Monday, 24 July 2017

Salaman ya Umar Al Faruq



Hari itu kota Mekah panas menyengat seolah dari celah-celah setiap butiran pasirnya mengeluarkan uap dari tungku perapian. Meski begitu, kegiatan manusia seperti tak pernah ada habisnya. Aku menyaksikan orang berduyun-duyun kemudian berkumpul di tepian kota Mekah, di sebuah lapangan gersang yang membara. Di lapangan itu tertancap beberapa puluh tiang yang digunakan untuk membelenggu para budak yang memeluk agama baru, Al Islam. Para petinggi kaum Qurays Mekah yang juga merupakan para tuan dari budak-budak itu sebagian berdiri mengawasi, sebagian lagi mencambuki para budaknya. Sebagian kecil dari penonton yang notabene adalah para penganut agama nenek moyang itu tertawa, seolah mereka sedang menyaksikan sekawanan binatang hina yang pantas untuk dijadikan korban cambukan. Sebagian lagi menonton dengan perasaan haru, tak tega, dan tentu saja: ketakutan. Apa yang mereka saksikan siang ini adalah serupa ancaman bahwa siapapun yang mengikuti agama baru, maka harus siap menerima penyiksaan serupa.

Di sana, di balik kerumunan para masyarakat Mekah, aku menyaksikan seorang pemuda yang matanya begitu tajam, namun dari mata yang sama itu pula tampak dua buah naungan yang meneduhkan. Hari ini ia mengenakan baju gamis berwarna cokelat terang dan kain sorban berwarna senada yang menjuntai dari belakang kepalanya. Ia masih begitu muda, tapi sosoknya sejajar dengan para petinggi Qurays yang sebagian besar sudah mulai sepuh. Ia masih begitu muda, tapi tak ada satu pun masyarakat Mekah yang meragukan kebijaksanaannya. Ia masih begitu muda, tapi setiap orang yang berpapasan dengannya selalu menaruh hormat. Ia disegani karena ilmu dan kebijaksanaan. Ia juga ditakuti karena keberanian dan keteguhan hati.

Apa yang terjadi di kota Mekah saat ini juga merupakan buah pikirannya. Dialah yang mengusulkan agar setiap kaum mengurusi kaumnya masing-masing. Dia pula yang mengusulkan agar siapa pun yang memiliki saudara yang masuk Islam maka harus memberikan tekanan kepada saudaranya tersebut hingga mereka bersedia murtad. Terlebih urusan tuan yang memiliki budak-budak Muslim. Hukuman yang diberikan harus lah lebih keras lagi.
“Muhammad tidak pernah membedakan antara yang kaya dan yang miskin, tuan maupun budak, bangsawan maupun rakyat biasa. Ia memperlakukan dan memuliakan mereka dengan derajat yang sama. Ikuti lah hal itu, Wahai Kaum Qurays. Perlakukan lah siapa pun yang masuk Islam dengan sama kerasnya, baik mereka adalah budak atau anakmu sendiri.” Ucapnya di suatu siang nan terik, di tengah kaumnya.
Syahdan, setelah ucapan tersebut, semua orang kembali pada keluarganya, kaumnya, sahabat terdekatnya, dengan semangat berkali lipat. Penyiksaan dan tekanan terhadap mereka yang berani masuk Islam menjadi dua kali lebih berat.

Dialah Umar Ibn Khattab. Pemuda cerdas dari bani Adiy yang sejak masih belia sudah disegani oleh seluruh penjuru kota. Pemuda yang kelak akan menjadi pemimpin Islam, agama yang saat ini begitu ia musuhi.

Kebencian Umar kepada Muhammad sangat berbeda dengan kebencian para petinggi kafir Qurays lain. Jika para petinggi kafir Qurays membenci Muhammad dan agama barunya karena takut posisi mereka terancam, derajat mereka turun, dan sejenisnya, maka Umar membenci Muhammad karena ia menyaksikan umat yang semakin hari semakin berselisih. Ia menganggap Muhammad telah memecah belah ummat yang dahulu hidup saling menjaga toleransi. Kini lihat lah kota Makkah, lihat lah betapa banyak ayah yang membelenggu putranya sendiri, tuan yang mencambuki bahkan membunuh budaknya, dan orang-orang  yang memutuskan hubungan darah dengan saudaranya. Umar muak melihat semua ini!

Tapi sekali lagi, Umar tak seperti para petinggi Qurays yang lain. Di balik sosoknya yang kaku dan teguh pendirian, tersimpan sebuah mutiara bersih yang menyimpan jutaan hikmah. Jauh di dalam hatinya ia berkali-kali memuji Muhammad dan para sahabatnya. Seperti siang itu, ketika ia menyaksikan Abu Bakar berjalan dari satu tempat ke tempat lain untuk membebaskan pada budak yang disiksa tuannya, Umar berkata lirih, “Sungguh baik Abu bakar. Sungguh baik Abu Bakar.”

Hari berganti. Ternyata siksaan dan tekanan yang mereka berikan kepada kaum Muslimin tidak pernah mampu menghentikan perkembangan agama baru itu. Islam justru semakin menarik hati banyak orang, termasuk Hamzah bin Abdul Muthalib.

Kisah keislaman Hamzah yang menjadi bahan pembicaraan di seantero Makkah ini ternyata membuat Umar semakin gusar. Keesokan hari dengan kemarahan yang naik hingga ubun-ubun, Umar mengambil pedangnya. Ia sudah teguh untuk membunuh Muhammad, seseorang yang ia anggap sebagai pemecah belah kaum.
“Ya, Umar!” seseorang memanggilnya di tengah perjalanan. “Seorang lelaki berjalan tergesa-gesa dengan pedang terhunus, tentu ada urusan penting.” Ucap orang tersebut.
“Benar. Aku akan membunuh orang ini. Muhammad.”
“Kaumnya tidak akan membiarkanmu.”
Umar tahu itu, dia pun menjelaskan bahwa setelah membunuh Muhammad, ia akan menyerahkan diri ke Bani Hasyim untuk dibunuh juga. Dengan begitu semua kekacauan ini akan selesai. Mengorbankan dua orang akan lebih baik daripada kerusakan yang lebih banyak lagi, begitu Umar berpikir. Nyawa dibayar nyawa!
“Bukan kah sebaiknya engkau kembali pada keluargamu dan mulai mengurus mereka?” tanya orang tersebut sebagai isyarat bahwa ada dari keluarga Umar yang telah menjadi pengikut Muhammad.
Wajah Umar semakin berang. “Siapa dari keluargaku?”
“Adikmu Fatimah bintu Khattab dan adik iparmu Said ibn Zaid ibn Amr.”
Umar berputar haluan. Kini emosinya semakin mendidih. Ia berjalan cepat menuju rumah sang adik. Baru saja akan mengetuk pintunya, Umar berhenti. Ia diam. Dari dalam rumah, ia mendengar seseorang membaca. Itu jelas bukan syair yang biasa diucapkan bangsa Arab.

Beberapa saat kemudian ia memukul pintu Fatimah dengan keras.
“Fatimah! Ini Umar!”
“Umar? Engkau wahai saudaraku?” Pintu tersebut terbuka kemudian terlihat wajah Fatimah yang ketakutan.
“Aku mendengar ada seseorang yang membacakan sesuatu untuk kalian!”
“Demi Allah engkau tidak mendengar kecuali percakapan kami berdua.” Jawab Fatimah.
“Aku juga mendengar bahwa kalian telah berkhianat dan mengikuti agama Muhammad. Jangan bohong padaku!” Bentaknya.
“Ya Umar apa pendapatmu jika ada agama yang lebih baik darimu?” Said menjawab dengan sebuah pertanyaan.
“Jadi kau telah melakukannya!”
Umar seketika menyerang Said. Fatimah berusaha melindungi sang suami. Celakanya tangan Umar mengenai wajah Fatimah hingga wanita itu tersungkur hingga bibirnya berdarah. Masih belum tersentuh hatinya, Umar terus menyerang Said. Hingga akhirnya Fatimah mendekat, dengan mantap ia berucap dengan jelas “Kau musuh Allah. Apa kau akan memukuliku dan suamiku karena kami percaya pada ke-Esaan Allah? Lakukan lah semaumu! Tak ada yang berhak disembah kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan-Nya. Ya kami telah menerima Islam meski kau tidak menyukainya!”

Saat itulah kemarahan Umar melemah. Ia meninggalkan Said, kemudian ingin menghapus darah di bibir Fatimah, tapi adiknya itu justru memalingkan wajah dan berkata, “Jauhkan tanganmu dariku.”
“Jadi itu yang kalian baca tadi?” Umar melihat lembaran kulit unta yang semua disembunyikan Fatimah.
Tahu sang kakak akan segera mengambil lembaran yang menyembul tersebut, dengan cepat Fatimah menggenggamnya.
“Berikan padaku untuk kubaca.” Umar mengulurkan tangannya.
“Tidak akan.”
“Dengar. Aku mendengar bacaan itu dengan hatiku.”
Akhirnya setelah mendapat persetujuan dari suami, Fatimah mengulurkan lembaran itu dengan hati-hati. Umar duduk dan mulai membaca.
“Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah. Tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut. Yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi. Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arsy. Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah. Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia yang telah tersembunyi. Dialah Allah, tidak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai al-asmaaul husna.” (QS Thaahaa 1-8)
“Ini kah yang membuat kabur orang-orang Qurays?”
Fatimah dan Said hanya diam memandang. Hati keduanya diliputi perasaan haru. Umar melanjutkan bacannya,
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan yang hak selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. Segungguhnya hari kiamat itu akan datang Aku merahasiakan waktunya agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan. Maka sekali-kali jangan lah kamu dipalingkan daripadanya oleh orang yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu jadi binasa.” (QS Thaahaa 14-16)
Umar terpaku. Ia melihat pada dua orang di hadapannya.
“Yang mengatakan ini harus disembah hanya kepada-Nya tanpa menyekutukan-Nya.”
Khabbab... Lelaki yang sejak Umar menggedor pintu tadi bersembunyi di balik pintu akhirnya keluar. Dia lah yang sebelumnya membacakan ayat-ayat Al Quran untuk Fatimah dan suaminya.
“Berbahagia lah, Umar! Aku berharap dengan tulus agar doa Nabi dikabulkan dengan memilihmu. Dia sallahu ‘alaihi wassalam pernah berdoa ‘Ya Tuhanku, beri lah dukungan kepada Islam dengan salah satu dari kedua orang ini yang lebih Engkau cintai, Abu Hakam ibn Hisham atau Umar Ibn Khattab.” Ucap Khabbab.
“Apakah beliau benar-benar mengatakan hal itu?”
“Demi Allah beliau mengatakannya.”
“Bawa aku bertemu Rasulullah dan para sahabatnya.”
Sejarah mencatat, setelah peristiwa di rumah Fatimah bintu Khattab tersebut, Umar langsung menemui Rasulullah sallahu’alahi wassalam dan bersyahadat di hadapan beliau. Ia cukup terkejut ketika mengetahui saudaranya, Zaid ibn Khattab, terrnyata juga telah lebih dulu masuk Islam.

Sekembalinya dari rumah Rasulullah sallahu’alaihi wassalam, Umar langsung mendatangi satu per satu petinggi kafir Qurays dan mengumumkan keislamannya.
Itu lah Umar. Maka dimulai hari itu, Makkah tidak pernah lagi sama seperti sebelumnya. Masuk Islamnya Umar adalah bencana terdahsyat bagi para kafir Qurays. Ia begitu teguh berpegang pada Islam dan sunnah, tak takut pada siapa pun, zuhud dalam hal duniawi. Bagi Umar, perbedaan antara yang hak dan yang bathil adalah seperti perbedaan antara siang dan malam. Tidak ada tawar menawar!

Ketika Abu Bakar rahimahullah sakit keras dan merasa telah berada di penghujung hidupnya, beliau menunjuk Umar sebagai pengganti. Tidak seketika pilihan Abu Bakar rahumahullah ini disetujui para sahabat. Mereka tidak percaya Umar bisa memimpin dengan baik karena dikenal sebagai seorang yang keras dan kaku. Sementara Umar sendiri pun tidak begitu yakin pada dirinya sendiri. Setelah mendengar nasehat dari Abu Bakar rahimahullah mengenai Umar dan betapa istimewanya beliau di mata Rasulullah sallahu’alaihi wassalam, akhirnya semua setuju untuk berbaiat pada Umar ibn Khattab.

Malam pertama kepemimpinannya, Umar terus bermunajat kepada Allah subhanawata’ala, meminta agar diberikan pundak yang kuat, keteguhan hati, dan hatinya dilunakkan. Sesungguhnya ia pun begitu takut pada sikapnya yang keras dan kaku. 

Bagiku, Umar ibn Khattab merupakan salah satu sahabat Rasulullah salallahu’alahi wassalam yang sangat istimewa. Di bawah kepemimpinannya Islam menyebar hingga ke Palestina, Syria, dan Mesir. Dua imperium raksasa yang telah dibangun selama ribuan tahun, Persia dan Romawi, pun kemudian harus mengucapkan, “Selamat tinggal selamanya, wahai tanah Arab.” 

Celaka lah mereka yang telah berdusta tentang Umar. Celaka lah orang-orang yang telah menyebarkan segala berita buruk tentangnya. Semoga pemimpin ummat saat ini bisa meneladani seorang Umar ibn Khattab: seorang pemimpin yang tidak bisa tidur sebelum menyelesaikan masalah ummat. Semoga kelak kita akan dipertemukan dengan beliau rahimahullah, melihat wajahnya, dan mengucapkan salam untuknya. Rahmat dan salam untukmu ya Umar Al Faruq...
 
Ditulis dengan penuh cinta dan haru
Sofia







Friday, 14 July 2017

Bersabarlah...


Teruntuk adik-adikku, Taufik Ilham dan Taufik Hidayat

Aku tahu kalian tak mungkin membaca tulisan ini sekarang, tapi insyaAllah suatu saat nanti kalian akan membacanya.

Hari ini aku mendengar kabar yang kemudian merubah segalanya menjadi muram. Sejak Bapak menelepon tadi pagi, aku merasa dunia ini begitu sempit. Aku menjalani hari-hari seperti biasa, tapi rasa khawatir dan sedih seperti tak mau pergi. 

Adik-adikku, bersabarlah... Jika sekarang kalian merasakan suasana yang berbanding terbalik dari sebelumnya, maka sungguh aku juga pernah merasakan hal yang sama. Aku akan sedikit bercerita pada kalian, bahwa dulu sekali saat umurku masih 13 tahun, aku sudah harus pergi meninggalkan pulau kita. Sendirian. Tidak ada diantar Bapak, Ibu, juga sanak keluarga yang lain seperti kalian sekarang. Bapak Ibu hanya melepasku di dermaga. Selanjutnya aku bertahan seorang diri. Aku dititipkan ke sana ke mari di kota yang sama sekali asing. Aku diantar ke pesantren oleh seseorang yang baru kukenal beberapa hari sebelumnya. Tak ada nasehat, tak ada kalimat penenang, tak ada yang mendatangi kamarku, juga tak ada yang menangis saat berpisah dariku. Selama hampir sebulan aku terpuruk, menangis, jatuh dalam banyak masalah. Saat itu aku beranggapan bahwa diriku baru saja masuk ke dalam hutan gelap yang entah dimana ujungnya.  

Setidaknya kalian lebih beruntung dariku. Kalian diantar sampai pesantren oleh rombongan keluarga, diberi wejangan sebelum berpisah, kemudian Bapak juga kerap menanyakan kabar kalian pada guru di sana lewat telepon. Kalian seharusnya lebih kuat karena menjalani hal ini di umur 15 tahun. Kalian anak laki-laki. Jika aku sanggup bertahan hingga akhir, lalu kenapa kalian berdua menangis kemudian minta pulang?

Aku sedih. Sedih karena beberapa hari lalu kalian meneleponku begitu semangat, mengatakan bahwa tulisanku sebelumnya membuat kalian menangis. Kalian juga mengaku telah teguh pendirian untuk bersekolah di sana. Tapi hari ini, aku sedih mendapati kalian tak lagi mengingat semua nasehat tersebut, seolah-olah tak pernah ada sedikit pun nasehat yang kalian terima sebelumnya.

Adik-adikku tersayang. Jika kalian berjalan di jalan Allah, iblis dan anak keturunannya akan mencari seribu satu cara untuk membuat kalian menyimpang dari jalan itu. Mereka tak akan suka melihat kalian berjuang dalam menghafalkan kitab Allah taa’ala tanpa rintangan apapun. Mereka ingin mendapatkan banyak teman untuk bersama mereka di neraka. Itulah dendam mereka sejak zaman nabi Adam alahissalam. Memang, mereka tak seketika membujuk kalian untuk melakukan maksiat atau dosa-dosa besar, tapi mereka memulainya dari langkah-langkah kecil, hal ini telah diperingatkan dalam Al Quran, (Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui—QS. Al-Baqarah: 168-169)

Apa saja langkah-langkah syaitan itu? Banyak. 

Bahkan dari hal-hal paling kecil yang kita anggap bukanlah sebuah dosa, terlebih hal besar seperti membuat kalian tak menyelesaikan pendidikan di pesantren Al Quran. Allah telah menjanjikan satu perkara, bahwa siapapun yang menghafalkan dan mengamalkan Al Quran, maka derajat mereka naik menjadi keluarganya Allah. Coba pikirkan, iblis mana yang tak berang mendapati calon-calon penerima anugerah derajat ini? Mereka (para iblis itu) akan menggoda kalian berpuluh kali lipat. Mereka akan meniupkan ketakutan, cemas, dan kegelisahan di dalam rongga dada kalian. Mereka menghiasi hati dan pikiran kalian dengan angan-angan kosong. Mereka tak akan menyerah sebelum kalian kalah. Jadi, putuskanlah sendiri, kalian memilih kalah dari para iblis itu atau tetap melanjutkan perjuangan?
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat—QS. Al Baqarah : 214

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar—QS. Al Baqarah : 155
Adik-adikku. Bersabarlah... sesungguhnya kesabaran itu jauh lebih baik bagi kalian. Bersabarlah karena dunia memang bukan tempatnya untuk bersenang-senang. Dunia adalah tempat kita menjalani berbagai ujian agar kemudian pantas dinyatakan lulus masuk ke Jannah-Nya. Bersabarlah karena ujian yang datang pada kalian hari ini belum seberapa dibandingkan ummat terdahulu. Bersabarlah karena di belahan bumi lain ada banyak anak-anak yang nasibnya tak beruntung namun mereka tetap ingin menghafalkan kitab Allah. Tentu kalian masih belum lupa kisah Paman Zubair dan beberapa anak yatim korban perang yang meminta dibawakan mushaf ke pengungsian? Nah, coba bandingkan dengan keadaan kalian. Bandingkan dengan kalian yang saat ini berada di lingkungan yang aman, yang terpelihara, yang tak kekurangan makanan, serta masih memiliki keluarga utuh yang mendoakan setiap harinya. Alasan seperti apa lagi yang bisa kalian gunakan untuk membantah ketika nanti ditanya di hadapan Allah?

Sekali lagi, bersabarlah...
“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” ( QS. An Nahl : 96 )
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imran : 142)
Teriring doa, semoga Allah yang Maha Pengasih meneguhkan hati kalian. 


Mbakmu
Sofia

Friday, 7 July 2017

Untukmu yang akan Menghafalkan Al Quran



Teruntuk adik-adikku, Taufik Ilham dan Taufik Hidayat...

Adik-adikku tersayang... Tahu kah bahwa kehadiran kalian adalah berkah bagi kami sejak hari kalian dilahirkan?

Aku tahu betapa cemas kau saat ini. Aku tahu kau selalu tersenyum tiap kali orang-orang menganggap pilihanmu adalah sesuatu yang salah.

Adik-adikku, aku melihat ada mutiara yang begitu indah di dalam hatimu. Kau berbeda dari yang lain. Hatimu begitu lembut. Kau memperlakukanku sebagai kakak dengan begitu baik. Kau tak pernah berkata dengan suara tinggi kepadaku. Kau selalu menurut pada segala ucapan dan permintaanku.

Adik-adikku, berteguh hati lah. Kau berada pada pilihan yang benar, insyaAllah... Belajar lah di sana dengan tekun, niatkan segalanya hanya untuk Allah subhanahu wata’ala semata. Jika kau telah menggenggam ilmu untuk akhiratmu, jika kau telah memenuhi bekal dan jaminan untuk hidup sesudah matimu, insyaAllah dunia akan takluk di bawah kakimu. Ingat lah, dunia akan datang kepada kita dengan hina apabila kita memperlakukannya seumpama budak yang hina. Sebaliknya, dunia akan duduk di singgasana dengan angkuh dan apabila kita menyanjung dan memujinya.

Jangan kau takut akan susah berjalan di muka bumi ini hanya karena kau lebih mengutamakan ilmu Allah. Jangan lah hatimu condong pada perkataan dan bujukan orang-orang di sekelilingmu yang selalu mengatakan bahwa ilmu dunia itu jauh lebih penting. Jangan menjadi lemah karena itu. 

Aku tidak bisa menjadi penjamin bagi dirimu. Namun aku akan menunjukkan beberapa jaminan yang telah diberikan Allah dan Rasulullah salallahu ‘alaihi wassalam sejak ribuan tahun lalu.

“Barangsiapa yang membaca (menghafal) Al Quran, maka sungguh dirinya telah menyamai derajat kenabian hanya saja tidak ada wahyu baginya (penghafal)...” (HR. Hakim).

“Sesungguhnya Allah itu mempunyai keluarga yang terdiri daripada manusia." Kemudian Anas berkata lagi, “Siapakah mereka itu wahai Rasulullah?” Baginda manjawab, “yaitu ahli Qu'ran (orang yang membaca atau menghafal Qur'an dan mengamalkannya). Mereka adalah keluarga Allah dan orang-orang yang istimewa bagi Allah.” (HR. Ahmad).

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu ia berkata, “Baginda bersabda, orang yang hafal Al Quran kelak akan datang dan Al Quran akan berkata: “Wahai Tuhan, pakaikan lah dia dengan pakaian yang baik lagi baru.” Maka orang tersebut diberi mahkota kehormatan. Al Quran berkata lagi: “Wahai Tuhan tambahkan lah pakaiannya.” Kemudian orang itu diberi pakaian kehormatannya. Al Quran berkata lagi: “Wahai Tuhan, ridhailah dia.” Maka kepadanya dikatakan, “Baca dan naik lah.” Dan untuk setiap ayat, ia diberi tambahan satu kebajikan.” (HR. At Tirmidzi).

“Dan perumpamaan orang yang membaca Quran sedangkan ia hafal ayat-ayatNya bersama para malaikat yang mulia dan taat.” (Muttafaqun ‘alaih).
Sekarang coba pikirkan, itu adalah jaminan dari Allah bahwa ahlul Quran akan diangkat sebagai keluarganya-Nya.  Adakah keistimewaan yang lebih mulia melebihi itu? Jika Allah telah menganggap kita sebagai keluarga, maka Dia subhanahu wa Ta’ala akan melindungi kita, mencukupi kita, meridhoi kita. Sama halnya seperti Bapak dan Ibu yang sejak kecil selalu melindungi dan membelamu.

 Apa yang bisa kita lakukan sekarang adalah yakin. Jangan cemas dan takut kelak kau tak bisa menjadi apa-apa hanya karena tak mempelajari matematika, fisika, kimia, dan biologi. Jika Al Quran ada dalam jiwamu, insya Allah kemuliaan pun tak pernah meninggalkanmu. Berusaha dengan sabar dan hati yang teguh, selebihnya Allah yang akan menentukan akhirnya.

Aku tak mampu sepertimu. Hafalanku tak kunjung bertambah. Dulu aku tak kuat untuk tinggal selama dua tahun di rumah Quran. Jika dulu tak ada seorang pun yang meneguhkan hatiku ketika goyah, maka aku berjanji akan menjadi peneguh bagimu nanti. Jika dulu aku tak pernah memperoleh ketegasan, maka aku berjanji akan berlaku tegas padamu. 

Tahu kah kau bahwa hati manusia ini begitu rapuh dan goyah? Dulu, aku begitu semangat di masa-masa awal. Tapi kemudian aku rapuh, jatuh, dan terpuruk. Tapi aku tak memperoleh suatu kekuatan yang bisa membuatku bangkit. Saat aku hampir menyerah, berada di antara persimpangan, aku terus membuka lembaran Al Quran secara acak. Sebelumnya aku berdoa semoga Allah menunjukkan jalan yang terbaik melalui cara itu. Berkali-kali aku membuka mushaf secara acak, ayat yang kutemui selalu saja tentang kisah Yusuf alahissalam dan perintah agar bersabar. Tapi penolakan dalam hatiku jauh lebih besar. Aku tak mampu bersabar. Dan akhirnya menyerah.

Adik-adikku, percaya lah kau tak akan mengalami hal serupa denganku. Saat hatimu goyah, aku tak akan memberikan pilihan sesuai keinginanmu. Maka perlu kau tulis baik-baik ucapanku ini, bahwa nanti aku akan sangat keras padamu. Apapun keluh kesahmu nanti, aku tidak akan pernah memintamu untuk berhenti. Aku tak mau kau mengalami penyesalan di kemudian hari hanya karena kau tak bisa bersabar sedikit saja. 

Adik-adikku, kau akan menyelesaikan hafalanmu. Kau juga bisa belajar bahasa Arab dan Inggris dimana orang-orang pun berduyun-duyun untuk belajar di sana. Jika kau berhasil menyelesaikan hafalan, mampu berbahasa Arab dan Inggris, maka demi Allah tiga hal itu sudah cukup bagi duniamu. Selebihnya bisa kau kejar di kemudian hari. 

Adik-adikku... kebanyakan manusia merasa sayang untuk mengorbankan sedikit waktu bagi kehidupan akhirat mereka. Kebanyakan manusia yang kau saksikan hari ini bagaikan terpisah antara jiwa dan agama mereka. Mereka berkata diri mereka Muslim, tapi mereka tak suka pada Al Quran dan Al Sunnah. Mereka menyebut diri mereka Muslim, tapi mereka menghujat orang-orang yang menunaikan agama dengan baik. Lihat lah hari ini, lihat lah kenyataan yang ada, bahwa benar Islam telah kembali menjadi asing bahkan bagi penganutnya sendiri. Menjalankan Islam dengan baik adalah serupa dengan mengenggam bara api yang menyala. Sulit. Kebanyakan dari kita beriman di pagi hari, kemudian menjadi kafir di sore harinya. Kebanyakan dari kita menyelesaikan ibadah dengan khusyuk, tapi kemudian kembali melakukan maksiat. Itu kenyataan yang sedang terjadi. 

Banyak ulama dunia mengatakan “Demi Allah ini adalah zaman dajjal.”

Tapi kita terlalu terbuai dengan kehidupan yang gemerlap ini. Kita terlena di dalamnya seolah-olah akan hidup selamanya. Kita lupa bahwa dahulu ada peradaban-peradaban besar yang juga pernah mencapai puncaknya, tapi kemudian hancur tanpa bekas. Lalu pikirkan tentang dunia modern yang belum mencapai hitungan satu abad ini, apakah kita merasa semua akan berjalan baik-baik saja tanpa ada ujungnya?

Demi Allah, jika kiamat tak terjadi pada zaman ini, maka pasti akan ada bencana lain yang akan menimpa kita atau beberapa saat sesudah kita. Tugas kita hari ini adalah mencari bekal sebanyak-banyaknya untuk menghadapi semua itu. Biarkan saja manusia lain berlari mengejar dunia, karena apabila apa yang mereka kumpulkan itu tidak digunakan untuk perniagaan dengan Allah, maka saat maut menjemput nanti keadaan mereka akan sama dengan yang tak memiliki harta. 

Aku berkata seperti ini bukan berarti dunia itu tak penting bagimu. Ia penting karena di sinilah hidupmu. Kau harus mencari dunia untuk keberlangsungan hidupmu, untuk kenyamanan ibadahmu, untuk sedekahmu, untuk biayamu ke Baitullah, untuk anak-anak yatim, untuk kepentingan umat. Tapi jangan letakkan ia di puncak hatimu. Bukan kah Bapak pernah mengatakan bahwa siapa pun yang mengejar akhirat, maka dunia akan ikut di belakangnya. Tapi barang siapa yang hanya mengejar dunia, maka akhirat tak akan pernah ikut di belakangnya. Sekarang aku bertanya, menurutmu rumus pertama atau kedua yang lebih menguntungkan? 

Selamat belajar. Hormati guru-gurumu karena dari mereka kau akan mendapatkan keberkahan dalam ilmu. Semoga Allah meneguhkan hatimu, melimpahkan kebahagiaan di dalamnya, menguatkan ingatanmu, menghaluskan tutur bahasamu, memberikan keberkahan dalam setiap usaha dan perjuanganmu. Aku melepasmu dengan salam dan doa.

Thursday, 6 July 2017

Semoga Allah Ridho atas Kedua Orangtua Kita



Sebenarnya sejak sehabis Zuhur tadi saya sibuk menulis tentang Umar ibn Khattab radhiallahu’anhu, hanya saja cerita pengalaman ini lebih mudah untuk dituliskan hingga kemudian selesai terlebih dahulu. Cerita ini ingin sedikit saya bagi akibat keresahan yang terus-terusan mendera akhir-akhir ini. Akibat rasa berdosa saya kepada Bapak. 

Selama libur Ramadhan dan Idil Fitri, alhamdulillah saya bisa berkumpul bersama keluarga di kampung halaman. Rasanya tidak ada tempat di dunia ini yang memiliki ruh begitu dahsyat sebagai tempat memulihkan segala lelah badan dan pikiran, kecuali kampung halaman. 

Bagi saya, kampung halaman juga merupakan tempat untuk men-charge iman. Di rumah, saya bisa membaca banyak kitab-kitab tebal milik Bapak, melakukan dzikir pagi dan sore dengan rutin, shalat sunnah, serta amalan lain dengan lebih nyaman dan khusyuk. Mendapati Bapak yang selalu bangun pukul tiga dini hari untuk kemudian menggelar sajadah dan shalat (terkadang beliau shalat di Musola dan terkadang di depan pintu kamar saya), saya merasakan seperti ada yang menggerakkan hati untuk beribadah lebih giat lagi. 

Berkali-kali saya bertanya, bagaimana Bapak bisa sedemikian istiqomah? Ya meskipun tak jarang kami bertiga (saya, ibuk, dan adik) merasa bosan dengan beberapa cerita Bapak yang diulang-ulang. Contohnya saat Bapak menceritakan kisah pembakaran Nabi Ibrahim alaihissalam oleh seorang raja kejam bernama Namrud. Bapak bilang, saking besarnya api yang disiapkan raja Namrud, ia sampai harus melempar Nabi Ibrahim dari atas bukit mengenakan ketapel. Kemudian saat Nabi Ibrahim akan dilemparkan ke dalam api, datanglah malaikat Jibril yang menawarkan bantuan. 

“Apakah itu perintah Allah?” tanya nabi Ibrahim alaihissalam.

“Tidak. Ini karena rasa kasihanku padamu.” Jawab Jibril.

“Kalau begitu biarkan lah aku sampai Allah datang keputusan Allah.”

Hingga akhirnya seperti yang kita baca dalam Al Quran, pertolongan Allah datang melalui firman-Nya surat al-Anbiya ayat 69 yang berbunyi “Wahai Api! Jadilah kamu dingin dan penyelamat bagi Ibrahim”.  Bahkan di dalam api itu pula Nabi Ibrahim memperoleh berbagai kenikmatan yang sebelumnya tak pernah didapatkan di dunia. Diriwayatkan dari Minhal bin Amr, Ibrahim tinggal atau berada dalam kobaran api itu selama 40 atau 50 hari.  Ibrahim berkata, “Sebaik-baik kehidupan yang saya rasakan adalah hari-hari ketika saya berada dalam kobaran api. Saya berharap, seluruh hidup saya seperti yang saya rasakan dalam kobaran api itu.”

Bapak juga bercerita, bahwa pertumbuhan fisik Nabi Ibrahim tidak sama dengan manusia pada umumnya. Pada masa itu semua anak laki-laki yang lahir harus dibunuh, jadi demi melindungi putranya, ibu Nabi Ibrahim meninggalkannya di dalam gua sejak ia dilahirkan. Dan kuasa Allah subhanahu wa Ta’ala, Nabi Ibrahim  tumbuh besar hanya dalam waktu 15 bulan saja, tanpa diberi makan dan minum.

Bapak menambahkan di akhir cerita, “Di situlah sebenarnya kelihatan sekali betapa ingkarnya ayah Nabi Ibrahim. Sudah jelas-jelas dia lihat sendiri anaknya bisa besar dalam 15 bulan, tapi masih belum percaya juga dengan kekuasaan Allah. Malahan dia termasuk ke dalam golongan orang-orang yang menentang risalah anaknya dan tetap tidak mau berhenti menjadi pembuat berhala. Waktu sebelum diangkat menjadi Rasul, Nabi Ibrahim pernah disuruh jualan berhala oleh bapaknya. Tapi tidak ada yang mau beli karena dia teriak-teriak, ‘Saya jual berhala. Siapa yang beli maka dia orang yang bodoh.’”

Bagi yang baru pertama kali mendengar kisah seperti ini tentu tidak seketika percaya. Demikian pula saya. Pertama kali Bapak cerita, saya tidak seketika percaya.

“Ah, palingan Bapak cuma dengar cerita dari orang-orang. Saya yang sudah tamat kuliah aja belum pernah dengar kok sejarah Nabi Ibrahim seperti itu.” Pikir saya waktu itu. 

Hingga kemudian qodarullah... Memang Allah sepertinya ingin menyelamatkan Bapak dari prasangka buruk anaknya. Hanya berselang dua hari kemudian, tanpa sengaja adik saya menonton salah satu tayangan televisi tentang wisata sejarah ke sebuah tempat bernama Sanliurfa. Lokasinya ada di Turki, dekat Suriah. 

Saat itulah saya merasa tertampar sekaligus merasa begitu berdosa pada Bapak. Sekarang semua yang Bapak ceritakan itu bukan hanya dibenarkan oleh orang lain, melainkan juga ditunjukkan lagsung seperti apa bukti sejarahnya. Gua tempat Nabi Ibrahim alaihissalam tumbuh dan berkembang selama 15 bulan itu masih ada hingga sekarang, bahkan terpelihara dengan begitu baik. Siapapun yang berkunjung ke sana bisa shalat di dalamnya. Tempat shalat pria dan wanita pun dipisah. 

Lalu tak jauh dari gua itu, kita juga bisa datang langsung ke bukit tempat Nabi Ibrahim pernah dilempar menggunakan ketapel. Di sana juga masih ada dua buah tiang tinggi yang diyakini sebagai peninggalan Namrud, terletak di pinggir lembah di atas benteng Kota Urfa.




Beberapa ahli sejarah seperti Yakut, sebagaimana dikutip dalam Mu’jam al-Buldan tentang Babylonia, ia menggambarkan bahwa negeri Babylon (Urfa) sebagai berikut, “Ia berada di antara Tigris dan Eufrat yang disebut dengan As-Sawad.”

Menurut beberapa sumber, pada abad ke-12 SM saat diperintah oleh Seleukus I, seorang jendral pada masa Alexander The Great, didirikan sejumlah pondasi di sekitar lereng bukit di Urfa, tempat kedua tiang besar itu berada. Ada pula yang mengatakan, keberadaan dua tiang besar yang kini masih berdiri kokoh itu adalah bagian dari sebuah gereja Kristen, yaitu Edessa. Konon, kedua tiang besar itu sebagai simbol atas penyangga dari Romawi dan kekaisaran Persia. Wallahu’alam bissawab... 

Yang lebih menarik adalah legenda yang berkembang di masyarakat tentang makanan khas asal kota Sanlıurfa dan Adiyaman yang bernama Çiğköfte. Konon makanan satu ini ada hubungannya dengan cerita pembakaran nabi Ibrahim alaihissalam. Diceritakan ketika para tentara Namrud menyuruh untuk mengumpulkan kayu bakar, masyarakat pun berkumpul di dekat tempat pembakaran. Namun karena lamanya menunggu, akhirnya bapak-bapak pun kelaparan dan pulang ke rumah. Sesampainya di rumah tidak ada makanan karena semua kayu bakar telah habis. Kemudian secara cepat saji ibu-ibu pun mengambil bulgur, cabe, dan beberapa rempah-rempah yang kemudian diaduk dan siap dimakan.

Pemerintah Turki saat ini juga mengembangkan kota ini sebagai pusat tujuan wisata karena keberadaannya dengan situs purbakala yang berkaitan dengan masa lalu seperti kisah Raja Namrud dan Nabi Ibrahim alaihissalam.

Di sini saya tidak ingin mengklarifikasi apakah benar Sanliurfa adalah tempat yang memiliki hubungan erat dengan Ibrahim alaihissalam, melainkan adalah apa yang pernah Bapak ceritakan. Seperti yang saya katakan, sebelumnya saya tidak percaya pada cerita Bapak bahwa Ibrahim alaihissalam besar di gua, lalu dilempar menggunakan ketapel, hingga kemudian saya menonton siaran tersebut dengan mata kepala sendiri. 

“Ternyata selama ini Bapak bercerita karena dia pernah membaca sejarah itu, bukan hanya cerita dari mulut ke mulut.” Gumam saya malam itu.

Ya, kejadian seperti ini sebenarnya seringkali berulang. Terkadang saya merasa angkuh di hadapan Bapak. Merasa bahwa saya lebih tahu soal sejarah dan pemahaman agama. Banyak kisah-kisah yang Bapak ceritakan baru saya benarkan berbulan-bulan kemudian, tentu setelah saya mendapati kisah itu dari referensi yang jelas.  Saya lupa bahwa Bapak juga punya banyak buku. Beliau memang hanya tamatan sekolah dasar, namun beliau rajin membaca sejak dulu. Bahkan beberapa tahun terakhir, Bapak menyempatkan ta’lim (membaca kitab-kitab yang ditulis para alim ulama) setiap habis Magrib dan Subuh. 

Terkadang saya jengkel pada Bapak. Tidak ada hal lain yang ia ceritakan selain masalah agama. Dan seperti yang saya sebutkan di atas, cerita beliau selalu diulang-ulang. 

“Bapak sudah menceritakan ini kemaren. Ini yang keempat kali.” Seringkali saya memotong dengan kalimat begini.

Tapi beliau menjawab, “Yang terpenting itu bukan soal sudah berapa kali diulang, tapi sudah diamalkan atau belum? Ilmu itu tidak akan ada manfaatnya sebelum diamalkan."

Kalimat yang jadi skak mat bagi saya. Jadi ingat ucapan Kyai Ahmad Dahlan ketika ditanya muridnya kenapa terus-terusan yang dikaji adalah surah Al Maa’un. 

Saya mendapatkan banyak pelajaran berharga dari Bapak. Semua hal-hal sederhana yang ada dalam diri beliau selalu membuat saya rindu untuk pulang ke rumah. Dari pengalaman ini, saya ingin mengatakan bahwa selamanya seorang anak tak akan pernah lebih pandai dari orang tuanya. Jangan berlaku sombong karena merasa pendidikan kita lebih tinggi dari orang tua. Karena bukan kah dahulu mereka yang berjuang siang malam agar anaknya bisa sekolah? Tapi kebanyakan dari kita adalah pelupa. Kita lupa pada kebaikan-kebaikan kedua orang tua.

Di akhir tulisan ini, saya ingin mengungkapkan bahwa saya begitu bersyukur memiliki ayah seorang Bapak. Sungguh beliau tak pernah mengajarkan kepada anak-anaknya kecuali kebaikan-kebaikan. Sungguh ia tak pernah mengatakan perkataan yang sia-sia. Semoga Allah membalas kebaikan kedua orang tua kita, memberikan derajat yang tinggi untuk mereka, meridhoi mereka, memberikan rahmat dan kasih sayang-Nya yang luas. Semoga dosa kita sebagai anak tidak pernah mengurangi pahala amal ibadah mereka, tidak menjadi penghalang kasih sayang Allah kepada mereka. Semoga kita termasuk salah satu dari tiga perkara yang akan menyelamatkan kedua orang tua kita di kehidupan selanjutnya. Dan semoga Allah mengizinkan saya, juga kalian, beserta orangtua untuk berkunjung ke Sanliurfa dan negara para anbiya lainnya, suatu hari nanti. Aamiiin... insya Allah.



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...