Friday, 31 May 2013
Dua Mozaik-Ku
Tuesday, 28 May 2013
Terlalu Mudah Menghakimi
Sombong, angkuh?
Dua kata yang disanding-sandingkan dengan cela sifat seseorang. Biasanya, dua kata itu digunakan untuk menyebut mereka yang tak ramah, senang membanggakan diri, dan selalu merendahkan semua yang di sekelilingnya.
Hm....ini definisi lama, menurutku. Karena kini, dua kata itu juga dilemparkan bagi mereka yang pendiam, tak suka ber-haha-hihi, malas berbasa-basi, tak pandai berekspresi, tak pandai merayu sana-sini, de el el.
Terkadang, aku bingung menerjemahkannya. Apa makna kedua kata itu?
Aku bisa menceritakan sebuah kisah, tentang seseorang. Ia gadis biasa, tak cantik, tak juga kaya. Semua itu tidak masalah, tak mengapa. Namun, sejak kecil julukan 'Sombong, angkuh' sudah menempel pada dirinya. Setiap waktu ia memikirkan alasan orang-orang mencela begitu. Ia menyadari, ia kurang mampu bersosialisasi, malas membuat sensasi, seperti kebanyakan. Lalu apa itu sombong? Angkuh? Hanya karena ia tak bisa berkenal akrab dengan yang lebih tua atau yang lebih muda. Ketika yang lain mengangkat kakak, mengangkat adik, ia tidak. Tak punya cerita tentang pesona anak anak manusia untuk dinikmati bersama. Ia membosankan.
Dari sini, aku bisa menyimpulkan. Sungguh yang menjadi kebenaran mayoritas itu taklah mutlak benar. Masih ingat bukan pada kisah anak aneh di kereta. Ketika seorang anak kecil berteriak riang kepada Ayahnya "Ayah! Awan itu mengejar kita!", "Ayah! Pohon-pohon di tepi jalan itu mengikuti kita". Sang Ayah hanya tersenyum penuh kasih. Namun, dua orang yang duduk di samping mereka, memandang heran. Tak tahan lagi, mereka bertanya kepada Ayah dari bocah itu "Kenapa anak Anda tidak dibawa ke Rumah Sakit saja? Dia aneh!"
Sang Ayah justru tersenyum, mengelus rambut anaknya. Dengan wajah bahagia ia menjawab "Kami baru saja pulang dari Rumah Sakit, penglihatannya kembali hari ini setelah buta sejak lahir"
Kedua orang yang bertanya tersentak, tersentuh.
Ya, begitulah. Kadang manusia terlalu cepat membuat kesimpulan tanpa referensi. Terlalu senang menghakimi sendiri.
So, jangan peduli kata orang! Tentu saja jika kita yakin berada pada ruang yang benar.
Have just Written in the 'Feed Formulation' Class, 9:44 am. Thanks for reading.
Sunday, 26 May 2013
Semoga Engkau Segera Berjilbab, Sahabatku....
"Wahai Nabi! Katakan kepada istri-istri orang mukmin, 'Hendaklah mereka menjulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka' yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab: 59).
Aku ingin menceritakan sedikit tentangnya, tentang seorang gadis yang saat ini berada di pulau yang berbeda denganku. Kisahnya telah kuurai sedikit pada tulisan yang lalu, dan sekarang aku ingin menyambungnya.
Seperti yang kuceritakan sebelumnya, aku dan dia berpisah di persimpangan jalan. Aku melanjutkan ke sekolah agama dan dia ke sekolah umum. Perbedaan ini membuat banyak perbedaan lainnya. Aku harus berjilbab karena tuntutan peraturan dan dia masih bebas dengan model-model rambutnya. Ketika itu, aku masih belum mengetahui esensi jilbab yang menempel di kepalaku, malahan aku merasa jilbab hanya menjadi penghalang untuk tampil trendi. Rambutku yang panjang pun harus tersimpan dan tak bisa dipamerkan.
Aku memang terpaksa masuk sekolah agama, biarpun begitu, aku tetap menaati peraturan. Aku menjadi anak rumahan yang tidak banyak ulah dan tentunya berjilbab.
Bagaimana dengan dia? Dia begitu bahagia dengan sekolahnya, teman yang banyak dan seragam yang bagus. Ketika sekolah, dia juga mengenakan jilbab namun ketika jalan-jalan ia bebas ingin bergaya seperti apa. Aku iri, tapi mau bagaimana lagi.
Ia tak lagi punya banyak waktu bersamaku. Ia lebih senang dengan temannya yang sejalan. Aku tak lagi bisa menjadi sahabat yang asik baginya, tak bisa diajak curhat tentang pacar atau laki-laki yang dikagumi. Hubungan kami terus menjauh. Aku iri ketika ia memilih jalan-jalan bersama temannya yang lain daripada aku. Aku ingin marah padanya karena aku tidak lagi mendapatkan kebersamaan seperti dulu. Tak ada menyerok ikan, tak ada memanjat pohon rambutan, tak ada mencari damar, dan tak ada semuanya. Aku merindukannya meski aku bisa melihatnya setiap hari.
Semua berlanjut hingga kami beranjak ke pendidikan yang lebih tinggi. Aku melanjutkan ke pesantren dan ia melanjutkan ke SMA. Di pesantren, lambat laun aku mulai mencintai jilbabku. Aku tak lagi melepasnya ketika keluar rumah. Ia masih sama seperti dulu, masih dengan rambutnya yang tergerai lembut dan pakaian trendi.
Kita hanya bertemu setahun sekali, karena letak pesantrenku yang sangat jauh dari pulau kecil kami. Aku selalu berharap ia mau mengikuti langkahku, menutup aurat. Aku tak pernah sekalipun mengingatkannya, aku hanya tetap istiqomah mengenakan jilbabku. Aku juga tetap menyayanginya, mencoba membantu apabila ia sesekali menceritakan masalahnya. Aku memahami dirinya, aku tahu sepak terjang dan perjuangan hidupnya yang tak ringan, aku tahu ini hanya soal waktu. Aku tak perlu berceramah padanya, cukuplah aku perlihatkan keteguhanku berjilbab.
Sekarang, aku menjalani semester dua di Kota Bogor, dan ia harus banting tulang di pulau sana, Tanjung Pinang. Keadaan mengubur mimpinya untuk mengecap bangku perkuliahan. Terakhir kita bertemu Juni 2012 lalu, ia mengantarkanku ke dermaga. Melambai tangan saat boat yang kutumpangi menuju tengah laut. Ia memakai jilbab ketika itu, aku bahagia sekali, karena itu artinya ada cahaya dan keinginannya untuk berjilbab.
Kemaren malam, 26 Mei 2013, ia mengirim pesan singkat (sms), memintaku untuk membelikannya buku-buku. Nanti ia akan mengganti uangnya dengan cara dititipkan lewat kakaknya yang pulang ke pulau kecil kami, lebaran nanti. Ia sendiri tidak bisa pulang, tidak mendapat cuti kerja. Aku tahu itu pasti berat baginya, tapi seperti ceritaku dulu, ia adalah wanita tertegar yang pernah kukenal.
Sungguh aku menangis ketika membaca sms darinya. Aku tahu ia tidak memiliki hobi membaca, apalagi yang dipesannya adalah dua buku motivasi dan satu buku islam tentang muslimah. Kenapa aku menangis? Cermatilah, dua buku motivasi? Aku menyimpulkan ia sedang dalam keadaan rapuh saat ini, terlebih beberapa waktu lalu ia menceritakan perihal kebingungannya pada masa depan dan jalan hidup yang abu. Aku bisa merasakan hal itu, sebagaimana dulu ketika kecil, aku ikutan sakit saat ia sakit dan sebaliknya. Andai kita bisa bersama.
Hal kedua yang membuatku menangis adalah buku tentang muslimah yang dipesannya. Untuk buku yang satu ini, aku akan menghadiahkan buku milikku yang berjudul 'Hijab I'm in Love' karya Oki Setiana Dewi. Semoga ia juga akan segera memahami perintah Allah pada surah Al-Ahzab ayat 59 lalu berjilbab dengan sempurna.
Malam ini aku kembali mengenang masa lalu kami, masa kecil kami. Semoga Allah memberkahimu dan memberkahiku, memberkahi keluarga kita. Amin...
Selesai ditulis pukul 12:32 dini hari.
Bogor, 28 Mei 2013
Thursday, 23 May 2013
Kisah Inspiratif: Bocah Pembeli Ice Cream
Kisah inspiratif ini terjadi sudah lama sekali, sekitar tahun 1930-an. Ketika itu harga es krim sundae masih terbilang murah. Suatu hari, seorang bocah laki-laki berumur 10 tahun mendatangi kedai kopi sebuah hotel dan duduk di satu meja. Seorang pelayan menaruh segelas air di depannya.
"Berapa harga es krim sundae?" tanya bocah itu.
"50 sen," jawab si pelayan.
Bocah itu mengeluarkan kepingan uang dari kantong celananya dan menghitungnya.
"Hmmm... Kalau es krim yang biasa berapa?" tanyanya lagi.
Saat itu, sudah banyak pelanggan yang menunggu untuk dilayani. Dan si pelayan menjadi tidak sabar.
"35 sen," jawabnya dengan kasar.
Bocah itu menghitung uangnya sekali lagi dengan hati-hati.
"Aku pesan yang biasa saja," lanjutnya.
Tak lama kemudian, si pelayan membawa pesanan bocah itu dan menaruh bonnya di meja, lalu dia pergi. Setelah menghabiskan es krimnya, ia membayar ke kasir dan pergi.
Ketika si pelayan hendak membersihkan meja yang tadi dipakai bocah itu, ia kaget dan mulai menangis. Di samping piring tempat es krim terselip dua koin bernilai 5 sen dan lima koin bernilai 1 sen. Inilah alasannya bocah tadi tidak jadi memesan es krim sundae karena ia ingin memberikan uang tips yang layak kepada si pelayan.
Bukankah kita sering kali bersikap seperti pelayan tadi? Selalu cepat menghakimi orang lain. Selalu melihat suatu keadaan atau kejadian dari satu sisi saja. Sesuatu yang tampak tidak baik di satu sisi belum tentu tidak baik juga di sisi yang lain. Seperti pada cerita di atas, tindakan si bocah yang membuat si pelayan jengkel ternyata berujung pada maksud dan niat yang baik. Dan, sayangnya, si pelayan terlambat menyadarinya. Nah, sebelum kita mengalami hal yang sama seperti pelayan tadi, mari belajar untuk memahami suatu kejadian atau seseorang dari berbagai sisi, sehingga kita bisa mengambil tindakan atau mengeluarkan perkataan yang tidak akan kita sesali di kemudian hari.
Sumber : http://www.kisahinspirasi.com/2012/09/kisah-bocah-pembeli-ice-cream-sundae.html?m=1
Cerita inspiratif: Andai Aku Punya Email
Seorang lelaki melamar pekerjaan sebagai office- boy di istana. Staf istana mewawancarai dia dan memberi tugas membersihkan lantai sebagai tesnya.
"Kamu diterima," katanya. "Berikan alamat e- mailmu dan saya akan mengirim formulir untuk diisi dan pemberitahuan kapan kamu mulai kerja."
Lelaki itu menjawab, "Tapi saya tidak punya komputer, apalagi e-mail."
"Maaf," kata staf itu.
"Kalau kamu tidak punya e-mail, berarti kamu tidak hidup dan tidak bisa diterima bekerja."
Lelaki itu pergi dengan harapan kosong. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan hanya dengan sedikit uang di dalam kantongnya. Setelah berpikir panjang, ia memutuskan untuk pergi ke pasar & membeli 10 kg tomat. Ia menjual tomat itu dari rumah ke rumah (door-to-door).
Kurang dari 2 jam, dia berhasil melipatgandakan modalnya. Dia melakukan pekerjaan ini tiga kali, dan pulang dengan membawa uang yang cukup untuk hidup beberapa hari. Dia pun sadar bahwa dia bisa bertahan hidup dengan cara ini. Ia mulai pergi bekerja lebih pagi dan pulang lebih larut. Uangnya menjadi lebih banyak 2x sampai 3x lipat tiap hari.
Dia pun membeli gerobak, lalu truk, dan akhirnya ia memiliki armada kendaraan pengiriman sendiri. Lima tahun kemudian, lelaki yang tekun dan pekerja keras itu sudah menjadi salah satu pengusaha makanan terbesar. Ia mulai merencanakan masa depannya bersama keluarga dan memutuskan untuk memiliki asuransi jiwa.
Ia menghubungi broker asuransi. Sang broker pun menanyakan alamat e-mailnya. Lelaki itu menjawab, "Saya tidak punya e-mail." Sang broker bertanya dengan penasaran.
"Ah anda pasti bercanda, mana mungkin anda bisa sesukses ini kalo e-mailpun anda tak punya?".
Lelaki itu menjawab, "Ya saya memang tidak pintar, tapi saya telah membangun ini semua dengan impian dan kerja keras". "Anda tidak punya e-mail, tapi sukses membangun sebuah usaha besar. Bisakah Anda bayangkan, sudah jadi apa Anda kalau punya e-mail?"
Lelaki itu menjawab, "Ya, saya akan menjadi office boy di istana"
Sumber: http://berbisnis-di-rumah.blogspot.com/2012/06/cerita-sukses-jangan-pernah-mengukur.html?m=1
Friday, 17 May 2013
'Cinta Versi Monyet'
romantis nyaa..... hihi |
Hmm.... Itu tadi prolog. Aku sendiri bukan ahlinya, bahkan hingga kini aku belum paham akan hakikatnya. Yang ku tahu cinta yang sempurna-selain cinta dari yang Maha Mencintai-adalah cinta Ayah dan Ibuku. Aku belum pernah menjumpai orang lain yang memperlakukanku sebagaimana Ayah dan Ibu memperlakukanku. Dari mereka, aku bisa melihat cinta itu. Cinta yang tak pernah sirna hingga kini.
Aku tak marah ketika Ayah membiarkanku berangkat seorang diri ke Pulau Jawa. Justru, aku melihat cinta di sana. Ketika Ayah meminta maaf dengan kata-katanya yang membuatku meneteskan air mata, ketika ia menepuk pundakku untuk menguatkan saat boat akan beranjak meninggalkan Pulau Kecilku, ketika ia menanyakanku pada kakak kelas yang akan menjemputku. Aku tak marah ketika aku sakit dan mereka tak datang menjenguk seperti orangtua yang lain. Justru aku menemukan cinta di sana. Ketika Ibu menangis di ujung telepon, ketika Ayah mengatakan ia mendoakanku semalam penuh, ketika mereka bercerita tak bisa tidur karena mencemaskanku, ketika mereka memiliki perasaan tidak enak dan mimpi buruk tentangku pada beberapa hari terakhir. Lihatlah, cahaya-cahaya cinta itu. Itulah yang tak kutemukan pada orang lain. Itulah cinta versi sepanjang masa edisi manusia.
Cinta. Aku juga pernah memiliki kisah cinta versi monyet seperti yang kusindir di awal. Bukan saat aku duduk di Sekolah Dasar, melainkan ketika aku menjalani masa-masa akhir di Pesantren. Lalu mengapa aku juga menamainya dengan Cinta Monyet? Karena cinta itu hanya main-main, semu dan menyesatkan. Aku menganggap cinta edisi pacaran adalah Cinta Monyet, mau umur berapapun mereka yang berpacaran. Anda tak suka? Mudah, jangan lanjutkan membaca.
Cinta. ya, memang indah cinta versi monyet. Jadi, biarkan kuceritakan sedikit tentang cinta versi monyetku itu padamu. Aku mengenal laki-laki itu dalam waktu 10 hari. Ia duduk di semester II bangku perkuliahan ketika itu. Kebetulan ia sebagai tutor kami pada pelatihan pertanian organik di sebuah Universitas Negeri nomor satu di Provinsiku. Ia paling tampan, paling tinggi, paling cool, paling sopan, paling rajin, paling rapi, paling-paling deh (berdasarkan referensi satu tahun lebih lalu). Semua temanku mengaguminya, diam-diam akupun begitu. Tapi, aku tidak pernah bisa mengekspresikan ketertarikanku. Aku malah sebisa mungkin tidak bertatap muka langsung dengannya. Why? Because i was so nervous. Ya, itulah awal bunga-bunga cinta versi monyetku. Kami hanya memiliki percakapan beberapa potong saja selama dalam kurun 10 hari itu. Kekaguman di antara kami hanya tampak dalam diam, diam namun aku merasakannya. Kisah itu terasa semakin indah saat masa pelatihan usai. Aku kembali ke Pesantren dan ia kembali pada kesibukan kampus. Tapi, semua berlanjut di dunia maya dan seluler. Hingga, persetujuan diantara kami pun terjadi. Pacaran. Ah, sebenarnya aku kurang suka mendengar kata itu, apalagi ketika sadar bahwa akupun pernah menjalaninya. Tapi, tak apalah. Aku ingin mengabadikan kisah ini dalam tulisan. Memang indah rasanya memiliki pacar, tapi semua semu, sementara. Sama seperti ceritaku yang hanya bertahan tiga bulan saja. Cerita itu berakhir pada malam Idil Fitri. Menangis? Ya, waktu itu. Menyesal? Ya, menyesal karena aku jadi memiliki catatan pacaran dalam sejarah hidupku. Tapi, aku bersyukur, kita tak pernah bertatap muka apalagi berjabat tangan ketika masa 3 bulan indah itu. Ia hanya meninggalkan bayangan yang kuambil dari kenangan 10 hari itu. Tak ada boneka, buku, terlebih bunga yang kuberikan ataupun ia berikan. Setidaknya begitu. Dan setidaknya lagi, bukan aku yang mengucap cinta pertama kali dan bukan ia yang mengakhiri cerita ini. Memang perih, tapi setidaknya aku tidak menanggung malu.
Hingga kini, percakapan kami di jejaring sosial masih ada tersimpan. Aku tak berniat menghapusnya. Biarlah, sebagai arsip bukti sejarah hidup. Sebagai bahan cerita suatu waktu kelak.
Jadi, cinta itu apa? Berikut cinta menurut Jalaludin Rumi.
"Sungguh, Cinta dapat mengubah pahit menjadi manis, debu beralih emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, penjara menjadi telaga, derita menjadi nikmat, dan kemarahan menjadi rahmat. Cintalah yang mampu melunakkan besi, menghancurkan batu karang, membangkitkan yang mati dan meniupkan kehidupan padanya serta membuat budak menjadi pemimpin. Inilah dasyatnya cinta"
“Tidak sempurna iman salah seorang dari kamu sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai diri sendiri.” Juga sabda Rasulullah, "Barang siapa ingin mendapatkan manisnya iman, maka hendaklah ia mencintai orang lain karena Allah.” (HR Hakim dari Abu Hurairah)”.
Saya tak sanggup mendefinisikan cinta. Namun, aku berani menyimpulkan bahwa ceritaku bersamanya selama 3 bulan itu bukan cinta. Cinta tidak akan membuatku lupa diri dengan menghabiskan waktu senggangku hanya untuk membayangkannya, cinta tak akan membuatku lalai melaksanakan kewajibanku karena menjawab telepon darinya, cinta tak akan membuatku menjalani hubungan tanpa akad yang tak disukai-Nya. Cinta tak akan membuatku mencinta tanpa dasar cinta kepada-Nya. Itu bukan cinta. Itu hanya racun yang menjelma menjadi madu. Merusak perlahan.
Berbahagialah kalian yang istiqomah tidak pernah sekalipun menjalin ikatan tanpa akad itu. Bagi yang memiliki kisah sama sepertiku, tenanglah. Dia Maha Mencintai, Dia menerima apapun keadaan kita selagi kita memiliki niat untuk berubah. Cinta memang harus dijemput, namun bukan dengan mengikat tanpa akad.
Inilah ceritaku, mana ceritamu?
Tuesday, 14 May 2013
Sepiring Cita dengan Tiga Potong Video Inspiratif dari Dosenku
Ya, beliau memutar tiga video untuk kami. Video pertama adalah video lucu yang bercerita tentang seorang Pak Guru yang mengajarkan antonim kepada dua orang muridnya, seluruh dialog using NGAPAK language, guys. Kurasa video ini sudah familiar sekali. Aku sendiri sudah berkali-kali menontonnya dari ponsel adikku. Bahkan, adikku sampai hafal dengan dialog yang membuat sakit perut itu.
"Video tadi sederhana sekali, sekilas hanya seperti kartun komedi. Tapi, ada hal yang bisa kita ambil. kuasailah komunikasi, agar orang lain paham dengan apa yang sebenarnya ingin kita sampaikan"
"Wah, fleksibel sekali seorang Pak Mario" Pikirku
Pak Mario tetap menyihir dengan kalimat-kalimatnya, namun spesialnya semua petuahnya disampaikan dengan mengejutkan. Ya, karena semua dibuat super duper nguakak.
Bang Radit dan komplotannya saja tertawa sampai kejang-kejang. Aku sendiri tak mampu mengingat apa yang sudah disampaikan Pak Mario. Bentar ya, aku mikir dulu.
Aha! Ini dia! Suara dan penampilan itu sungguh berpengaruh pada chemistry seseorang. Contoh nih, ada seorang laki-laki tinggi, atletis, cakep, bule, pake jas, eh....ketika ngomong, suaranya kayak cewek India lagi nyanyi. Melengking, bok. Cucok. Kan gak banget ya?
Ini namanya gak seimbang.
Pokoknya super deh, kalau penasaran mangga dicari di youtube. Tapi, maap saya gak bisa ngasi key word ya. Saya lupa atuh. Pokoknya inspiratif sekali, meskipun ada kakak tingkatku yang mengatakan "Hidup itu tidak semudah ucapan Mario Teguh" (sambil mikir dengan gaya ala Einstein).
"Aku ingin jadi pilot!"
"Aku ingin jadi ini, jadi itu!"
"Aku tidak takut pada ketinggian!"
Pengusaha?
Bagiku, mereka adalah sosok yang berani, tangguh, dan berpikir berbeda. Ya, aku setuju dengan ucapan Pak Henry tentang mereka, para pengusaha itu. Mereka yang berjuang mati-matian di tahun pertama dan kedua hingga kestabilan pada tahun keempat dan kelima. Pada tahun keenamlah mereka panen. Mereka bisa bersedekah lebih banyak, bisa mengajak Ayah-Ibu ke Tanah Suci, bisa menyekolahkan Adik-Adik, bisa memberikan pekerjaan untuk orang lain, bahkan bisa sampai bosan memegang uang. Hihi
Benar guys. Bukankah Nabi Muhammad SAW adalah seorang pengusaha? Beliau adalah pengusaha jujur yang sukses. Bahkan Beliau memberikan mahar pada Khadijah berupa 100 ekor unta yang senilai dengan 1,2 M. Waw....!!!
(Maap kalau bahasanya rada aneh. Nulisnya sambil merem-melek ngantuk. Soalnya kalau nunggu besok keburu lupa deh. Hihi)
Saturday, 11 May 2013
"Si Pembuat Awan" dari Belanda
Syahdan, hampir setiap orang mengagumi atau setidaknya pernah mengagumi awan putih. Namun, semua itu hanya sebatas kekaguman yang sungguh sulit direalisasikan. Kita harus terjun payung atau naik ke puncak gunung untuk menyentuh awan dan berfoto di antara kedramatisannya. Lalu, kenapa tidak berpikir untuk membawanya ke dalam toples atau ruangan? Oh ini sedikit tidak efisien. Bagaimana kalau membuatnya saja? Nah, this is a nice idea. Inilah space yang dilihat Berndnaut Smilde, seniman dari Amsterdam, Belanda. Ia tau betapa banyak orang yang ingin menikmati keindahan awan, ia tau bahwa mengantongi awan dari atas sana untuk di bawa ke bumi akan menguras biaya dan waktu, maka ia mengambil satu peluang, yaitu membuat awan.
Awan buatan tersebut memang hanya bisa bertahan beberapa detik. Namun, justru dengan begitu ada rasa yang tercipta bagi setiap orang yang melihatnya. Karena disanalah diajarkan untuk menikmati sesuatu yang singkat dengan sepenuh hati. Di sanalah tercipta seni, keindahan yang dirindukan.
"I'm interested in the ephemeral aspect of the work" Ucap Smilde ketika diwawancarai.
Awan buatan ini tidak hanya mewujudkan hayalan banyak orang, tidak hanya melambungkan nama Smilde, tidak hanya mewangikan negara Belanda, namun memberikan pelajaran kepada banyak orang. Sesuatu yang tinggi, tidak tersentuh, bukan berarti tidak bisa diwujudkan.Smilde juga mengajarkan kita untuk tidak melupakan hal-hal yang ada disekeliling kita, sesederha apapun itu. 'Using his daily surrounding as spaces as inspiration' begitu kalimat yang tertulis pada sebuah artikel di www.dailymail.co.uk untuk mendeskripsikan sang pionir Berndnaut Smilde. Semoga kita bisa mengambil inspirasi dari karya ini dan segera bisa memiliki karya menakjubkan.
Referensi:
http://www.ronchinigallery.com/archives/artists/berndnaut-smilde
Thursday, 9 May 2013
A Testimony : 9 Summer 10 Autumn Movie
Keluarga Mas Iwan dalam Film |
Si Bayek: Mas Iwan Kecil Oleh Shafil Hamdi Nawara |
Ihsan Tarore sebagai Mas Iwan |
Sebuah Rasa : I Almost Forgot
Malam ini sebenarnya sudah kuagendakan untuk tidur lebih awal, seharian penuh kegiatan cukup padat dan lumayan melelahkan. Sepulang praktikum dan piket kandang bebek pukul 15.00 WIB, aku dan beberapa teman langsung hunting kontrakan, walaupun cuma muter-muter Lodaya tapi kuhitung-hitung kita sudah berjalan sejauh 2 km lebih. Sesampai di kontrakan pukul 17.30 WIB. Kaki pegal semua. Capek so pasti.
Aku bersukur sekali karena besok hari libur, meski besok adalah waktuku dan beberapa teman mengunjungi LBSM Parung, aku tak peduli. Toh, aku tetap memiliki pagi yang lebih santai daripada pagi-pagi dihari kuliah. Tapi, perasaan senang itu sedikit meluntur ketika mendengar teman-teman dari ruang lain akan datang untuk sebuah rapat kepanitiaan . Aku sendiri telah berencana dari awal untuk tak terlibat dalam kepanitiaan, aku mau bantu-bantu sewaktu hari H saja. Itu pikirku. Semua bukan tanpa alasan, ahir-ahir ini aku memang memiliki masalah dengan kesehatan dan mood. Aku sedang berada pada titik terjenuh, ogah. Aku hanya menanti waktu pulang kampung. Itu saja. Bahkan kuliahpun sejujurnya aku ogah-ogahan belakangan ini. Ternyata rencanaku ini tidak terealisasi, aku dimasukkan menjadi anggota divisi acara. Timku hanya beranggotakan lima orang saja. Aku jadi tak tega. Jujur, aku baru tau kalau aku berada di divisi ini saat Rapat malam ini, Rapat ke-3 kalau tak salah.
Bukan persoalan kontrakan baru yang tak kunjung ditemukan, bukan pula persoalan divisi acara yang ingin aku uraikan dalam tulisan ini. Itu bukan masalah, kontrakan tidak akan terlalu sulit dan aku pasti akan bekerja kok di divisi asal tunjuk ini. Jadi, leave it. Tak penting. Aku hanya ingin menguraikan tentang mereka, kawan sejawat seangkatan dari ruang lain. Entahlah, aku selalu lupa bahwa kami berjumlah 40 orang. Jika ditanya tentang sebab, aku punya dua alasan, yang pertama adalah ruang dan yang kedua adalah program pendidikan. Ruang membuat kami tak bisa selalu berpapasan dan bertegur sapa. Ruang membuat kami tak memiliki cukup waktu untuk sekedar berbincang ringan. Mungkin Anda bisa membantah dengan kata dan kalimat basi yang sejujurnya membuatku mual. 'Manfaatkan waktu ketemu'-lah, 'jarak itu bukan masalah' dan lain-lain. Sejatinya itu hanya kalimat dari bibir orang-orang yang ingin terlihat solutif, sok memimpin atau apalah Anda menyebutnya. Basi, ya basi. Hanya indah terdengar, seperti sebuah solusi. Tapi taukah, itu tak lebih dari kicauan beo, berlalu tanpa sisa, tanpa bekas.
kenapa? Anda marah? Sudahlah, untuk apa marah jika memang Anda merasa tak pernah mengeluarkan kalimat basi itu.
Iya friends, mereka berkoar-koar tentang solusi, tapi kenyataannya semua tak semudah mengucapkan kalimat. Di satu ruang, kami hidup berkoloni, punya kegiatan sendiri. di satu ruang lainpun begitu. Lalu, ada ruang dan ruang lain yang membentang di antara keduanya. Apa mungkin kedua dunia itu bisa membaur tanpa cela. Sempurna akrab, kata mereka. Tak bisa kawan, bahkan di buku biologi pun membahas masalah isolasi jarak ini. Pikirkanlah.
Sebab yang kedua adalah persoalan program study. Aku sulit menjelaskan, tapi faktanya ini mempengaruhi. Ah, sekali lagi aku tak mampu mengurainya, nanti akan terlalu banyak yang akan menghujaniku dengan panah-panah tajam mereka. Aku malas, cari aman saja.
Intinya, aku sering lupa bahwa kami berjumlah 40. Aku lupa bahwa kami dianggap satu kelompok. Aku baru menyadari bahwa aku memiliki 39 teman lainnya dalam kelompok ini saat kita berkumpul saja. Selebihnya tidak. Mau diapakan? Jangan lagi memaksa, kalau ingin mencari solusi paksaan silahkan. Dengan syarat, jelas dan pasti. Jika tak mampu, usah berkoar. kalian ingin tau solusi jelas dan pasti itu seperti apa, pindahkan saja ruang yang satu kemudian masukkan ke ruang yang satunya lagi. Ini yang paling real. Mudah bukan aku menuliskan? Coba saja lakukan, mudahkah?
(Ditulis Minggu malam, 5 Mei 2013)
Tuesday, 7 May 2013
Go to Back
Dutch: No Impossible and Trivial, Yes Capable and Humble
Aforisme Vincent Van Gogh di atas saya rasa telah mengurat nadi pada diri orang Belanda. Mereka terkenal dengan keberaniannya untuk mencoba hal-hal yang dianggap mustahil ataupun terlalu sepele oleh orang lain. Keberanian itu mengantarkan orang-orang Belanda pada penemuan-penemuan yang menakjubkan. Tidak hanya itu kerendahan hati dan keberanian mereka berterus terangpun membuat kita angkat topi.
Anda tidak percaya? Percaya sajalah, saya punya cukup bukti. Baik, Anda pernah mendengar sebuah kendaraan dengan nama PAL-V (personal air and land vehicle)? Ini bukan kendaraan seperti bajaj, melainkan sebuah mobil terbang yang dulunya hanya ada dalam film-film animasi. Dulu, orang-orang hanya bisa mengagumi gambarnya saja, tak bisa benar-benar menyentuhnya, apalagi mengendarainya. Impossible. Namun, no impossible for Dutch. Dengan dipimpin Robert Barnhoom dan Marteen Wilning, mereka berhasil mewujudkannya. Kini, manusia bisa menyentuh dan mengendarai PAL-V, mobil terbang tak lagi sebatas hayalan dalam film animasi. So, tidak mustahil jika Anda bertekad ingin mewujudkan sapu terbang seperti yang ada dalam film Harry Potter. "Jika kamu mampu membayangkan, kamu akan mampu mewujudkan".
Gambar 1. PAL-V |
Selain itu, orang Belanda juga telah membuktikan bahwa hal sepele dan murah meriah justru mengantarkankan pada keberhasilan gemilang. Yang benar? Saya tidak bercanda kawan. Andre Geim dan rekannya membuktikan. Ia mendapat penghargaan nobel pada tahun 2010 atas temuan yang bermodalkan selotip. Awalnya tidak ada yang mengetahui cara mengisolasi karbon pada grafit, namun Geim justru menemukannya dengan teknik yang begitu sederhana. Sang Pionir Geim tidak hanya mengajarkan agar kita tidak mengabaikan hal-hal kecil, ia juga mengatakan bahwa kita tidak harus kuliah di universitas lapis satu untuk menghasilkan sesuatu yang mengagumkan. Belajar di mana saja dan lakukan yang terbaik karena setiap orang akan mendapat bayaran sesuai dengan kerja kerasnya.
"Saya tak peduli apakah rekan kerja saya seorang mahasiswa ataukah profesor, asalkan dia mau bekerja keras dan efisien, semua orang adalah kolega saya" Ucap Geim yang mencerminkan kerendahan hatinya.
Gambar 2. Andre Geim |
Kerendahan hati orang Belanda juga bisa kita temui di kelas-kelas belajar. Para mahasiswa diberikan lampu hijau untuk bertanya atau menyanggah saat dosen menjelaskan materi. Tenang saja, para dosen tidak akan marah.Enjoy it, guys! Tak hanya itu,dosen-dosen di Belanda juga terkenal capable dan humble. Mereka sangat berterus terang.
"I don't know about the answer, maybe i'll search about it as well and i can give it back to you by email" Begitu ucapan mereka untuk mengakui ketidaktahuannya.
Gambar 3. Welcoming all of your opinion, Guys! |
Selain itu, para pionir Belanda juga terkenal ulet dan sabar. Kita semua mengenal Leeuwenhoek sebagai orang pertama yang mengobservasi bakteri. Ia menemukan makhluk super kecil itu dari mikroskop buatan sendiri. Kendati mikroskop sudah ditemukan sebelum ia lahir, ia tidak menggunakannya. Ia justru dengan sabar dan cermat menggosok lensa sendiri. Akhirnya ia mampu menghasilkan mikroskop yang jauh lebih baik. Ia juga bukanlah ilmuwan berpendidikan tinggi, ia hanya tamat Sekolah Dasar dan bekerja sebagai pegawai kotapraja, meskipun begitu ia terpilih menjadi anggota ilmiah pada tahun 1680 dan sebagai anggota Akademi Ilmu Pengetahuan di Paris.
Gambar 4. Van Leeuwenhoe's microscope |
Referensi:
http://internasional.kompas.com/read/2010/10/08/02395929/Meraih.Nobel.Bermodal.Selotip
http://www.history-of-the-microscope.org/anton-van-leeuwenhoek-microscope-history.php
http://singularityhub.com/2012/08/03/pal-v-one-the-car-plane-thats-easy-to-fly-and-cheap-%E2%80%93-were-kidding-about-the-cheap-part/
ionagrace.wordpress.com/2011/09/12/studi-di-belandatentu-saja01-yuk-mengintip-suasana-kelas-di-belanda/
Thursday, 2 May 2013
Pagi Ini Antara Baranang Siang dan Dramaga
Aku memilih kata 'antara' bukanlah untuk mengungkapkan cerita tentang dua jiwa yang terpisah ruang, bukan pula kata untuk menggambarkan perbedaan keduanya. Ini hanya sekadar sebuah perjalan. Perjalanku di pagi Jumat menuju kelas kuliah dan praktikum yang lumayan menelan waktu. Aku hanya ingin bercerita apa yang tertangkap indera penglihatan dan pendengaranku dari balik kaca angkutan hijau yang kutumpangi. Ini 'hanya' tentang rasa yang singgah, terkadang meninggalkan bekas dan tak jarang hanya berlalu tanpa jejak.
Jadi, biarkanlah aku bercerita tentang mereka, mereka yang singgah pagi ini dalam rasa. Mereka yang terus berwajah mendung, terlebih saat jalanan merangkak karena padatnya kendaraan, mereka yang pagi-pagi sekali sudah merelakan waktu, duduk di depan stir dan memanggil-manggil setiap manusia yang berwajah menunggu di tepi jalan. Aku tertarik dengan kisah mereka karena aku merasa sudah panjang jalan yang mereka lalui, pastilah banyak cerita juga yang telah terekam dalam perjalanan itu. Mereka yang lebih banyak lengah kala panggilan cinta-Nya berpendar dari setiap menara dan corong-corong. Mereka tak peduli, jalanan membuat hati mereka jauh lebih tenteram karena seratus meter saja orang-orang yang menumpang akan memberinya rupiah, lebih menjanjikan daripada janji-janji kitab suci yang entah kapan baru akan tertunaikan. Mereka tanpa sadar telah mengingkari perjalananya sendiri. Betapa seharusnya mereka memahami hakikat perjalanan. Mereka membawa manusia yang semuanya bertujuan. Bahkan kendaraan yang mereka kendalikan pun bertuliskan asal dan tujuan jalan. Mereka hanya melupakan satu, mereka lupa bahwa hidup juga sebuah perjalanan. Perjalanan menuju pemberhentian abadi. Mereka terus mengumpulkan rupiah untuk kebahagiaan keluarga di rumah, di pemberhentian. Tapi mereka lupa mengumpulkan pundi-pundi kebahagiaan untuk nanti, sesampai di tujuan sesungguhnya.
Tak semua. Memang tak semua. Tidak ada yang sempurna semua. Ini hanya rasa yang mengalir dari pandanganku saja. Tak perlu diperdebatkan, jika tak suka, lupakan saja.
Awalnya, aku ingin lebih menghayati mereka para penjual di tepi-tepi jalan atau para manusia belia-sangat belia- berpakaian sama kala senin-sabtu yang berderet rapi menunggu pengantar bayaran menuju tujuan, entah untuk belajar entah apa, aku tak bisa menerka.
Tapi, kurasa cerita para pengemudi angkutan itu lebih menarik.
Sekali lagi, ini hanya tentang rasa. Jangan diperdebatkan.
Just Want to Say: Thank You for Everything
Source: click here |
My Little Accident
ngeeeengg.....brum...brum...kotek...kotek |