Buku 249 halaman ini kubeli sekitar 3 tahun lalu, ketika aku masih duduk di kelas XII di pesantren. Biar begitu, aku punya agenda rutin untuk membaca ulang sekali dalam setahun, ya pada saat liburan seperti ini. Oke, let's surfing in it.
Kisah dalam novel ini diawali oleh tragedi tsunami yang meluluhlantakkan tanah Aceh, sekaligus kehidupan Reihan, seorang master lulusan Al-Azhar dan Universitas Khartoum asal Aceh yang tengah berada di Sudan. Tsunami Aceh menelan seluruh keluarganya di Ulee Lheue. Karena tidak ada lagi yang bisa dijumpainya di Aceh, dan tekadnya ingin membuat bangga keluarga, Reihan memutuskan menjadi mujahid di Irak. Tawaran menjadi relawan eksternal Irak didapatnya dari Yusuf, temannya ketika dulu menimba ilmu di Al-Azhar, Mesir. Yusuf sendiri baru saja pulang dari Irak dengan uang berlimpah, para mujahid relawan memang diberikan pesangon yang tak sedikit setelah keluar dari Irak.
"Aku menerima tawaranmu bukan karena keputusasaanku. Aku ingin pergi bukan karena aku mencari mati. Kematian adalah kehendak Allah, dan Dia juga yang akan menentukan hari depanku selanjutnya," (hal: 24) begitulah ungkapan Reihan pada Yusuf untuk meyakinkan bahwa niat dan motifnya menerima tawaran itu memang dilandasi keinginan yang suci untuk berjuang sekaligus beribadah.
Kisah selanjutnya adalah hari-hari Reihan bersama kelompok perlawanan Irak, pergulatan batin dan selipan kisah romantis yang indah.
Perjuangan kelompok perlawanan Irak mengusir pasukan belang (red-Amerika) memang menyentuh dan mendebarkan. Mereka berjalan merangkak dalam lorong-lorong bawah tanah, gerak-gerik yang serba hati-hati, ancaman kematian, pengorbanan, penyekapan di kamp dan peperangan dengan nyawa sebagai taruhan.
Aku bisa merasakan kegugupan Reihan, seorang pemuda yang biasanya hanya bergumul dengan buku dan makalah, harus berkenalan dan menggunakan M-16, Ak, Styer, C-4, dan TNT. Belum lagi ketakutan yang mencekam ketika ia harus melaksanakan pertempuran pertama. Asli, menegangkan.
Kisah Ibrar-teman seperjuangan Reihan, yang tetap berlihat berseri-seri di saat-saat terakhirnya pun cukup menyentuh. Ia banyak mengumbar senyum dan tawa, meski sejumlah temannya justru merasa iba. Karena hari itu adalah hari penting baginya sebagai anggota pasukan khusus, ia mendapat tugas yang sudah lama ditunggu-tunggu. Sebuah tugas yang tidak semua orang punya nyali mengerjakannya. Membawa bom di tengah markas pasukan Amerika, artinya bom tersebut juga akan meledakkan dirinya sendiri. Jadi itulah hari terakhir Ibrar, yang dengan berani melakukan serangan bunuh diri ke jantung pasukan si belang.
Oke, next?
Pergulatan perasaan? Reihan yang jatuh hati pada gadis asli Baghdad bernama Salwa. Salwa adalah gadis pemberani yang memutuskan menjadi pejuang setelah ia kehilangan ayahnya akibat bom yang dijatuhkan pasukan belang di rumahnya. Salwa berwajah jelita dan memiliki sorot mata yang bening namun tajam, menunjukkan kepribadiannya yang kuat dan tingkat kecerdasannya yang tinggi. Perpaduan yang mendekati sempurna, menurutku. Meskipun pertemuan mereka hanya singkat, namun Reihan menyandarkan cintanya kepada-Nya. Terakhir, Reihan melihat Salwa ketika ditahan di Kamp Bucca. Di Kamp itulah markas kokoh pasukan Amerika sekaligus tempat para mujahid yang tertangkap ditahan. Reihan akhirnya berhasil dibebaskan, sedangkan Salwa tidak tahu bagaimana nasibnya selanjutnya.
Setelah satu tahun menjadi mujahid eksternal Irak, Reihan memutuskan kembali ke tanah Aceh. Ia mencoba mengais-ngais kembali sisa keluarganya, meskipun hasilnya nol besar. Ia kemudian bekerja sebagai pegawai sipil yang mengurus pembangunan Aceh. Tak dapat dipungkiri, Amerika adalah salah satu negara yang paling banyak membantu pembangunan Aceh. Para tentara Amerika bekerja tanpa kenal lelah, seperti robot. Para tentara Amerika itu pula yang mengisi hari-hari sepi Reihan di kampung halaman. Hal ini membuat Reihan malu, karena dulu justru ia memerangi dan membunuh bagian dari mereka.
Lima tahun kemudian, Reihan kembali ke Tanah Suci sebagai pembimbing haji, pekerjaan yang sering dikerjakannya sewaktu masih mahasiswa dulu. Saat ada waktu luang, Reihan menyusuri Pasar Al-Balad dengan tujuan mencari jam tangan asli Soviet. Di salah satu toko di pasar itulah, Reihan menemukan separuh jiwanya, Salwa. Gadis itu membuka toko jam tangan bersama adiknya, ia memutuskan hijrah dari Irak setelah Ibunya menyusul sang Ayah ke alam baka. Reihan tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu, ia langsung saja mengungkapkan niatnya untuk menikahi gadis itu.
Yap, begitulah sedikit ulasan tentang novel karya Yoki R. Sukarjaputra, seorang jurnalis yang telah mengunjungi tak kurang dari 20 negara di lima benua. Novel ini based on true story, lho. Jadi terasa hidup sekali. So, buat kamu-kamu para novel hunter, novel ini aku rekomendasikan. Diterbitkan oleh penerbit Mizania, cetakan I pada Februari 2010. Aku belum update perkembangan novel ini di toko buku, semoga sudah masuk daftar novel best seller, ya. Amin....
No comments:
Post a Comment