Saturday 4 April 2015

What I Say About Hanung Bramantyo?



Setelah menonton ulang Sang Pencerah, entah kenapa tiba-tiba aku tergerak untuk menulis sedikit tentang sang sutradara, Hanung Bramantyo. Sebelumnya ingin aku sampaikan bahwa tulisan ini hanyalah penilaianku secara pribadi terhadap beliau tanpa ada unsur atau niat lain di baliknya (Takut banget ya kesannya?)

Beberapa waktu lalu, sesaat setelah peluncuran film terbaru Hanung berjudul Hijab, aku membaca banyak sekali tulisan-tulisan ‘miring’ tentang si sutradara. Aku juga membaca langsung status salah satu penulis ternama Indonesia yang mengatakan Hanung adalah anggota Jaringan Islam Liberal, termasuk bagaimana penilaian buruk si penulis untuk film ini. Responku sama seperti ketika membaca hal kontroversi lainnya, pilih diam. Jadi pembaca rahasia di banyak tulisan. Untuk apa ikut komentar jika tidak tahu mana yang sesungguhnya benar dan mana yang sesungguhnya salah. 

Terkait film Hijab sendiri, aku belum menontonnya sampai sekarang. Jadi aku tidak akan berkomentar soal ini. Dari beberapa tulisan yang kubaca, ada juga yang masih mau menulis dengan akal sehat. Maksudnya tulisan mereka berisi tentang kelebihan dan kekurangan film tersebut, tidak hanya hujatan yang membabi-buta seperti yang ditulis oleh tidak sedikit orang.

Jauh sebelum film Hijab, Hanung juga menerima banyak hujatan saat filmnya berjudul Perempuan Berkalung Sorban keluar. Film ini kutonton ketika masih di pesantren bersama teman-teman sekamar. Benar, kami sependapat dengan banyak orang, bahwa film Perempuan Berkalung Sorban memang tidak baik dijadikan tontonan publik, terutama bagi non Muslim. Karena film ini seperti berbicara pada banyak orang bahwa, ‘Ini lho Islam. Wanita-wanitanya dikekang. Tidak boleh sekolah tinggi. Para lelakinya bajingan, poligami. Ini lho anak pesantren, sesudah tamat langsung terjun ke dalam pergaulan bebas.’ Meskipun benar juga bahwa semua itu masih terjadi dalam lingkungan Muslim, hanya saja semua itu bukanlah hal yang dibenarkan dalam Islam. Yang diajarkan dalam Islam adalah kebalikan dari film tersebut. Setiap ayah memuliakan anak perempuannya, suami memuliakan istrinya, wanita mendapatkan pendidikan yang baik, poligami adalah pintu darurat yang tidak pernah dianjurkan dalam Quran maupun hadis, anak pesantren banyak lho yang berprestasi dan tumbuh jadi pemuda-pemudi saleh-saleha. Seharusnya kebaikan-kebaikan seperti ini saja yang diangkat. Sebagai santri, tentu kami tahu bahwa saat ini tidak ada lagi deskriminasi seperti itu di kalangan pesantren, kalau pun ada mungkin di pesantren antah berantah. Kesimpulannya untuk film Hanung yang satu ini, aku juga berpendapat sama dengan kebanyakan orang.




Terbebas dari film Hijab, terbebas dari film Perempuan Berkalung Sorban, juga terbebas dari tuduhan banyak orang bahwa Hanung adalah anggota JIL, jujur aku adalah salah satu penggemar film-film garapan Hanung. Dua filmnya yang paling kucintai sampai sekarang adalah Ayat-Ayat Cinta dan Sang Pencerah. Rasanya, tidak ada satu pun film Indonesia selain dua film yang kusebutkan di atas berhasil membuatku nangis lagi setiap ditonton ulang.  Nuraniku sendiri yang mengatakan bahwa Hanung adalah sutradara Indonesia yang sangat jenius. Emosi penonton bisa dengan mudah dijungkir balikkan olehnya. Contohnya saat nonton Ayat-Ayat Cinta, aku akan sanyum-senyum ketika sampai di bagian pernikahan Fahri dan Aisha, lalu menangis dahsyat begitu Fahri difitnah dan masuk penjara, terlebih saat teman satu selnya Fahri menyinggung kisah Nabi Yusuf as.

Jika diperhatikan, Hanung pintar sekali menentukan momen-momen tertentu yang bisa membuat penonton merasakan sesak luar biasa. Contohnya saat Noura bersaksi di persidangan, dan berkata ‘Hati saya hancur... Aku takut...’ lalu terdengar tangisannya yang menyayat. Rasanya saat dengar itu, hatiku ikut sakit, sesak, entah apa lagi. Contoh kedua di film Sang Pencerah saat masyarakat membakar Langgar Kidul milik Kiayi Haji Ahmad Dahlan. Saat langgar tersebut roboh, musik yang dipilih, tangisan, suasana, semuanya dibuat dengan begitu apik. Di bagian ini, air mataku tidak pernah bisa ditahan meski sudah diulang-ulang sampai sepuluh kali pun.




Misal, seandainya, aku adalah seorang pemilik naskah, jujur kukatakan, aku ingin naskah tersebut jadi sebuah film dari hasil arahan Hanung Bramantyo. Menuliskan hal seperti ini, bukan berarti aku anggota JIL juga. Maklum saja, akhir-akhir ini media memang sedang gonjang-ganjing dihantam badai yang entah dari mana asalnya. Satu tulisan saja bisa jadi penggiring opini publik. Pemikiran individu bisa dengan mudah putar haluan hanya karena sebuah tulisan atau berita di media. Karena itu kita harus hati-hati. Setiap baca sesuatu, sebaiknya diselidiki dulu baik-baik. Kalau belum tahu kebenarannya, mending tidak usah ikut berkicau yang macam-macam. Bayangkan kalau yang digunjing publik itu ternyata salah, kita juga ikut dapat dosanya. 

Sebab itu, aku memberikan penilaian untuk Hanung tanpa pengaruh dari pemberitaan miring di media. Dua film Hanung—Ayat-Ayat Cinta dan Sang Pencerah—duduk di posisi pertama sebagai film Indonesia yang tidak terlupakan bagiku. Sebab kuperhatikan, setiap kali menggarap sebuah film, Hanung tidak pernah terlihat setengah-setengah. Baik itu dialog, setting tempat, figuran, semuanya terlihat pas dalam dua film tersebut.

Baik sekian dulu, semoga film-film Hanung selanjutnya adalam film-film yang bermanfaat bagi masyarakat. Film yang dibuat bukan hanya karena alasan komersil atau booming semata, melainkan juga jadi media penebar kebaikan dan ilmu. Semoga...

5 comments:

  1. Tidak banyak filmnya saya tonton, hanya ayat-ayat cinta dan Habibie & Ainun jujur keduanya bukan film favorit. Film Indonesia terfavorit saya sampai saat ini masih "mengejar matahari". Tapi segala tuduhan yg dilontarkan padanya bikin miris saja. Semoga kedepannya dia membuat film yang bisa memberikan manfaat.

    ReplyDelete
  2. dari ke-4 film itu aku baru nonton ayat-ayat cinta aja

    ReplyDelete
  3. Saya juga blm nonton Hijab & Perempuan Berkalung Sorban. Gak ikutan komen juga, meski PBS belum nonton sudah sebal duluan, hehe... AAC aku nonton, tapi malah agak kecewa dg filmnya. Film2 komedi Hanung cukup bagus menurutku, sperti Get Married misalnya. Baru2 ini nonton Gending Sriwijaya, salut sih dg spiritnya mengangkat sejarah ke dalam film. Sayang, Sang Pencerah aku belum nonton. Penasaran, padahal.

    ReplyDelete
  4. Waah, gue cuma nonton perempuan berkalung sorban aja... :D

    ReplyDelete
  5. iya.... film ini katanya mengandung nilai liberal,... merusak citra pesantren dan lain..lain... "ini katanya ya"...

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...