Saturday 17 August 2013

A Feeling: Renungannya

Hampir dua bulan sudah ia di kampung halaman, dan setiap hari waktunya lebih banyak tersisa untuk 'merenung'. Kadang ia merenung tentang dirinya sendiri, tak jarang pula tentang orang lain dan alam. Merenung seolah menginduksi jiwanya untuk menata kembali segala yang rumpang selama 18 tahun ia hidup. Ya, akhirnya ia tahu, banyak cela yang ia jumpai pada seseorang atau hal lain, yang sebenarnya adalah celanya sendiri.

Kepekaan. Mungkin inilah yang tak terealisasi dalam sikapnya. Ia dominan tidak mau memikirkan suka maupun luka makhluk di sekitar. Terkadang, ia terlalu khusyuk dengan apa yang membuatnya senang. Di lain sisi, ia juga merasa kerumpangannya itu sudah benar. Mengabaikan hal yang tak mendukung kebahagiaan jiwa, adalah kebenaran mutlak. Mengacuhkan mereka yang tak sejalan, adalah pilihan mutlak. Renungan yang membuat otaknya semakin meleleh panas. Barangkali dua makhluk yang terkurung putih dan hitam dalam dirinya, tengah mendebat, saling menjunjung kebenaran, atau sesuatu yang dibenarkan.

Tujuan. Ini adalah hal yang juga acap kali menemani renungan. Terkadang ketika ia duduk menjelang matahari tenggelam, ketika ia duduk menyendiri pada akar-akar pepohonan, atau juga ketika hujan. Tujuan selalu memiliki beribu penafsiran. Tujuan sekolah, tujuan perjuangan, tujuan perjalanan, hingga tujuan hidup. Tujuan selalu sejajar dengan harapan, dan berkorelasi dengan kebahagiaan. Memang benar, kebahagiaan adalah ketika seseorang menggenggam apa yang membuatnya bahagia. Dan, sialnya tak semua mengetahui hal yang membuatnya bahagia. Itulah yang ia cari dalam renungan.

Spiritual. Renungan tentang nutrisi jiwa ini kerap menyambanginya. Penyesalan, harapan, doa. Semua bergumul menjadi satu, membuat saluran nafasnya terikat, lalu kelenjar air mata pun berkontraksi. Buku-buku milik Bapaknya, televisi dan kesenduan alam terus mengusiknya. Lalu menyimpulkan, ia sudah jauh tertinggal. Menyaksikan para tunaganda, tunadaksa, tunagharita, tunalaras, tunarungu, tunanetra, berhasil merekam seluruh isi kitab Tuhan di kepalanya, ia merasa terpojok. Lalu di mana cela Jannah yang layak ia tempati? Jika raga dan akal tanpa cacat itu tak melakukan apapun. Bahkan sepertiga puluh kitab-Nya tak semua lekat di kepalanya. Dirinya tertinggal, mereka telah melesat jauh...menari bersama bintang-bintang, dekat dengan Tuhan, sedang ia masih terperosok dalam kubangan yang ia buat sendiri.

Bukan hanya para tuna itu, ia pun merenungi keberanian dan keteguhan saudara seiman di Rabiah Al Adawiyah. Tak  terkecuali kepada seorang Asma Beltagy. Wanita belia yang sudah membuktikan bakti tertinggi. Sedang ia, terlalu pengecut. Bahkan pada goresan jarum, ia takut!

Teman. Semakin ia merenung tentangnya, semakin banyak ia jumpai pembuktian.

Nasehat Bakr bin Abdullah Abu Zaid, ketika baliau berkata,” Hati-hatilah dari teman yang jelek …!, karena sesungguhnya tabiat itu suka meniru ! .. Maka hati-hatilah bergaul dengan orang.

Barangkali ia belum mampu menjalankan nasihat itu. Ia seperti ikan kecil dalam laut badai. Siripnya belum cukup kuat jika harus melawan amukan arus yang menyeretnya. Akhirnya, ia turut hanyut, terkadang terombang-ambing.

Semoga Tuhan memperluas jalannya, dan jalanmu...

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...