Suatu sore di suatu
masa, kita duduk di tengah ladang jagung sambil menopang dagu dengan dua
telapak tangan. Gemerisik daun-daun jagung yang mulai mengering menciptakan
irama kecil. Kita sama-sama memiliki imajinasi tinggi, dan aku membayangkan
kita tengah duduk di sebuah ladang di Andalusia , menyaksikan Santiago yang
sibuk dengan domba-dombanya di atas hamparan rumput. Sementara Engkau, entah
apa yang kau pikirkan.
“Mengapa dunia ini
tidak memberikan banyak waktu untuk sebuah kebersamaan?” tanyamu dengan mata
menerawang, memandangi tanah yang ada di bawah kaki kecil kita.
“Karena ada kebersamaan
lain yang harus kita rasakan.” Aku menjawab ringan. Anak rambutku terbang menutupi
mata, aku menyisihkan dengan jari telunjuk.
“Tapi aku ingin
sebuah kebersamaan yang abadi.”
“Kamu akan bosan.”
Beberapa saat kami
diam. Suasana hening hanya diisi oleh embusan angin yang menggoyangkan
batang-batang jagung ke kanan dan ke kiri, juga pelepah kelapa yang meliuk-liuk
di kejauhan. Tidak ada kelapa di Andalusia, jadi aku anggap saja mereka deretan
zaitun.
“Aku iri padamu.” ucapmu
lagi dengan sedikit lenguhan.
“Akupun iri padamu.” Sambungku.
Baru kali ini kita saling membuka cerita tentang ‘iri’. Selama ini kita hanya
bercerita lewat perang dingin. Aku yang diam-diam iri dengan kecantikanmu, dan
kurasa, kamu iri pada nasibku.
“Kamu bisa kuliah
tanpa susah payah bekerja sepertiku, kamu bisa melihat sudut lain negeri kita
yang bahkan belum pernah kutemui keindahannya.”
“Kata Ayahku, aku
terlalu kecil dan lemah untuk mencari uang. Itulah mengapa Tuhan memberikanku
jalan yang sekarang. Mungkin kamu tidak akan sanggup duduk di bangku
perkuliahan, kamu lebih kuat dalam mencari uang.”
“Kamu benar. Tapi aku
lelah dengan kehidupanku yang begitu-begitu saja.”
Aku tercenung
sejenak. Di bawah awan putih yang berarak, kulihat segerombolan burung-burung
kecil melintas dengan formasi segitiga. Ada seranai hari yang diputar kembali
dalam kepalaku, kegiatanku di perantauan sana.
“Aku juga lelah.”
“Kamu masih ingat
dengan cerita imajinasi kita dulu? Tentang rumah tanah yang kita bangun?”
tanyanya mengenang.
Tentu saja ingat. Setiap
pulang sekolah atau sesaat menjelang tidur malam, kita selalu bercerita banyak
hal, tentang hidup enak di luar pulau kecil kita. Begitu juga ketika kita
membangun rumah dari gundukan tanah, kita selalu saja membangun yang mewah. Kita
juga pernah bercerita tentang ‘lalang buana’, tentang negeri-negeri yang ingin
disinggahi bersama.
“Akankah semua itu
menjadi nyata?”
“Jawabannya ada dalam
hatimu. Aku tak bisa menjawabnya.” Aku berucap sambil mengalihkan pandangan. Di
tengah-tengah ladang jagung ini, berdiri sebuah gubuk kecil yang tinggi
beratapkan daun sagu. Dari tempat kita duduk, gubuk itu terlihat
bergoyang-goyang ditiup angin.
“Apa yang harus
kutakutkan dalam keadaanku sekarang?”
“Takutlah kau tidak
bisa mengingat masa lalu dan membayangkan masa depan.”
Kita saling
berpandangan beberapa saat, kemudian sama-sama tersenyum. Tidak ada yang
berubah dari wajahmu, hanya kau sudah tumbuh dewasa sekarang, mungkin aku juga
begitu. Angin semakin bertiup kencang, mengacak-acak rambut sebahu kita, yang
kita potong bergantian kemaren sore.
Kulirik Santiago yang
sedang membacakan buku untuk para dombanya. Tak lama ia bangkit dan
memukul-mukulkan tongkatnya, mengajak para domba kembali ke kandang. Matahari
sore itu merangkak ke peraduan, menciptakan garis-garis merah keemasan di
pucuk-pucuk zaitun.
*Tulisan ini kubuat untuk sepupuku, sahabat pertama sekaligus teman masa kecilku. Betapa banyak cerita kita yang tidak terekam.