Hi guys! Berikut saya susunin satu cerpen yang OKE banget, aku menemukannya di web Annida-Online. Pesan yang disampaikan dari cerpen ini really soft and smooth, tapi hard and sharp banget.
Jangan berpikir bahwa ini adalah cerita cinta yang melankolis ya.... Happy reading and then find out the surprising!
*________*
"Bunuh saja aku, sekarang!" Teriakan sia-sia, karena kau pun tak akan pernah peduli. Putus asa? Ya, terlalu lelah dalam siksaan. Terkadang aku muak dengan kelakuanmu yang serupa memanjakan, tapi diam-diam menikam. Awalnya aku masih berbaik sangka. Aku pikir kau memang tak menyadari sikapmu mampu membunuhku, perlahan, sangat menyiksa. Tapi sering kudengar kerabat berusaha menyadarkanmu dengan ragam peringatan. Kau acuh. Oh, baik sangkaku keliru. Kau bukannya tak tahu, tapi tak mau tahu.
"Aku ingin mati sekarang!" Kuulangi lagi. Kau asyik masyuk, sibuk dengan kesenangan sendiri.
"Percuma. Dia tak akan peduli." Satu suara menyadarkan. Kuperhatikan kondisinya tak jauh beda denganku.
"Kita senasib. Aku pun tertawan. Kita sama-sama menanti ajal." Ucapnya pesismis.
"Siapa kamu?" Aku baru menyadari dalam ketertawanan ini ada makhluk lain. Selama ini aku sibuk memikirkan penderitaan diri, hingga tak lagi memperhatikan sekeliling.
"Tak penting. Yang harus kau sadari, kau bukan satu-satunya tawanan lelaki itu. Ada aku, juga beberapa teman lainnya. Sudahlah, terima nasib saja. Selama ini aku perhatikan kau sibuk berteriak." Ia tampak tenang, meski kondisi jasadnya sangat memprihatinkan. Kucoba melebarkan pandangan dalam kegelapan, berusaha menangkap sosok-sosok lain yang katanya ada dalam ruangan yang sama. Terkungkung bersama derita yang tak jauh berbeda.
"Ya, aku juga merasakan sakitnya. Lihat tubuhku yang berdarah-darah, kerempeng, sangat menjijikkan." Satu suara lagi dari sisi kanan. Setelah mengerjap berkali-kali barulah kutangkap gambaran tubuhnya. Oh Tuhan, mengerikan. Mendadak mual aku menatap merah darah di badannya yang membusuk.
“Tak perlu teriak minta mati. Perlahan tapi pasti habis juga nanti detak hidupmu, aku, juga kita semua.” Kini sosok pertama tadi kembali bersuara.
“Justru itu, aku tak mau perlahan. Lebih baik aku mati sekarang, segera. Terlalu menyiksa hidup dalam rayuan kematian yang menggerayangi setiap saat.” Bantahku. Hening, tak ada lagi sanggahan. Mungkin masing-masing telah lelah, atau juga tak hendak memboroskan tenaga di antara secuil energi yang tersisa.
***
"Arrgh!!" Eranganku berhasil menahan langkahmu pagi ini. Aku tahu, biasanya jam segini kau akan bersiap, bergabung dalam kemacetan jalan raya demi menuju sebuah bangunan pencakar langit. Kau menamainya kantor, gedung tempat mendulang harta. Dalam panik, bergegas kau menekan deretan nomor lalu berbincang singkat dan tergesa. Aku masih berjuang menahan perih demikian hebat, hingga lebih dari hitungan tiga puluh menit kemudian seseorang datang. Ia memeriksa kondisiku, memprediksi denyut nadi hidupku.
“Syukurlah masih tertolong. Bisa rawat jalan, tak perlu diopname.” Ucapan dari suara jernih lelaki berkaca mata itu justru menjadi berita buruk bagiku. Aku dinyatakan selamat, hidup. Ah, kadang aku heran untuk apa kau bersusah membayar dokter demi menyelamatkanku, jika kemudian kembali kau rampas kebebasan nafasku. Pandai sekali kau bersandiwara, berpura panik dan terluka di hadapan dokter tadi. Sementara di dalam keseharian justru kaulah yang paling bertanggung jawab atas luka dan penderitaanku. Setelah meninggalkan berlembar resep, dokter itu pergi. Ah ya, tak hanya resep. Sempat kudengar dokter tadi meninggalkan banyak petuah. Ia minta kau menjagaku, memanjakan, juga memperhatikan kondisiku. Aku lihat kau mengangguk. Tapi entah mengapa aku tak yakin. Aku tak pernah lagi percaya padamu.
***
Memasuki hari keempat masa pemulihanku, ternyata kau menepati janji. Lama tak merasakan kenyamanan bernafas seperti ini. Aku berfikir bahwa kau memang telah mengambil jalan insaf. Entah mungkin kondisiku beberapa hari lalu demikian memprihatinkan, hingga berhasil mengetuk nurani dan akal sehatmu. Setidaknya, aku kembali merdeka, bahkan menjadi demikian diperhatikan layaknya pangeran. Kau demikian apik mengingat jadwal obat untukku. Untuk perhatian ini, juga untuk siksaan yang telah kau matikan, aku ucapkan terimakasih. Saat-saat seperti ini, aku bisa mengenang kembali masa di mana kita masih saling melindungi. Kita sahabat lama, telah hitungan tahun bersama. Dulu sekali, tak pernah ada konflik di antara kita. Kebersamaan kita berjalan harmonis. Itu dulu sekali, sebelum secara misterius kau berubah sangar dan keji. Entah dari mana kau belajar berlaku kejam. Aku tak tahu kapan tepatnya, tapi usiamu baru beranjak meninggalkan masa remaja saat itu. Perlahan aku mulai merasa simbiosis antara kita tak lagi mutualisme. Entah apa sebabnya, entah karena kesalahan apa, entah karena provokasi siapa. Sejak itu kau tak lagi ramah, menikam dan menyiksa hampir setiap bilangan hari. Semakin lama semakin gila, hingga sering aku menahan perih.
Sering aku menangis, meratap, berteriak. Tapi yang membuatku heran, kau seakan tuli. Entah di mana kenangan tentang keakraban persahabatan kita dulu. Yang kau pedulikan hanya kepuasan batinmu. Itu saja. Dan itu berlanjut hingga bertahun-tahun lamanya. Kini, saat aku melihat keseriusanmu merawat lukaku, juga wajah panik saat aku sekarat, aku kembali percaya padamu. Ternyata kau masih peduli, tak sebengis yang aku fikirkan. Sekali lagi, aku ucapkan terimakasih.
***
“Bagaimana keadaanmu, teman?” Ia menjengukku. Ia yang mengaku sesama tawananmu. Aku tahu selama kau sibuk memperhatikan kondisiku, terlepas jualah ia serta beberapa tawanan lainnya dari derita. Kau hanya fokus pada kesembuhanku. Aku bersyukur karena puncak sakitku kemarin ternyata justru membuka pintu kebebasan untukku juga mereka. Ah, ternyata kau memang bijak dan masih memiliki akal sehat. Setelah bertahun bagai tak punya hati.
“Jauh lebih baik.” Aku tersenyum penuh kelegaan.
“Sekarang masih minta mati?” Sindirnya santai.
“Haha! Andai ia berlaku manis dan perhatian seperti ini, tak mungkin aku berharap cepat tutup usia. Hidup terasa indah.” Aku tergelak. Lupa sudah derita lalu.
“Baguslah. Berdoa saja semoga ia tak lagi kumat.”
***
Pagi masih berembun, saat aku baru hendak menikmati hirupan udara. Satu pekan dalam perawatan aku benar-benar bisa bernafas lega. Sendi tubuhku terasa nyaman. Namun mendadak tatapanku membesar saat melihatmu kembali berniat menyumpalkan siksaan. Tidak! Kau kembali lagi pada kebiasaan lamamu.
“Apa yang akan kau lakukan!” Aku berteriak, namun kau sambut dengan senyum santai.
“Rasanya satu minggu sudah cukup.” Kalimat itu yang keluar dari bibirmu.
“Tidak! Hentikan. Aku belum pulih benar. Kau tahu aku bisa mati.” Sia-sia aku mencegah. Kau benar-benar sudah gila? Kulihat teman-teman kembali mengkerut pada posisinya, waspada akan siksaan yang bisa bersarang pada tubuh mereka. Hanya satu pekan kau beri kami kebebasan? Saat ini aku benar-benar telah kehilangan kepercayaan padamu. Dan kau tahu, saat ini aku benar-benar ingin mati.
***
Hari berjalan seperti biasa, dalam belaian siksa yang membuat sesak.Tak kau perhatikan lagi kondisiku. Tak kau hiraukan lagi petuah dokter untuk menjagaku. Butiran obat kemarin juga entah ke mana.Yang kau fikirkan hanyalah memuaskan hatimu, dengan memasang sikap acuh. Setiap hari aku berdoa agar kau mendapatkan kembali nuranimu, meski harapan kian tipis rasanya. Percuma. Kau dan siksaan itu memang menjadi takdir bagiku sebelum menghadap kematian. Aku benar-benar yakin akan mati. Tubuhku kian ringkih, lemah tanpa daya. Tapi kau masih berfikir bahwa aku baik-baik saja. Hingga suatu malam aku merasakan sakit luar biasa. Aku tak sanggup lagi.
“Aaarrrrrrgggghhhh!!” Suaraku mengudara kembali. Pasti lebih keras dari teriakan lalu. Kau panik, pucat, dan gemetar, saat berusaha membuat panggilan kepada dokter yang sama.
“Gawat, harus segera dibawa ke rumah sakit. Kita berdoa semoga masih sempat.” Kalimat panik kini menular pada dokter itu. Tak lama kemudian kudengar dengingan sirine ambulan, membuat suasana kian riuh. Sepanjang perjalanan aku melihat malaikat maut kian dekat. Ah, mungkin inilah saatku. Saat yang telah lama kunantikan. Saat di mana aku dapat terlepas dari siksa. Aku akan merdeka. Semoga saja. Aku merindukan mati? Ha ha, lihatlah betapa siksamu membuatku berfikir bahwa kematian adalah jauh lebih indah. Jemputlah aku sekarang, duhai Izrail.
***
Beragam peralatan canggih tak sanggup lagi memulihkanku. Semakin dekat takdir itu. Sudahlah, percuma saja, aku memang akan mati. Hentikan alat pompa itu. Kepintaran kalian tak akan mampu mengalahkan takdir. Kian pelan detakku, hingga nyaris hilang. Mungkin hanya beberapa detik saja lagi sisa hidupku. Dan kau? Bahagiakah dengan kematianku? Atau justru kau akan berteriak histeris, menangis meratap, menyesali keteledoran diri? Kulirik matamu terpejam. Astaga, bodohnya! Kepergianku tak mungkin mengundang reaksi darimu. Kematianku hanya akan kau sikapi dengan diam, karena akulah detak hidupmu. Kita akan mati bersama. Kau, aku, serta seluruh tawananmu. Baru kusadari mengapa kau demikian panik saat aku sekarat. Karena saat berhenti hidupku, berarti mati juga seluruh organ tubuhmu.Tapi mengapa tak henti kau sesaki aku dengan lebih dari 4000 bahan kimia yang kian merapuhkan fungsi hidupku? Atau memang kau tak tahu bahwa dalam zat yang kau tuang ke dalam tubuhku itu selalu membersamai bahan kimia karsinogenik yang mematikan. Tak penting lagi rasanya untuk dibahas, karena kini terlambat. Aku benar-benar tak sanggup lagi. Mari akhiri derita ini. Kita pergi bersama. Aku berharap kematianmu akan sampai pada mereka yang memiliki kebiasaan sama sepertimu. Mereka, para smoker itu, sudah seharusnya menjadikan kepergiaan kita sebagai pelajaran.
Selesai.