Barangsiapa
menyeru kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala
orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun.
Dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa sebagaimana
dosa-dosa orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa mereka
sedikit pun—HR Muslim No. 2674
Tak sampai 15 menit, empat
orang lelaki tersebut berhenti di depan sebuah pintu rumah yang sederhana.
Mereka membunyikan bel beberapa kali. Tak lama muncul dari balik pintu tersebut
seorang lelaki yang kira-kira berumur 49 atau 50 tahun. Tubuhnya sedang, tidak
tinggi dan tidak juga pendek, jenggotnya menggantung hingga sekitar satu
jengkal di bawah dagu, lalu di atas kepalanya bertengger manis sebuah kopiah
putih. Penampilan yang tidak jauh berbeda dengan tiga orang sahabat Mustafa.
Setelah menjawab salam,
lelaki tersebut mempersilakan tamu-tamunya untuk masuk. Ia sempat memandang
heran pada Aisiya. Syukurnya Mustafa segera menjelaskan sehingga senyuman ramah
pun merekah di bibir si tuan rumah. Ia kemudian seperti memanggil seseorang di
dalam rumah, dan tak lama muncul seorang perempuan mengenakan gamis cokelat,
kerudung dan niqab hitam. Perempuan inilah yang menjemput Aisiya, bahkan
menggapit tangannya untuk masuk ke dalam rumah.
Aisiya dibawa masuk ke sebuah
ruangan khusus. Berbeda dari ruang tamu yang terletak paling depan. Tapi di
ruangan ini juga terdapat sofa.
“Ahlan wa sahlan. Silakan
duduk. Ini adalah ruang tamu khusus untuk wanita. Kau pasti heran.” Ucap wanita
tersebut dengan bahasa Inggris yang sempurna. Ia tahu bahwa tamunya tersebut
pasti kebingungan dan bertanya-tanya ruangan apakah ini, mengapa harus dipisah
dan sebagainya.
Perempuan tersebut membuka niqab,
dan sempurna lah rasa takjub Aisiya begitu mengetahui bahwa wajah di balik niqab
tersebut seindah bulan purnama. Bibirnya yang selalu tersenyum, wajahnya yang
selalu bercahaya seolah-olah ia adalah wanita paling bahagia di dunia ini.
“Namaku Racheel Hudson.
Usiaku saat ini 38 tahun. Sudah tidak muda lagi. Tentu saja.” Katanya
memperkenalkan diri dengan ramah.
Aisiya duduk. Ia masih sulit
untuk menguasai diri.
“A... kau bukan orang Bosnia
asli?” tanya Aisiya sedikit gugup.
“Aku lahir dan besar di
Australia. Kami—aku dan suamiku—bertemu di kota Sydney pada tahun 2005, menikah
di sana, lalu kemudin aku ikut suamiku ke negara ini pada tahun 2010.”
“Kau terlahir sebagai
Muslim?”
“Nope.” Jawabnya masih dengan
wajah ramah. “Aku masuk Islam pada tahun 2004 di Sydney. Alhamdulillah.”
“Kau mengenakan niqab mulai
saat itu?” Aisiya masih dikejar rasa penasaran.
“Nope.” Wajahnya sedikit
muram kali ini. “Aku berhijab tahun 2005. Niqab ini baru kukenakan sejak 3
tahun lalu, setelah aku dan suamiku sama-sama mendalami Islam. Alhamdulillah.”
“Tapi niqab bukan sebuah kewajiban
bagi seorang Muslimah.” Sanggah Aisiya.
Wanita berdarah Australia itu
tersenyum. Indah sekali. “Iya. Oh aku belum tahu siapa namamu?”
“Aisiya Rahmawati. Aku orang
Indonesia. Umurku 22 tahun.”
“Oke, baik, Aisiya. Masya
Allah namamu mengingatkanku pada salah satu wanita terbaik penghuni Surga,
yaitu Aisiya binti Muzahim, istri Firaun. Semoga Allah memberimu berkah atas
nama yang demikian indah.”
“Aamiiin insya Allah.
Terimakasih.” Aisiya tersipu.
“Insya Allah.” Sambung
Racheel. “Baik, Aisiya. Kamu pasti ingin tahu alasanku mengenakan niqab, kan?
Padahal tidak ada satu ayat pun dalam Al Quran yang mewajibkan Muslimah untuk
mengenakannya. Kamu benar. Niqab memang tidak wajib, namun aku senang
mengenakannya. Dan aku berharap semoga ini bisa menjadi salah satu hujjahku
kelak di hadapan Allah ketika ditanya, ‘Bagaimana caramu menjaga amanah wajah
dan tubuh yang telah Kutitipkan padamu selama hidup di dunia?’. Alasan kedua
karena aku ingin mengikuti teladan dari para wanita saliha terdahulu yang
ketika turun perintah hijab, mereka seketika menarik kain-kain yang ada di
sekitar mereka untuk kemudian ditutupkan ke seluruh tubuh sehingga mereka
terlihat seperti gagak-gagak hitam. Alasan ketiga aku memilih niqab karena ini
bertentangan dengan nafsu seorang wanita yang selalu ingin menampakkan
kecantikan di depan umum demi mendapatkan pujian. Niqab juga melindungi
hati-hati wanita yang bisa saja iri melihat kecantikan wanita lain. Insya Allah
semoga Allah meluruskan niat di dalam hati.”
Aisiya tak bisa berkata-kata.
Hatinya diliputi keharuan mendengar kesaksian luar biasa muslimah mualaf yang
duduk anggun di sampingnya kini. Ia merasa malu. Sungguh. Kecantikan yang
miliki sama sekali tak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan paras jelita
teman barunya ini. Tapi lihatlah betapa teguh wanita ini memenjarakan nafsu.
Sementara dirinya, meskipun telah berhijab, mengenakan gamis longgar, tapi
tetap saja sibuk memoles wajah ketika akan keluar rumah. Dan benar apa yang
diucapkan Racheel, ia ingin semua orang di luar nanti akan melihat paras ayunya
kemudian memberikan pujian.
“Oh, Aisiya. Aku sampai lupa
kalau suamiku juga kedatangan tamu. Kau bisa menunggu di sini sementara aku
menyiapkan jamuan di dapur, atau kau juga boleh ikut bersamaku.”
“Aku ikut denganmu.” Seketika
Aisiya berdiri.
Racheel menggandeng tangan
Aisiya menuju dapur yang hanya terpisah dinding beton kasar dari ruang tamu
untuk wanita. Rumah ini sederhana sekali. Hanya terdiri dari dua buah ruang
tamu, dua kamar tidur, dan satu dapur di bagian belakang. Tak ada furniture
yang mewah. Semuanya terlihat sangat sederhana, termasuk meja makan dengan enam
buah kursi di ruang dapur. Meski sederhana, namun jelas sekali semuanya tampak
bersih dan tertata rapi. Tak ada satu pun foto yang terpajang di dinding, hanya
beberapa lukisan kaligrafi dan beberapa kerajinan tangan.
“Racheel, maaf, kalian tidak
memiliki anak?”
“Alhamdulillah Allah
mengamanahi kami dua orang anak. Yang pertama bernama Hassan, usianya 8 tahun.
Sekarang sedang di rumah neneknya di Butmir. Sedangkan yang kedua bernama
Safiye, usianya baru dua tahun. Dia sedang tidur di kamar. Nanti kau bisa
melihatnya.” Racheel menunjuk kamar di bagian depan. Senyuman di wajahnya
berbinar, seolah mengatakan bahwa ia sangat bahagia.
“It will be my pleasure to
see your little princess.” Aisiya tak kalah bahagia.
Dua wanita itu kemudian sibuk
menyiapkan jamuan selama 30 menit ke depan. Aisiya membantu apa yang mampu ia
lakukan, sementara Racheel yang meracik hingga bahan-bahan makanan tersebut
menjadi sebuah hidangan.
“Olahan daging ini dikenal
masyarakat Bosnia dengan nama cevapcici. Bisa dari daging sapi atau domba. Yang
kubuat sekarang adalah daging domba. Kau sudah pernah mencicipi cevapcici
sebelumnya?”
Aisiya menggeleng dengan
senyuman polos.
“Insya Allah kau akan
mencicipinya siang ini.”
Gadis Indonesia itu semakin
riang. Ia memperhatikan setiap gerak tangan Racheel dalam mengolah daging
tersebut. Mulai dari proses pencampuran bumbu dengan bawang bombai, bawang
putih, merica, garam, dan paprika bubuk, kemudian membentuk daging cincang
menjadi lonjong pipih, hingga membakarnya di atas tungku. Setelah matang,
cevapcici diletakkan di atas piring besar, kemudian siap dihidangkan bersama
roti bundar, yoghurt, dan irisan bawang bombai. Tidak lupa Racheel menyeduh
beberapa cangkir kopi Bosnia.
Setelah semuanya siap, Racheel
memanggil suaminya untuk mengangkut semua hidangan tersebut ke ruang tamu
depan. Masih ada dua porsi cevapcici dan dua cangkir kopi yang tersisa di atas
meja makan. Tentu saja itu adalah bagiannya dan Aisiya.
“Silakan duduk, Aisiya.
Semoga kau suka dengan hidangan sederhana ini.” Wanita asal Autralia itu
menarik kursi untuk tamunya.
Dua wanita itu duduk
berhadapan. Setelah membaca basmallah dan doa, mereka mulai menyantap hidangan
tersebut.
“Hmm... ini enak sekali.
Meskipun dibakar, tapi daging ini tidak kering saat digigit. Dan rasanya sangat
gurih. Kau dianugerahi tangan yang sangat berbakat, Racheel.” Puji Aisiya
tulus.
“Aku senang kau menyukainya.
Kelak setelah menikah, kau pun akan belajar banyak seputar dapur. Dan yang
terpenting bagi seorang Muslimah adalah meniatkan semua pekerjaan rumah kita
sebagai ibadah kepada Allah, termasuk menyiapkan makanan. Kau tahu, dulu aku
tak suka memasak. Suamiku, Ismail, justru dia yang lebih sering menyiapkan
makanan. Tapi kemudian setelah aku mendalami Islam, paham betapa besar
kemuliaan yang bisa didapatkan oleh seorang Muslimah melalui aktivitas di
rumah-rumah mereka, semakin hari aku merasakan kebahagiaan ketika memasak.”
“Kau tidak bosan di rumah
terus? Kau tidak bermimpi punya karier seperti wanita-wanita jaman sekarang?”
“Dunia adalah penjara bagi
orang-orang yang beriman, dan surga bagi orang-orang kafir. Namun bagi
orang-orang beriman, Allah melimpahkan sakinnah dalam penjara-penjara tersebut.
Menurut Imam Nawawi rahimahullah, sakinnah ialah sesuatu yang sangat istimewa meliputi
ketenangan, ketenteraman, rahmat, kesejahteraan, dll, yang diturunkan Allah
bersama-sama dengan para malaikat. Allah dan Rasul-Nya lebih ridho ketika
seorang wanita berada di rumahnya, mendidik anak-anaknya, dan aku lebih senang
memilih sesuatu yang diridhai Allah dan Rasul-Nya dibandingkan kampanye duniawi
kaum kapitalis. Tapi bukan berarti aku menyalahkan para Muslimah yang memiliki
karier, Aisiya. Tidak. Ini hanya pilihanku sendiri dan aku telah mengungkapkan
alasannya. Aku juga sering keluar rumah. Setiap 3 hari sekali, Ismail
menemaniku berbelanja kebutuhan dapur. Dia mengantarku apabila ada
kajian-kajian Muslimah yang ingin kudatangi. Dan seminggu sekali kami akan berkunjung
ke rumah mertuaku di Butmir.”
“Kau pernah membaca A
Thousand Splendid Suns karya penulis asal Afghanistan, Khaled Hosseini? Novel
ini menggambarkan jelas betapa tertekan kehidupan wanita Muslimah dalam
rumah-rumah mereka.”
Racheel mengangguk. “Aku
membacanya satu tahun sebelum memeluk Islam. Dan karena hal itu pula aku selalu
bertanya pada teman-teman wanitaku yang beragama Islam. Tapi semuanya tidak
bisa memberikan jawaban memuaskan. Hingga kemudian Allah mempertemukanku dengan
seorang Muslimah asal Polandia di tahun 2003, namanya Cecylia. Dia tidak
memberikan jawaban langsung, melainkan memberiku hadiah satu buah Al Quran
terjemahan dan satu buah kitab yang berisi hadist-hadist. Ia memberikan catatan
khusus ayat dan hadist mana yang harus dibaca terlebih dahulu untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaanku tersebut. Dan satu hari setelahnya aku sudah
mendapatkan jawaban jelas. Kau sungguh tidak tahu mengapa dua tokoh utama dalam
novel tersebut, yaitu Mariam dan Laila, mengalami kehidupan yang demikian
tersiksa?”
Aisiya menggeleng. “Suaminya,
Rasheed, telah meminta mereka mengenakan niqab saat keluar rumah. Tidak berbeda
dengan Ismail yang memintamu mengenakan niqab. Jika kau bisa merasakan bahagia,
lalu kenapa dua wanita tersebut tidak?”
“Aku berlindung kepada Allah
dari perkara yang tidak kuketahui hakikatnya. Tapi yang bisa kukatakan
sekarang, demi Allah, Ismail tidak sama dengan Rasheed. Dan Ismail tidak pernah
memaksaku mengenakan niqab. Jika kau membaca novel itu dengan teliti, kau akan
tahu dimana letak kesalahan-kesalahannya. Mereka memang meminta istri-istri
mereka mengenakan niqab, bahkan sampai mata mereka pun ditutup. Tapi perhatikan
sekali lagi, mereka tak paham apapun tentang agama ini, Aisiya.
Seorang suami yang paham
tentang Islam, mereka tak akan berbuat zalim kepada istrinya. Tak akan mengoleksi
majalah-majalah pembangkit syahwat. Tak akan menghina dan menyakiti hati
istrinya. Tak akan melarang anak perempuan untuk menuntut ilmu. Seorang suami
yang paham tentang Islam, ia akan memuliakan istrinya seumpama sebuah perhiasan
yang terpelihara.
Jika kau membaca novel itu
sekali lagi, kau akan tahu bahwa novel tersebut tidak menggambarkan kehidupan
Islam yang sebenarnya. Khaled hanya menuliskan kehidupan orang-orang Muslim di
Afghanistan sana yang ternyata—dalam novel itu—kebanyakan salah dalam mamahami dan
mengamalkan Islam. Aku tidak tahu apakah benar seperti itu kondisi di Afghanistan
ketika di bawah pemerintahan Taliban.”
Aisiya mengangguk-angguk.
“Kamu seorang jurnalis,
Aisiya. Dan kamu juga seorang Muslim. Pesanku sebagai seorang sahabat, niatkan
lah semua aktivitas kita untuk Allah semata, termasuk tulisan yang nantinya
akan kamu rangkai. Bertakwa lah kepada Allah, ingat bahwa nanti setiap kita
akan mempertanggung jawabkan semua perbuatan di dunia ini pada yaumil hisab.
Jangan pernah berpikir bahwa
satu bait tulisan yang dibaca orang lain terbebas dari pengadilan akhirat. Bahkan
meskipun itu hanya beberapa patah kata, sama saja kelak di hadapan Allah.
Apabila tulisan tersebut memberikan manfaat bagi orang lain, insya Allah ia
akan bernilai kebaikan. Tapi jika tulisan tersebut menyesatkan orang lain,
membuat orang lain berangan-angan kosong, apalagi sampai membayangkan maksiat, dan
bahkan mendorong orang lain melakukan maksiat, maka tulisan tersebut akan
bernilai keburukan dan dosa. Bahkan bisa jadi sang penulis akan menanggung dosa
para pembaca yang ia sesatkan.”
“Insya Allah. Terimakasih
atas nasehatmu, Racheel. Aku tidak akan pernah melupakannya.” Mata gadis
Indonesia itu telah berkaca-kaca. Ia tidak menyangka akan mendapatkan nasehat
seperti ini dari seorang wanita Australia. Nasehat yang bahkan tak pernah ia
dapatkan selama di Indonesia.
Selesai bersantap, mereka
mencuci semua peralatan kotor. Kemudian Racheel mengajak Aisiya untuk melihat
putrinya di kamar.
Gadis kecil itu ternyata
sudah bangun dari tidur. Tapi dia tidak menangis. Matanya yang bulat bercahaya
mengerjap-ngerjap, memandangi mainan yang digantungkan di atas ranjang bayi.
Begitu wajah sang ibu muncul, bayi cantik itu seketika tertawa hingga
menampakkan gusi yang baru ditumbuhi empat batang gigi.
Racheel mengangkat putrinya
ke dalam gendongan, “Kau ingin menggendongnya?” Ia menawari Aisiya yang sejak
tadi belum bisa melepaskan pandangan dari bayi berusia 2 tahun itu.
“Aku takut, Racheel. Seumur
hidup aku tak pernah menggendong bayi.” Pekik Aisiya tertahan.
“Tak perlu takut. Safiye
sudah tumbuh besar. Lehernya pun sudah cukup kuat. Jangan panik. Oke?”
Akhirnya Aisiya setuju.
Dengan penuh kehati-hatian ia mengambil alih Safiye dari tangan Racheel.
Beruntung Safiye adalah tipe bayi yang ramah. Ketika tangan Aisiya diulurkan,
Safiye langsung menyambut dengan dua belah tangan yang diacungkan. Senyuman
bayi itu merekah di antara rambutnya yang keriwil-keriwil bewarna kecokelatan.
“Masya Allah tubuhnya harum
sekali. Seolah aku sedang memasuki sebuah taman mawar di puncak musim semi.”
Puji Aisiya begitu ia mencium pipi Safiye.
“Iya aku mengolesinya dengan
minyak mawar yang dibawa Ismail dari Turki. Kalau tidak salah ia membelinya di
Isparta, sebuah kota di Turki yang terkenal dengan julukan ‘Kota Mawar’. Dari
cerita Ismail, bahkan hingga kerudung dan tasbih yang dijual di sana pun
beraroma mawar.” Jelas Racheel bersemangat. Ia mengajak Aisiya untuk duduk di
sofa tidur yang tersedia di sudut kamar itu.
“Kau melahirkan kedua anakmu
dengan proses normal atau operasi caesar?”
“Alhamdulillah normal.”
“Apakah sakit?”
“Tentu saja.”
“Karena itulah aku masih
tidak siap untuk berumah tangga. Aku selalu membayangkan proses kehamilan
hingga melahirkan yang sepertinya sakit sekali.” Ucap Aisiya sambil terus
memperhatikan Safiye yang kini memainkan salah satu ujung kerudungnya.
“Aisiya. Aku bisa saja
menunjukkan padamu berbagai hadist Rasulullah salallahu
‘alaihi wassalam perihal
keistimewaan yang diberikan Allah kepada wanita yang sedang hamil hingga
bersalin, bahkan sampai 40 hari pasca kelahiran. Tapi semua itu tidak akan ada
bekasnya di dalam hati apabila kamu tidak bertakwa. Kunci segala hikmah dan
kebaikan bisa menyentuh kalbu adalah ketika kita bertakwa kepada Allah
seutuhnya. Hadirkan lah perasaan gembira ketika kamu shalat, ketika mengingat
Allah. Apabila semua itu sudah mampu diraih, maka pertahankan lah dengan
memperbanyak dzikir. Jangan lengah sedikit pun karena syaitan akan memanfaatkan
kelengahanmu tersebut. Kemudian ketika itu semua telah mampu kamu kerjakan
dengan ikhlas, bacalah berbagai hadist yang menerangkan tentang keistimewaan
para wanita yang sedang hamil hingga melahirkan. Apakah kamu belum tahu bahwa
ketika seorang wanita Muslimah hamil, maka seluruh malaikat akan memintakan
ampun untuknya?”
Aisiya menggeleng. “Yang aku
tahu, apabila seorang Muslimah meninggal saat melahirkan atau dalam rentang 40
hari setelah melahirkan, ia akan dianggap sebagai mati syahid. Tapi entahlah.
Aku tak yakin. Bagaimana jika wanita tersebut seorang pendosa?”
“Aku tidak mengetahui perkara
ghaib, Aisiya.” Racheel tersenyum. “Kita tidak pernah tahu siapa yang kelak
akan mendapatkan ridho dan ampunan Allah. Tapi yang banyak diterangkan dalam
hadist, selama orang tersebut tidak melakukan dosa besar dan syirik, insya
Allah masih ada peluang baginya mendapatkan keistimewaan tersebut. Kamu ingin
dengar sebuah cerita? Ini kisah nyata yang dialami oleh salah satu teman
Ismail, suamiku.”
“Tentu saja. Ceritakanlah
padaku.” Sambut Aisiya dengan riang.
Racheel, wanita Australia
yang wajahnya bercahaya itu memulai ceritanya. Lelaki teman suaminya itu
bernama Hamzah. Dia tinggal di sebuah desa terpencil sekaligus tertua bernama Lukomir, bagian Tenggara Bosnia. Satu
tahun lalu, tanpa ada sebab yang jelas, tiba-tiba saja Hamzah tidak sadarkan
diri selama beberapa jam. Istri, anak-anak, dan semua ahli keluarganya menjadi
panik. Mereka mencari berbagai cara untuk membangunkan Hamzah, termasuk dengan
mendatangkan seorang tabib yang masyhur di desa tersebut.
Setelah sekian lama mereka
menunggu dengan resah, akhirnya Hamzah bangun dari pingsan. Begitu kesadarannya
telah sempurna pulih, ia bercerita, “Dalam pingsanku tadi, aku seperti
menyusuri sebuah jalan. Lalu aku berpapasan dengan satu per satu orang yang
telah meninggal di desa ini. Tapi setiap kali aku memanggil, tidak ada satu pun
dari mereka yang sudi menjawab. Bahkan mereka memalingkan wajah. Hal ini
membuatku heran. Hingga beberapa lama kemudian, aku bertemu dengan almarhumah
Salma.
Kalian pasti belum lupa siapa
Salma. Tetangga kita itu. Wanita yang meninggal saat melahirkan sekitar 5 tahun
lalu. Nah dalam perjalananku itu, aku melihat Salma, meskipun tak seketika aku
mengenali sampai akhirnya dia menyebutkan siapa namanya, ‘Aku ini Salma.
Tetanggamu dulu.’ Tapi yang membuatku tidak percaya, wanita ini memiliki wajah
yang sangat jelita, sementara Salma yang kita ketahui bisa dikatakan tak
memiliki paras yang istimewa. Karena dia meyakinkan bahwa dirinya benar-benar
Salma, akhirnya aku menyerah dan percaya.
Dia mengajakku singgah ke
rumahnya yang masya Allah sangat megah. Tapi sebelum itu, Salma mengajakku berkeliling
taman di sekitar rumah tersebut. Di sana aku menyaksikan bunga-bunga yang
keindahannya belum pernah kulihat di dunia ini.
Dia juga memberi tahuku
sebuah rumah yang tidak kalah indahnya yang dibangun di samping rumahnya.
‘Rumah itu mau dijual. Kamu bisa membelinya’. Kukatakan padanya bahwa aku tidak
mungkin sanggup membeli rumah seindah itu. Belum sempat aku melihat bagian
dalam rumah Salma, alhamdulillah aku sudah sadarkan diri.”
Racheel mengakhiri ceritanya
dengan senyuman. Ah, rasanya wanita ini memang selalu tersenyum. Bahkan saat ia
sedang tidak tersenyum pun, orang lain akan memandangnya seolah ia sedang
tersenyum. Pada point inilah Aisiya percaya hadist yang menyebutkan bahwa
orang-orang yang menjaga shalatnya akan mendapatkan 10 kebaikan, salah satunya
adalah memancarnya nur atau cahaya pada wajah, adalah benar.
“Kamu tahu, berdasarkan
kesaksian Hamzah, perempuan bernama Salma ini, selama hidupnya tidak kelihatan
terlalu tekun mengamalkan agama. Dia Muslimah yang biasa saja atau dalam bahasa
yang lebih mudah dipahami, ‘tidak saleha-saleha amat’. Hanya saja dia memiliki
satu keberuntungan yaitu meninggal ketika melahirkan. Kamu boleh mempercayai
cerita Hamzah ini atau tidak percaya. Semua kembali padamu. Tapi jangan pernah
lupa Aisiya, seorang Muslimah yang berjuang susah payah melahirkan bayi yang
berada dalam kandungan itu sama nilainya dengan seseorang yang berjihad di
jalan Allah. Hanya ada dua kebaikan baginya, yaitu: menyaksikan seorang
malaikat kecil penerus generasi yang menangis untuk memulai kehidupan, atau
syahid dan hidup berbahagia selamanya di sisi Allah. Tapi sekali lagi jangan
lupa, Allah tidak mengampuni dosa syirik dan beberapa dosa besar lain yang
hanya bisa diampuni melalui jalan taubat. Semoga Allah menjauhkan kita dari
dosa-dosa tersebut.”
“Semoga Allah merahmatimu
atas ilmu yang demikian bermanfaat. Aku tidak menyangka akan bertemu dengan
Muslimah yang mengamalkan agama dengan baik sepertimu justru saat aku berada di
tanah Eropa.”
“Wa
laa yuhithuuna bi syai in min ‘ilmihi illaa bi maasyaaa. Dan mereka tidak
mengetahui apa-apa dari ilmu Allah, melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kudengar Ismail memanggil, sepertinya mereka akan
segera ke Masjid. Kamu ikut mereka atau tetap di sini?”
“Aku datang bersama Mustafa dan
harus kembali bersamanya pula.” Aisiya menyerahkan Safiye setelah mencium gadis
kecil itu sebanyak tiga kali.
“Mustafa. Suamiku banyak
bercerita tentang pria Turki yang satu ini. Kamu tahu, Aisiya? Mustafa itu
telah banyak menerima tawaran beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke berbagai
negara-negara maju karena kecerdasannya. Tapi dia memilih untuk mengabdikan
diri di Bosnia. Kudengar dari Ismail pula, bahwa Mustafa selama 4 tahun
terakhir tidak pernah meninggalkan shalat malam. Ia hanya tidur selama 3 jam
saja. Tidak lebih.”
“Benarkah?” mata Aisiya
membulat.
“Iya, benar! Biasanya dia
tidur sebentar sebelum shalat Zuhur, karena tidur pada waktu ini adalah sunnah.
Sementara shalat malam Mustafa sangat panjang. Dia bahkan bisa membaca
berjuz-juz al Quran dalam satu rakaat. Akal manusia biasa tidak akan bisa
memahami hal ini. Tapi yang seperti ini nyata terjadi. Ada banyak Muslim yang
beribadah seperti ini. Bahkan tidak sedikit para tabi’in yang shalat Subuh
tanpa memperbarui wudhu shalat Isha mereka. Dan itu mampu dipertahankan selama
puluhan tahun hingga wafat.”
Aisiya bahagia mendengar hal
ini. Ketakjuban dalam dadanya kini terasa sampai di puncak. Bagaimana mungkin
lelaki itu sanggup menghabiskan malam hanya dengan tidur selama 3 jam?
Sementara dirinya sendiri untuk bangun setengah jam sebelum azan Subuh saja
sering terlewat.
Benar apa yang diucapkan
Racheel, keistimewaan lelaki ini sangat sulit untuk dipahami akal. Keistimewaan
ini pula yang justru membuat Aisiya merasa sedih. “Jika benar begitu, maka
hanya bidadari yang pantas menjadi istrinya.” Spontan kalimat ini meluncur dari
lisannya.
Racheel tersenyum lebar. Bisa
dikatakan ia sedang tertawa kali ini. “Eh, kamu lupa ya kalau Rasulullah salallahu ‘alaihi wassalam saja beristrikan manusia?”
“Iya. Tapi bukan manusia hina
sepertiku.” Sambung Aisiya polos, membuat lawan bicaranya mengernyitka dahi.
“Apakah itu artinya kamu
tertarik untuk menjadi istri Mustafa?” selidik Racheel dengan wajah menggoda.
Gadis Indonesia itu baru
sadar bahwa ucapan demi ucapannya tadi telah membimbing Racheel pada satu
kesimpulan penting. Seketika wajahnya merona. Dia tidak menjawab apapun, tapi
semua orang kini paham apa sebenarnya yang tersimpan di balik hatinya.
-Diambil dari Istanbul: Kesaksian sebuah Kota. Kisah tentang Hamzah yang bertemu dengan Salma adalah kisah salah satu penduduk di desa saya. Kisah nyata. Hanya saya mengganti nama tokoh dan tempatnya. Semoga bermanfaat ;)