Hari itu kota Mekah panas menyengat seolah dari
celah-celah setiap butiran pasirnya mengeluarkan uap dari tungku perapian.
Meski begitu, kegiatan manusia seperti tak pernah ada habisnya. Aku menyaksikan
orang berduyun-duyun kemudian berkumpul di tepian kota Mekah, di sebuah
lapangan gersang yang membara. Di lapangan itu tertancap beberapa puluh tiang
yang digunakan untuk membelenggu para budak yang memeluk agama baru, Al Islam.
Para petinggi kaum Qurays Mekah yang juga merupakan para tuan dari budak-budak
itu sebagian berdiri mengawasi, sebagian lagi mencambuki para budaknya.
Sebagian kecil dari penonton yang notabene adalah para penganut agama nenek
moyang itu tertawa, seolah mereka sedang menyaksikan sekawanan binatang hina
yang pantas untuk dijadikan korban cambukan. Sebagian lagi menonton dengan
perasaan haru, tak tega, dan tentu saja: ketakutan. Apa yang mereka saksikan
siang ini adalah serupa ancaman bahwa siapapun yang mengikuti agama baru, maka
harus siap menerima penyiksaan serupa.
Di sana, di balik kerumunan para masyarakat Mekah, aku
menyaksikan seorang pemuda yang matanya begitu tajam, namun dari mata yang sama
itu pula tampak dua buah naungan yang meneduhkan. Hari ini ia mengenakan baju
gamis berwarna cokelat terang dan kain sorban berwarna senada yang menjuntai
dari belakang kepalanya. Ia masih begitu muda, tapi sosoknya sejajar dengan
para petinggi Qurays yang sebagian besar sudah mulai sepuh. Ia masih begitu
muda, tapi tak ada satu pun masyarakat Mekah yang meragukan kebijaksanaannya.
Ia masih begitu muda, tapi setiap orang yang berpapasan dengannya selalu
menaruh hormat. Ia disegani karena ilmu dan kebijaksanaan. Ia juga ditakuti
karena keberanian dan keteguhan hati.
Apa yang terjadi di kota Mekah saat ini juga merupakan
buah pikirannya. Dialah yang mengusulkan agar setiap kaum mengurusi kaumnya
masing-masing. Dia pula yang mengusulkan agar siapa pun yang memiliki saudara
yang masuk Islam maka harus memberikan tekanan kepada saudaranya tersebut hingga
mereka bersedia murtad. Terlebih urusan tuan yang memiliki budak-budak Muslim. Hukuman
yang diberikan harus lah lebih keras lagi.
“Muhammad tidak pernah membedakan antara yang kaya dan yang miskin, tuan maupun budak, bangsawan maupun rakyat biasa. Ia memperlakukan dan memuliakan mereka dengan derajat yang sama. Ikuti lah hal itu, Wahai Kaum Qurays. Perlakukan lah siapa pun yang masuk Islam dengan sama kerasnya, baik mereka adalah budak atau anakmu sendiri.” Ucapnya di suatu siang nan terik, di tengah kaumnya.
Syahdan, setelah ucapan tersebut, semua orang kembali
pada keluarganya, kaumnya, sahabat terdekatnya, dengan semangat berkali lipat.
Penyiksaan dan tekanan terhadap mereka yang berani masuk Islam menjadi dua kali
lebih berat.
Dialah Umar Ibn Khattab. Pemuda cerdas dari bani Adiy
yang sejak masih belia sudah disegani oleh seluruh penjuru kota. Pemuda yang
kelak akan menjadi pemimpin Islam, agama yang saat ini begitu ia musuhi.
Kebencian Umar kepada Muhammad sangat berbeda dengan
kebencian para petinggi kafir Qurays lain. Jika para petinggi kafir Qurays
membenci Muhammad dan agama barunya karena takut posisi mereka terancam,
derajat mereka turun, dan sejenisnya, maka Umar membenci Muhammad karena ia
menyaksikan umat yang semakin hari semakin berselisih. Ia menganggap Muhammad
telah memecah belah ummat yang dahulu hidup saling menjaga toleransi. Kini
lihat lah kota Makkah, lihat lah betapa banyak ayah yang membelenggu putranya
sendiri, tuan yang mencambuki bahkan membunuh budaknya, dan orang-orang yang memutuskan hubungan darah dengan
saudaranya. Umar muak melihat semua ini!
Tapi sekali lagi, Umar tak seperti para petinggi Qurays
yang lain. Di balik sosoknya yang kaku dan teguh pendirian, tersimpan sebuah
mutiara bersih yang menyimpan jutaan hikmah. Jauh di dalam hatinya ia
berkali-kali memuji Muhammad dan para sahabatnya. Seperti siang itu, ketika ia
menyaksikan Abu Bakar berjalan dari satu tempat ke tempat lain untuk
membebaskan pada budak yang disiksa tuannya, Umar berkata lirih, “Sungguh baik
Abu bakar. Sungguh baik Abu Bakar.”
Hari berganti. Ternyata siksaan dan tekanan yang mereka
berikan kepada kaum Muslimin tidak pernah mampu menghentikan perkembangan agama
baru itu. Islam justru semakin menarik hati banyak orang, termasuk Hamzah bin
Abdul Muthalib.
Kisah keislaman Hamzah yang menjadi bahan pembicaraan di
seantero Makkah ini ternyata membuat Umar semakin gusar. Keesokan hari dengan
kemarahan yang naik hingga ubun-ubun, Umar mengambil pedangnya. Ia sudah teguh
untuk membunuh Muhammad, seseorang yang ia anggap sebagai pemecah belah kaum.
“Ya, Umar!” seseorang memanggilnya di tengah perjalanan. “Seorang lelaki berjalan tergesa-gesa dengan pedang terhunus, tentu ada urusan penting.” Ucap orang tersebut.
“Benar. Aku akan membunuh orang ini. Muhammad.”
“Kaumnya tidak akan membiarkanmu.”
Umar tahu itu, dia pun menjelaskan bahwa setelah
membunuh Muhammad, ia akan menyerahkan diri ke Bani Hasyim untuk dibunuh juga.
Dengan begitu semua kekacauan ini akan selesai. Mengorbankan dua orang akan
lebih baik daripada kerusakan yang lebih banyak lagi, begitu Umar berpikir.
Nyawa dibayar nyawa!
“Bukan kah sebaiknya engkau kembali pada keluargamu dan mulai mengurus mereka?” tanya orang tersebut sebagai isyarat bahwa ada dari keluarga Umar yang telah menjadi pengikut Muhammad.
Wajah Umar semakin berang. “Siapa dari keluargaku?”
“Adikmu Fatimah bintu Khattab dan adik iparmu Said ibn Zaid ibn Amr.”
Umar berputar haluan. Kini emosinya semakin mendidih. Ia
berjalan cepat menuju rumah sang adik. Baru saja akan mengetuk pintunya, Umar
berhenti. Ia diam. Dari dalam rumah, ia mendengar seseorang membaca. Itu jelas
bukan syair yang biasa diucapkan bangsa Arab.
Beberapa saat kemudian ia memukul pintu Fatimah dengan
keras.
“Fatimah! Ini Umar!”
“Umar? Engkau wahai saudaraku?” Pintu tersebut terbuka kemudian terlihat wajah Fatimah yang ketakutan.
“Aku mendengar ada seseorang yang membacakan sesuatu untuk kalian!”
“Demi Allah engkau tidak mendengar kecuali percakapan kami berdua.” Jawab Fatimah.
“Aku juga mendengar bahwa kalian telah berkhianat dan mengikuti agama Muhammad. Jangan bohong padaku!” Bentaknya.
“Ya Umar apa pendapatmu jika ada agama yang lebih baik darimu?” Said menjawab dengan sebuah pertanyaan.
“Jadi kau telah melakukannya!”
Umar seketika menyerang Said. Fatimah berusaha
melindungi sang suami. Celakanya tangan Umar mengenai wajah Fatimah hingga
wanita itu tersungkur hingga bibirnya berdarah. Masih belum tersentuh hatinya,
Umar terus menyerang Said. Hingga akhirnya Fatimah mendekat, dengan mantap ia
berucap dengan jelas “Kau musuh Allah. Apa kau akan memukuliku dan suamiku
karena kami percaya pada ke-Esaan Allah? Lakukan lah semaumu! Tak ada yang
berhak disembah kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan-Nya. Ya kami telah
menerima Islam meski kau tidak menyukainya!”
Saat itulah kemarahan Umar melemah. Ia meninggalkan Said,
kemudian ingin menghapus darah di bibir Fatimah, tapi adiknya itu justru memalingkan
wajah dan berkata, “Jauhkan tanganmu dariku.”
“Jadi itu yang kalian baca tadi?” Umar melihat lembaran kulit unta yang semua disembunyikan Fatimah.
Tahu sang kakak akan segera mengambil lembaran yang
menyembul tersebut, dengan cepat Fatimah menggenggamnya.
“Berikan padaku untuk kubaca.” Umar mengulurkan tangannya.
“Tidak akan.”
“Dengar. Aku mendengar bacaan itu dengan hatiku.”
Akhirnya setelah mendapat persetujuan dari suami,
Fatimah mengulurkan lembaran itu dengan hati-hati. Umar duduk dan mulai
membaca.
“Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah. Tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut. Yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi. Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arsy. Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah. Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia yang telah tersembunyi. Dialah Allah, tidak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai al-asmaaul husna.” (QS Thaahaa 1-8)
“Ini kah yang membuat kabur orang-orang Qurays?”
Fatimah dan Said hanya diam memandang. Hati keduanya
diliputi perasaan haru. Umar melanjutkan bacannya,
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan yang hak selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. Segungguhnya hari kiamat itu akan datang Aku merahasiakan waktunya agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan. Maka sekali-kali jangan lah kamu dipalingkan daripadanya oleh orang yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu jadi binasa.” (QS Thaahaa 14-16)
Umar terpaku. Ia melihat pada dua orang di hadapannya.
“Yang mengatakan ini harus disembah hanya kepada-Nya tanpa menyekutukan-Nya.”
Khabbab... Lelaki yang sejak Umar menggedor pintu tadi
bersembunyi di balik pintu akhirnya keluar. Dia lah yang sebelumnya membacakan
ayat-ayat Al Quran untuk Fatimah dan suaminya.
“Berbahagia lah, Umar! Aku berharap dengan tulus agar doa Nabi dikabulkan dengan memilihmu. Dia sallahu ‘alaihi wassalam pernah berdoa ‘Ya Tuhanku, beri lah dukungan kepada Islam dengan salah satu dari kedua orang ini yang lebih Engkau cintai, Abu Hakam ibn Hisham atau Umar Ibn Khattab.” Ucap Khabbab.
“Apakah beliau benar-benar mengatakan hal itu?”
“Demi Allah beliau mengatakannya.”
“Bawa aku bertemu Rasulullah dan para sahabatnya.”
Sejarah mencatat, setelah peristiwa di rumah Fatimah
bintu Khattab tersebut, Umar langsung menemui Rasulullah sallahu’alahi
wassalam dan bersyahadat di hadapan beliau. Ia cukup terkejut ketika
mengetahui saudaranya, Zaid ibn Khattab, terrnyata juga telah lebih dulu masuk
Islam.
Sekembalinya dari rumah Rasulullah sallahu’alaihi
wassalam, Umar langsung mendatangi satu per satu petinggi kafir Qurays dan
mengumumkan keislamannya.
Itu lah Umar. Maka dimulai hari itu, Makkah tidak pernah
lagi sama seperti sebelumnya. Masuk Islamnya Umar adalah bencana terdahsyat
bagi para kafir Qurays. Ia begitu teguh berpegang pada Islam dan sunnah, tak
takut pada siapa pun, zuhud dalam hal duniawi. Bagi Umar, perbedaan antara yang
hak dan yang bathil adalah seperti perbedaan antara siang dan malam. Tidak ada
tawar menawar!
Ketika Abu Bakar rahimahullah sakit keras dan
merasa telah berada di penghujung hidupnya, beliau menunjuk Umar sebagai
pengganti. Tidak seketika pilihan Abu Bakar rahumahullah ini disetujui
para sahabat. Mereka tidak percaya Umar bisa memimpin dengan baik karena
dikenal sebagai seorang yang keras dan kaku. Sementara Umar sendiri pun tidak
begitu yakin pada dirinya sendiri. Setelah mendengar nasehat dari Abu Bakar rahimahullah
mengenai Umar dan betapa istimewanya beliau di mata Rasulullah sallahu’alaihi
wassalam, akhirnya semua setuju untuk berbaiat pada Umar ibn Khattab.
Malam pertama kepemimpinannya, Umar terus bermunajat
kepada Allah subhanawata’ala, meminta agar diberikan pundak yang kuat,
keteguhan hati, dan hatinya dilunakkan. Sesungguhnya ia pun begitu takut pada
sikapnya yang keras dan kaku.
Bagiku, Umar ibn Khattab merupakan salah satu sahabat
Rasulullah salallahu’alahi wassalam yang sangat istimewa. Di bawah
kepemimpinannya Islam menyebar hingga ke Palestina, Syria, dan Mesir. Dua
imperium raksasa yang telah dibangun selama ribuan tahun, Persia dan Romawi,
pun kemudian harus mengucapkan, “Selamat tinggal selamanya, wahai tanah Arab.”
Celaka lah mereka yang telah berdusta tentang Umar.
Celaka lah orang-orang yang telah menyebarkan segala berita buruk tentangnya. Semoga
pemimpin ummat saat ini bisa meneladani seorang Umar ibn Khattab: seorang
pemimpin yang tidak bisa tidur sebelum menyelesaikan masalah ummat. Semoga
kelak kita akan dipertemukan dengan beliau rahimahullah, melihat wajahnya, dan
mengucapkan salam untuknya. Rahmat dan salam untukmu ya Umar Al Faruq...
Ditulis dengan penuh cinta dan haru
Sofia