|
Saya dan Menwa |
Ray,
sepertinya kau kesepian selama 9 hari ini. Maaf aku tak sempat untuk sekedar
menjenguk dan menyapamu barang sejenak. Kau tau, selama hari-hari itu aku
bahkan seperti hidup di neraka saja, serasa aku ingin mengambil tali dan gantung
diri di lemari. Belum habis pegal-pegal disekujur tubuhku akibat latihan 3 hari
di Pusat Pendidikan Zeni, kini harus bertambah 9 hari lagi, bahkan kali ini
harus menginap. Jadi, kau tak usah marah lah karena untuk sejenak aku
melupakanmu.
Tapi,
jika kau masih tetap ngoyo ingin mendengar alasan mengapa aku meninggalkanmu
tanpa kabar selama itu, baiklah. Akan kujelaskan panjang lebar agar tak ada
dusta di antara kita. Kau tau Diksar untuk masuk ke dalam Organisasi Resimen
Mahasiswa kan? Ah, kau pasti tidak tau. Bukankah selama ini kau hanya berkutat
dengan tulisan dan tulisan, mana mungkin kau mengerti masalah militer. Nah,
jujur ray. Aku terpaksa sungguh sangat terpaksa mengikuti Diksar ini karena
diwajibkan oleh Profesor Bintoro, Ketua Program Keahlianku. Kau pasti tau,
selama ini aku sangat benci dengan olah raga apalagi bina fisik. Aku bisa makin
kurus jika harus lari di tengah hari.
Aku juga paling benci dibentak-bentak dan
diperintah mengerjakan sesuatu dengan limit yang singkat sekali. Membayangkanya
saja aku sudah mau muntah. Seperti semua curahan hatiku padamu, bahwa aku
mencintai sastra bukan Dunia Tentara. Aku selalu membayangkan diriku berada
disebuah Auditorium dan duduk manis memaparkan buku-bukuku, menandatangani
buku-buku yang akan dibeli oleh pembaca setiaku. Bukan seorang aku yang
berpakaian seperti laki-laki dengan senjata SS1 di tangan, Sepatu PDL yang
berat, dan embel-embel lain yang membuatku terlihat semacam seorang
Wonderwoman. Latihan semacam ini tak akan ada gunanya untukku.
Tapi, kau tau
lah konsekuensinya jika aku tidak mengikuti kegiatan ini, bisa-bisa nilai
Pendidikan Bela Negaraku berada di bawah standar, dan tentunya aku harus tetap
mengikutinya di semester depan. Jadi, lebih baik aku bersusah-susah sekarang
lalu berhappy-happy kemudian.
Ray,
kau masih diam saja? Okay, barangkali penjelasanku belum cukup membuatmu faham.
Meski begitu, aku akan tetap melanjutkan ceritaku. Kau tak melihat kobaran api
dimataku ray, pertanda aku sangat membenci 9 hari itu? Ah, kau mana tau tentang
kobaran api yang ada di mata itu, itu majas ray. Katanya sih majas itu bisa
membantu kita mengungkapkan sesuatu yang sulit di ungkapkan. Baiklah, tak usah
kita membahas tentang majas-majas lagi, aku takut kau semakin pusing. Selama 9
hari Diksar, aku di latih oleh belasan TNI-AD di Bataliyon Infanteri 315 Garuda
ray.
Wuih, seharusnya aku bangga bisa tinggal beberapa hari di Bataliyon
ternama. Tapi, aku tak bangga sama sekali ray. Kau tau, aku dan ke-22 temanku
harus jalan kaki dari kampusku yang berada di Cilibende menuju bataliyon yang
jaraknya jauh sekali, dengar-dengar istilah jalan jauh itu adalah long march.
kakiku lecet dan perih ray. Kau tak sedihkah mendengarnya? Belum lagi panas dan
polusi akut ditengah jalan raya. Aku semacam frustasi, ingin menangis tapi
takut dibilang cengeng. Dan, kau tau apa yang terjadi selanjutnya? Sesampai di
gerbang, kami langsung disambut dengan bentakan-bentakan dan muka garang, ingin
rasanya kucakar-cakar para TNI yang kasar-kasar itu. Belum usai penderitaanku
ray, kami harus jalan jongkok sambil menyanyikan lagu Syukur.
Bisakah kau
membayangkan betapa sakitnya kaki ini setelah perjalanan jauh kemudian
dilanjutkan dengan jalan jongkok, apalagi diiringi dengan lagu Syukur. Ah, aku
merasa seperti tawanan perang yang hinaaaa sekali. Aku marah setengah mati, dan
itu hanya bisa kupendam rapat dalam hati hingga terasa sakiitt ray. Dan,
selanjutnya dilanjutkan dengan Upacara pembukaan yang panasnya minta payung.
Masalah upacara, kau tau sendirilah. Aku sejak kecil tidak memiliki skill untuk
berdiri diam dengan tempo yang lama, apalagi jika cuaca panas. Sudah dipastikan
aku akan bisa melihat puluhan kunang-kunang menari-nari memutari kepalaku, jika
sudah seperti itu pandanganku akan kabur, wajah para pelatih yang ganteng-ganteng
bak Leonardo D’caprio pun jadi semacam tak ada bedanya dengan wajahnya om Sule.
Kau sudah mampu menyimpulkan kejadian selanjutnya? Apa? Belum? Ah, payah kau
Ray, kau kurang peka sekali. Aku memang belum sampai pingsan, tetapi aku mundur
dari barisan. Terserahlah mereka mau menyimpulkan apa, kalau tidak percaya
mangga tanya sama ibu ku dikampung tentang hal ini. Ray? Kenapa kau masih saja
diam? Apa penjelasanku belum cukup? Oh iya, barangkali kau membutuhkan cerita
yang sempurna. Sesempurna cintaku padamu. Ciehh...
|
At the Last, I completed it |
Ray,
jika aku ceritakan kronologis kegiatanku dari jam ke jam, kurasa butuh ratusan
halaman untuk menyelesaikanya. Jadi, aku harus meng-compress nya. Tak apa kan?
Okay ray,aku ingin bertanya sesuatu, kau pernah memakan muntahan temanmu kah?
Belum? Pasti belum. Kau mau tau rasanya? Rasanya sama saja dengan nasi biasa
ray, hanya terasa sedikit berlendir saja.
Nah, kita harus menghabiskan muntahan
teman akibat dia tidak bisa makan dengan waktu cepat. Untung saja aku bisa
melewatinya. Masalah makan cepat, syukurnya aku tidak mempermasalahkanya. Aku jalani
semuanya dengan biasa saja selagi aku
mampu. Selama disana, aku tak banyak bicara. Yah, mungkin karena memang aku
sama sekali tak bernafsu mengikuti kegiatan ini, kau tau lah bagaimana aku. Apalagi,
aku kan seorang pendiam dan kalem ray (tepok jidat).
Kau
mau tau apa lagi hal-hal yang paling menyiksa selama disana? Senam senjata. Ini
bukan bicara tentang senjata yang sama seperti milik adikku ray, yang apabila
kugunakan untuk melempar semut, bukanya semut itu mati tapi malah
menertawakanku. Ini beda ray. Senjata SS1 P3 namanya. Beratnya 3,8 Kg.
Bayangkanlah jika kamu harus memegangnya dengan satu tangan dan mengangkat
tinggi-tinggi dalam waktu lama plus dibawah terik matahari. Rasanya sudah pasti
sakit, tapi ternyata ada yang lebih sakit lagi, yaitu hati ray.
Aku ingin
menangis, seolah menyalahkan jalan hidupku. Tak pernah aku membayangkan diriku
seperti saat itu, aku memang suka berpetualang, tapi aku benci penyiksaan. Ya,
bagiku semua itu adalah penyiksaan lahir batin ray. Walau pada akhirnya aku
memahami esensinya. Hal yang terberat lainya adalah lari maraton di siang
bolong, tidak jauh, hanya 3 kali putaran lapangan, tapi rasanya cukup membuat
aku semacam sekarat (lebay). Kemudian, setelah melewati 4 hari 4 malam di
Bataliyon, kita move menuju Situ Gede. Perjalanan cukup jauh, aku juga lupa
bertanya berapa kilometer perjalanan saat itu.
Di tengah perjalanan, kita
diperintahkan berguling dilumpur, lumayanlah untuk mendinginkan badan. Walau,
akhirnya malah tubuhku tidak bisa menerima keadaan. Ya, penyakit lamaku
tiba-tiba mengunjungiku kembali. Kau tau ray, aku sakit apa saat itu? Ah, mana
pernah kau perduli padaku. Aku tak tau pasti nama penyakitnya, yang jelas
badanku gatal seperti digigit nyamuk. Tapi, kau tau ternyata ada hikmah dibalik
itu semua. Karena penyakit itu, aku disuruh berjemur menghangatkan badan,
sementara teman-temanku mendapat hadiah segelas jus sirsak.
Kau pasti sudah
membayangkan segelas jus manis dan segar bukan? wah bukan itu ray, jus sirsak
varian baru rupanya. Yup, segelas air yang di estafet kan dari satu teman ke
teman lain dengan syarat setiap orang harus berkumur-kumur dengan air tersebut
dan membuang air kumuran itu kembali kedalam gelas, begitu seterusnya. Kau
sudah bisa membayangkan sendirilah bagaimana wujud air dalam gelas itu. Nah,
itulah segelas jus sirsak varian baru yang wajib dikembangkan saat masa
orientasi mahasiswa baru (semacam dendam).
Selama
di Situ Gede, kita menjalani berbagai kegiatan yang sangat padat ray. Masalah
tidur, kita membuat tenda sederhana. Jangan kau kira, ini sama mengasyikkan
dengan camping. Aku sering kedinginan selama disana, ya... karena sering
disuruh nyebur ke Danau. Bajuku pun lebih sering kering di Badan. Ada satu
kegiatan yang membuatku keki setengah mati, namanya Caraka malam. Ya, kita
dibangunkan pada jam 22.00, selanjutnya dipanggil satu persatu, diamanahi
sebuah berita lalu dilepas berjalan sendirian di dalam hutan. Kau kenal aku
lama ray, jadi kau pasti tau kalau aku seorang penakut stadium akhir.
Hii...
aku selalu membayangkan hal-hal yang menyeramkan mengikuti langkahku, apalagi
aku ditakut-takuti bahwa hutan itu dihuni oleh seorang nenek tua yang tiba-tiba
bisa memunculkan diri. Kau tau nenek gayung? Aku tidak tau ray karena aku belum
nonton film itu, aku memang tidak menyukai film bergenre horor, untung saja.
Karena dengan begitu, aku jadi tak bisa membayangkan seremnya si nenek gayung. Sepanjang
perjalanan, kita dipandu oleh seutas tali yang dipasang sepanjang jalan, jadi
gak bakalan nyasar. Di pos pertama, mataku ditutup dengan kain, pada saat itu
topiku diambil oleh pelatih, padahal kita tidak boleh menyerahkan perlengkapan
apapun apalagi membongkar berita kecuali pada saat finish.
Tapi, aku tidak bisa
mencegah, wong mataku aja ditutup. Kalau tau kejadianya begini, mending tu topi
ku umpetin terlebih dahulu didalam baju. Setelah itu, ada pengujian indera
pembau. Ya, aku disuruh menebak bau rempah-rempah yang disodorkan ke ujung
hidungku. Aku sudah lama tidak memasak ray, semenjak kelas satu di Pondok
Pesantren hingga sekarang. Jadi, aku sudah hampir lupa dengan bau-bau rempah
itu. Beberapa yang bisa kutebak hanya aroma kunyit, sambal, dan ketumbar. Untuk
sambal, aku malah disuapi dan disuruh nelan. Ah, ini biasa, tidak sulit untuk
sekedar menelan sambal.
Di pos kedua, aku diperintahkan untuk PBB, disana ada
perintah “letak senjata”, tanpa pikir panjang aku langsung meletakkan di
samping kakiku. Yah, sebuah kebodohan memang, karena senjata itu langsung
diambil. Aku tidak berfikir sampai kesana. Jadilah aku melanjutkan perjalanan
tanpa senjata, ini kesalahan fatal ray, kalau dalam peperangan kau bisa mati
ditengah jalan. Pos tiga hanya beberapa meter lagi, namun aku dibuat tertawa
oleh sesuatu. Ada pocong kurcaci yang menggantung di tali, dalam hatiku semacam
mengejek si sutradara pembuat pocong. Masak ada pocong buntel kayak begitu.
Sesampai di pos tiga, terkesan pos yang santai. Ada seorang temanku juga yang
duduk disana. Tapi, dibalik santainya pos tiga, justru inilah pos paling
munafik disepanjang perjalananku.
Why? Karena aku tertipu hingga beritakupun
terbongkar disana. Di pos itu dijaga oleh pelatih Dodi, Pelatih Kuriansyah dan
pelatih Akrom. Pelatih Dodi mengatakan ini pos terakhir, dan ini dia laki-laki
berjaket merah putih (pelatih Kuriansyah) orang yang disebutkan ciri-cirinya di
awal agar aku membongkar berita hanya pada orang berjaket merah putih.
Kemudian, hal lain yang mebuatku tidak curiga, pada pos ini kita disuruh minum
dan duduk santai. Apalagi wajah pelatih Dodi dan Pelatih Akrom yang tidak ada
tampang jahil sama sekali. Ah, ternyata sama saja ray.
Ray,
sebenarnya masih banyak kegiatan disana yang belum kuceritakan, tapi aku takut
kau malah bosan mendengarkan. Ayolah, kau tersenyum dan maafkan aku.
Di
hari ke-8, kita move lagi menuju kampus. Masih tetap dengan long march. Kali
ini berhasil membuat kakiku lecet semua. Dan, akhirnya sampai juga pada hari
ke-9. FREEDOM DAY. Aku benar-benar seperti masuk syurga meskipun kehidupan ini
sama saja dengan hidupku yang dulu. Memang benar ray, kau takkan pernah
mensyukuri sesuatu sebelum kau merasakan penderitaan.
Aku
memang terpaksa mengikuti kegiatan ini, namun sekarang aku bersyukur ray atas
jalan hidupku yang membawaku kesana. Aku tak pernah menyangka bisa melewati
masa-masa yang bahkan aku tak mampu mengatakan sanggup walau didalam mimpi
sekalipun. Dengan pendidikan itu, aku mengerti betapa sulitnya kehidupan disaat
penjajahan dulu.
Bahkan ini belum seberapa, ancaman kematian yang sesungguhnya
tentu menjadi tekanan psikis yang berat sekali, bentakan, kekurangan, bau
darah, dan itu semua benar, tidak hanya main-main seperti yang ku alami selama
pendidikan. Aku bersyukur telah dipertemukan dengan orang-orang hebat di Menwa,
yaa... Aku menyimpulkan mereka adalah orang hebat, karena tak semua orang
memiliki jiwa besar yang sanggup melewati pendidikan yang penuh penderitaan,
apalagi mereka mengikutinya dengan suka rela.
Ray,
masih marah kah? Eh, kau tersenyum rupanya.Kau tetap cinta sejatiku ray, mana
ada yang menemaniku saat suka dan duka kecuali engkau. Ray, kau catatan harianku
yang paling setia, Diaryku yang paling kusayang. Ray, kau jangan marah lagi ya,
karena aku kembali lagi menjengukku setiap malam sebelum aku beranjak tidur,
menceritakan kejadian-kejadian yang kulalui setiap harinya, Okay.