Tuesday, 27 August 2013

Pudarya Pesona Cleopatra [By: Habiburrahman El-Shirazy]

Touching my heart, i think, you will be too... enjoy it and find out the hikmah then :)

***

Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalam kandungan aku telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal.

”Ibunya Raihana adalah teman karib ibu waktu nyantri di pesantren Mangkuyudan, Solo dulu,” kata ibu.
 
“Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan besanan untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon keikhlasanmu,” ucap beliau dengan nada mengiba.

Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku menuruti keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi mentari pagi dihatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan diriku. Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu saja dan tidak tahu alasannya. Yang jelas aku sudah punya kriteria dan impian tersendiri untuk calon istriku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa berhadapan dengan air mata ibu yang amat kucintai.

Saat khitbah (lamaran) sekilas kutatap wajah Raihana, benar kata Aida adikku, ia memang baby face dan anggun. Namun garis-garis kecantikan yang kuinginkan tak kutemukan sama sekali. Adik ibuku, tante Lia, mengakui Raihana cantik.               

“Cantiknya alami, bisa jadi bintang iklan Lux, lho…! Asli!” kata tante Lia.

Tapi penilaianku lain, mungkin karena aku begitu hanyut dengan gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita, dengan hidung melengkung indah, mata bulat bening khas arab, dan bibir yang merah. Di hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia. Aku ingin memberontak pada ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku. Hari pernikahan pun datang. Duduk dipelaminan bagai mayat hidup, hati hampa tanpa cinta.
Pesta meriah dengan empat group rebana. Lantunan shalawat Nabi pun terasa menusuk-nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah dari Allah SWT atas baktiku pada ibuku yang kucintai. Rabbighfir li wa liwalidayya!
Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra, tapi bukan cinta, hanya sekadar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayat-Nya. Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan kepura-puraanku.
 
Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan di pinggir Kota Malang. Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat bersama dengan makhluk yang bernama Raihana, istriku, tapi masyaallah, bibit cintaku belum juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar, wajahnya yang teduh tetap terasa asing.
Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihana mulai kurasakan, rasa ini muncul begitu saja. Aku mencoba membuang jauh-jauh rasa tidak baik ini, apalagi pada istri sendiri yang seharusnya kusayang dan kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain. Aku lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di ruang tamu atau pun di ruang kerja.
 
Aku merasa hidupku adalah sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia, pernikahanku sia-sia, keberadaanku sia-sia. Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihana pun merasakan hal yang sama. Karena ia orang yang berpendidikan, maka diapun tanya, tetapi kujawab,
”Tidak apa-apa, kok mbak. Mungkin aku belum dewasa. Mungkin masih harus belajar berumah tangga.”
 
Ada kekagetan yang kutangkap di wajah Raihana ketika kupanggil ‘mbak’.
 
”Kenapa mas memanggilku mbak? Aku kan istrimu. Apa mas sudah tidak mencintaiku?” tanyanya dengan guratan wajah yang sedih.

“Wallahu a’lam” jawabku sekenanya.

Dengan mata berkaca-kaca, Raihana diam menunduk. Tak lama kemudian, dia terisak-isak sambil memeluk kakiku.

“Kalau mas tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri, kenapa mas ucapkan akad nikah? Kalau dalam tingkahku melayani mas masih ada yang kurang berkenan, kenapa mas tidak bilang dan menegurnya? Kenapa mas diam saja? Aku harus bersikap bagaimana untuk membahagiakan mas? Kumohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku di dunia ini!”
Raihana mengiba penuh pasrah. Aku menangis menitikan air mata buka karena Raihana tetapi karena kepatunganku.

Hari terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak berjalan. Kami hidup seperti orang asing, tetapi Raihana tetap melayaniku menyiapkan segalanya untukku. Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan, sampai di rumah sehabis maghrib, bibirku pucat, perutku belum kemasukkan apa-apa, kecuali segelas kopi buatan Rihana tadi pagi. Memang aku berangkat pagi karena ada janji dengan teman. Raihana memandangiku dengan khawatir.

“Mas tidak apa-apa?” tanyanya dengan perasaan kuatir.

“Mas mandi dengan air panas saja, aku sedang menggodoknya. Lima menit lagi mendidih.” lanjutnya.
Aku melepas semua pakaian yang basah.
 
“Mas airnya sudah siap,” kata Raihana.
 
Aku tak bicara sepatah kata pun, aku langsung ke kamar mandi, aku lupa membawa handuk, tetapi Raihana telah berdiri didepan pintu membawa handuk.
 
“Mas, aku buatkan wedang jahe.”

Aku diam saja. Aku merasa mulas dan mual dalam perutku tak bisa kutahan. Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi. Raihana mengejarku dan memijit-mijit pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu.

”Mas masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati pakai apa? Pakai balsam? Minyak putih? Atau jamu?” Tanya Raihana sambil menuntunku ke kamar.

“Mas jangan diam saja, dong! Aku kan tidak tahu yang harus kulakukan untuk membantu Mas.”

”Biasanya dikerokin,” jawabku lirih.

”Kalau begitu, kaos mas dilepas, ya, biar Hana kerokin,” sahut Raihana sambil tangannya melepas kaosku.
Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana dengan sabar mengeroki punggungku dengan sentuhan tangannya yang halus. Setelah selesai dikerokin, Raihana membawakanku semangkok bubur kacang hijau. Setelah itu aku merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat Raihana duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur sambil menghafal Al Quran dengan khusyu. Aku kembali bersedih dan ingin menangis. Raihana yang manis, tapi tak semanis gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra. Dalam tidur, aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku untuk makan malam di istananya.
 
”Aku punya keponakan, namanya Mona Zaki. Nanti akan aku perkenalkan denganmu. Dia memintaku untuk mencarikan seorang pangeran. Aku melihatmu cocok dan aku berniat memperkenalkannya denganmu,” kata Ratu Cleopatra. 

Aku mempersiapkan segalanya. Tepat pukul 07.00 aku datang ke istana, kulihat Mona Zaki dengan pakaian pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu mempersilakan aku duduk di kursi yang berhias berlian. Aku melangkah maju. Namun belum sempat duduk, tiba-tiba
 
”Mas, bangun! Sudah jam setengah empat, mas belum sholat Isya,” kata Raihana membangunkanku.
 
Aku terbangun dengan perasaan kecewa.
 
”Maafkan aku yang membuat Mas kurang suka, tetapi Mas belum sholat Isya!” lirih Hana sambil melepas mukenanya yang mungkin dia baru selesai sholat malam.
 
Meskipun hanya mimpi, tapi itu indah sekali. Sayang sekali terputus. Aku jadi semakin tidak menyukainya. Dialah pemutus harapan dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia bersalah? Bukankah dia berbuat baik membangunkanku untuk sholat Isya?
 
Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana. Aku tidak tahu asal sulitnya. Rasa tidak sukaku semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar terpenjara dalam suasana konyol. Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku sendiri belum pernah jatuh cinta. Entah, mengapa aku bisa dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra?

”Mas, nanti sore ada acara qiqah di rumah Yu Imah. Semua keluarga akan datang termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang bareng, tidak enak kalau kita yang dielu-elukan keluarga tidak datang,” suara lembut Raihana menyadarkan pengembaraanku pada Zaman Ibnu Hazm. 
Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi onde-onde kesukaanku dan segelas wedang jahe. Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja.

”Maaf, maaf jika mengganggu Mas. Maafkan Hana!” lirihnya, lalu perlahan-lahan beranjak meninggalkan aku di ruang kerja.

”Mbak! Eh, maaf, maksudku D… Din… Dinda Hana!” panggilku dengan suara parau tercekak dalam tenggorokan.

”Ya, Mas!” sahut Hana langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan menghadapkan dirinya padaku.
Ia berusaha untuk tersenyum, agaknya ia bahagia dipanggil “dinda”. Matanya sedikit berbinar.

“Te… terima kasih, Di… Dinda. Kita berangkat bareng ke sana, habis sholat dhuhur, insyaallah,” ucapku sambil menatap wajah Hana dengan senyum yang kupaksakan.
Raihana menatapku dengan wajah sangat cerah. Ada secercah senyum bersinar di bibirnya.

”Terima kasih, Mas. Ibu kita pasti senang. Mau pakai baju yang mana, Mas? Biar dinda siapkan. Atau biar dinda saja yang memilihkannya?”.
Hana begitu bahagia. Perempuan berjilbab ini memang luar biasa. Ia tetap sabar mencurahkan bakti meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku belum pernah melihatnya memasang wajah masam atau tidak suka padaku. Kalau wajah sedihnya, iya. Tapi wajah tidak sukanya belum pernah.

“Bah, lelaki macam apa aku ini?” kutukku pada diriku sendiri. Aku memakimaki diriku sendiri atas sikap dinginku selama ini. Tapi, setetes embun cinta yang kuharapkan membasahi hatiku tak juga turun. Kecantikan aura titisan Cleopatra itu, bagaimana aku mengusirnya? Aku merasa menjadi orang yang paling membenci diriku sendiri di dunia ini.

Acara pengajian dan qiqah putra ketiga Fatimah, kakak sulung Raihana, membawa sejarah baru lembaran pernikahan kami. Benar dugaan Raihana, kami dielu-elukan keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh bangga.

“Selamat datang, pengantin baru! Selamat datang pasangan yang paling ideal dalam keluarga!” sambut Yu Imah yang disambut tepuk tangan bahagia mertua dan bundaku, serta kerabat yang lain.
Wajah Raihana cerah. Matanya berbinar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku menangis disebut pasangan ideal. Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana lulusan terbaik di kampusnya dan hafal Al Quran, lantas disebut ideal? Ideal bagiku adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa cinta yang sampai pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta yang tidak lagi memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang dari detik ke detik meneteskan rasa bahagia. Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki Rihana.
Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di mata keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami yang dicintainya. Bahkan ia mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku sendiri dibuat pusing dengan sikapku. Lebih pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang menyindir tentang keturunan.
 
”Sudah satu tahun putra sulungku menikah, kok belum ada tanda-tandanya, ya? Padahal, aku ingin sekali menimang cucu” kata ibuku.

“ Insyaallah, tak lama lagi ibu akan menimang cucu. Doakanlah kami! Bukankah begitu, Mas?” sahut Raihana sambil menyikut lenganku.
Aku tergagap dan mengangguk sekenanya. Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana. Aku berpura-pura kembali mesra dengannya, sebagai suami betulan. Jujur, aku hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan kehendakku sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku.
 
Allah Maha Kuasa. Dalam kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai seorang istri, Raihana hamil. Ia semakin manis. Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak kunjung tiba.

“Tuhan kasihanilah hamba! Datangkanlah cinta itu segera!”
Sejak itu, aku semakin sedih sehingga Raihana yang sedang hamil tidak kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku bertanya,
”Mana tanggung jawabmu?” Aku hanya diam dan mendesah sedih.

”Entahlah, betapa sulit aku menemukan cinta,” gumamku.
Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan ke enam. Raihana minta izin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan alasan kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia kerumahnya. Karena rumah mertua jauh dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak menaruh curiga ketika aku harus tetap tinggal di kontrakan.
Ketika aku pamitan, Raihana berpesan,
”Mas untuk menambah biaya kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku taruh dibawah bantal, no.pinnya sama dengan tanggal pernikahan kita”.

Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari Aku tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa sebabnya bisa demikian. Hanya, aku sedikit repot karena harus menyiapkan segalanya sendiri. Tapi, toh bukan masalah bagiku karena aku sudah terbiasa saat kuliah di Mesir.
Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana. Suatu saat aku pulang kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku benar-benar lemas. Aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan perut mual. Saat itu terlintas di hati, andaikan ada Raihana, dia pasti telah menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati masuk angin dengan mengeroki punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut. Malam itu aku benar-benar tersiksa dan menderita. 
Aku terbangun pukul enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati, aku belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa, andaikan ada Raihana tentu aku ngak meninggalkan sholat Isya, dan tidak terlambat sholat subuh.

Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus. Apalagi aku mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan mutu dosen mata kuliah bahasa arab. Di antaranya, tutornya adalah professor bahasa Arab dari Mesir. Aku jadi banyak berbincang dengan beliau tentang Mesir.

Dalam pelatihan, aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen bahasa Arab dari Medan. Dia menempuh S-1-nya di Mesir. Dia menceritakan satu pengalaman hidup yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani.

“Apakah kamu sudah menikah?” kata Pak Qalyubi.

“Alhamdulillah, sudah” jawabku.

”Dengan orang mana?”

“Orang Jawa.”

”Pasti orang yang baik. Iya, kan? Biasanya, pulang dari Mesir banyak saudara yang menawarkan untuk menikah dengan perempuan shalehah. Paling tidak santriwati lulusan pesantren. Istrimu dari pesantren?”

“Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran.”

”Kau sangat beruntung, tidak sepertiku.”

“Kenapa dengan Bapak?”

”Aku melakukan langkah yang salah. Seandainya aku tidak menikah dengan orang Mesir itu, tentu batinku tidak merana seperti sekarang.”

”Bagaimana itu bisa terjadi?” 

“Kamu tentu tahu kalau gadis Mesir itu cantik-cantik, kan? Dan karena terpesona dengan kecantikanya, aku menderita seperti ini. Ceritanya begini, aku seorang anak tunggal dari seorang yang kaya. Aku berangkat ke Mesir dengan biaya orang tua. Di sana, aku bersama kakak kelas yang namanya Fadhil, orang Medan juga.
Seiring dengan berjalannya waktu, tahun pertama saya lulus dengan predikat jayyid, predikat yang cukup sulit bagi pelajar dari Indonesia. Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasiku, tuan rumah tempatku tinggal menyukaiku. Aku dikenalkan dengan anak gadisnya yang bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan pertama, aku jatuh cinta. Aku belum pernah melihat gadis secantik itu. Aku bersumpah tidak akan menikah dengan siapa pun kecuali dia.
 Ternyata, perasaanku tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cintaku pun akhirnya didengar Fadhil. Ia membuat garis tegas untuk mengakhiri hubungan dengan anak tuan rumah itu, atau sekalian lanjutkan dengan menikahinya. Aku memilih yang kedua.
Ketika aku akan menikahi Yasmin, banyak teman yang memberi masukan begini, menikah dengan gadis Mesir, mengapa tidak mencari mahasiswi Al Azhar yang hafal Al Quran, salehah, dan berjilbab? Itu lebih selamat daripada dengan Yasmin yang awam pengetahuan agamanya. Tetapi aku tetap teguh untuk menikahinya. Dengan biaya yang tinggi, aku berhasil menikahi Yasmin. Yasmin menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir. Perabot rumah yang mewah, menginap di hotel berbintang.
Begitu selesai S-1, aku kembali ke Medan. Aku minta agar aset yang di Mesir dijual untuk modal di Indonesia. Kami langsung membeli rumah yang cukup mewah di kota Medan. Tahun-tahun pertama hidup kami berjalan baik, setiap tahunnya Yasmin mengajak ke Mesir menengok orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi semua yang diinginkan Yasmin. Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin bertambah.
Anak kami yang ketiga lahir, tetapi pemasukan tidak bertambah. Aku minta Yasmin untuk berhemat. Tidak setiap tahun pulang ke Mesir, tetapi tiga tahun sekali. Namun, Yasmin tidak mau. Akhirnya, aku mati-matian berbisnis demi memenuhi keinginan Yasmin dan anak-anak. Sawah terakhir milik Ayah kujual untuk modal.
Dalam diriku mulai muncul penyesalan. Setiap kali, aku melihat teman-teman alumnus Mesir yang hidup dengan tenang dan damai dengan istrinya, bisa mengamalkan ilmu dan bisa berdakwah dengan baik, dicintai masyarakat. Sementara, aku tidak mendapatkan yang mereka dapatkan.
Kalau aku mau rendang, aku harus ke warung. Yasmin tidak mau tahu dengan masakan Indonesia. Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya memanggil suaminya dengan namanya. Jika ada sedikit letupan, maka rumah seperti neraka.
Puncak penderitaanku dimulai setahun yang lalu. Usahaku bangkrut. Aku minta Yasmin untuk menjual perhiasannya, tetapi dia tidak mau. Dia malah membandingkan dirinya yang hidup serba kurang dengan sepupunya yang mendapat suami orang Mesir.
Aku menyesal meletakkan kecantikan diatas segalanya. Aku telah diperbudak dengan kecantikannya. Mengetahui keadaanku yang terjepit, ayah dan ibuku mengalah. Mereka menjual rumah dan tanah yang mengakibatkan mereka harus tinggal di ruko yang kecil dan sempit.
Batinku menangis. Mereka berharap modal itu cukup untuk merintis bisnisku yang bangkrut. Bisnisku mulai bangkit, Yasmin mulai berulah, dia mengajak ke Mesir. Waktu di Mesir itulah puncak tragedi yang menyakitkan. 
‘Aku menyesal menikah dengan orang Indonesia, aku minta kauceraikan aku, aku tidak bisa bahagia kecuali dengan lelaki Mesir,’ Kata Yasmin bagaikan geledek menyambar. Lalu tanpa dosa, dia bercerita bahwa tadi di KBRI dia bertemu dengan temannya. Teman lamanya itu sudah jadi bisnisman, dan istrinya sudah meninggal. Yasmin diajak makan siang, dan dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku pukul dia karena tak bisa menahan diri. Atas tindakan itu, aku dilaporkan ke polisi. Yang menyakitkan, tak satu pun keluarganya yang membelaku.
Rupanya, selama ini Yasmin sering mengirim surat yang berisi berita bohong. Sejak saat itu, aku mengalami depresi. Dua bulan yang lalu aku mendapat surat cerai dari Mesir sekaligus mendapat salinan surat nikah Yasmin dengan temannya. Hatiku sangat sakit ketika si sulung mengigau meminta ibunya pulang.”
Cerita Pak Qulyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan hidupnya menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya terbayang dimataku. Tak terasa, sudah dua bulan aku berpisah dengannya. Tiba-tiba, ada kerinduan yang menyelinap di hati. Dia istri yang sangat shalehah. Tidak pernah meminta apa pun. Bahkan, yang keluar adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemurahan Allah, aku mendapatkan istri seperti dia. Meskipun hatiku belum terbuka lebar, tetapi wajah Raihana telah menyala di dindingnya. Apa yang sedang dilakukan Raihana sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah delapan bulan. Sebentar lagi melahirkan. Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin agar aku mencairkan tabungannya.

Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke toko baju muslim. Aku ingin membelinya untuk Raihana. Aku juga membeli daster dan pakaian bayi. Aku ingin memberikan kejutan agar dia tersenyum menyambut kedatanganku.
Aku tidak langsung ke rumah mertua, tetapi ke kontrakan untuk mengambil kartu ATM yang disimpan dibawah bantal. Dibawah kasur itu, kutemukan kertas Merah jambu. Hatiku berdesir, darahku terkesiap. Surat cinta siapa ini? Rasanya aku belum pernah membuat surat cinta untuk istriku. Jangan-jangan ini surat cinta istriku dengan lelaki lain. Gila! Jangan-jangan istriku serong. Dengan rasa takut kubaca surat itu satu persatu. Dan ya Rabbi, ternyata surat-surat itu adalah ungkapan hati Raihana yang selama ini aku zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian mencintaiku, meredam rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri untuk menahan nestapa dan derita yang luar biasa. Hanya Allah lah tempat ia meratap melabuhkan dukanya. Bahkan, ya Allah, ia tetap setia memanjatkan doa untuk kebaikan suaminya. Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku.

“Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh di hadapan-Mu. Lakal hamdu, ya Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al Quran. Kalaulah bukan karena karunia-Mu yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok ke dalam jurang kenistaan. Ya Rabbi, curahkan tambahan kesabaran dalam diri hamba!” tulis Raihana.
Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa,
”Ya Allah, inilah hamba-Mu yang kerdil penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintumu, melabuhkan derita jiwa ini ke hadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan ini hamba-Mu ini hamil penuh derita dan kepayahan. Namun, mengapa begitu tega suami hamba tak memedulikan, bahkan menelantarkan hamba. Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya? Masih kurang apa kesetiaanku padanya? Masih kurang apa baktiku padanya? Ya Allah, jika memang masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada suami. Ya Allah, dengan rahmat-Mu, hamba mohon jangan murkai dia karena kelalaiannya. Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia! Dengan penuh cinta, hamba masih tetap menyayanginya. Ya Allah, berilah hamba kekuatan untuk tetap berbakti dan memuliakannya. Ya Allah, Engkau Mahatahu bahwa hamba sangat mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini! Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau.”
 
Tak terasa, air mataku mengalir. Dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang luar biasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku, semua kebaikan Raihana terbayang. Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan dan pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya yang lembut, tanganya yang halus bersimpuh memeluk kakiku, semuanya terbayang mengalirkan perasaan haru dan cinta. Dalam keharuan terasa ada angin sejuk yang turun dari langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika itu pesona Cleopatra telah memudar, berganti cinta Raihana yang datang di hati. Rasa sayang dan cinta pada Raihan tiba-tiba begitu kuat mengakar dalam hatiku. Cahaya Raihana terus berkilat-kilat di mata. Aku tiba-tiba begitu merindukannya. Segera kukejar waktu untuk membagi cintaku dengan Raihana. Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air mataku yang menetes sepanjang jalan.

Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris tangisku meledak. Namun, kutahan dengan napas panjang dan kuusap air mataku. Melihat kedatanganku, ibu mertuaku memelukku dan menangis tersedu- sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis.

”Mana Raihana, Bu?”
Ibu mertua hanya menangis dan menangis. Aku terus bertanya apa sebenarnya yang telah terjadi.

”Raihana… istrimu... istrimu dan anakmu yang dikandungnya…”

”Ada apa dengan dia?”

”Dia telah tiada.”

”Ibu berkata apa?”

 ”Istrimu telah meninggal seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar mandi. Kami membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat. Sebelum meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala kekurangan dan kekhilafannya selama menyertaimu. Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta maaf telah dengan tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau meridhionya.”
Hatiku bergetar hebat.

”Mengapa ibu tidak memberi kabar padaku?”

“Ketika Raihana dibawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang untuk menjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada. Dihubungi ke kampus, katanya kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan agar kami tidak mengganggu ketenanganmu selama pelatihan. Dan ketika Raihana meninggal kami sangat sedih. Jadi, Maafkanlah kami!” 
Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku merasakan cinta Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus dosaku, dia telah meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya, dia telah tiada. Dia telah meninggalkanku tanpa memberi kesempatan padaku untuk sekadar minta maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah menghukumku dengan penyesalan dan perasaan bersalah tiada terkira. Ibu mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang masih baru perkuburan di pinggir desa. Di atas gundukan itu ada dua buah batu nisan. Nama dan hari wafat Raihana tertulis di sana. Aku tak kuat menahan rasa cinta, haru, rindu dan penyesalan yang luar biasa. Aku ingin Raihana hidup kembali. Dunia tiba-tiba gelap semua.

Sunday, 25 August 2013

Rebloged: A Short Story From Annida Online

Siang menggelegak. Bau tanah kering terbakar menguar, berpeluk aroma aspal terpanggang. Debu melompat-lompat lincah, adu cepat dengan asap yang keluar dari knalpot-knalpot kendaraan di jalanan ibukota. Matahari rasanya hanya sejengkal di atas ubun-ubun. Kau duduk nyaman dalam Harrier hitammu yang full AC, menggengam Blackberry kesayangan. Panasnya udara di luar, kali ini tak mampu menyentuhmu.  Sebuah sms banking masuk. Kau tersenyum senang usai membacanya. Lalu mencatat schedule baru dalam daftar to do-mu. Telah tiba giliranmu melakukan tugasmu, agar dana yang diperbesar itu tampak wajar dalam laporan keuangan proyek. Kau menoleh ke arahku. Senyummu raib seketika. 


“Jangan memandangku seperti itu, please?” kau memasang wajah memelas. 

“Mengapa kau masih melakukannya?” aku bertanya masygul.


“Melakukan apa, sih? Ayolah, sekarang zaman sudah berlari sangat cepat. Kalau toh bukan aku yang melakukannya, pasti ada orang lain yang mengambilnya! Aku hanya melihat sebuah peluang.” 

“Berapa kau naikkan kali ini?”

“Hanya setengah dari kenaikan yang lalu. Orang akan menilai wajar, dong? Kan inflasi? Disetujui semua syukur, dipotong sejumlah tahun lalu juga nggak masalah,” alismu terangkat,

“Ternyata fully agreed. Aku ngga salah dong, kan sesuai prosedur?” kau terbahak,


“Kau tahu jumlahnya? Fantastis! Lebih dari satu tahun gajiku sebagai asisten bapak asisten penasehat menteri anu. Bisa kau bayangkan itu?” Matamu menerawang. Barangkali berencana akan kau apakan saja uang sebanyak itu. Aku menangis. Meraung.  Kau menoleh, menatapku kesal.

“Mengapa kau tak bisa ikut bergembira saja bersamaku?” tanyamu gusar.


“Aku tak bisa. Tak bisa!” Aku menggeleng.

“Ah, siapa bilang! Tak ada yang tak bisa di dunia ini, bro!” kau mencibir.

“Buktinya bosku sudah tak punya kawan sepertimu lagi, sudah ia penjarakan.” 

“Tapi kau tidak melakukannya padaku! Itu artinya kau masih ingin mendengar suaraku,” sepercik harapan muncul, kuusap air mataku.

“Tinggalkan perbuatan itu, please?” bujukku Kau diam sejenak, lalu menggeleng pelan.

“Sudah kepalang tanggung! Apalah artinya aku berhenti sekarang. Berhenti tidak berhenti, tetap saja kalau ketahuan aku akan masuk penjara. Tapi kau tak perlu risau, aku sudah booking seorang pengacara terkenal kalau-kalau aku dapat masalah. Ia terkenal banyak meloloskan kawan-kawanku yang ketahuan lebih dulu.”

Kudapati diriku menciut, semakin mengecil, terhimpit kata-katamu. Sekelilingku tiba-tiba menghitam, membuat batas antara kita. Kau tampak samar, macam bayangan. Inikah penjara seperti kata bosmu itu?

“Hei, tenanglah! Aku kan sudah menyumbangkan sebagian harta itu untuk orang miskin dan yatim piatu! Kau lihat liputannya di televisi dan surat kabar, kan? Lihat, aku tidak serakah! Aku mau berbagi,” kau tertawa.

Aku menatapmu pilu, terluka. Dan kau hanya membuang muka. Ah, kau benar-benar telah berubah! Alumni sebuah perguruan tinggi ternama negeri ini. Aktivis himpunan mahasiswa dan tekun menyerukan pemerintahan yang bersih dalam berbagai unjuk rasa. Ketika ada lowongan menjadi pelayan rakyat, kau pun mendaftar demi idealisme itu, menjadi perintis pejabat yang sepenuhnya memikirkan rakyat.   Kau berubah sejak reuni angkatanmu di almamater. Di sudut aula bergaya modern itu, kau lebih banyak diam mengudap kue-kue yang disediakan panitia. Cerita kawan-kawan satu angkatanmu yang bekerja di berbagai perusahaan multinasional membuatmu berkecil hati. Mereka sudah mapan. Memiliki rumah sendiri. Mobil pribadi. Karir gemilang. Malang melintang ditugaskan ke berbagai negara. Menjadi world class community. Gagah. Berkelas. Gaya hidup masa kini. Mereka semua, lima puluh sembilan dari enam puluh mahasiswa yang terdaftar di angkatanmu. Hanya kau sendiri yang jadi pelayan rakyat. Rumah tipe 21 dengan cicilan KPR 25 tahun. Berkendara sebuah vespa butut tahun 80-an. Tak pernah bisa pergi sekeluarga karena vespa itu tak kuat menanggung beratmu, istri dan tiga anakmu. Kau bahkan kalah dengan kawan-kawan wanitamu yang semuanya menjadi wanita karir dengan posisi menjanjikan.  Sungguh tak adil, desismu kala itu. Padahal kau adalah tiga besar lulusan terbaik. Cum Laude. Dengan idealisme itu kau sungguh merasa bisa menjadi pembaharu dalam jajaran penentu kebijakan publik. Namun, idealisme itu ternyata harus ditebus dengan menjadi paling miskin dalam barisan alumni. Kau sungguh merasa tertipu. Lalu begitulah awalnya, kau memutuskan untuk menyerah pada arus. Aku berteriak mencoba memanggilmu lagi. Ingin kukatakan bahwa sesungguhnya yang kulihat kau sedang menelan api neraka, bukan nikmat makanan pelepas lapar, apalagi minuman penghilang haus. Namun kau acuh, hanya memandangku sekilas, tersenyum sinis, lalu berpaling ke Blackberry-mu lagi. Terpelantinglah aku dalam sebuah penjara yang hitam kelam.

***

Setelah mengantarkan ketiga anakmu ke depan pintu masuk sekolah mereka, kau memarkirkan motor kesayanganmu yang cicilannya masih setahun lagi. Ah ya, suamimu bahkan mengira itu motor milik sopirnya.
 
“Kau harus mengingatkan suamimu!” kataku ketika kau mulai berjalan menuju ruang guru sekolah itu.

“Langkahnya sudah terlalu jauh.” Kau tampak gusar.

“Aku sudah melakukan berbagai cara untuk menariknya kembali, bahkan sejak pertama kali ia melakukannya dalam angka ratusan ribu. Ia tak mendengarku! Kini ratusan itu jadi miliaran. Angka itu lebih cantik daripada aku. Ia akan segera meninggalkan aku dan kawin dengan angka-angka itu,” kau menjawab kesal.

“Kau istrinya! Kalau bukan kau yang mengingatkannya, siapa lagi?” tuntutku.

“Kau benar sekali! Aku hanya istrinya. Bukan pemilik jiwanya!” Kau menggeleng.

“Jangan timpakan ini padaku! Aku sudah cukup pusing memutar otak supaya gajiku sebagai guru honorer cukup untuk menghidupi anak-anakku. Toh, sebentar lagi ia juga akan meninggalkan aku?” Kau berhenti melangkah.

“Kau tahu? Ada banyak wanita lain di sekelilingnya kini. Ia pikir ia sudah bisa membeli dunia,” matamu berkaca-kaca.

“Aku sudah memilih mendengarmu. Menurutimu untuk tidak menggunakan uang yang diberi suamiku karena kau bilang uang itu uang haram. Uang yang jika dimakan anak-anakku, mereka tak akan pernah jadi anak baik. Kau yang bilang begitu, kan?” Aku mengangguk.

“Terima kasih telah mendengarkan aku. Percayalah, kau tak akan pernah menyesal.”

“Kau tahu, itu sangat berat bagiku.” Kau menghela nafas, lalu melanjutkan langkahmu.

***

Berkali-kali aku mengetuk dinding hitam yang menyekatku darimu. Berteriak lantang memanggil namamu. Nama indah pemberian kedua orang tuamu. Nama yang berarti bersih, suci. Sebagaimana keinginan mereka supaya kelak kau menjadi lelaki yang berhati bersih dan suci. Namun kau teramat sibuk dengan duniamu. Tak terluang sedikitpun waktumu meski hanya untuk melirikku.  Kudapati kau tengah termangu di bangku taman belakang rumahmu malam larut itu. Asbak di sampingmu penuh dengan puluhan puntung rokok yang tak terbakar sempurna. Kau gelisah memikirkan sesuatu. Aku berseru memanggilmu, namun kau tak menggubris.  Lalu kudengar suara ketukan itu. Antara terkejut dan senang. Kau mengetuk dinding itu! Kau memanggilku! Aku gembira bukan kepalang. Asal kau tahu, ketukan dan sapamu itu meruntuhkan dinding hitam yang memisahkan kita seketika.

“Hai!” sapamu. 

“Apa kabar?” balasku.

“Kurang begitu baik.” 

“Tidak biasanya.”

“Jangan meledek!” “Ada yang bisa kubantu?” 

“Waktuku tiba juga,” katamu menggantung.  Aku celingukan, tak kulihat siapapun.

“Bukan, bukan malaikat maut maksudku,” kau meralat, tersenyum canggung.

“Ow, kau bisa menyuapnya juga agar menunda mencabut nyawamu? Sungguh luar biasa kau!” aku berdecak. Wajahmu makin kisruh.

“Berhentilah memojokkanku, please? Aku sadar aku salah, tapi mengapa aku enggan berhenti? Ini sungguh jadi candu bagiku,” kau memandang langit hitam.

“Semua sudah aku rencanakan dengan sempurna, tapi rupanya ada rencana di atas rencana yang lebih sempurna.” 

“Memang begitu,” timpalku membenarkan, mulai paham ke mana arah bicaramu.

“Ke mana pengacara sakti yang pernah kau bilang dulu? Bukankah ia selalu berhasil meloloskan kawan-kawanmu?” 

“Ternyata ia tak sesakti itu. Aku tetap terancam masuk penjara, tahunan,” kau memandangku, tak menangkap sindiranku.

“Apa saranmu?”

“Mudah, taubat! Taubat sebenar-benarnya taubat! Kau kembalikan semua yang pernah kau ambil tanpa hak. Semua. Lalu kau berjanji pada dirimu sendiri tidak akan mengulanginya lagi. Mulai dengan hidup baru. Bersih,” saranku bersemangat.

“Aku sudah tak tahu lagi mana yang benar-benar punyaku, mana yang bukan!”

“Kalau begitu kau kembalikan saja semua.”

“Mana boleh begitu!” kau mendelik.

“Bagaimana aku hidup nanti?”

“Bagaimana kau mati nanti?” timpalku cepat. Matamu terkerjap sejenak. Aku sungguh berharap jawabanku itu bisa menghentakkanmu. Menarikmu pulang ke fitrahmu. Kau menerawang langit. Malam ini tak ada satu pun bintang. Barangkali ada, namun sinarnya kalah oleh lampu-lampu penerang yang benderang menyilaukan mata. Serupa aku, suaraku kalah oleh suara lain dalam dirimu. Malam ini aku sungguh berharap kau lebih mendengarku daripada suara apapun di atas bumi ini. 

“Jika semua kukembalikan, lalu apa yang tersisa untukku?” tanyamu lirih.

“Tuhanmu, istrimu, anak-anakmu, dan aku,” jawabku yakin.

“Itu saja?”

“Itu cukup!” Kau menggeleng-geleng.

“Tak masuk akal. Tak masuk akal. Zaman begini? Zaman begini kau bilang itu saja cukup?” Kembali kau bangun sekat hitam yang baru saja kau robohkan. Kugedor-gedor sekat itu sekuat tenaga. Kau acuh. Kuteriakkan namamu berulang kali. Kau hanya melirik sekilas. Kulihat seringai sinis musuh lamaku di sudut bibirmu. Hrrrgh!

***

Kau menangis memegangi jeruji besi yang memisahkanmu dengan suamimu.

“Jangan sedih, Ma. Aku hanya lima tahun di sini. Sesudah itu aku bebas dan kita bisa menikmati kekayaan yang masih aku simpan. Mereka hanya mendendaku sedikit saja. Hartaku masih bisa menghidupi anak cucu kita hingga tujuh turunan.” Suamimu berbisik-bisik, takut terdengar sipir yang berdiri tak jauh. Ia takut sipir itu minta bagian. Bukannya mereda, tangismu justru makin keras. Suamimu jadi bingung. Responmu sungguh tak masuk di akalnya.  Kau mengeluarkan sesuatu dari tasmu.

“Kukembalikan ini padamu,” kau mengulurkan sebuah kartu ATM dan buku tabungan yang dulu pernah diberikan lelaki itu padamu, “Dan aku tidak berminat ikut menikmati harta yang masih kau simpan itu.” Suamimu terbelalak. Matanya bahkan hampir keluar saat melihat jumlah saldo yang tertera di buku tabungan itu, saldo selama sepuluh tahun menabung tanpa berkurang satu rupiah pun. Suamimu tertawa terbahak-bahak. Ia senang bukan kepalang. Hartanya bertambah banyak.

“Tadinya aku berharap kau bertaubat setelah masuk ke sini, maka aku akan bersabar  menunggumu keluar. Nyatanya tidak. Kau masih keras hati. Maaf, tapi aku tak punya pilihan. Akan aku kirim pengacara untuk mengurus perceraian kita,” kau langsung berdiri dan bergegas pergi, meninggalkan lelaki itu selamanya. Samar sempat kulihat dia yang terpenjara dalam hati suamimu. Dia menggigil hebat, karena kekuatan sucinya telah banyak memudar tergerogoti hawa nafsu lelaki itu. Rasanya ingin kutularkan sedikit kekuatanku yang makin cemerlang ini untuk membantunya menghancurkan dinding hitam yang memenjaranya. Namun aku tahu, hanya suamimu yang bisa membantunya. Atau mungkin doa-doamu yang bersambut.

***

Kau memandangi punggung istrimu lewat jeruji hingga tubuh perempuan itu lenyap di balik pintu keluar. Tanganmu gemetar menggenggam buku tabungan dan kartu ATM bernilai milyaran rupiah. Kau diselimuti heran. Tidak mengerti jalan pikiran perempuan itu.  Cahaya itu telah pergi, gumamku sedih. Padahal sempat aku berharap cahaya terang dari diri seorang perempuan yang menangis di hadapanmu tadi menyinariku, mengirimkan kekuatan suci untuk membantuku meruntuhkan dinding hitam ini. Namun lagi-lagi aku terpaksa menelan kecewa. Harapan itu semakin menipis. Entah sampai kapan aku terpenjara di sini, di hitam kelam hatimu.

Selesai.   

(Notice: I forget the title, but i hope you will be keeping the message in your heart. This story was taken from Annida-Online website.)

Thursday, 22 August 2013

Bagian I : Catatan Khuruj Fi Sabilillah


"Ih, seram sekali orang-orang itu. Pasti mereka adalah para laki-laki yang suka menelantarkan anak istri, terus membuat markas untuk menge-bom tempat-tempat yang menurut mereka penuh maksiat!!!" begitulah kalimat berintonasi jijik yang melintas di kepalaku, ketika jejala pandangku menangkap segerombol laki-laki. Semuanya mengenakan jubah panjang bewarna putih, jenggot lebat sedada, dan sorban yang menutupi kepala mereka. 

Mereka berjalan dari Masjid ke Masjid dan menginap di Masjid.


Berlebihan! Begitu keterbatasan akalku telah menyimpulkan, bahkan terkesan menghujat. Mereka hanya membuat Islam terkesan kolot dan menakutkan. Itulah alasan yang membuat dadaku selalu bergemuruh keresahan saat berjumpa dengan orang-orang 'berlebihan' itu.

Coba lihat! Ustadz-ustadz yang sering nangkring di televisi, mereka juga berdakwah, tapi pakaian dan jenggot mereka tetap enak dipandang. Baju koko mereka aneka model dan warna, peci mereka pun cantik. Apalagi para ustadz kondang itu tampan-tampan. Pokoknya ketika mereka berceramah, mata tak akan rela melengah barang sekedip pun.

Itu adalah aku beberapa waktu yang lalu. Tapi kini, aku bersyukur karena perlahan aku mulai merubah pradugaku yang asal-asalan itu.

Hampir dua bulan aku di kampung halaman. Dan selama itu pula pengetahuanku tentang orang-orang 'berlebihan' itu semakin tumbuh. Dari Bapaklah pengetahuan itu mengucur bagai air hujan. Bapak pun ternyata bagian dari mereka. Bapak menyebut mereka, orang-orang yang khuruj fi sabilillah atau orang-orang yang keluar di jalan Allah.

Memang, Bapakku tidak berjenggot tebal dan berjubah, tapi ia sudah beberapa kali 'keluar' selama tiga hari. Dalam waktu tiga hari itu, mereka mengadakan ta'lim [membaca kitab-kitab ta'lim, seperti: Hayyatu Sahabah, Fadhilah Amal, Fadhilah Sedekah, dll], membicarakan masalah agama, dan memiliki tujuan utama untuk menghidupkan sholat jamaah di Masjid.

Khuruj fi sabilillah ini dibagi menjadi beberapa waktu. Ada yang tiga hari, 40 hari dan empat bulan. Bahkan ada yang satu tahun. Sesuai dengan kemampuan dan niat. Rute-nya pun sesuai kemampuan dan niat, bisa Masjid antar kampung, Masjid antar kota, Masjid antar provinsi, hingga Masjid antar negara.

Bapak bilang, mereka adalah orang-orang yang rela berpayah-payah demi menegakkan kembali syariat,  lillahita'ala. Demi mendapatkan rahmat-Nya. Karena hanya dengan rahmat Allah-lah, seseorang akan meraih Jannah.

Mereka rela bermalu ria dengan mengetuk pintu setiap rumah penduduk, mengajak setiap penghuninya sholat berjamaah di Masjid. Lalu apakah pantas aku membenci orang-orang seperti itu?

Mereka berdakwah dari satu tempat ke tempat lain dengan mengorbankan harta mereka, bukan meminta ongkos dari masyarakat, apalagi menunggu diundang. Apakah masih layak aku membenci mereka?

"Tapi mereka menelantarkan anak istri!"

Siapa bilang? Itu hanya dakwaan orang yang melemahkan Islam. Mereka sudah meninggalkan harta yang cukup untuk anak-istri. Kalaupun tidak, istri mereka adalah wanita saleha. Yang mengikhlaskan sang suami berdakwah di jalan Allah. Mereka ikhlas dalam susah dan nestapa di dunia.

Kita tentu tidak pernah lupa dengan kisah Khadijah istri Rasulullah saw. Apakah dia seorang istri yang bersantai di rumah sedang sang suami berjuang menyampaikan risalah? Apakah dia seorang istri yang merengek ketika di rumahnya tidak ada yang bisa digunakan untuk mengobati lapar? Tidak. Khadijah adalah istri yang selalu tegak di belakang sang Rasul. Ia gagah ketika Rasulullah gundah. Ia sabar ketika Rasulullah gentar. Ia korbankan seluruh hartanya di jalan Allah. Ia hidup dalam susah hingga akhir hayatnya, ia wafat di pengasingan. Begitulah Khadijah, salah satu dari empat wanita sebaik-baik di dunia. Dan aku yakin, istri-istri para laki-laki yang khuruj fi sabilillah, adalah Khadijah-Khadijah yang juga dirindu Jannah.  Mereka menyadari, bahwa dunia tidaklah cukup jika digunakan untuk menikmati kebersamaan. Mereka korbankan kesenangan dunia, demi Jannah. Di sanalah kelak mereka memiliki waktu yang panjang untuk selalu bersama dalam suka cita.

Satu hari yang lalu, ketika aku dan Bapak pulang dari silaturrahim ke rumah teman, kami berpapasan dengan dua laki-laki India. Bapak tahu mereka. Karena seminggu yang lalu, Bapak ikut menyambut kedatangan mereka di pelabuhan Penyalai. Jumlah mereka delapan orang. Semuanya dari India. Kata Bapak, mereka khuruj satu tahun. Sebelum ke pulau ini, mereka berdakwah di Tanjung Balai Karimun. Di sini, mereka menetap sesaat di Masjid Mutmainah yang ada di kecamatan.

Satu hari yang lalu, empat orang di antara mereka berkunjung ke Masjid di desaku. Dan siang itu--dua di antaranya--kembali ke kecamatan. Dua orang itulah yang berpapasan dengan kami. Mereka masing-masing dibonceng oleh jamaah di pulau ini, yang juga sahabat Bapak.

Siang itu hujan tak terlalu lebat, jadi ketika berpapasan, kami tidak berhenti. Hanya saling menyapa. Pada waktu yang singkat itulah, mataku sempat menangkap wajah jamaah India yang tersenyum pada Bapak. Kutebak umurnya masih 30-an. Berjubah dan berjenggot sedada. Aneh, tidak ada lagi rasa takutku seperti dulu. Aku justru menemukan wajah yang damai. Hampir air mataku menetes setelah melihat wajah-wajah itu. Andai wajahku bisa memancarkan kasih sayang dan kesejukan seperti mereka. Ah, aku terlalu banyak berselubung dosa.

Ya Allah, Mungkin, begitulah wajah ahli Surga.


Beberapa hari yang lalu, sepulang dari menghadiri ta'lim para ulama India itu, Bapak bercerita. Ketika bersalaman dengan jamaah, para ulama itu memeluk mereka, seperti saudara yang lama tak bertemu. Bapak berkali-kali bilang, air matanya selalu menetes apabila mengingat keramahan para ulama India itu. Meskipun mereka tak bisa berbahasa Indonesia, rasanya semua jamaah di pulau ini adalah keluarga mereka.

"Subhanallah, nak. Bapak seperti mendapat kiriman angin dari kehidupan zaman Rasulullah. Saling mengasihi. Bapak rasa, begitu juga kasih sayang yang kelak ada di Jannah. Di mana-mana selalu dipenuhi ucapan salam, dan apabila mereka berbicara hanya membicarakan tentang agama" ucap Bapak padaku.



Lalu tadi pagi, Bapak menceritakan pengalamannya malam tadi, ketika sholat berjamaah di Masjid. Yang menjadi imam adalah salah satu ulama India itu. Seorang hafidz 30 juz Alquran.

"Dia membaca doa sambil menangis sesenggukan, pun ketika membaca surah dalam sholat"


Aku tercenung. Merekalah yang pantas menerima Jannah. Kelak mereka akan memasuki Jannah tanpa hisab, mereka terbang melintasi pagar-pagar Jannah yang indah, hingga para malaikat terheran-heran dibuatnya.

Masih banyak yang ingin kutulis, namun karena keterbatasanku, aku mencukupkannya dulu sampai di sini. InsyaAllah jika ada kesempatan, aku kembali melanjutkannya.

"Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong agama Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu" (QS. Muhammad:7)

Sabda Rasulullah saw: "Tidak akan beriman seseorang sampai dia memiliki sifat kasih sayang kepada sesamanya" para sahabat r.anhum berkata, "Ya Rasulullah, kami semua telah memiliki rasa kasih sayang." Rasulullah saw. bersabda, "Yang dimaksud mengasihi itu bukan sekedar kasih sayang terhadap sahabat karib saja, tetapi kasih sayang kepada seluruh ummat"

"Orang yang berpegang teguh dengan sunnahku pada zaman yang telah rusak, maka ia akan mendapatkan pahala seratus mati syahid" (HR.Baihaqi dari Ibnu Abbas r.a)

"Dengan cucuran air matamu, karena kedua mata senantiasa menangis takut kepada Allah, tidak akan tersentuh api neraka untuk selamanya" (HR. Al Ashfahani)

(Referensi: Kitab Khuruj Fi Sabilillah, oleh An Nadhr Muhammad Ishaq Shahab)

Wednesday, 21 August 2013

Surat Untuk Asma Al-Beltaji

Putriku tercinta dan guruku yang mulia.. Asma al-Beltaji, aku tidak mengucapkan selamat tinggal padamu, tapi kukatakan bahwa besok kita akan bertemu lagi.

 
Kau telah hidup dengan kepala terangkat tinggi, berjuang melawan tirani dan belenggu serta mencintai kemerdekaan. Kau telah hidup sebagai seseorang yang diam-diam mencari cakrawala baru untuk membangun kembali bangsa ini, memastikan tempatnya di tengah-tengah peradaban.

 

Kau tidak pernah dijajah oleh perkara sia-sia yang menyibukkan para remaja se usiamu. Meskipun pendidikan tidak mampu memenuhi aspirasi dan ketertarikanmu, kau selalu yang terbaik di kelas 

 

Aku tidak punya cukup waktu untuk membersamaimu dalam hidup singkat ini, terutama karena waktuku tidak memungkinkan untuk menikmati kebersamaan denganmu. Terakhir kali kita duduk bersama di Rabaa Al Adawiya kau berkata padaku, "Bahkan ketika Ayah bersama kami, Ayah tetap sibuk" dan kukatakan "Tampaknya bahwa kehidupan ini tidak akan cukup untuk menikmati setiap kebersamaan kita, jadi aku berdoa kepada Tuhan agar kita menikmatinya kelak di surga."

 

Dua malam sebelum kau dibunuh, aku melihatmu dalam mimpiku dengan gaun pengantin putih dan kau terlihat begitu cantik.  Ketika kau berbaring di sampingku aku bertanya, "Apakah ini malam pernikahanmu?" kau menjawab, "Waktunya adalah di sore hari Ayah, bukan malam". Ketika mereka bilang kau dibunuh pada Rabu sore aku mengerti apa yang kau maksud dan aku tahu Allah telah menerima jiwamu sebagai martir. Kau memperkuat keyakinanku bahwa kita berada di atas kebenaran dan musuh kita berada pada kebathilan.

 

Aku merasa sangat terluka karena tidak berada di perpisahan terakhirmu dan tidak melihatmu untuk terakhir kalinya, tidak mencium keningmu, dan memilki kehormatan untuk memimpin shalat jenazahmu. Aku bersumpah demi Allah, sayang, aku tidak takut kehilangan nyawaku atau penjara yang tidak adil, tapi aku ingin membawa pesan yang kau telah berkorban nyawa ntuknya, untuk menyelesaikan revolusi, untuk menang dan mencapai tujuannya.

 

Jiwamu telah dimuliakan dengan kepala terangkat tinggi melawan tiran. Peluru tajam telah membelah dadamu. Yang menurutku luar biasa dan penuh dengan kebersihan jiwa. Aku yakin bahwa kau jujur kepada Allah dan Dia telah memilihmu di antara kami, memberimu kehormatan dengan pengorbanan.

 

Akhirnya, putriku tercinta dan guruku yang mulia... aku tidak mengucapkan selamat tinggal, tapi aku mengucapkan sampai jumpa kita akan segera bertemu dengan Nabi kita tercinta dan sahabat-sahabatnya di surga, dimana keinginan kita untuk menikmati kebersamaan kita akan  menjadi kenyataan.

 

 

__

NB: Asmaa Mohamed El Beltaji berusia 17 tahun dan adalah antara yang dibunuh pada tragedi berdarah di Medan Rab'ah (14/8/2013). Beliau adalah putri satu-satunya Mohammed El Beltaji, seorang pimpinan Ikhwanul Muslimin.

 

 

*diterjemahkan oleh @nastarabdullah dari pkspiyungan.org

Rebloged: Siapakah Kau, Perempuan Sempurna?

Ketika akhirnya saya dilamar oleh seorang lelaki, saya luruh dalam kelegaan.Apalagi lelaki itu, kelihatannya ‘relatif’ sempurna. Hapalannya banyak, shalih, pintar. Ia juga seorang aktivis dakwah yang sudah cukup matang.Kurang apa coba?

 Saya merasa sombong! Ketika melihat para lajang kemudian diwisuda sebagai pengantin, saya secara tak sadar membandingkan, lebih keren mana suaminyadengan suami saya.

 Sampai akhirnya air mata saya harus mengucur begitu deras, ketika suatu hari menekuri 3 ayat terakhir surat At-Tahrim. Sebenarnya, sebagian besar ayatdalam surat ini sudah mulai saya hapal sekitar 10 tahun silam, saat saya masih semester awal kuliah. Akan tetapi, banyak hapalan saya menguap, dan harus kembali mengucur bak air hujan ketika saya menjadi satu grup dengan seorang calon hafidzah di kelompok pengajian yang rutin saya ikuti.

 Ini terjemah ayat tersebut:
66:10. Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orangkafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya); Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)”.

 66:11. Dan Allah membuat istri Firaun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang lalim”,

66: 12. dan Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; dan dia membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan Kitab-kitab-Nya; dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat.

SEBUAH KONTRADIKSI

 Ada 4 orang yang disebut dalam 3 ayat tersebut. Mereka adalah Istri Nuh, Istri Luth, Istri Firaun dan Maryam. Istri Nuh (IN), dan Istri Luth (IL) adalah symbol perempuan kafir, sedangkan Istri Firaun (IF) dan Maryam (M), adalah symbol perempuan beriman. Saya terkejut, takjub dan ternganga ketika menyadari bahwa ada sebuah kontradiksi yang sangat kuat. Allah memberikan sebuah permisalan nan ironis. Mengapa begitu?

 IN dan IL adalah contoh perempuan yang berada dalam pengawasan lelaki shalih. Suami-suami mereka setaraf Nabi (bandingkan dengan suami saya! Tak ada apa-apanya, bukan?). Akan tetapi mereka berkhianat, sehingga dikatakanlah kepada mereka, waqilad khulannaaro ma’ad daakhiliin…

 Sedangkan antitesa dari mereka, Allah bentangkan kehidupan IF (Asiyah binti Muzahim) dan M. Hebatnya, IF adalah istri seorang thaghut, pembangkang sejati yang berkoar-koar menyebut “ana rabbakumul a’la.” Dan Maryam, ia bahkan tak memiliki suami. Ia rajin beribadah, dan Allah tiba-tiba berkehendak meniupkan ruh dalam rahimnya. Akan tetapi, cahaya iman membuat mereka mampu tetap bertahan di jalan kebenaran. Sehingga Allah memujinya, wa kaanat minal qaanithiin…

 PEREMPUAN SEMPURNA
Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda:”Sebaik-baik wanita penghuni surga itu adalah Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad, Asiyah binti Muzahim istri Firaun, dan Maryam binti Imran.” (HR. Ahmad 2720, berderajat shahih).

 Empat perempuan itu dipuji sebagai sebaik-baik wanita penghuni surga. Akan tetapi, Rasulullah saw. masih membuat strata lagi dari 4 orang tersebut.

 Terpilihlah dua perempuan yang disebut sebagai perempuan sempurna. Rasul bersabda, “Banyak lelaki yang sempurna, tetapi tiada wanita yang sempurnakecuali Asiyah istri Firaun dan Maryam binti Imran. Sesungguhnya keutamaan Asiyah dibandingkan sekalian wanita adalah sebagaimana keutamaan bubur roti gandum dibandingkan dengan makanan lainnya.” (Shahih al-Bukhari no. 3411).

 Inilah yang membuat saya terkejut! Bahkan perempuan sekelas Fathimah dan Khadijah pun masih ‘kalah’ dibanding Asiyah Istri Fir’aun dan Maryam binti Imran.Apakah gerangan yang membuat Rasul menilai semacam itu?

 Ah, saya bukan seorang mufassir ataupun ahli hadits. Namun, dalam keterbatasan yang saya mengerti, tiba-tiba saya sedikit meraba-raba, bahwa penyebabnya adalah karena keberadaan suami. Khadijah, ia perempuan hebat, namun ia tak sempurna, karena ia diback-up total oleh Rasul terkasih Muhammad saw., seorang lelaki hebat. Fathimah, ia dahsyat, namun ia tak sempurna, karena ada Ali bin Abi Thalib ra, seorang pemuda mukmin yang tangguh.

 Sedangkan Asiyah? Saat ia menanggung deraan hidup yang begitu dahsyat, kepada siapa ia menyandarkan tubuhnya, karena justru yang menyiksanya adalah suaminya sendiri. Siksaan yang membuat ia berdoa, dengan gemetar, “Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku darikaum yang lalim.” Siksaan yang membuat nyawanya terbang, ah… tidak mati, namun menuju surga. Mendapatkan rizki dan bersukaria dengan para pendudukakhirat.

 Bagaimana pula dengan Maryam? Ia seorang lajang yang dipilih Allah untuk menjadi ibunda bagi Nabi Isa. Kepada siapa ia mengadu atas tindasan kaumnya yang menuduh ia sebagai pezina?Pantas jika Rasul menyebut mereka: Perempuan sempurna…

 JADI, YANG MENGANTAR ke Surga, Adalah Amalan Kita

 Jadi, bukan karena (sekadar) lelaki shalih yang menjadi pendamping kita.Suami yang baik, memang akan menuntun kita menuju jalan ke surga,mempermudah kita dalam menjalankan perintah agama. Namun, jemari akan teracung pada para perempuan yang dengan kelajangannya (namun bukan sengaja melajang), atau dengan kondisi suaminya yang memprihatinkan (yang juga bukan karena kehendak kita), ternyata tetap bisa beramal dan cemerlang dalam cahaya iman. Kalian adalah Maryam-Maryam dan Asiyah-Asiyah, yang lebih hebat dari Khadijah-Khadijah dan Fathimah-Fathimah.

 Sebaliknya, alangkah hinanya para perempuan yang memiliki suami-suami nan shalih, namun pada kenyataannya, mereka tak lebih dari istri Nabi Nuh danistri Nabi Luth. Yang alih-alih mendukung suami dalam dakwah, namun justru menggelendot manja, “Mas… kok pergi pengajian terus sih, sekali-kali libur dong!” Atau, “Mas, aku pengin beli motor yang bagus, gimana kalau Maskorupsi aja…”

 Benar, bahwa istri hebat ada di samping suami hebat. Namun, lebih hebat lagi adalah istri yang tetap bisa hebat meskipun terpaksa bersuamikan orang tak hebat, atau bahkan tetapi melajang karena berbagai sebab nan syar’i. Dan betapa rendahnya istri yang tak hebat, padahal suaminya orang hebat dan membentangkan baginya berbagai kemudahan untuk menjadi hebat. Hebat sebagai hamba Allah Ta’ala!

 diambil dari Afifah Afra

Saturday, 17 August 2013

A Feeling: Renungannya

Hampir dua bulan sudah ia di kampung halaman, dan setiap hari waktunya lebih banyak tersisa untuk 'merenung'. Kadang ia merenung tentang dirinya sendiri, tak jarang pula tentang orang lain dan alam. Merenung seolah menginduksi jiwanya untuk menata kembali segala yang rumpang selama 18 tahun ia hidup. Ya, akhirnya ia tahu, banyak cela yang ia jumpai pada seseorang atau hal lain, yang sebenarnya adalah celanya sendiri.

Kepekaan. Mungkin inilah yang tak terealisasi dalam sikapnya. Ia dominan tidak mau memikirkan suka maupun luka makhluk di sekitar. Terkadang, ia terlalu khusyuk dengan apa yang membuatnya senang. Di lain sisi, ia juga merasa kerumpangannya itu sudah benar. Mengabaikan hal yang tak mendukung kebahagiaan jiwa, adalah kebenaran mutlak. Mengacuhkan mereka yang tak sejalan, adalah pilihan mutlak. Renungan yang membuat otaknya semakin meleleh panas. Barangkali dua makhluk yang terkurung putih dan hitam dalam dirinya, tengah mendebat, saling menjunjung kebenaran, atau sesuatu yang dibenarkan.

Tujuan. Ini adalah hal yang juga acap kali menemani renungan. Terkadang ketika ia duduk menjelang matahari tenggelam, ketika ia duduk menyendiri pada akar-akar pepohonan, atau juga ketika hujan. Tujuan selalu memiliki beribu penafsiran. Tujuan sekolah, tujuan perjuangan, tujuan perjalanan, hingga tujuan hidup. Tujuan selalu sejajar dengan harapan, dan berkorelasi dengan kebahagiaan. Memang benar, kebahagiaan adalah ketika seseorang menggenggam apa yang membuatnya bahagia. Dan, sialnya tak semua mengetahui hal yang membuatnya bahagia. Itulah yang ia cari dalam renungan.

Spiritual. Renungan tentang nutrisi jiwa ini kerap menyambanginya. Penyesalan, harapan, doa. Semua bergumul menjadi satu, membuat saluran nafasnya terikat, lalu kelenjar air mata pun berkontraksi. Buku-buku milik Bapaknya, televisi dan kesenduan alam terus mengusiknya. Lalu menyimpulkan, ia sudah jauh tertinggal. Menyaksikan para tunaganda, tunadaksa, tunagharita, tunalaras, tunarungu, tunanetra, berhasil merekam seluruh isi kitab Tuhan di kepalanya, ia merasa terpojok. Lalu di mana cela Jannah yang layak ia tempati? Jika raga dan akal tanpa cacat itu tak melakukan apapun. Bahkan sepertiga puluh kitab-Nya tak semua lekat di kepalanya. Dirinya tertinggal, mereka telah melesat jauh...menari bersama bintang-bintang, dekat dengan Tuhan, sedang ia masih terperosok dalam kubangan yang ia buat sendiri.

Bukan hanya para tuna itu, ia pun merenungi keberanian dan keteguhan saudara seiman di Rabiah Al Adawiyah. Tak  terkecuali kepada seorang Asma Beltagy. Wanita belia yang sudah membuktikan bakti tertinggi. Sedang ia, terlalu pengecut. Bahkan pada goresan jarum, ia takut!

Teman. Semakin ia merenung tentangnya, semakin banyak ia jumpai pembuktian.

Nasehat Bakr bin Abdullah Abu Zaid, ketika baliau berkata,” Hati-hatilah dari teman yang jelek …!, karena sesungguhnya tabiat itu suka meniru ! .. Maka hati-hatilah bergaul dengan orang.

Barangkali ia belum mampu menjalankan nasihat itu. Ia seperti ikan kecil dalam laut badai. Siripnya belum cukup kuat jika harus melawan amukan arus yang menyeretnya. Akhirnya, ia turut hanyut, terkadang terombang-ambing.

Semoga Tuhan memperluas jalannya, dan jalanmu...

Tuesday, 13 August 2013

Cinta Ditolak, Move On Bertindak!

Dikutip dari web Annida online dengan sediikiit...gubahan!
 

Assalaamu'alaykum wr. wb.

Buat sobat yang cintanya pernah ditolak sama si doi, perasaannya kayak apa, hayooo?! Nyesek, pasti. Rasanya mau bunuh diri, walaupun perlu mikir berkali-kali sih. Atau ada juga yang minta dukun buat beraksi. Amit-amit, hiii!

Kenapa ya, cinta ditolak efeknya selalu negatif? Bikin susah move on, bahasa Zimbabwe-nya. Padahal kan ada pepatah bagus yang mengatakan: di balik laki-laki/perempuan yang sukses, ada penolak yang menyesal. Hehe. Intinya sih, ditolak itu mestinya jadi momen  buat bangkit en ngebuktiin kalo kita gak pantes buat ditolak. Ciah...

Nih... Ada sepatah dua patah buat yang ditolak cintanya:

1. Ditolak berarti Allah cinta banget sama kita
Khususon buat sobat yang abis nembak cewek buat dijadiin pacar terus ditolak, catat ini baik-baik, Bahwa Allah masih melindungi kita dari mendekati zina.

Pasti udah tau deh, kalo pacaran itu pintu tol menuju zina. Nah, ketika si doi menolak, alhamdulillah Allah masih sayang sama kita.

Lagian yang pasti-pasti aja. Kalo mau nembak, ya tembak baik-baik. Dateng langsung ke rumahnya en menghadap ortunya. Izin buat nembak anaknya menuju pelaminan. *uhuy!

Kalo belom mampu, yowis berarti Allah lagi menggelar pintu pahala melalui shaum sunnah en megukir prestasi di sekolah. Enak, tah?

2. Ditolak berarti ada bidadari menanti
Kalo yang ini khususon buat yang mau mengajak menikah si dia, eh malah ditolak! *pukpuk. Padahal niatnya baik ya Sob. Menjauhi zina. Tapi ya gitu Sob, kalo Allah belum berkehendak, mau dikata apa?

Daripada merasa diri jelek en berburuk sangka yang macem-macem sama Allah, mending move on segera lah. Terus berbaik sangka sama Allah sambil doa yang banyak. Insya Allah sudah disiapkan bidadari yang lebih baik dari yang kita ingini sebelumnya, suatu hari nanti. Yeah!

3. Ditolak berarti belum pantas
Iya, belum pantas. Allah ingin menyatunya kita en dia di frekuensi yang sama. Di gelombang yang sedang dekat-dekatnya dengan Dia. Beuwh... lebih berkah dah insya Allah yang kayak begini nih.

Emang sih, bisa banget dipaksain biar gak ditolak dengan ngasih perhatian lebih ke si doi dllsb. Tapi Allah Maha Tahu segala, lho! Mending lewat jalur yang alami aja deh, gak usah dipaksain. Biar gak menyesal di kemudian hari.

Jadi... yuk terus perbaiki diri. Biarkan 'tangan-tangan' Allah yang mengatur semua muanya.

Nih ada kisah kerennn tentang seseorang solih yang ditolak cintanya. Cekidot!

Salman Al Farisi sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mu’minah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai pacar. Tetapi sebagai sebuah pilihan untuk menambatkan cinta dan membangun rumah tangga dalam ikatan suci.

Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang telah dipersaudarakan dengannya, Abu Darda’.

”Subhanallaah wal hamdulillaah,” girang Abu Darda’ mendengarnya. Keduanya tersenyum bahagia dan berpelukan. Berangkatlah keduanya ke rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.

”Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Saw. Saya datang mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya” fasih Abu Darda’ berbicara.

”Adalah kehormatan bagi kami,” ucap tuan rumah, ”menerima Anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.”

Abu Darda dan Salman menunggu dengan berdebar-debar. Hingga sang ibu muncul kembali setelah berbincang-bincang dengan puterinya.

”Maafkan kami atas keterusterangan ini,” kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”

Keterusterangan yang di luar kiraan kedua sahabat tersebut. Mengejutkan bahwa sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya. Bayangkan sebuah perasaan campur aduk dimana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran. Ya, bagaimanapun Salman memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya.

Yuuukkk... kita simak apa reaksi Salman, sahabat yang mulia ini:

”Allahu Akbar!” seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!” (islamedia.web.id)

Kalo kata peribahasa: udah jatuh tertimpa tangga pula! Udahlah ditolak lamarannya, eh si perempuan maunya dengan Abu Darda' yang mengantarkan Salman. Tapi di situ lah hebatnya Salman! Gak malah jadi galau, berbalik kesal sama saudaranya, gak pake dengki pula! Beliau membebaskan dirinya. Move on dari penolakan. Sadar bahwa hakikat cinta itu bukan yang penting memiliki. Tapi merasa senang atas apa-apa yang dicintai orang yang disenang.

So... move on terus pantang galau! ^___^b

Sunday, 11 August 2013

Bagaimanakah Memilih Teman yang Baik? [Nasehat buat Muslimah]

Nasehat Bakr bin Abdullah Abu Zaid, ketika baliau berkata,” Hati-hatilah dari teman yang jelek …!, karena sesungguhnya tabiat itu suka meniru ! .. Maka hati-hatilah bergaul dengan orang.

Lihatlah, Siapa Temanmu…!

“Apabila engkau berada di tengah-tengah suatu kaum maka pililhlah orang-orang yang baik sebagai sahabat, dan janganlah engkau bersahabat dengan orang-orang jahat sehingga engkau akan binasa bersamanya“

Wanita adalah bagian dari kehidupan manusia, sehingga dia tak akan pernah lepas dari pola interaksi dengan sesama. Terlebih dominasi perasaan yang melekat pada dirinya, membuat dia butuh teman tempat mengadu, tempat bertukar pikiran dan bermusyawarah. Berbagai problem hidup yang dialami menjadikan dia berfikir bahwa, meminta pendapat, saran dan nasehat teman adalah suatu hal yang perlu. Maka teman sangat vital bagi kehidupannya, siapa sih yang tidak butuh teman dalam hidup ini..?.

Namun wanita muslimah adalah wanita yang dipupuk dengan keimanan dan dididik dengan pola interaksi Islami. Maka pandangan Islam dalam memilih teman adalah barometernya, karena dirinya sadar, teman yang baik (salihah) memiliki pengaruh besar dalam menjaga keistiqomahan agamanya. Selain itu teman salihah adalah sebenar-benar teman yang akan membawa mashlahat dan manfaat. Maka dalam pergaulannya dia akan memilih teman yang baik dan salihah, yang benar-benar memberikan kecintaan yang tulus, selalu memberi nasihat, tidak curang dan menunjukan kebaikan. Karena bergaul dengan wanita-wanita salihah dan menjadikannya sebagai teman selalu mendatangkan manfaat dan pahala yang besar, juga akan membuka hati untuk menerima kebenaran. maka kebanyakan teman akan jadi teladan bagi temannya yang lain dalam akhlak dan tingkah laku. Seperti ungkapan “Janganlah kau tanyakan seseorang pada orangnya, tapi tanyakan pada temannya. karena setiap orang mengikuti temannya“.

Bertolak dari sinilah maka wanita muslimah senantiasa dituntut untuk dapat memilih teman, juga lingkungan pergaulan yang tak akan menambah dirinya melainkan ketakwaan dan keluhuran jiwa. Sesungguhnya Rasulullah juga telah menganjurkan untuk memilih teman yang baik (shalihah) dan berhati-hati dari teman yang jelek.

Hal ini telah dimisalkan oleh Rasulullah melalui ungkapannya:

“Sesungguhnya perumpamaan teman yang baik (shalihah) dan teman yang jahat adalah seperti pembawa minyak wangi dan peniup api pandai besi. Pembawa minyak wangi mungkin akan mencipratkan minyak wanginya itu atau engkau membeli darinya atau engkau hanya akan mencium aroma harmznya itu. Sedangkan peniup api tukang besi mungkin akan membakar bajumu atau engkau akan mencium darinya bau yang tidak sedap“. (Riwayat Bukhari, kitab Buyuu’, Fathul Bari 4/323 dan Muslim kitab Albir 4/2026)

Dari petunjuk agamanya, wanita muslimah akan mengetahui bahwa teman itu ada dua macam. Pertama, teman yang salihah, dia laksana pembawa minyak wangi yang menyebarkan aroma harum dan wewangian. Kedua teman yang jelek laksana peniup api pandai besi, orang yang disisinya akan terkena asap, percikan api atau sesak nafas, karena bau yang tak enak.

Maka alangkah bagusnya nasehat Bakr bin Abdullah Abu Zaid, ketika baliau berkata,” Hati-hatilah dari teman yang jelek …!, karena sesungguhnya tabiat itu suka meniru, dan manusia seperti serombongan burung yang mereka diberi naluri untuk meniru dengan yang lainnya. Maka hati-hatilah bergaul dengan orang yang seperti itu, karena dia akan celaka, hati- hatilah karena usaha preventif lebih mudah dari pada mengobati “.

Maka pandai-pandailah dalam memilih teman, carilah orang yang bisa membantumu untuk mencapai apa yang engkau cari . Dan bisa mendekatkan diri pada Rabbmu, bisa memberikan saran dan petunjuk untuk mencapai tujuan muliamu.

Maka perhatikanlah dengan detail teman-temanmu itu, karena teman ada bermacam-macam

1.ada teman yang bisa memberikan manfaat

2.ada teman yang bisa memberikan kesenangan (kelezatan)

3.dan ada yang bisa memberikan keutamaan.

Adapun dua jenis yang pertama itu rapuh dan mudah terputus karena terputus sebab-sebabnya. Adapun jenis ketiga, maka itulah yang dimaksud persahabatan sejati. Adanya interaksi timbal balik karena kokohnya keutamaan masing-masing keduanya. Namun jenis ini pula yang sulit dicari. (Hilyah Tholabul ‘ilmi, Bakr Abdullah Abu Zaid halarnan 47-48)

Memang tidak akan pernah lepas dari benak hati wanita muslimah yang benar-benar sadar pada saat memilih teman, bahwa manusia itu seperti barang tambang, ada kualitasnya bagus dan ada yang jelek. Demikian halnya manusia, seperti dijelaskan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam :

” Manusia itu adalah barang tambang seperti emas dan perak, yang paling baik diantara mereka pada zaman jahiliyyah adalah yang paling baik pada zaman Islam jika mereka mengerti. Dan ruh-ruh itu seperti pasukan tentara yang dikerahkan, yang saling kenal akan akrab dan yang tidak dikenal akan dijauhi ” (Riwayat Muslim)

Wanita muslimah yang jujur hanya akan sejalan dengan wanita-wanita salihah, bertakwa dan berakhlak mulia, sehingga tidak dengan setiap orang dan sembarang orang dia berteman, tetapi dia memilih dan melihat siapa temannya. Walaupun memang, jika kita mencari atau memilih teman yang benar-benar bersih sama sekali dari aib, tentu kita tidak akan mendapatkannya. Namun, seandainya kebaikannya itu lebih banyak daripada sifat jeleknya, itu sudah mencukupi.

Maka Syaikh Ahmad bin ‘Abdurrahman bin Qudamah al-Maqdisi atau terkenal dengan nama Ibnu Qudamah AlMaqdisi memberikan nasehatnya juga dalam memilih teman: “Ketahuilah, bahwasannya tidak dibenarkan seseorang mengambil setiap orang jadi sahabatnya, tetapi dia harus mampu memilih kriteria-kriteria orang yang dijadikannya teman, baik dari segi sifat-sifatnya, perangai-perangainya atau lainnya yang bisa menimbulkan gairah berteman sesuai pula dengan manfaat yang bisa diperoleh dari persahabatan tersebut itu. Ada manusia yang berteman karena tendensi dunia, seperti karena harta, kedudukan atau sekedar senang melihat-lihat dan bisa ngobrol saja, tetapi itu bukan tujuan kita.

Ada pula orang yang berteman karena kepentingan Dien (agama), dalam hal inipun ada yang karena ingin mengambil faidah dari ilmu dan amalnya, karena kemuliaannya atau karena mengharap pertolongan dalam berbagai kepentingannya. Tapi, kesimpulan dari semua itu orang yang diharapkan jadi teman hendaklah memenuhi lima kriteria berikut; Dia cerdas (berakal), berakhlak baik, tidak fasiq, bukan ahli bid’ah dan tidak rakus dunia. Mengapa harus demikian ?, karena kecerdasan adalah sebagai modal utama, tak ada kabaikan jika berteman dengan orang dungu, karena terkadang ia ingin menolongmu tapi malah mencelakakanmu. Adapun orang yang berakhlak baik, itu harus. Karena terkadang orang yang cerdaspun kalau sedang marah atau dikuasai emosi, dia akan menuruti hawa nafsunya. Maka tak baik pula berteman dengan orang cerdas tetapi tidak berahlak. Sedangkan orang fasiq, dia tidak punya rasa takut kepada Allah. Dan barang siapa tidak takut pada Allah, maka kamu tidak akan aman dari tipu daya dan kedengkiannya, Dia juga tidak dapat dipercaya. Kalau ahli bid’ah jika kita bergaul dengannya dikhawatirkan kita akan terpengaruh dengan jeleknya kebid’ahannya itu. (Mukhtasor Minhajul Qasidin, Ibnu Qudamah hal 99).

Maka wanita muslimah yang benar-benar sadar dan mendapat pancaran sinar agama, tidak akan merasa terhina akibat bergaul dengan wanita-wanita shalihah meskipun secara lahiriyah, status sosial dan tingkat materinya tidak setingkat. Yang menjadi patokan adalah substansi kepribadiannya dan bukan penampilan dan kekayaan atau lainnya. “Pergaulan anda dengan orang mulia menjadikan anda termasuk golongan mereka, karenanya janganlah engkau mau bersahabat dengan selain mereka“.

Oleh karena itu datang petunjuk Al Qur’an yang menyerukan hal itu :

“Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya dipagi dan disenja hari dengan mengharap keridhoan-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas” (Al-Kahfi:28)

Maraji :

Hilyah tolabul ‘ilmi, Bakr Abdullah Abu Zaed, Mukhtasor Minhajul Qasidin, Ibnu Qudamah, Bid’ah dhowabituha wa atsaruhas Sayyisil Ummah, Dr. Ali Muhammad Nashir AlFaqih, Sahsiyah Mar’ah, Dr M.Ali Al Hasyimi

Dikutip dari Buletin Dakwah Al-Atsari, Cileungsi Edisi X Sha’ban 1419 Dinukil dari Darussalaf.or.id offline, Penulis: Bintu Humron, Judul: Lihatlah, Siapa Temanmu…!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...