Tuesday 2 July 2013

Sebuah Rasa: Mengaji dan Kenangan

Desaku memang tak punya apa-apa yang bisa kubanggakan, desaku 'hanya' memiliki masa laluku dan keluargaku yang tak bisa kutemui di tempat lain, yang tak bisa kubeli dengan materi sebanyak apapun. Setidaknya, itu sudah cukup.

Malam ini sama dengan malam-malam sebelumnya, kemanapun mata kuarahkan ke segala ranah, semua gelap pekat. Hanya ada beberapa sorot lampu dari rumahku, musola dan rumah-rumah penduduk di kejauhan. Sehabis shalat maghrib berjamaah, aku mengulang kembali kegiatanku dulu, mengajar anak-anak desa ini mengaji. Menuliskan masalah mengaji, sudah beberapa generasi desa ini mengkhatamkan Al-quran di sini.

Berpuluh tahun lalu, Bapak merasa prihatin dengan keadaan para penduduk desa yang tak bisa membaca Al-quran, kalaupun ada, hanya beberapa saja. Para orangtua pun enggan mengajar anak-anaknya mengaji, atau lebih tepatnya mereka tidak bisa. Melihat keadaan ini, Bapak bersedia mengajar anak-anak desa mengaji. Aku masih mampu mengingat para generasi pertama-sekarang rata-rata sudah menikah, dengan begitu semangat menuju rumahku, belajar mengaji dari tidak mengenal alif-ba-ta, hingga khatam Al-quran. Aku masih kecil sekali, mungkin berumur lima tahunan. Ketika para generasi pertama 'naik' dari buku Iqra' ke Al-quran, generasi kedua-generasiku, masuk (baru alif-ba-ta), begitu seterusnya hingga sekarang sudah di generasi kelima dan keenam.

Dulu, ketika generasi pertama dan kedua belajar mengaji, rumahku masih rumah lama. Atapnya dari daun rumbia, pun hanya diterangi lampu minyak tanah. Para anak-anak desa ini berangkat sebelum maghrib dan pulang sesudah isya'. Belum ada yang memiliki diesel waktu itu, semua rumah hanya tampak remang oleh lampu minyak tanah. Para anak-anak desa pulang ke rumah masing-masing diterangi obor dari daun kelapa kering. Meskipun begitu, mereka tetap bersemangat. Terkadang, anak yang jahil menggantungkan pocong-pocongan di pohon di tepi jalan, mereka yang melihat ketika pulang mengaji pun lari tunggang langgang.

Dulu, mereka datang mengaji sekitar jam 4-5 sore, jadi masih butuh 1-2 jam menunggu waktu maghrib. Biasanya aku akan ikut bermain di halaman. Aku paling suka jika kami main pengantin-pengantinan (manten-mantenan, kami menyebutnya). Dua orang jadi pengantin, satu orang jadi Mak Andam (perias pengantin), dua orang jadi tukang kipas, tiga orang laki-laki jadi pemain band, dan sisanya jadi tamu undangan. Sebelum memulai bermain, kami sibuk menyiapkan tempat pesta. Ada yang mengumpulkan bunga-bunga, ada yang mencari janur kelapa, ada yang menghias pelaminan dan pengantin, dan para pemain band memasang panci bekas, kaleng minuman, dan botol pada kayu-kayu.

Sekarang, generasi pertama dan generasi kedua telah tumbuh dewasa. Banyak yang telah mewujudkan manten-mantenan kami dulu menjadi kenyataan, banyak juga yang masih sibuk bekerja di Batam atau Tanjung Pinang, dan beberapa yang masih kuliah.

Setelah aku khatam Al-quran, aku diperbolehkan Bapak untuk membantu mengajar mengaji generasi selanjutnya. Ah, sulit sekali menjadi guru itu. Kita harus sabar dan telaten. Mau marah tidak bisa, takut anak-anak kecil itu menangis dan mengadu pada orang tuanya. Ada sebagian anak yang mudah memahami dan segera bisa mengeja Al-quran, ada juga yang tidak bisa-bisa. Namun, berapapun waktunya, lambat laun mereka bisa juga membaca ayat-ayat Alqur'an. Semua hanya soal waktu dan kesabaran.

Dua tahun terakhir, anak-anak tidak lagi mengaji di rumahku, melainkan di Musola yang berdiri di samping rumahku. Adik-adik yang dulu baru belajar alif-ba-ta denganku, kini sudah lancar membaca Al-qur'an, hanya sesekali tajwid mereka kurang tepat. Mereka duduk melingkar saling menyimak bacaan sang teman, aku suka itu. Suasana itu mengingatkan ketika aku masih seperti mereka. Suasana itu membuatku sejenak teringat wajah-wajah generasi pertama dan generasiku yang kini merantau kemana-mana.

Semoga inilah yang sering Bapak katakan sebagai ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang Bapak dan aku ajarkan kepada anak-anak desa ini semoga kelak akan diajarkan kembali oleh mereka kepada orang lain, setidaknya kepada anak-anak mereka nanti. Dengan begitu, semoga akan membantu timbangan amalku kelak yang mungkin terlalu ringan di sebelah kanan. Semoga bisa diterima sebagai amalan jariyah yang bisa menolong ketika nafas telah terputus dari badan. Amin

(Kuala Kampar, 3 Juli 2013, 23.00 WIB)

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...