Suasana pagi ini melemparku ke dua sisi mozaik hidupku. Ketika dosen dengan semangat -45 menjelaskan tentang berbagai pupuk tanaman. Aku tak memperhatikan, mungkin salah. Aku lebih sibuk dengan perasaan sendiri, menghayati suasana yang berkelindan dari hembusan angin dan bunyi-bunyian. Menikmati pikiranku yang meniti masa-masa silam. Kadang, bingung itu menyapa, akhir-akhir ini aku begitu merindukan waktu lalu.
Wush.... Angin yang bersensasi 'aneh' menyapu wajah. Aneh, karena angin ini seolah membawa rasa, angin ini seolah pernah menyapa di waktu lalu, angin ini seperti membawa pesan dari cerita masa silam. Ya, aku merasakan angin yang sama seperti yang kurasakan di tengah ladang jagung, di kampung halaman. Angin ini membuatku seakan memandang luas ladang jagung orangtuaku. Membuatku melihat kembali tubuh kecilku yang duduk di bawah rumpun pisang yang hidup di tengah ladang, menunggu Bapak-Ibu bekerja, memakan bekal, lalu tidur-tiduran sambil menikmati hembusan angin seperti yang datang pada pagi ini. Angin ini juga sama dengan yang kurasakan ketika bersama sahabat kecilku. Angin yang menerbangkan rambut kami ketika bersepeda menjelang matahari tenggelam. Angin ini membawa rasa yang dalam, rasa rindu kampung halaman, rasa ingin mencecap masa lalu kembali, ketika aku bisa menikmati setiap keindahan tanpa merisaukan masa depan.
Lalu, bunyi-bunyian itu menggema dari panggung acara puncak Ulang Tahun Diploma IPB. Nyanyian dengan aroma islam menyusup telinga, merambah ke dalam hati. Gema dan alunannya melempar diriku kembali ke suatu tempat, tempatku menempuh pendidikan tiga tahun lamanya. Pesantren tercinta. Aku kembali melihat diriku dan puluhan santriwati menyebar di segala ranah kawasan santriwati, pada Minggu pagi. Menenteng sapu lidi, tong sampah, pel, dan gunting bunga. Sebagian membersihkan masjid, kamar mandi, tempat wudhu, lobi, lapangan basket, tangga, teras, taman, bawah pohon, pembuangan sampah, lapangan takraw, teras, halaman dan asrama. Semua sibuk dengan tugas masing-masing. Aku dan empat orang temanku lah yang membagi lokasi-lokasi tersebut untuk seluruh santriwati. Biasanya, aku juga ikut menyapu daun-daun kering di taman, di tepi jalan. Lalu apa hubungannya dengan bunyi-bunyian itu? Tentu saja ada. Alunan lagu-lagu Islam itulah yang selalu menggema dari menara masjid kami di pagi Minggu. Terkadang juga diganti dengan alunan ayat Al-Quran atau ceramah agama. Lagu-lagu, alunan ayat-ayat suci, dan ceramah yang menggema hingga ke pojok-pojok pesantren itulah yang kurasakan pagi ini. Aku rindu suasana itu, dan tentu saja aku rindu teman-temanku di sana.
Kadang, keperihan yang kita rasakan sekarang, membawa kita begitu merindukan masa silam. Ini sebuah keniscayaan. Meskipun, nantinya masa sekarang pun akan menjadi hal yang dirindukan, ketika kita telah meninggalkannya di belakang. Dulu pun bukan tanpa masalah, dulu pun tak semua indah, sama seperti sekarang. Setidaknya, ini mengingatkanku untuk menikmati waktu yang dijalani. Semua berharga, semua adalah mozaik-mozaik yang berserak, kita harus mengumpulkannya, menyusunnya dengan periode yang tak instan.
So, tak perlulah meratapi keadaan. Right?
Have just written in class discussion#10:42 am# Saturday# busy class# :-)
Artikelnya menarik sekali mba
ReplyDelete