Sunday, 30 June 2013

Museum Part II: My Manga Cartoon

Eh, guys! Barusan gue baca a old manga comic, it title is 'NANA' edition: 4. Hmm... I have not read it, becuse i still remember on the whole. It was my favorite comic on few years ago when ones of my hobbies was drawing.
Eh, kok jadi english semua sih? Soalnya gue lagi ngintip-ngintip buku 'English Lesson', buku peninggalan dari pesantren.

Nah, ketika gue bongkar gunungan buku, gue menemukan beberapa kartun manga yang berhasil gue gambar. I think, it is not too bad, but isn't perfect.

Gue masih ingat banget tempoe doeloe itu, ketika gue cinta setengah die sama yang namanya MENGGAMBAR. Buku gambar gue seabrek, tapi sayangnya udah gak ada bangkainya. Sad :'( , oke, biarlah....
Gue itu belajar ngegambar otodidak aja, njiplak gitu, cuy. Terus ngegambar juga kalau mood lagi bagus, kalau gak, ya ogah. Dulu nih, teman-teman gue paling demen sama hasil gambaran gue yang asal coret, seneng juga. Sanking tangan gue terlalu aktiv dalam dunia pergambaran, semua buku sekolah gue ludes. Gue gak punya peninggalan buku catatan, sebab udah gue bakar. Why? Ya itu, karena penuh dengan gambar kartun manga, dan...lo tahu sendiri, Nabi saw kan melarang kita membuat gambar, patung atau apapun yang menyerupai manusia. Nah, jadilah Bapak gue berceramah siang-malam meminta gue berhenti menggambar kartun manusia. Kalau tetap mau menggambar, ya menggambar pemandangan, bunga atau buah-buahan. Kan, play group banget? Hihi. Tidak hanya itu, Bapak juga memberi mandat untuk membakar gambar-gambar yang udah gue buat, biar gak minta nyawa ketika di padang mashar nanti. Ya, takutlah gue. Secara gito lho, bawa-bawa akhirat. Gak oke kan, kalau nanti ketika matahari berada sejengkal di atas jidat, datanglah segerombolan makhluk unyu menarik-narik tubuh gue, meminta nyawa. Emang gue pengusaha nyawa? Gak ah, gue cari aman aja.

Tapi nih fren, yang namanya hobi, ya pasti taubatnya cuma taubat cabe rawit. Gue gak bisa bahagia tanpa menggambar, inilah beberapa gambar yang gue temukan di modul soal-soal ujian nasional Madrasah Aliyah. Ini modul panduan 'terobosan'. Mungkin dulu, ketika guru meminta kami mengerjakan contoh soal-soal, gue malah khusyuk masyuk menggambar kartun manga. Hehe...

Tapi sekarang, gue gak pernah ngegambar lagi. Gue gak punya waktu (cieh...). Gak tahulah, yang pasti gue gak berminat lagi ngegambar. Mungkin kalau gue tekuni plus mau belajar secara profesional, hasil gambar gue bisa oke.

Sekian dulu ceritaku, yours?

#Note: all of photos couldn't upload, because has no good 3G signal here. I'll upload it next time.

Museum I: A Review (Serambi Mujahid Mesopotamia, pergulatan jiwa dan cinta seorang pejuang)

 
Buku 249 halaman ini kubeli sekitar 3 tahun lalu, ketika aku masih duduk di kelas XII di pesantren. Biar begitu, aku punya agenda rutin untuk membaca ulang sekali dalam setahun, ya pada saat liburan seperti ini. Oke, let's surfing in it.

Kisah dalam novel ini diawali oleh tragedi tsunami yang meluluhlantakkan tanah Aceh, sekaligus kehidupan Reihan, seorang master lulusan Al-Azhar dan Universitas Khartoum asal Aceh yang tengah berada di Sudan. Tsunami Aceh menelan seluruh keluarganya di Ulee Lheue. Karena tidak ada lagi yang bisa dijumpainya di Aceh, dan tekadnya ingin membuat bangga keluarga, Reihan memutuskan menjadi mujahid di Irak. Tawaran menjadi relawan eksternal Irak didapatnya dari Yusuf, temannya ketika dulu menimba ilmu di Al-Azhar, Mesir. Yusuf sendiri baru saja pulang dari Irak dengan uang berlimpah, para mujahid relawan memang diberikan pesangon yang tak sedikit setelah keluar dari Irak.

"Aku menerima tawaranmu bukan karena keputusasaanku. Aku ingin pergi bukan karena aku mencari mati. Kematian adalah kehendak Allah, dan Dia juga yang akan menentukan hari depanku selanjutnya," (hal: 24) begitulah ungkapan Reihan pada Yusuf untuk meyakinkan bahwa niat dan motifnya menerima tawaran itu memang dilandasi keinginan yang suci untuk berjuang sekaligus beribadah.

Kisah selanjutnya adalah hari-hari Reihan bersama kelompok perlawanan Irak, pergulatan batin dan selipan kisah romantis yang indah. 

Perjuangan kelompok perlawanan Irak mengusir pasukan belang (red-Amerika) memang menyentuh dan mendebarkan. Mereka berjalan merangkak dalam lorong-lorong bawah tanah, gerak-gerik yang serba hati-hati, ancaman kematian, pengorbanan, penyekapan di kamp dan peperangan dengan nyawa sebagai taruhan. 

Aku bisa merasakan kegugupan Reihan, seorang pemuda yang biasanya hanya bergumul dengan buku dan makalah, harus berkenalan dan menggunakan M-16, Ak, Styer, C-4, dan TNT. Belum lagi ketakutan yang mencekam ketika ia harus melaksanakan pertempuran pertama. Asli, menegangkan.
Kisah Ibrar-teman seperjuangan Reihan, yang tetap berlihat berseri-seri di saat-saat terakhirnya pun cukup menyentuh. Ia banyak mengumbar senyum dan tawa, meski sejumlah temannya justru merasa iba. Karena hari itu adalah hari penting baginya sebagai anggota pasukan khusus, ia mendapat tugas yang sudah lama ditunggu-tunggu. Sebuah tugas yang tidak semua orang punya nyali mengerjakannya. Membawa bom di tengah markas pasukan Amerika, artinya bom tersebut juga akan meledakkan dirinya sendiri. Jadi itulah hari terakhir Ibrar, yang dengan berani melakukan serangan bunuh diri ke jantung pasukan si belang.

Oke, next?

Pergulatan perasaan? Reihan yang jatuh hati pada gadis asli Baghdad bernama Salwa. Salwa adalah gadis pemberani yang memutuskan menjadi pejuang setelah ia kehilangan ayahnya akibat bom yang dijatuhkan pasukan belang di rumahnya. Salwa berwajah jelita dan memiliki sorot mata yang bening namun tajam, menunjukkan kepribadiannya yang kuat dan tingkat kecerdasannya yang tinggi. Perpaduan yang mendekati sempurna, menurutku. Meskipun pertemuan mereka hanya singkat, namun Reihan menyandarkan cintanya kepada-Nya. Terakhir, Reihan melihat Salwa ketika ditahan di Kamp Bucca. Di Kamp itulah markas kokoh pasukan Amerika sekaligus tempat para mujahid yang tertangkap ditahan. Reihan akhirnya berhasil dibebaskan, sedangkan Salwa tidak tahu bagaimana nasibnya selanjutnya.

Setelah satu tahun menjadi mujahid eksternal Irak, Reihan memutuskan kembali ke tanah Aceh. Ia mencoba mengais-ngais kembali sisa keluarganya, meskipun hasilnya nol besar. Ia kemudian bekerja sebagai pegawai sipil yang mengurus pembangunan Aceh. Tak dapat dipungkiri, Amerika adalah salah satu negara yang paling banyak membantu pembangunan Aceh. Para tentara Amerika bekerja tanpa kenal lelah, seperti robot. Para tentara Amerika itu pula yang mengisi hari-hari sepi Reihan di kampung halaman. Hal ini membuat Reihan malu, karena dulu justru ia memerangi dan membunuh bagian dari mereka.

Lima tahun kemudian, Reihan kembali ke Tanah Suci sebagai pembimbing haji, pekerjaan yang sering dikerjakannya sewaktu masih mahasiswa dulu. Saat ada waktu luang, Reihan menyusuri Pasar Al-Balad dengan tujuan mencari jam tangan asli Soviet. Di salah satu toko di pasar itulah, Reihan menemukan separuh jiwanya, Salwa. Gadis itu membuka toko jam tangan bersama adiknya, ia memutuskan hijrah dari Irak setelah Ibunya menyusul sang Ayah ke alam baka. Reihan tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu, ia langsung saja mengungkapkan niatnya untuk menikahi gadis itu.

Yap, begitulah sedikit ulasan tentang novel karya Yoki R. Sukarjaputra, seorang jurnalis yang telah mengunjungi tak kurang dari 20 negara di lima benua. Novel ini based on true story, lho. Jadi terasa hidup sekali. So, buat kamu-kamu para novel hunter, novel ini aku rekomendasikan. Diterbitkan oleh penerbit Mizania, cetakan I pada Februari 2010. Aku belum update perkembangan novel ini di toko buku, semoga sudah masuk daftar novel best seller, ya. Amin....

Perkenalan: My Own Museum

Museum? Apa maksudnya, cuy? Nah, jadi kan ceritanya saya sudah di kampung halaman ni, salah satu agenda wajib adalah bongkar lemari antik yang menyimpan benda-benda bersejarah milikku. Isinya banyak, ada tumpukan buku yang seabrek banyaknya, lipatan baju, hingga benda-benda seperti hadiah ulang tahun dari teman. Rasanya seneng banget ya bisa melihat dan menyentuh kenangan. This is my lovely museum, my own museum.

Aku yakin, kalian juga pasti akan kegirangan sekaligus haru saat melihat kembali benda-benda yang menemani kita di masa lalu.

So, dalam beberapa post nantinya, saya akan membahas seputar hal-hal yang interesting-lah dari museumku ini, bisa copy-paste tulisan dari buku-buku kesukaan atau curhatan tentang seekor tikus yang ketahuan tidur ngorok di kotak sepatu yang ada di my own museum. Hehe

Monday, 24 June 2013

Sebuah Rasa: Dua Pengamen Antara Bogor dan Tanjung Priok

Jreng....jreng....
Aku terkesiap ketika mendengar petikan gitar bernada cempreng itu. Mengusap mata sambil berusaha menyatukan diri dengan suasana. Perempuan gempal di sampingku sudah turun, jadi bangku di sampingku kosong begitu saja. Tepat di barisan bangku tempatku duduk, berdiri dua laki-laki dengan sebuah gitar kecil. Salah satu dari mereka berpenampilan menyeramkan, seperti body guard para penjahat yang ada di pilem-pilem. Rambutnya pirang gondrong, tubuh gelap berotot, jins sobek sana-sini, tato nangkring dimana-mana, dan....muka yang asli seraaamm. Sedangkan temannya berpenampilan biasa (ala brandal jalanan), tidak begitu menakutkan. Aku bergidik, imajinasiku melayang ke kejadian-kejadian kejam dalam bis di Ibukota. Duh, apalagi aku duduk sendiri di tengah bus begini. Bagaimana kalau mereka dengan paksa menarik tasku, lalu kalau aku kukuh menolak, mereka akan menusukku? Ah, semoga mereka bukan orang-orang kejam seperti itu.

Mereka dengan kompaknya menyanyikan sebuah lagu yang menurutku cukup menghibur dan membawa pesan moral.
"Mau berangkat, ucapkan?" Jreng....jreng
"Ucapkan 'Bismillah'" Sahut laki-laki bertato. Jreng....tik jreng, tik jreng. Nekonek jreng.... Joss!
"Udah nyampe di terminal, ucapkan?"
"Ucapkan 'Alhamdulillah'" Jreng....tikjreng, jrengjreng....!

Bukan lagu unik itu yang membuatku menyimpan kesan pada dua pengamen itu, melainkan pembicaraan di antara mereka. Ketika mereka selesai mengulurkan bungkus plastik sisa makanan ringan, mereka duduk di bangku seberangku, masih satu baris dengan bangkuku.
"Hanya Rasulullah lah tauladan nomor satu di dunia ini, mana ada manusia berakhlak sesempurna beliau"
Aku menangkap kalimat  yang terdengar tidak begitu jelas karena kerasnya deru mesin bus. Kalimat itu meluncur manis dari laki-laki bertato, sedangkan temannya mendengarkan dengan wajah serius. Aku semakin memasang telinga, detak jantungku menjadi tak karuan. Mereka menggunakan bahasa gaul Jakarta dan campuran bahasa daerah (tidak pasti daerah mana, Batak bukan, Sulawesi juga bukan, tapi miriplah dengan kedua bahasa itu), jadi tak semua kalimat bisa kutangkap.
"Kalau mau berakhlak mulia, jangan ikutin siapa-siapa, ikutin Nabi Muhammad aja" Lanjutnya lagi. Itu pembicaraan serius, aku bisa merasakan atmosfirnya.
"Lo tahu gak, Nabi Muhammad tu pernah meminjamkan uang pada orang, setelah tiga kali ditagih, orang itu tidak mau mengembalikan, sudah. Nabi tak pernah meminta lagi, dia ikhlaskan. Contoh nih, lo minjam uang ke gue, setelah sekian lama, gua tagih. Satu kali. Dua kali. Tapi hingga gua menagih di kali ketiga, lo tetap gak mau balikin tu duit, gue harus ikhlas. Gue lepas tu uang, anggap sedekah gue ke lo. Manusia gak ada yang sesempurna Nabi Muhammad, bro" Jelas laki-laki bertato sambil menggerak-gerakkan tangannya, temannya hanya mengangguk-angguk dengan mata yang masih menyorotkan keantusiasannya.
"Zaman sekarang, gak bisa menilai orang dari penampilan aja, Bro. Salah besar kalau lo menganggap baik seseorang dari fisik dan gaya berpakaian. Banyak yang berjas, sepatu mengkilap, rambut klimis, semua orang yang baru bertemu pasti menganggapnya laki-laki baik, tapi tahunya laki-laki hidung belang, koruptor! Ada cewek berjilbab, muka sendu, eh bunting di luar nikah!" Ungkap laki-laki bertato lagi.
"Jadi yang salah itu ajaran Islam atau apa, bang?" Temannya bertanya dengan menunjukkan rasa ingin tahunya.
"Islam gak pernah salah, tapi orang Islam yang gak mengenal, mendalami dan melaksanakan Islam dengan baik. Kalau boleh jujur, para mualaf itu lebih baik Islam-nya daripada orang-orang yang Islam sejak lahir. Islam keturunan maksudnya"
"Aih, kenapa pulak, bang? kan orang-orang Islam sejak lahir itu belajar ngaji dari kecil. Lebih faham Alquran lah dia, bang" Sambung temannya.
"Iya, tapi lo gak ingat, anak-anak kecil tu mau ngaji karena disuruh, dipaksa. Ketika besar, mereka lebih senang mengikuti hawa nafsu sendiri. Memang gak semua. Nah, sedangkan mualaf, mereka ber-Islam memang karena kemauan diri sendiri, hati. Mereka terus belajar dan mendalami Islam. Baca saja kisah para mualaf, mereka rata-rata saleh-saleha, orang-orang berpendidikan, tapi tanda kutip untuk mualaf yang masuk Islam karena mau menikahi wanita muslimah, ya. Tu motivasi awalnya pasti hanya wanita".
"Ah, setidaknya orang-orang Islam keturunan itu  bisa membedakan antara makanan halal dan haram, bang"
"Heh, ber-Islam itu gak cukup dengan hanya tidak memakan makanan haram, Bro. Binatang aja bisa kalau begitu. Burung dalam kurungan yang tiap hari hanya makan jagung, berarti dia Islam, gitu? Gak. Islam itu kita, semua perbuatan, hati, pergaulan, pemerintahan, negara, dunia, dan alam semesta, Islam itu universal bukan individual. Tidak memakan makanan haram itu hanya setitik debu dari Islam yang seluas alam semesta, langit dan bumi"
Temannya mengangguk-angguk.
"Ohya Bang, dalam Islam, dendam tu boleh gak?" Aku tersenyum mendengar pertanyaan polos itu.
"Gak, mana ada dendam dalam Islam. Islam tu nyuruh kita membalas keburukan orang dengan kebaikan"
Hanya itulah percakapan yang mampu terekam oleh ingatanku. Setelah kalimat terakhir itu, bus tiba di Terminal Tanjung Priok. Semua penumpang segera turun, termasuk aku dan dua pengamen itu. Kulihat mereka masih melanjutkan percakapan  sambil berjalan.

Ah, inilah indahnya melakukan perjalanan sendiri. Aku bisa lebih peka dengan keadaan sekitar, mataku lebih banyak melihat, telingaku lebih banyak mendengar, dan hatiku lebih banyak merasa dan menghayati perjalanan.

Monday, 17 June 2013

Bunuh Saja Aku, Sekarang!

Hi guys! Berikut saya susunin satu cerpen yang OKE banget, aku menemukannya di web Annida-Online. Pesan yang disampaikan dari cerpen ini really soft and smooth, tapi hard and sharp banget.

Jangan berpikir bahwa ini adalah cerita cinta yang melankolis ya.... Happy reading and then find out the surprising!

*________*

"Bunuh saja aku, sekarang!"  Teriakan sia-sia, karena kau pun tak akan pernah peduli.  Putus asa?  Ya, terlalu lelah dalam siksaan.  Terkadang aku muak dengan kelakuanmu yang serupa memanjakan, tapi diam-diam menikam.  Awalnya aku masih berbaik sangka.  Aku pikir kau memang tak menyadari sikapmu mampu membunuhku, perlahan, sangat menyiksa.  Tapi sering kudengar kerabat berusaha menyadarkanmu dengan ragam peringatan.  Kau acuh.  Oh, baik sangkaku keliru.  Kau bukannya tak tahu, tapi tak mau tahu.   

"Aku ingin mati sekarang!"  Kuulangi lagi.  Kau asyik masyuk, sibuk dengan kesenangan sendiri.

"Percuma.  Dia tak akan peduli."  Satu suara menyadarkan.  Kuperhatikan kondisinya tak jauh beda denganku.

"Kita senasib.  Aku pun tertawan.  Kita sama-sama menanti ajal."  Ucapnya pesismis.

"Siapa kamu?"  Aku baru menyadari dalam ketertawanan ini ada makhluk lain.  Selama ini aku sibuk memikirkan penderitaan diri, hingga tak lagi memperhatikan sekeliling.

"Tak penting.  Yang harus kau sadari, kau bukan satu-satunya tawanan lelaki itu.  Ada aku, juga beberapa teman lainnya.  Sudahlah, terima nasib saja.  Selama ini aku perhatikan kau sibuk berteriak."  Ia tampak tenang, meski kondisi jasadnya sangat memprihatinkan. Kucoba melebarkan pandangan dalam kegelapan, berusaha menangkap sosok-sosok lain yang katanya ada dalam ruangan yang sama.  Terkungkung bersama derita yang tak jauh berbeda.

"Ya, aku juga merasakan sakitnya.  Lihat tubuhku yang berdarah-darah, kerempeng, sangat menjijikkan."  Satu suara lagi dari sisi kanan.  Setelah mengerjap berkali-kali barulah kutangkap gambaran tubuhnya.  Oh Tuhan, mengerikan.  Mendadak mual aku menatap merah darah di badannya yang membusuk.

“Tak perlu teriak minta mati.  Perlahan tapi pasti habis juga nanti detak hidupmu, aku, juga kita semua.”  Kini sosok pertama tadi kembali bersuara.

“Justru itu, aku tak mau perlahan.  Lebih baik aku mati sekarang, segera.  Terlalu menyiksa hidup dalam rayuan kematian yang menggerayangi setiap saat.”  Bantahku. Hening, tak ada lagi sanggahan.  Mungkin masing-masing telah lelah, atau juga tak hendak memboroskan tenaga di antara secuil energi yang tersisa.

***
"Arrgh!!"  Eranganku berhasil menahan langkahmu pagi ini.  Aku tahu, biasanya jam segini kau akan bersiap, bergabung dalam kemacetan jalan raya demi menuju sebuah bangunan pencakar langit.  Kau menamainya kantor, gedung tempat mendulang harta. Dalam panik, bergegas kau menekan deretan nomor lalu berbincang singkat dan tergesa.  Aku masih berjuang menahan perih demikian hebat, hingga lebih dari hitungan tiga puluh menit kemudian seseorang datang.  Ia memeriksa kondisiku, memprediksi denyut nadi hidupku.

“Syukurlah masih tertolong.  Bisa rawat jalan, tak perlu diopname.”  Ucapan dari suara jernih lelaki berkaca mata itu justru menjadi berita buruk bagiku.  Aku dinyatakan selamat, hidup.  Ah, kadang aku heran untuk apa kau bersusah membayar dokter demi menyelamatkanku, jika kemudian kembali kau rampas kebebasan nafasku.  Pandai sekali kau bersandiwara, berpura panik dan terluka di hadapan dokter tadi.  Sementara di dalam keseharian justru kaulah yang paling bertanggung jawab atas luka dan penderitaanku. Setelah meninggalkan berlembar resep, dokter itu pergi.  Ah ya, tak hanya resep.  Sempat kudengar dokter tadi meninggalkan banyak petuah.  Ia minta kau menjagaku, memanjakan, juga memperhatikan kondisiku.  Aku lihat kau mengangguk.  Tapi entah mengapa aku tak yakin.  Aku tak pernah lagi percaya padamu.

***
Memasuki hari keempat masa pemulihanku, ternyata kau menepati janji.  Lama tak merasakan kenyamanan bernafas seperti ini.  Aku berfikir bahwa kau memang telah mengambil jalan insaf.  Entah mungkin kondisiku beberapa hari lalu demikian memprihatinkan, hingga berhasil mengetuk nurani dan akal sehatmu.  Setidaknya, aku kembali merdeka, bahkan menjadi demikian diperhatikan layaknya pangeran.  Kau demikian apik mengingat jadwal obat untukku.  Untuk perhatian ini, juga untuk siksaan yang telah kau matikan, aku ucapkan terimakasih. Saat-saat seperti ini, aku bisa mengenang kembali masa di mana kita masih saling melindungi.  Kita sahabat lama, telah hitungan tahun bersama.  Dulu sekali, tak pernah ada konflik di antara kita.  Kebersamaan kita berjalan harmonis.  Itu dulu sekali, sebelum secara misterius kau berubah sangar dan keji.  Entah dari mana kau belajar berlaku kejam.  Aku tak tahu kapan tepatnya, tapi usiamu baru beranjak meninggalkan masa remaja saat itu.  Perlahan aku mulai merasa simbiosis antara kita tak lagi mutualisme.  Entah apa sebabnya, entah karena kesalahan apa, entah karena provokasi siapa.  Sejak itu kau tak lagi ramah, menikam dan menyiksa hampir setiap bilangan hari.  Semakin lama semakin gila, hingga sering aku menahan perih. 

Sering aku menangis, meratap, berteriak.  Tapi yang membuatku heran, kau seakan tuli.  Entah di mana kenangan tentang keakraban persahabatan kita dulu.  Yang kau pedulikan hanya kepuasan batinmu.  Itu saja.  Dan itu berlanjut hingga bertahun-tahun lamanya. Kini, saat aku melihat keseriusanmu merawat lukaku, juga wajah panik saat aku sekarat, aku kembali percaya padamu.  Ternyata kau masih peduli, tak sebengis yang aku fikirkan.  Sekali lagi, aku ucapkan terimakasih.

***
“Bagaimana keadaanmu, teman?”  Ia menjengukku.  Ia yang mengaku sesama tawananmu.  Aku tahu selama kau sibuk memperhatikan kondisiku, terlepas jualah ia serta beberapa tawanan lainnya dari derita.  Kau hanya fokus pada kesembuhanku.  Aku bersyukur karena puncak sakitku kemarin ternyata justru membuka pintu kebebasan untukku juga mereka.  Ah, ternyata kau memang bijak dan masih memiliki akal sehat.  Setelah bertahun bagai tak punya hati.

“Jauh lebih baik.”  Aku tersenyum penuh kelegaan.

“Sekarang masih minta mati?”  Sindirnya santai.

“Haha!  Andai ia berlaku manis dan perhatian seperti ini, tak mungkin aku berharap cepat tutup usia.  Hidup terasa indah.”  Aku tergelak.  Lupa sudah derita lalu.

“Baguslah.  Berdoa saja semoga ia tak lagi kumat.”

***
Pagi masih berembun, saat aku baru hendak menikmati hirupan udara.  Satu pekan dalam perawatan aku benar-benar bisa bernafas lega.  Sendi tubuhku terasa nyaman.  Namun mendadak tatapanku membesar saat melihatmu kembali berniat menyumpalkan siksaan.  Tidak!  Kau kembali lagi pada kebiasaan lamamu.

“Apa yang akan kau lakukan!”  Aku berteriak, namun kau sambut dengan senyum santai.

“Rasanya satu minggu sudah cukup.”  Kalimat itu yang keluar dari bibirmu.

“Tidak! Hentikan.  Aku belum pulih benar.  Kau tahu aku bisa mati.”  Sia-sia aku mencegah.  Kau benar-benar sudah gila? Kulihat teman-teman kembali mengkerut pada posisinya, waspada akan siksaan yang bisa bersarang pada tubuh mereka.  Hanya satu pekan kau beri kami kebebasan?  Saat ini aku benar-benar telah kehilangan kepercayaan padamu.  Dan kau tahu, saat ini aku benar-benar ingin mati.

***
Hari berjalan seperti biasa, dalam belaian siksa yang membuat sesak.Tak kau perhatikan lagi kondisiku. Tak kau hiraukan lagi petuah dokter untuk menjagaku.  Butiran obat kemarin juga entah ke mana.Yang kau fikirkan hanyalah memuaskan hatimu, dengan memasang sikap acuh. Setiap hari aku berdoa agar kau mendapatkan kembali nuranimu, meski harapan kian tipis rasanya.  Percuma.  Kau dan siksaan itu memang menjadi takdir bagiku sebelum menghadap kematian.  Aku benar-benar yakin akan mati.  Tubuhku kian ringkih, lemah tanpa daya.  Tapi kau masih berfikir bahwa aku baik-baik saja. Hingga suatu malam aku merasakan sakit luar biasa.  Aku tak sanggup lagi.

“Aaarrrrrrgggghhhh!!”  Suaraku mengudara kembali.  Pasti lebih keras dari teriakan lalu.  Kau panik, pucat, dan gemetar, saat berusaha membuat panggilan kepada dokter yang sama.

“Gawat, harus segera dibawa ke rumah sakit.  Kita berdoa semoga masih sempat.”  Kalimat panik kini menular pada dokter itu.  Tak lama kemudian kudengar dengingan sirine ambulan, membuat suasana kian riuh. Sepanjang perjalanan aku melihat malaikat maut kian dekat.  Ah, mungkin inilah saatku.  Saat yang telah lama kunantikan.  Saat di mana aku dapat terlepas dari siksa.  Aku akan merdeka.  Semoga saja.  Aku merindukan mati?  Ha ha, lihatlah betapa siksamu membuatku berfikir bahwa kematian adalah jauh lebih indah.  Jemputlah aku sekarang, duhai Izrail.

***
Beragam peralatan canggih tak sanggup lagi memulihkanku.  Semakin dekat takdir itu.  Sudahlah, percuma saja, aku memang akan mati.  Hentikan alat pompa itu.  Kepintaran kalian tak akan mampu mengalahkan takdir. Kian pelan detakku, hingga nyaris hilang.  Mungkin hanya beberapa detik saja lagi sisa hidupku.  Dan kau?  Bahagiakah dengan kematianku?  Atau justru kau akan berteriak histeris, menangis meratap, menyesali keteledoran diri?  Kulirik matamu terpejam. Astaga, bodohnya!  Kepergianku tak mungkin mengundang reaksi darimu.  Kematianku hanya akan kau sikapi dengan diam, karena akulah detak hidupmu.  Kita akan mati bersama.  Kau, aku, serta seluruh tawananmu.  Baru kusadari mengapa kau demikian panik saat aku sekarat.  Karena saat berhenti hidupku, berarti mati juga seluruh organ tubuhmu.Tapi mengapa tak henti kau sesaki aku dengan lebih dari 4000 bahan kimia yang kian merapuhkan fungsi hidupku?  Atau memang kau tak tahu bahwa dalam zat yang kau tuang ke dalam tubuhku itu selalu membersamai bahan kimia karsinogenik yang mematikan.  Tak penting lagi rasanya untuk dibahas, karena kini terlambat.  Aku benar-benar tak sanggup lagi.  Mari akhiri derita ini.  Kita pergi bersama.  Aku berharap kematianmu akan sampai pada mereka yang memiliki kebiasaan sama sepertimu.  Mereka, para smoker itu, sudah seharusnya menjadikan kepergiaan kita sebagai pelajaran.

Selesai.

Thursday, 13 June 2013

Nasihat dari Al-Qamah

NASIHAT yang boleh diikuti dalam membina persahabatan ialah sebagaimana pesanan al-Qamah (seorang sahabat Rasulullah saw) kepada anaknya:

1. Pilihlah sahabat yang suka melindungi sahabatnya, dia adalah hiasan diri kita dan jika kita dalam kekurangan nafkah, dia suka mencukupi keperluan.

2. Pilihlah seorang sahabat yang apabila engkau menghulurkan tangan untuk memberikan jasa baik atau bantuanmu, dia suka menerima dengan rasa terharu, jikalau ia melihat kebaikan yang ada pada dirimu, dia suka menghitung-hitungka n (menyebutnya) .

3. Pilihlah seorang sahabat yang apabila engkau menghulurkan tangan untuk memberikan jasa baik atau bantuanmu, ia suka menerima dengan rasa terharu dan dianggap sangat berguna, dan jika ia mengetahui mengenai keburukan dirimu ia suka menutupinya.

4. Pilihlah sahabat yang jikalau engkau meminta sesuatu daripadanya, pasti ia memberi, jikalau engkau diam, dia mulai menyapamu dulu dan jika ada sesuatu kesukaran dan kesedihan yang menimpa dirimu, dia suka membantu dan meringankanmu serta menghiburkanmu.

5. Sahabat yang jikalau engkau berkata, ia suka membenarkan ucapan dan bukan selalu mempercayainya saja. Jikalau engkau mengemukakan sesuatu persoalan yang berat dia suka mengusahakannya dan jika engkau berselisih dengannya, dia suka mengalah untuk kepentinganmu. Dalam memilih sahabat kita hendaklah memilih sahabat yang baik agar segala matlamat dan hasrat untuk memperjuangkan Islam dapat dilaksanakan bersama-sama sahabat yang mulia.

Sumber: ayunaja.com

Nasihat: Memberi dari Sekarang

Bila tak seorang pun berbelas kasih pada kesulitan anda.Atau, tak ada yang mau merayakan keberhasilan anda. Atau tak seorang pun bersedia mendengarkan, memandang,memperhatikan apa pun pada diri anda. Jangan masukkan ke dalam hati. Manusia selalu disibukkan oleh urusannya sendiri.Manusia kebanyakan mendahulukan kepentingannya sendiri. Anda tak perlu memasukkan itu ke dalam hati. Karena hanya akan menyesakkan dan membebani langkah anda. Ringankan hidup anda dengan memberi pada orang lain. Semakin banyak anda memberi semakin mudah anda memikul hidup ini.

Berdirilah di depan jendela, pandanglah keluar.Tanyakan pada diri sendiri, apa yang bisa anda berikan pada dunia ini.Pasti ada alasan kuat mengapa anda hadir di sini.Bukan untuk merengek atau meminta dunia menyanjung anda. Keberadaan anda bukan untuk kesia-siaan.

Bahkan seekor cacing pun dihidupkan untuk menggemburkan tanah.Dan, sebongkah batu dipadatkan untuk menahan gunung. Alangkah hebatnya anda dengan segala kekuatan yang takdimiliki siapapun untuk mengubah dunia. Itu hanya terwujud bila anda mau memberikannya

sumber:www.gsog.org

Kisah: Belajar dari Elang

Alkisah di suatu negeri burung, tinggallah bermacam-macam keluarga burung. Mulai dari yang kecil hingga yang besar. Mulai dari yang bersuara lembut hingga yang bersuara menggelegar. Mereka tinggal di suatu pulau nun jauh di balik bukit pegunungan.

Sebenarnya selain jenis burung masih ada hewan lain yang hidup di sana. Namun sesuai namanya negeri burung, yang berkuasa dari kelompok burung. Semua jenis burung ganas, seperti, burung pemakan bangkai, burung Kondor, burung elang dan rajawali adalah para penjaga yang bertugas melindungi dan menjaga keselamatan penghuni negeri burung.

Burung-burung kecil bersuara merdu, bertugas sebagai penghibur. Kicau mereka selalu terdengar sepanjang hari, selaras dengan desau angin dan gesekan daun.

Burung-burung berbulu warna warni, pemberi keindahan. Mereka bertugas bekeliling negri melebarkan sayapnya, agar warna-warni bulunya terlihat semua penghuni. Keindahan warnanya menimbulkan kegembiraan. Dan rasa gembira bisa menular bagai virus, sehingga semua penghuni merasa senang.

Pada suatu ketika, seekor induk elang tengah mengerami telur-telurnya. Setiap pagi elang jantan datang membawa makanan untuk induk elang. Akhirnya, di satu pagi musim dingin telur-telur mulai menetas. Ada 3 anak elang yang nampak kuat berdiri. Dua anak elang hanya mampu mengeluarkan kepalanya dari cangkang telur harus berakhir dalam paruh sang ayah. Dengan tangkas, elang jantan mengoyak cangkang telur lalu mematuk-matuk calon anak yang tak jadi. Perlahan-lahan sang induk memberikan potongan-potongan tubuh anaknya ke dalam paruh mungil anak-anak elang. Kejam…? Ini hanya masalah kepraktisan. Untuk apa terbang dan mencari makan jauh-jauh jika ada daging bangkai di dalam sarang. Sebagai hewan, elang hanya mempunyai naluri dan akal tanpa nurani.

Inilah yang membedakan manusia dan hewan. Waktu berjalan terus, hari berganti hari. Anak-anak elang yang berbentuk jelek karena tak berbulu, kini mulai menampakkan keasliannya. Bulu-bulu halus mulai menutupi daging di tubuh masing-masing. Kaki kecil anak-anak elang sudah mampu berdiri tegak. Walau kedua sayapnya belum tumbuh sempurna. Induk elang dan elang jantan, bergantian menjaga sarang. Memastikan tak ada ular yang mengincar anak-anak elang dan memastikan anak-anak elang tak jatuh dari sarang yang berada di ketinggian pohon.

Suatu pagi, saat induk elang akan mencari makan dan bergantian dengan elang jantan menjaga sarang. Salah seekor anak elang bertanya: “Kapankah aku bisa terbang seperti ayah dan ibu?” Induk elang dan elang jantan tersenyum, bertukar pandang lalu elang jantan berkata: “Waktunya akan tiba, anakku. Jadi sebelum waktu itu tiba, makanlah yang banyak dan pastikan tubuhmu sehat serta kuat”.

Usai sang elang jantan berkata, induk elang merentangkan sayapnya lalu mengepakkan kuat-kuat. Hanya dalam hitungan yang cepat, induk elang tampak menjauhi sarang. Terlihat bagai sebilah papan berawarna coklat melayang di awan. Anak-anak elang, masuk di bawah sayap elang jantan. Mencari kehangatan kasih sang jantan. Waktu berjalan terus, musim telah berganti dari musim dingin ke musim semi. Seluruh permukaan pulau mulai menampakan warna-warni dedaunan. Bahkan sinar mentari memberi sentuhan warna yang indah. Anak-anak elang pun sudah semakin besar dan sayapnya mulai ditumbuhi bulu-bulu kasar.

Suatu ketika seekor anak elang berdiri di tepi sarang, ketika ada angin kencang, kakinya tak kuat mencengkram tepi sarang sehingga ia meluncur ke bawah. Induk elang langsung merentangkan sayang dan mendekati sang anak seraya berkata: “Rentangkan dan kepakan sayapmu kuat-kuat!” Tapi rasa takut dan panik menguasai si anak elang karenanya ia tak mendengar apa yang dikatakan ibunya. Elang jantan menukik cepat dari jauh dan membiarkan sayapnya terentang tepat sebelum si anak mendarat di tanah. Sayap elang jantan menjadi alas pendaratan darurat si anak elang. Si anak elang yang masih diliputi rasa panik dan takut tak mampu bergerak. Tubuhnya bergetar hebat. Induk elang, dengan kasih memeluk sang anak. Menyelipkan di bawah sayapnya dan memberikan kehangatan. Sesudah si anak tenang dan tak gemetar, induk elang dan elang jantan membawa si anak kembali ke sarang.

Peristiwa itu menimbulkan rasa trauma pada si anak elang. Jangankan berlatih terbang dengan merentangkan dan mengepakkan sayap. Berdiri di tepi sarang saja ia sangat takut. Kedua saudaranya sudah mulai terbang dalam jarak pendek. Hal pertama yang diajarkan induk dan elang dan elang jantan adalah berusaha agar tidak mendarat keras di dataran. Lama berselang setelah melihat kedua saudaranya berlatih, si elang yang pernah jatuh bertanya pada ibunya: “Adakah jaminan aku tidak akan jatuh lagi?”
“Selama aku dan ayahmu ada, kamilah jaminanmu!” jawab si induk elang dengan penuh kasih.”Tapi aku takut!’ ujar si anak. “Kami tahu, karenanya kami tak memaksa.” Jawab si induk elang lagi.
“Lalu apa yang harus kulakukan agar aku beraai?” tanya si anak. “Untuk berani, kamu harus menghilangkan rasa takut!”. “Bagaimana caranya?” “Percayalah pada kami!” Ujar elang jantan yang tiba-tiba sudah berada di tepi sarang.

Si anak diam dan hanya memandang jauh ke tengah lautan. Tiba-tiba si anak elang bertanya lagi.
“Menurut ibu dan ayah, apakah aku mampu terbang keseberang lautan?” Dengan tenang si elang jantan berkata:
“Anakku kalau kau tak pernah merentangkan dan mengepakkan sayapmu, kami tidak pernah tahu, apakah kamu mampu atau tidak. Karena yang tahu hanya dirimu sendiri!” Lalu si induk elang menambahkan:
“Mulailah dari sekarang, karena langkah kecilmu akan menjadi awal perubahan hidupmu. Semua perubahan di mulai dari langkah awal, anakku!” Si anak elang diam tertegun, memandang takjub pada induk elang dan elang jantan. Kini ia sadar, tak ada yang tahu kemampuan dirinya selain dirinya sendiri. Kedua orang tuanya hanya memberikan jaminan mereka ada dan selalu ada, jika si anak memerlukan.

Didorong rasa bahagia akan cinta kasih orang tuanya, si elang kecil berjanji akan berlatih dan mencoba. Ketika akhirnya ia menggantikan elang jantan menjadi pemimpin keselamatan para penghuni negeri burung, maka tahulah ia, bahwa kesuksesan yang diraihnya adalah di mulai saat tekad terbangun melangkah. Sukses itu tak pernah ada kalau hanya sebatas tekad. Tapi tekad itu harus diwujudan dengan tindakan nyata walau di mulai dari langkah yang kecil. Mulailah rentangkan dan kepakkan sayap kemampuanmu, maka dunia ada digenggamanmu!

Sumber: ayunaja.com

Parenting: Keluarga Imran

Sumber: ayunaja.com

Satu-satunya surat dalam Al-Qur’an yang diberi nama dengan nama sebuah keluarga adalah surat Ali Imran (keluarga Imran). Tentunya bukan sebuah kebetulan nama keluarga ini dipilih menjadi salah satu nama surat terpanjang dalam Al-Qur’an. Di samping untuk menekankan pentingnya pembinaan keluarga, pemilihan nama ini juga mengandung banyak pelajaran yang dapat dipetik dari potret keluarga Imran. Satu hal yang unik adalah bahwa profil Imran sendiri -yang namanya diabadikan menjadi nama surat ini- tidak pernah disinggung sama sekali. Yang banyak dibicarakan justru adalah istri Imran (imra’atu Imran) dan puterinya; Maryam.

Hal ini seolah mengajarkan kita bahwa keberhasilan seorang kepala rumah tangga dalam membawa anggota keluarganya menjadi individu-individu yang saleh dan salehah tidak serta merta akan menjadikan profilnya dikenal luas dan tersohor. Boleh jadi dirinya tidak dikenal orang -kecuali hanya sekedar nama- tetapi rumah tangga yang dipimpinnya telah menjadi sebuah rumah tangga yang sukses dan teladan banyak orang.

Hikmah ini juga mengingatkan kita pentingnya mensucikan niat dalam setiap amal perbuatan untuk semata-mata mengharap ridha Allah swt., bukan ingin dikenal sebagai seorang kepala tangga yang sukses, ingin dipuji dan sebagainya. Niat sangat menentukan kualitas dan kontinuitas amal yang dilakukan. Orang yang niatnya dalam beramal hanya untuk memperoleh sesuatu -baik berupa pujian, penghargaan, materi dan sebagainya- maka amalnya akan berhenti setelah ia merasa telah memperoleh apa yang ia angankan.

Berbeda dengan orang yang beramal karena mengharap ridha Allah. Ia akan senantiasa beramal tanpa kenal lelah atau putus asa karena ia tidak tahu apakah ridha Allah yang ia harapkan itu sudah ia gapai atau belum.

Dikisahkan bahwa Imran dan istrinya sudah berusia lanjut. Akan tetapi keduanya belum juga dikaruniai seorang anak. Maka istri Imran bernazar, seandainya ia dikaruniai Allah seorang anak ia akan serahkan anaknya itu untuk menjadi pelayan rumah Allah (Baitul Maqdis).

Nazar itu ia ikrarkan karena ia sangat berharap agar anak yang akan dikaruniakan Allah itu adalah laki-laki sehingga bisa menjadi khadim (pelayan) yang baik di Baitul Maqdis.

Ternyata anak yang dilahirkannya adalah perempuan. Istri Imran tidak dapat berbuat apa-apa. Allah swt. telah menakdirkan anaknya adalah perempuan dan ia tetap wajib melaksanakan nazarnya. Ia tidak mengetahui bahwa anak perempuan yang dilahirkannya itu bukanlah anak biasa. Karena ia yang kelak akan menjadi ibu dari seorang nabi dan rasul pilihan Allah. Setelah itu, anak perempuan -yang kemudian diberi nama Maryam- tersebut diasuh dan dididik oleh Zakaria yang juga seorang Nabi dan Rasul, serta masih terhitung kerabat dekat Imran.

Kisah ini dapat dilihat pada surat Ali Imran ayat 35-37. Ada beberapa pelajaran berharga yang dapat dipetik dari potret keluarga Imran ini:

1. Apa yang menjadi keinginan besar dari istri Imran adalah bagaimana anaknya kelak menjadi abdi Allah seutuhnya. Bahkan, sebelum anaknya lahir ia telah bernazar bahwa anaknya akan diserahkan untuk menjadi pelayan di rumah Allah. Selayaknya, setiap orang tua muslim memiliki orientasi seperti halnya ibu Maryam ini. Ia tidak risau dengan nasib anaknya secara duniawi karena ia yakin bahwa setiap anak yang lahir sudah Allah jamin rezekinya. Apa yang menjadi buah pikirannya adalah bagaimana anaknya mendapatkan lingkungan yang baik untuk menjaga agama dan kehormatannya. Dengan orientasi seperti ini tidak mengherankan bila putrinya Maryam tumbuh menjadi seorang wanita yang paling suci di muka bumi. Lebih dari itu, ia dimuliakan oleh Allah dengan menjadi ibu dari seorang Nabi dan Rasul yang mulia; Isa bin Maryam melalui sebuah mukjizat yang luar biasa yaitu melahirkan anak tanpa seorang suami. Maka, orientasi orang tua tehadap anaknya adalah sesuatu yang sangat penting sebagaimana pentingnya membekali mereka dengan nilai-nilai keimanan sejak kecil.

2. Ketabahan dan kesabaran istri Imran dalam menerima takdir Allah swt. ketika anak yang dilahirkannya ternyata perempuan dan bukan laki-laki sebagaimana yang ia harapkan. Kesabaran dan sikap tawakal menerima keputusan Allah ini ternyata menyimpan rahasia yang agung bahwa kelak anak perempuan tersebut akan menjadi ibu seorang Nabi dan Rasul. Alangkah perlunya sikap ini diteladani oleh setiap keluarga muslim, terutama yang akan dikaruniai seorang anak. Boleh jadi apa yang Allah takdirkan berbeda dengan apa yang diharapkan. Namun yang akan berlaku tetaplah takdir Allah, suka atau tidak suka. Maka, kewajiban seorang muslim saat itu adalah menerima segala takdir Allah itu dengan lapang dada dan suka cita, karena Allah tidak akan menakdirkan sesuatu kecuali itulah yang terbaik bagi hamba-Nya.

3. Maryam kecil akhirnya diasuh oleh Zakaria yang masih famili dekat dengan Imran. Tentu saja asuhan dan didikan Zakaria -yang juga seorang Nabi dan Rasul ini- sangat berdampak positif bagi pertumbuhan diri dan karakter Maryam, sehingga ia tumbuh menjadi seorang gadis yang suci dan terjaga harga dirinya. Dikisahkan bahwa ketika malaikat Jibril menemuinya dalam rupa seorang lelaki untuk memberi kabar gembira kepadanya tentang ia akan dikaruniai seorang putra, Maryam menjadi sangat takut melihat sosok lelaki asing yang tiba-tiba hadir di hadapannya. Hal itu tak lain karena ia memang tidak pernah bergaul dengan laki-laki manapun yang bukan mahramnya. Inilah sifat iffah (menjaga diri) yang didapat Maryam dari hasil didikan Zakaria.

Untuk itu, setiap orang tua muslim selayaknya memilih lingkungan dan para pendidik yang baik bagi anak-anaknya, apalagi di usia-usia sekolah yang akan sangat menentukan pembentukan karakter dan pribadinya di masa-masa akan datang. Seandainya orang tua keliru dalam memilih lingkungan dan sarana pendidikan bagi anak-anaknya, maka kelak akan timbul penyesalan ketika melihat anak-anaknya jauh dari tuntunan etika dan akhlak yang mulia.

Catatan Sebelum Pulang


Pulang kampung, cuy....! 

Peuh, tampaknya minggu depan aku akan disibukkan dengan agenda boyongan kontrakan dan persiapan pulang kampung. Wih, gak nyangka, semua tinggal menghitung hari.

Koper, mana koper? Nah, sepertinya harus dicuci luarnya. Hampir setahun si doi nangkring imut di atas lemari, mungkin kalau dia bisa mengungkapkan, dia udah nanya tiap pagi "Wei, gue kapan nih jalan-jalan lagi?". Oke, hari Selasa depan kita lintas pulau, Bro.

Tiket, gimana? Wah, ini prioritas. Hm, insyaAllah pertama kali terbang pake Sriwijaya Air. Sebenernya, pengen juga pake Garuda Indonesia, tapi gak cocok buat kantong mahasiswa. Ah, yang penting nyampe. Ya gak?

Persiapan (oleh-oleh, dsb)? Aha, rencana Senin besok bakal hunting oleh-oleh nih. Bingung mau cari apaan? Kayaknya aku cuma mau nyari baju buat adik and adik sepupu. Untuk jenis makanan ringan and buah, lebih baik cari di Tanjung Batu aja, sambil menunggu jam berangkat boat menuju pulau tercinta.


Nah, guys. Kepulanganku kali ini memilih rute: Terminal Damri-Soekarno Hatta Airport- Hang Nadim Airport (Batam)- Pelabuhan Sekupang (Batam)- Tanjung Batu Kundur- My Little Island (Penyalai).

Dipikir-pikir, lumayan jauh ya. Dan serunya, aku pulang sendiri. Kadang sedikit serem juga, tapi gimana lagi gak ada temen yang mau diajak barengan. Banyak juga temen sekelas yang pulang pada hari yang sama, tapi mereka landing Pekanbaru. Pengen juga ikutan, but berdasarkan pengalaman lebih gampang landing di Batam. Selain relatif lebih dekat, banyak families juga yang bisa dimintai pertolongan kalau ada apa-apa.

Hmm, single travel tu ada enaknya ada gak nya juga, guys! Enak karena kita lebih bisa menghayati perjalanan, gak enak karena gak ada temen ngobrol. Kadang single travel itu lucu juga kalau dikenang, masih ingat banget ketika aku mendatangi ibu-ibu berkerudung di Ruang Tunggu Bandara Pekanbaru hanya untuk sekedar menanyakan keadaan Bandara Soe-Ta. Aku juga terus mengikuti langkah seorang Ibu paroh baya yang bareng turun dari pesawat sampai di pengambilan bagasi, Alhamdulillah Ibu itu justru mengajakku bersama, dia juga naik Damri arah Bogor ketika itu. Banyak deh cerita keberangkatan dan kepulanganku yang lebih sering sendirian, but kapan-kapan aja ya aku buat ceritanya. Pokoknya gak selesai sekali baca doang.

Oke guys! Mohon doanya ya, semoga perjalananku, perjalanmu, dan perjalanan kita semua dilancarkan oleh-Nya. Amin..

Wednesday, 12 June 2013

For Minder-er :)

Sebenarnya artikel ini saya cari untuk salah satu sahabat saya yang tiba-tiba bertanya melalui sms "Mbak, kok aku orangnya minder-an ya? Kira-kira cara mengatasinya gimana?"
Jujur saja, aku tertawa membaca sms tersebut "Ah, saya kok ditanya soal beginian. Wong saya sendiri penderita minder akut"
Tapi, semua tidak berhenti sampai di situ, selanjutnya saya mengaktifkan jaringan 3G di ponsel untuk mencari jawabannya.

Waw, ada ribuan post tentang 'MINDER', sayangnya tidak mungkin saya membaca semua. So, saya memilih satu artikel dan meng-copy-paste di halaman ini.

For my best friend, thanks ya pertanyaannya, ini juga sebagai evaluasi untuk saya sendiri.

Ok guys, check it out!

Penyakit minder pasti ada penyebabnya. Di bawah ini Anda bisa menyimak sejumlah penyebab penyakit minder beserta cara mengatasinya. Tentu saja, agar Anda makin percaya diri.

1. Pengaruh lingkungan
    Banyak orang yang minder karena sering diremehkan, tidak dipercaya, disalahkan, atau selalu dilarang oleh lingkungannya. Cara mengatasinya adalah dengan mencari lingkungan yang lebih baik. Anda bisa bergabung dengan organisasi atau komunitas yang orang-orangnya positif, saling menghargai.

2. Diremehkan atau dikucilkan dari pergaulan
    Biasanya, hal seperti ini terjadi karena Anda dianggap tidak penting, bukan siapa-siapa, tak ada apapun dari diri Anda yang membuat orang lain kagum. Untuk itu, yang Anda perlukan adalah berkarya dan berprestasi. Galilah potensi diri Anda. Tekuni hobi dan passion Anda secara serius. Bila Anda sudah menghasilkan prestasi, maka orang-orang akan mulai menghormati Anda.

3. Hasil didikan orang tua yang penuh oleh larangan
    Biasanya, anak yang dididik seperti ini akan cenderung penakut, tidak berani bertindak. Cara mengatasinya, coba bergaul dengan orang-orang yang pemberani dan penuh semangat dalam hidupnya, agar Anda ketularan.

4. Kebiasaan orang tua yang suka memarahi kesalahan anak, tapi tak pernah memuji atau menghargai bila si anak melakukan hal yang baik
    Bila Anda dulu dididik dengan cara seperti ini, cara mengatasinya sama seperti poin 1 di atas: Mencari pergaulan yang orang-orangnya positif dan menghargai Anda.

5. Kurang kasih sayang dari keluarga
    Bila Anda termasuk orang yang kurang kasih sayang keluarga, atau jarang dihargai dan dipuji oleh keluarga, cobalah untuk mulai mengasah keahlian dan prestasi. Tekuni hobi Anda secara serius. Setelah berhasil, maka rasa percaya diri Anda akan mulai tumbuh.

6. Tertular sifat orang tua atau keluarga yang minder
    Memang minder bisa menular. Bila Anda berasal dari keluarga yang minderan, coba atasi dengan mencari pergaulan baru sebagai penyeimbang. Bergaullah dengan orang-orang yang positif dan mendukung Anda dalam meraih sukses.

7. Trauma kegagalan di masa lalu 
     Yakinkan diri Anda bahwa kegagalan merupakan salah satu bentuk kesuksesan juga. Sebab lewat kegagalan, Anda bisa belajar banyak hal. Ambil pelajaran berharga dari kegagalan masa lalu. Kemudian mantapkan diri untuk melangkah lagi dengan strategi yang jauh lebih baik.

8. Trauma atas kejadian buruk di masa lalu
    Trauma masa lalu memang tak bisa dilupakan. Karena itu, jangan coba-coba melupakannya. Yang bisa Anda lakukan adalah berdamai dengannya. Sadarilah bahwa Anda hidup untuk masa depan, bukan hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Maafkanlah orang-orang yang menyakiti Anda, dan berbuat baiklah pada mereka. Dengan cara ini, insya Allah perasaan Anda akan lebih bahagia, dan rasa percaya diri pun muncul secara meyakinkan. Jangan lupa, ciptakanlah prestasi yang membuat Anda bangga dan orang lain menghargai Anda. Maka kenangan masa lalu ketika Anda dipermalukan atau dihina di depan umum tersebut, insya Allah akan terobati.

9. Merasa bentuk fisik tidak sempurna
    Jika bentuk fisik Anda tidak sempurna dan diri Anda pun biasa-biasa saja, alias tak ada yang istimewa dari diri Anda, maka tidak heran bila orang lain pun menyepelekan Anda. Coba bandingkan dengan para orang cacat yang berprestasi. Ada tunanetra yang jadi blogger terkenal. Ada orang yang kakinya buntung tapi jadi atlit internasional. Mereka dihargai dan dihormati karena prestasi yang terukir. Dan masyarakat sama sekali tidak melihat kekurangan fisik mereka. Intinya: Coba Anda berkarya dan berjuang untuk menciptakan prestasi. Bila prestasi demi prestasi sudah diukir, yakinlah bahwa kekurangan fisik Anda sudah tidak ada apa-apanya lagi dibanding rasa hormat orang lain terhadap Anda.

10. Merasa berpendidikan rendah.                    Bob Sadino, salah seorang pengusaha sukses di Indonesia, hanya lulusan SD. Tidak ada rumusnya bahwa untuk sukses dalam hidup itu harus berpendidikan tinggi. Seberapa rendah pun pendidikan Anda, cobalah berprestasi sebaik mungkin. Maka orang-orang nanti tidak akan peduli pada tingkat pendidikan Anda. Prestadi dan hasil karya Anda akan membuat mereka hormat pada Anda.

Disadur dan dikembangkan dari http://www.hipnoterapi.asia/percaya_diri.htm

Sunday, 9 June 2013

Happy Birthday My Doll


Inilah sebuah cahaya yang kutemukan bersinar dalam catatan ceritaku. Cahaya lembut yang berpendar dari sosok mungilnya. Sosok mungil nan jelita yang kurindukan di setiap waktuku. Dia adalah sahabatku yang telah melukis panorama indah dalam hari-hari terakhir di Pondok Pesantren.
Kisah ini kutulis dengan penyesalan karena aku telah mengulang kesalahan padanya.

Aku memanggilnya 'Donat' karena pipinya yang tembam dan selalu mengingatkanku pada kue donat yang empuk. Dia memanggilku 'Tower' karena tubuhku yang tinggi. Barangkali mengingatkannya pada tower seluler yang menjulang. Terkadang ia memanggilku 'Mbak yu', dan aku membalas dengan panggilan 'Dik yu'. Itulah panggilan-panggilan yang kami pakai hingga kini. Nama aslinya tak pernah kusebut ketika merangkai pembicaraan dengannya, begitu juga sebaliknya.

Aku bersahabat dengannya ketika masa-masa akhir di pesantren. Ketika santriwati kelas XII hanya bersisa 8 orang. Kami belum diperbolehkan pulang karena harus menyiapkan diri untuk tes beasiswa. Aku dan Donat berbeda kamar, jadilah setiap malam ia tidur di kamarku. Aku selalu gemas ingin mencubit pipi atau hidungnya yang lucu, terlebih ia memiliki mata yang indah seperti Barbie.

Ketika adik-adik kelas berangkat sekolah, kami mulai memutar lagu-lagu kesukaan yang dikeraskan melalui speaker. Jika sudah jenuh belajar, kami akan berteriak-teriak tidak jelas, mengikuti lagu-lagu yang kami putar. Oh iya, kami punya lagu favorit, judulnya 'Feel Like You Do' yang dinyanyiin Mas Bro Maher Zain Ft Bude Lady Gaga.

Satu tingkahnya yang tak pernah membuatku lupa, ia pernah makan di bawah meja belajar. Duh, pengen kujitak rasanya. Dia juga selalu memainkan kedua jempolnya saat mendengar lagu dangdut. Aku yakin, jika kalian mengenalnya, pasti langsung jatuh hati. Dia lucu seperti boneka. She is my pretty doll. Sampai-sampai aku pernah berkata padanya "Donat, kamu aku formalin aja ya. Biar bisa dipajang di rumah". Biasanya dia langsung manyun dan menjawab "Enak aja".

Saat malam, kami sering berdiskusi tentang agama, tentang muslimah. Aku sering membacakannya status-status facebook yang menarik, islami dan inspiratif padanya. Ia juga melakukan hal yang sama. Kami berangkat ke masjid bersama dan tahajud bersama.

Dia memang menggemaskan walau sebenarnya ia sendiri sakit. Aku selalu mendapati telapak tangannya yang basah, aku selalu mendapati dirinya yang diam di tempat tidur. Ia sering sakit. Paru-paru basah yang diderita selalu mendatanginya. Tak hanya penyakit itu, ia juga menyimpan penyakit lain. Yang pasti, ia terus minum obat dan check up. Donat, yang sabar ya. Itu artinya Allah sayang sama Donat. Sakit itu bisa menggugurkan dosa-dosa kita. InsyaAllah Donat kuat.

Hatiku pernah gerimis ketika suatu pagi, ia dengan malu-malu bertanya "Mbak Yu, bantuin buat kalimat untuk mengakhiri hubungan dong". Aku hampir tersedak, ketika itu ia memang sedang berpacaran dengan teman seangkatan. Seorang santriwan yang menyukainya sejak masa orientasi santri dulu. Aku bertanya alasannya ingin mengakhiri ikatan tanpa akad itu "Pengen kayak Mbak yu. Ayo dong Mbak yu, bantuin. Kalimat yang dia bisa mengerti" Ucapnya. Aku hanya tersenyum dan menjawab "Bilang aja apa adanya, dia pasti ngerti. Bilang aja, kalau berjodoh pasti akan kembali pada waktunya. Yang pasti, bilang ke dia kalau Donat gak mau pacaran dulu". Ia pun kemudian asyik mengetik di ponselnya. Beberapa menit kemudian, ia kembali berkata "Mbak yu, berhasil. Dia faham kok". Aku hanya tersenyum geli melihat tingkahnya. Duh Donat, kamu itu sudah kuanggap seperti adik kandung.

Ada hal yang ia pelajari dariku, dan akupun belajar banyak hal darinya. Dia adalah satu-satunya manusia yang kukenal tak mau melihat contekan dan buku ketika ujian. Bahkan ketika guru memberikan bocoran soal, ia tak mengambilnya. Aku belajar kejujuran tingkat tinggi padanya. Dimulai pada ujian semester V, aku tak lagi tengok kiri dan kanan ketika ujian, trik mengintip buku di bawah meja pun kulupakan. Aku iri dengan kejujuran yang dimilikinya.

Satu hal yang membuatku menyesal hingga kini, aku pernah membuatnya marah. Waktu itu kami dan 8 orang teman yang lain melaksanakan tes beasiswa di sebuah hotel selama tiga hari. Pada hari kedua masalah itu datang, masalah akibat kecerobohanku. Di hotel itu kita ditempatkan di kamar yang berbeda, jadi ia harus mendatangi kamarku untuk mengajak bersama ke ruang acara. Ketika ia memanggil dan menungguiku di pintu aku justru berkata "Duluan aja Donat" dengan intonasi yang kurang bersahabat. Ia lalu pergi. Aku sendiri dalam suasana hati yang kelabu waktu itu, tidak bisa berpikir jernih.

Aku memanggilnya saat tiba di ruang acara, ia tak merespon, melihat pun tidak. Aku diam, urung ingin menceritakan sesuatu padanya. Aku tak menyangka jika kata-kataku tadi membuatnya marah. Sungguh, aku menyesali perbuatanku. Semalam penuh aku gelisah, memikirkan cara untuk membuatnya mencabut rasa jengkel padaku. Akhirnya, keesokan hari, sebelum tes tertulis dimulai, aku mendatangi mejanya. Mengulurkan tangan sambil berucap "Donat, maafin aku ya biar kita sama-sama mudah mengerjakan soal". Ia menyambut uluran tangannku dan menjawab "iya". Sebenarnya banyak yang ingin kuucapkan ketika itu, tapi rasanya semua kalimat yang sudah terangkai tercekal di tenggorokan. Hanya kalimat tadilah yang terucap.

Donat, masih banyak kisah tentangmu. Butuh satu buku penuh jika aku harus menceritakan dengan sempurna.

Hingga sekarang, aku belum pernah bersahabat atas nama Allah seperti persahabatan yang kujalin bersamamu. Tetaplah jadi Barbie-ku, aku selalu merindukan kebersamaan kita.

Dialah sahabatku yang bertubuh mungil, berpipi tembam, bermata indah, berhidung lucu, berparas ayu, bersuara merdu, bernama ZULFAHMI SHOLIHAH. Semoga Allah memberkahimu, memberkahiku, memberkahi keluarga kita, dan memberkahi kita semua. Amin....

SELAMAT ULANG TAHUN yaaa...
Maaf terlambat, maaf, maaf....

Baarakallah fi umrik [makin saleha, makin pinter, makin cantik, makin lucu] amin....
Selesai ditulis pada 24.00 WIB. Sambil mengenang kenangan bersamanya. Alhamdulillah, Allah telah memberi kesempatan untuk mengenalmu.
Bogor, 10 Juni 2013.

Sebuah Rasa: Fantasy and Religi Movies


"Nonton, yuuukk.... Ada film bagus. Film Indonesia tapi keren  kayak film luar. Aku sudah lihat trailler-nya" Promosi seorang temanku dengan begitu semangat. Jelas sekali dari sorot matanya bahwa ia begitu tertarik dengan film tersebut. Dua temanku yang lain berteriak "Ayuuk....!".

"Genre?" Akhirnya emosiku terpancing, ikut penasaran.

"Action!" Jawabnya. Seketika aku bergidik, mencoba menelan ludah yang pahit.


Aku memutuskan tidak ikut nobar dadakan itu. Aku membayangkan film action produksi Indonesia itu kejam dan berdarah-darah.


Sekitar qobla ashar, tiga temanku itu sudah tiba di kontrakan. Mereka pun dengan suka rela me-review film tersebut tanpa diminta. Terkadang mereka menutup wajah, bergidik, hingga memberikan pujian untuk film yang baru saja selesai ditonton.

"Serem banget. Ada tentara yang mati terkena bom, perutnya terburai, isinya berjuntai merah keluar" Cerita salah satu dari mereka disertai ekspresi tegang. Aku ber-hiii panjang.


Aku memang tidak menyukai film bergenre action, karena dalam film itu semua masalah hanya bisa diselesaikan dengan kekerasan, dengan baku hantam, dengan senjata tajam. Aku tidak menyukai film bergenre action karena mereka yang menang adalah yang paling hebat yang paling kuat, tidak berbeda dengan binatang-binatang rimba. Dan dari semua itu, yang membuatku paling anti film genre ini adalah darah. Ketika pemeran dalam film tersebut tertusuk belati hingga menyembur darah segar dari mulutnya, ketika itu pula aku seperti merasakan sakit yang dirasakan sang pemeran. Tidak terbayang, jika ada sepuluh pemeran yang tertusuk belati atau tertembak kepalanya, akulah yang menampung semua sakit para pemeran itu. Akulah yang sakit bertumpuk-tumpuk. Itulah mengapa aku tidak menyukai film bergenre action.

Sebaliknya aku tergila-gila dengan film bergenre fantasi. Seperti film The Lord of The Ring karya Peter Jackson. Film yang diadopsi dari novel karya JRR.Tolkien itu terasa begitu menyentuh. Aku menyukainya karena dua hal. Pertama, karena film tersebut adalah cerita dari sebuah novel karya penulis ternama. Kedua, karena banyak pelajaran yang terselip hampir di seluruh adegan.

Dari film itu, aku jadi semakin mencintai pulau kecil kelahiranku seperti Frodo Baggins yang mencintai The Shire. The Shire adalah lembah subur dimana Frodo menghabiskan hari-harinya bersama teman-teman hobbits nya. Suasana The Shire membawaku menyusuri pulau kecilku yang jauh di sana. Dari film ini, aku menangkap sebuah persahabatan yang mengagumkan. Jujur saja, aku menangis berkali-kali saat menonton trilogi film ini. Aku kagum dengan tokoh Samwise, tukang kebun Frodo sekaligus sahabatnya. Sam tidak pernah berniat sekalipun meninggalkan Frodo meskipun tugas menghancurkan cincin itu bukan tugasnya, ia tetap menyayangi Frodo ketika sahabatnya itu menganggapnya penghianat, ia dengan kuat mendampingi Frodo hingga akhir perjuangan, hingga akhir cerita. Sam pula yang membopong Frodo mendaki bukit menuju kawah di Mordor "Aku tidak bisa membawa cincin itu Mr.Frodo, tapi aku bisa menggendongmu ke sana" Ucapan ini keluar dari bibirnya ketika Frodo lemah tak berdaya. Sam menggendong Frodo mendaki bukit berbatu tajam dengan keadaan lapar. Ya, mereka kehabisan air dan roti di tengah perjalanan. Di sanalah aku menemukan kekuatan seorang Sam. Sahabat bermain sejak kecil yang membuktikan kesetiaannya.

Film ini juga menyampaikan pesan agar manusia tak merusak alam, tak menebang hutan. Seperti Saruman yang memerintahkan para orc menumbangkan pohon-pohon sebagai bahan industri perlengkapan perang dan penciptaan pasukan orc. Hingga akhirnya kerajaan Saruman hancur akibat serangan dari pohon-pohon hutan tersebut. Pohon-pohon itu berjalan dan hidup, mereka murka karena Saruman telah merusak sebagian hutan dengan menggundulinya. Para pohon itupun membuka bendungan, menghancurkan kerajaan Saruman dengan banjir bandang.

Meskipun dengan cara magic, tapi hal ini memberikan pelajaran bagi kita. Jika kita merusak alam maka jangan marah jika nanti alam pun akan membalasnya. Mengirim banjir dan bencana. Semua balance, kok.

Film ini juga menampilkan sosok pemimpin yang memberi keteladanan. Aragorn, the king. Dia raja yang penuh kasih sayang kepada rakyat, dia juga yang pertama kali memacu kuda melawan pasukan jahat di Mordor. Ketika itu pasukan Aragorn sedikit sekali, sedangkan pasukan jahat berkerumun bak segerombolan semut mengerubungi sebutir gula. Tentu saja pasukan putih gentar. Namun Aragorn maju pertama kali dengan keberanian dan keyakinan.

Akhir film ini menampilkan perpisahan yang mengharukan. Frodo harus meninggalkan Sam. Dunia mereka tak lagi sama. Yang paling mengharukan adalah saat Frodo mengecup kening sahabatnya itu dan memberikan sebuah buku yang ditulis dengan tangannya sendiri, buku dengan judul "The Lord of The Ring by Frodo Beggins". Frodo juga menyisakan lembar-lembar kosong di akhir buku, meminta Sam melanjutkan kisah yang ditulisnya.

Bagian ini mengingatkan kita, semua akan berakhir dengan perpisahan. Tak ada yang abadi. Memang begitulah keniscayaanya.

Baik, selain film genre fantasi, aku juga suka dengan film religi. Apapun judulnya (kecuali Perempuan Berkalung Sorban). Film religi selalu menyisakan tempat dalam hati, mencharger semangat dan menginspirasi. Sebut saja film Sang Kiayi. Wah, sulit saya mengungkapkan feel yang didapat dari film ini. Menyentuh dan menguras air mata. Menceritakan keteguhan dan nasionalisme yang kuat.

At last, sekian dulu sharing-ku seputar film. For once again, it's just a feeling. Setiap orang punya rasa yang beragam, tak sama.

So, bagi yang suka film fantasi and religi, bisa juga jadi teman sharing. Hehe

Sunday, 2 June 2013

Kisah Cahaya: Teman yang Mengingatkan



Aku menulis judul dengan diawali 'Cahaya I', why? Hmm.... Rasanya aku ingin menuliskan setiap cahaya yang kutemui dalam hidupku. Cahaya itu aku sejajarkan dengan inspirasi. Karena dengan cahaya, mata mampu membaca sehingga kaki tak ragu melangkah.


Membuka kisah cahaya, aku ingin menceritakan tentang seseorang. Teman satu jurusan, teman sekelas.

Sedetik pandang, tak akan ada orang yang meletak kagum pada sosoknya. Ia tak berparas istimewa, tak juga berkharisma. Namun, ketika aku mengamatinya setiap hari, aku mendapati cahaya-cahaya itu. Ia menginspirasi.

Ia hanya anak laki-laki yang besar di bagian bumi antah-berantah, tapi tahukah berapa IP-nya? Sempurna empat koma nol nol. Bukan IP yang membuatnya inspiratif, karena kini aku tak percaya akan janji kebahagiaan dari angka-angka itu.

Aku melihat dirinya yang berbeda. Tak pernah kudapati ia berwajah gusar, tak sekalipun ia mengacuhkan dosen yang berkoar membosankan, tak juga ia bermalas-malasan. Ia sempurna rajin, sederhana dan apa adanya. Kadang, rasa iri menjejal hati. Bagaimana ia bisa menjalani perkuliahan ini dengan begitu ikhlasnya?

Ah, teman. Aku juga ingin sepertimu. Kau tak berfisik istimewa, namun mampu menciptakan keistimewaan yang membuat orang-orang mengabaikan kekuranganmu. Aku juga ingin selalu bahagia seperti aku selalu menjumpai wajahmu yang jernih, tak bermuram durja. Namun, pengecualian-pengecualian itu seringkali membuatku malas. Aku selalu menganggap kelas kita bukanlah tempatku. Aku yang bercita-cita menjadi desainer, reporter dan penulis ini selalu berdalih salah tempat.

Terkadang aku lupa, teman. Bahwa ketika kita tak mampu menggenggam asa dengan jalan biasa, kita harus menempuh jalan lain. Karena ketika Tuhan menutup satu pintu rezeki, maka Ia membuka pintu rezeki yang lain.

Teman, aku ingin selalu mendapati sosokmu yang selalu menebar keteladanan. Semoga Allah memberkahimu, memberkahiku, dan memberkahi kita semua. Amin

Bogor, 2 Juni 2013#10.37 p.m
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...