhasil menikah atas bantuan dukun alias dipelet. Wallahu’alam kebenarannya, tapi soal
perdukunan, aku mengaku di sini masih kental sekali. Soal perjodohan sepihak
ini, aku juga khawatir akan berujung ke sana apabila si lelaki merasa
dikecewakan. Pelet hingga guna-guna. Semoga Allah melindungi kita semua dari
kejahatan jin dan manusia yang jahil seperti itu.
Mengenai perjodohan, sebenarnya aku tidak
mempermasalahkan jika suatu hari nanti Bapak mengenalkanku dengan seseorang.
Asal dia adalah lelaki baik-baik. Lelaki yang hidupnya punya tujuan jangka
panjang, tidak hanya giat mencari uang untuk menumpuk kekayaan pribadi, namun
juga punya impian untuk menjadi penyejuk bagi orang-orang di sekelilingnya.
Namun kuperhatikan, meski tidak semua, lelaki dan pemuda di sini tidak banyak
yang seperti itu. Mereka memang giat dalam hal mengumpulkan materi, tapi soal
agama, seolah-olah mereka tidak pernah ingat bahwa kematian bisa datang kapan
saja, dan harta tersebut tidak bisa membantu sedikit pun kecuali harta yang
menjadi amal jariyah. Jangankan untuk ibadah sunnah, baik shalat lima
waktu dan puasa Ramadhan saja banyak orang
sini yang tidak mengerjakan.
I am not a perfect Muslimah. Aku akui hal
tersebut. Bahkan shalat wajib saja masih sering di akhir waktu. Namun aku
yakin, setiap muslimah menginginkan seorang imam yang bisa membimbingnya
menjadi lebih baik. Sebenarnya satu poin saja sudah cukup sebagai kriteria
lelaki idaman, yaitu kesalehan. Lelaki saleh sudah pasti taat ibadahnya dan
giat bekerja untuk menafkahi keluarganya. Jika dia hanya taat beribadah, namun
dalam mencari nafkah ogah-ogahan, kesalehannya juga perlu dipertanyakan. Banyak
lelaki yang mengaku agamis berpikir tidak baik hidup bermewah-mewah, Rasulullah
saja tidur di atas pelepah kurma, sehingga semua pemikiran tersebut mendorong
mereka menjadi malas bekerja. Semua itu dijadikan alasan untuk kemalasannya.
Padahal di luar sana, para non Muslim, selalu menertawakan para Muslim yang
memilih pasrah dengan kehidupannya yang lebih senang menjadi tangan di bawah.
Rasulullah hidup sederhana, itu karena pilihannya
sendiri. Sedangkan ia memiliki kekayaan yang tidak ternilai jumlahnya.
Bayangkan, saat itu Rasulullah jadi pemimpin di seantero tanah Arab, kekayaan
itu bisa saja ia dapatkan dengan mudah. Banyak yang menawari. Tapi beliaunya
yang tidak mau. Lha kalau orang sekarang, hidup miskin bukan karena pilihannya,
melainkan itulah satu-satunya pilihan. Lalu kesederhanaan Rasulullah yang
dijadikan alasan untuk mengelak.
Dalam kasus seperti di atas, aku tidak menuliskan tanpa dasar. Ada banyak lelaki yang terlihat saleh yang kutemui namun dalam urusan menafkahi anak istri, ia gagal. Salah satunya adalah suami temanku sendiri. Dia bilang tamatan pesantren, shalatnya rajin, tapi tidak mau bekerja, sampai-sampai buat beli susu anak mereka saja harus minta ke mertua. Akhirnya pernikahan tersebut tidak bertahan lama. Sekarang mereka telah bercerai. Yang seperti ini sudah pasti tidak dianjurkan dalam Islam. Entah dalil dari mana yang ia gunakan.
Dalam kasus seperti di atas, aku tidak menuliskan tanpa dasar. Ada banyak lelaki yang terlihat saleh yang kutemui namun dalam urusan menafkahi anak istri, ia gagal. Salah satunya adalah suami temanku sendiri. Dia bilang tamatan pesantren, shalatnya rajin, tapi tidak mau bekerja, sampai-sampai buat beli susu anak mereka saja harus minta ke mertua. Akhirnya pernikahan tersebut tidak bertahan lama. Sekarang mereka telah bercerai. Yang seperti ini sudah pasti tidak dianjurkan dalam Islam. Entah dalil dari mana yang ia gunakan.
Aku ingat sebuah kisah saat masa kepemimpinan
khalifah Umar. Kalau tidak salah cerita ini kubaca tahun lalu di buku cerita
teladan milik adik. Di sana dikisahkan saat menjabat sebagai khalifah, Umar bin
Khattab tidak memiliki pakaian bagus.
Sebuah jubah penuh tambalan adalah jubah kesukaannya, dan itulah yang
sering ia gunakan di pertemuan-pertemuan kenegaraan hingga menyambut tamu dari
luar khalifah Islam. Para petinggi-petinggi kerajaan merasa iba sekaligus malu
melihat pakaian pemimpin Islam tersebut. Apakah pantas seorang pemimpin
kekhalifahan besar menggunakan pakaian seperti itu, sementara raja-raja non
Muslim mengenakan jubah mewah? Mereka takut para non Muslim menganggap
kekhalifahan Islam miskin sehingga tidak mampu membeli jubah yang bagus.
Mereka lalu menghadiahi Umar dengan sebuah jubah
yang sangat indah. Namun Umar segera bertanya, ‘Apa selama hidupnya Rasulullah
pernah memakai jubah seindah ini?’. Para petinggi itu pun menjawab tidak pernah.
Seketika Umar menangis tersedu-sedu dan berkata, ‘Lalu kenapa kalian menyuruhku
memakainya sementara kekasih Allah selama di dunia tidak pernah memakainya?’.
Semoga ini menjadi pengingat bagi tipe laki-laki yang mengaku saleh namun malas
mencari nafkah. Para pemimpin Islam tidak hidup sederhana karena mereka malas
bekerja, melainkan uang tersebut mereka sedekahkan. Sehingga kehidupan mereka
justru naik derajatnya di mata Allah dan orang-orang.
Kembali ke tema jodoh dan perjodohan yang saat ini
selalu membuat kepalaku berdenyut-denyut. Terkadang meski tidak mau memikirkan,
pertanyaan seperti ‘siapa jodohku nanti’ hadir dengan sendirinya di dalam
kepala. Terlebih saat bertemu dengan teman-teman dan para adik kelas yang
sekarang sudah menggendong anak. Semua itu membuatku sadar, cepat atau lambat
setiap wanita tentu akan menikah. Dan sekarang adalah waktunya bagi generasiku,
yaitu mereka yang lahir dalam rentang 1991-1996. Itu artinya, aku juga tinggal
menunggu giliran.
Ibuku berkali-kali menanyakan apakah aku memiliki
seorang pacar, kebalikan dari Bapak yang lebih mendukung aku tidak pacaran.
Sepertinya Ibu khawatir tidak ada laki-laki yang menyukaiku, maklumlah seorang
Ibu pasti senang kalau anak gadisnya jadi idaman banyak lelaki. Apalagi saat
satu persatu teman-teman masa kecilku, hingga para adik kelas yang kini masih
duduk di bangku SMA, mengenalkan pacar-pacar mereka ke orangtua. Ibuku semakin
sibuk saja. Aku yang awalnya santai-santai saja, kok jadi malah ikutan cemas.
“Seng seneng ambi aku iku ono, Buk. Tapi seng pas neng ati durung ono. Enek seng pas neng ati, lha tak perhatikan kok koyone udu aku seng disenengi, tapi koncoku.”
Ibuku manggut-manggut, mungkin dalam hati sudah mbatin, “Yoalah, nak. Kok melase eram nasibmu.” Huhuhu
“Wes, Buk. Seng tenang wae. Mengko nek gelem tak solati hajat, jangankan de’e, pangeran Emirat Arab wae teko rene ngelamar.” Wakakaka gubrak. Semua gelas di atas meja langsung pecah.
Just
kidding. Mana berani aku bicara soal perasaan ke Ibu.
Masih malu.
Jodoh adalah sebuah misteri. Itu benar adanya. Semua
orang yang belum melewati momen ijab qabul, pasti penasaran siapa jodohnya
nanti. Aku tidak mau lagi berharap pada manusia, karena seringkali kita malah
kecewa. Dalam setiap doa aku hanya minta Allah mengamanahkan seorang lelaki
baik sebagai suami. Dia baik untuk dunia dan akhiratku, dan aku pun baik bagi
dunia dan akhiratnya. Itu saja. Siapa pun lelaki itu nantinya, entah itu dia
yang datang dari sebuah perjodohan atau perkenalan, semoga dialah lelaki baik
tersebut. Aamiiin insya Allah.